Senin, 02 Januari 2017

JANGAN MELAKUKAN HAL-HAL BERIKUT INI JIKA INGIN BAHAGIA

Diposting oleh Rumah Kopi di 14.06 0 komentar

Hai semuanya, apa kabar? Sudah tahun baru ya! Apa sih makna tahun baru menurut kalian? Kalau menurutku pribadi,
tahun baru hanyalah pergantian angka terakhir dari deret empat angka. Seperti yang kita tahu, dua belas bulan lalu, angka enamlah yang menjadi angka pamungkas demi menyempurnakan pelafalan tahun masehi, 2016. Dan sekarang, posisi angka pamungkas itu tergantikan oleh angka 7. Seperti itu kurang lebihnya.

Bukannya apatis, aku hanya menyampaikan apa yang aku rasakan. Benar-benar aku alami. Tidak ada perubahan yang signifikan. Tidak kerja tidak bisa jajan. Haha. Hari-hari masih sama. Bangun tidur yang selalu saja terlambat. Rasa malas yang kian berkarat. Padahal, banyak sekali ide-ide berkeliaran di benakku. Dan aku mengabaikan hal itu begitu saja. Iya… sayang sekali rasa malas ini menguasai "kewarasanku". Hei! Jangan berasumsi yang tidak-tidak.

"Kewarasan", begini aku mendefinisikannya; Aku wanita muda normal yang kalah bertarung dengan rasa malas. Dan aku sepenuhnya sadar bahwa diriku hanya akan menjadi sesosok yang tak berguna jika menghabiskan seluruh waktu yang ada demi mengikuti naluri malas yang sebenarnya amat manusiawi. Tetapi, entah kenapa pula, aku pasrah saja, lalu membiarkan diriku terlena seperti terkena ilmu guna-guna.

Iya, jadi aku lebih suka memelototi HP dan terus begitu. Dimulai dari buka YouTube, lalu beralih ke IG, dilanjut ke FB, kemudian sesekali menengok Twitter. Sumpah demi apa aku demen melakukannya. Padahal garing banget. Sama sekali tidak akan membuat pikiranku berkembang. Aku melupakan tumpukan buku-buku yang sengaja aku usung dari Indonesia, ke negara kecil bekas jajahan Portugis ini. Oh demi Tuhan. Aku harus mengumpulkan tenagaku demi melawan rasa malas. Dan akan kumulai dari sekarang. Lupakan perihal tahun baru, rasa malas, dan godaan mengintip YouTube beserta tetek bengek lainnya.

Kalian pernah tidak, mengintip akun-akun seleb Instagram, seleb YouTube, atau seleb-seleb lainnya. Dan terbengong-bengong sambil garuk pantat yang aslinya sama sekali tidak gatal itu. Lalu tiba-tiba perasaan iri mendera. Akhirnya timbul pertanyaan, "Aih enak banget ya jadi mereka! Punya banyak duit. Makan di tempat yang mewah. Bisa treveling ke luar negeri. Belanja-belanja. Kok hidupku hanya begini-begini saja?"

(Jujur sih pertanyaan-pertanyaan itu asalnya dari pengalaman pribadi heheh)

STOP! JANGAN LAKUKAN HAL ITU LAGI JIKA KITA INGIN HIDUP BAHAGIA.

1. JANGAN MEMBANDINGKAN HIDUPMU DENGAN KEHIDUPAN ORANG LAIN.

Kalimat di atas, mungkin sudah amat sangat sering kita dengar. Jadi, kita sudah tahu teorinya. Tidak perlu membandingkan-bandingkan hidup kita dengan hidup orang lain. Tak usah menimbang-nimbang, berhenti melirik rumput tetangga yang sama-sama hijaunya. Kita tidak pernah tahu, bagaimana mereka memperoleh kesuksesan itu. Kita luput menyorot proses jatuh bangun itu yang harusnya dijadikan contoh demi upaya agar kita bisa sukses seperti mereka. Tidak ada usaha yang sia-sia. Tak ada proses instan. Tak satupun biji yang setelah ditanam, langsung tumbuh kemudian berbuah lebat dalam sekejap, bukan?

Hal yang paling membuat hidup ini terasa menyebalkan, karena kita tidak menganggap istimewa sesuatu yang saat ini sudah dimiliki.

Sebagai contoh ya, sering mengeluh dengan pekerjaan yang tengah digeluti, merasa tidak betah karena manejernya galak, salah memilih pekerjaan, tidak cocok dengan tim di tempat kerja(curhatan seorang teman waktu lalu). Berbeda sekali dengan kehidupan temanku si A, yang punya pekerjaan bagus, tempatnya nyaman, gaji gede. Bla... Bla... Bla...

Ya kali, bagaimanapun kondisi tempat kerja saat ini, atau usaha apapun yang tengah digeluti, masih mending. Harus bersyukur masih bisa menghasilkan uang. Bagaimana dengan nasib mereka yang lontang-lantung tanpa pekerjaan. Setiap hari ke luar rumah membawa surat lamaran dari satu perusahaan ke perusahaan lainnya. Dan sementara itu, keluarga menunggu dan berharap kita pulang membawa uang atau paling tidak, kabar baik.

2. JANGAN MEREMEHKAN DIRI SENDIRI.

Hal ini juga sering terjadi di kehidupan sehari-hari. Kita sering mengabaikan kemampuan atau bakat-bakat, yang tidak menutup kemungkinan, jika terus diasah, kelak dapat menghasilkan sesuatu yang menakjubkan.

Lakukan apa yang disukai. Asal bukan hal buruk saja sih. Asah kemampuan itu dan kerjakan dengan senang. Jangan sekali-kali meremehkan diri sendiri. Jika kita tidak bisa menghargai diri sendiri, lantas bagaimana mungkin orang lain menghargai kita?

Kita adalah makluk yang istimewa. Hanya saja kita tidak mempedulikan hal itu. Dan malas menggali potensi apa yang ada pada diri sendiri. Entah karena rasa takut, malas, atau minder. Kalau pun semangat untuk belajar mengasah kemampuan sudah berapi-api, bisa saja tiba-tiba memudar dan mundur teratur hanya gara-gara keterbatasan peralatan.

Sebagai contoh: Ingin menjadi seorang penulis tetapi hanya sebatas angan hanya karena belum punya laptop. Ya ampun jangan lebai lah. Kan masih bisa menuangkan ide lewat buku tulis, atau mengetik ide-ide menggunakan aplikasi di HP, atau apalah. Yang jelas, jika keinginan itu kuat, maka kita akan menemukan jalan menuju ke sana.

3. JANGAN BERHENTI DI TENGAH JALAN.

Yo... Jangan berhenti di tengah jalan, itu bahaya. Mending berhenti di pinggir jalan. Hehehe

Jika kita sudah memutuskan untuk memulai melakukan sesuatu, jangan berhenti begitu saja hanya karena apa yang kita upayakan belum membuahkan hasil.

Kunci lain dari kesuksesan adalah, melakukan upaya secara berkesinambungan dan pantang menyerah kendati sering menemukan kebuntuan. Kita bisa menjadi manusia produktif yang lebih baik jika mau belajar dari kesalahan. Terus berupaya mengadakan perbaikan. Rumus sukses menurutku adalah; upaya dikalikan dengan frekuensi percobaan.

Apa jadinya jika para penemu-penemu pada zaman dulu, berhenti di tengah jalan ketika upaya percobaan yang dilakukan gagal. Mungkin tidak ada lampu pijar, tak ada listrik, tidak ada alat-alat canggih lainnya jika mereka, menyerah dan tidak pernah menyelesaikan apa yang telah dimulai.

Demikian nyinyir hari ini. Sebenarnya, tulisan ini, aku tujukan pada diri sendiri yang memang sedang butuh motifasi untuk bangkit dari kubur. Eh! Bangkit dan berjuang melawan rasa malas. Jika kalian juga ingin bahagia, boleh dicoba. Kalau tidak efektif, mungkin dosisnya perlu ditambah. 😂😂😂

Minggu, 13 November 2016

JIKA BERHENTI ARTINYA MATI

Diposting oleh Rumah Kopi di 13.52 0 komentar

Selalu ada bisikan kecil yang mempertanyakan, apakah keputusan yang kuambil ini benar? Jika iya, kenapa ada perasaan gelisah seperti bentuk penyesalan yang tak kunjung sirna. Jika salah, mengapa Tuhan tidak membelokkan langkahku agar kakiku tidak sampai menginjakkan bumi Thailand.

Mengkalkulasi biaya hidup selama di negera ini, membuatku kian dirundung penyesalan. Tentang tetek bengek yang semuanya memaksaku merogoh kocek dalam. Tetapi aku punya alasan yang kuat mengapa aku memilih ke sini, waktu itu. Tentu saja bukan untuk bersenang-senang atau menghindari pertanyaan-pertanyaan perihal kepulanganku ke tanah air yang mendadak.

Bagaimana pun juga, sebagai seseorang yang mempunyai tanggung jawab besar atas kelangsungan hidup keluarga, tentu saja aku tidak boleh berhenti mengais rezeki. Tentu kalian tahu, jika aku berhenti, itu artinya mati. Lebih baik berjalan pelan, atau berbalik arah untuk sementara (bukan balik kampung, hanya sedikit memutar haluan dari tujuan semula) yang jelas aku harus terus berjalan. Yang aku tahu, sementara menunggu sebelum akhirnya kembali ke sana, aku bisa kerja parttime di sini. Iya, pekerjaan itu ada, namun sayangnya tidak bisa menutupi biaya hidup selama di sini.

Harusnya aku tidak perlu meratapi keputusanku sendiri sebab tujuanku jelas. Bukankah lebih baik berusaha dan mencoba melakukan sesuatu dari pada hanya diam tanpa berbuat apa-apa. Manusia akan lebih menyesal jika dalam hidupnya tidak banyak mencoba peruntungan. Aku masih dan akan selalu ingat bahwa hidup ini merupakan perjudian besar. Dalam permainan judi hanya ada dua kemungkinan, kalah atau menang. Dan kedua hal itu tentu saja hanya milik mereka yang berani mempertaruhkan modalnya. Jika tidak menang berarti kalah. Kekalahan saat itu bukan akhir dari segalanya. Kekalahan bisa ditebus dengan berusaha kembali meraih kemenangannya. Bertaruh lagi. Berjudi lagi.

Dimikian nyinyir kali ini. 😊

Senin, 05 September 2016

MENULIS BURUK LEBIH BAIK DARI PADA TIDAK MENULIS SAMA SEKALI

Diposting oleh Rumah Kopi di 14.10 0 komentar
Satu, dua, tiga, ah aku lupa berapa lama tepatnya perlahan aku menjelma sesosok dungu. Pikiranku tumpul seperti kedua ujung ulekan. Itu terdengar mengerikan, bukan? Iya, beberapa bulan ini, aku benar-benar seperti manusia yang kehilangan jiwa. Hidupku diawali dari ranjang dan diakhiri di tempat yang sama.
Hei, aku rasa tempat itu tidak layak disebut ranjang. Selembar kasur tipis digelar dalam gudang penuh barang-barang tidak terpakai, di sana biasanya aku membenamkan tubuhku. Dalam tumpukan baju-baju, bantal lusuh, selimut yang tak pernah kulipat saat bangun tidur. Kasur yang digelar di atas karpet, bukankah itu tak bisa disebut ranjang!


Namun begitu, aku betah membenamkan diriku di sana. Di kamar yang layak disebut gudang itu. Sesekali, anak-anak kecoa merayap di atasku. Tepatnya di dinding atau di pintu lemari tempat sebagian bajuku kusimpan tenpa kulipat rapi. Tak jarang, anak-anak kecoa tersebut merayap pelan di atas kasur, bantal, bahkan selimut yang membalut tubuhku. Kami tak akrab. Tentu saja aku jijik melihatnya.  Tetapi aku biarkan saja mereka berkeliaran di sana.


Kamu bisa membayangkan betapa kamar itu senantiasa berantakan. Belum lagi buku-buku yang beterbaran di setiap sudut. Buku pelajaran, buku catatan, novel, buku tagihan hutang. Banyak. Anehnya aku betah di tempat itu. Dan aku curiga bahwa di sanalah, sebagian kecerdasan dan pikiran kritisku tertinggal. Terserap oleh tumpukan baju, selimut, bantal, diatas kasur itu. 


Beberapa bulan belakangan, aku benar-benar tidak produktif. Aku merasa menjadi sampah. Hidupku monoton. Bekerja, makan, tidur. Itu saja. Kuliah, no way! Belajar menulis fiksi, males gilak. Boro-boro bikin craft. Males. Males. Mengerikan. Entah kemana perginya aku yang aktif dulu. Yang kalau tidak belajar, merasa bersalah pada semesta karena menyia-nyiakan kesempatan hidup yang limited ini.


Oh, itu semua tidak serta merta terjadi begitu saja sih. Jenuh itu manusiawi, kan? Ya karena aku bukan malaikat, jelas manusiawi banget kalau memiliki titik jenuh. Mula-mula perasaan itu muncul dari tekanan di tempat kerja. Kurasa, usahaku bertahan dalam masa sulit selama hampir empat tahun, sudah bisa membuktikan bahwa aku bukan orang yang tidak bisa menerima keadaan.


Dulu aku begitu iklas diperlakukan seperti apa pun. Aku paling pandai menyemangati diri sendiri. Bisa mencuri waktu keluar. Ngopi, misalnya. Dan hal itu sudah membuatku senang. Tetapi sekarang keadaan sudah lain. Jangankan ngopi. Ke 7-11 yang ada di lantai satu itu, sudah diteriaki suruh cepat balik. Menyebalkan. 
Tadi aku berkata, aku seperti kehilangan jiwa. Jiwaku mengembara entah kemana. *bucet udah kek pujangga aja kata-kata gue* Meskipun begitu, jiwaku masih waras. Tentu saja.


Beberapa saat lalu, aku membaca buku karya Irma Rahayu berjudul Soul Healing Therapy. Akhir-akhir ini, aku suka membaca jenis buku yang beginian. Kebanyakan membaca buku fiksi yang penuh drama romantis yang tentu saja bertolak belakang dengan kehidupan nyata, membuatku semakin uring-uringan tak jelas saja. Dan kalau sudah begitu, aku bisa menuntut Allah dengan pertanyaan bodoh semacam ini, Oh God, why you making like this in my live? Lalu Allah menjawab, Lha why not! 

Menyalahkan orang lain, menyalahkan keadaan, menyalahkan alam sekitar, dan apa saja yang dianggap telah mempersulitnya mendapatkan sesuatu yang diimpikannya, adalah tindakan bodoh—wujud ketidak dewasaan dalam menyikapi kegagalan. Dan aku tahu itu.


Ketika melukis warna-warni pada bulu angsa, tidak terlintas olehku bahwa saat bersamaan, bukan mustahil hujan deras menghapus seluruh warna itu. Tidak menutup kemungkinan, air kotor bekas pembuangan industri rumah tangga--menempel, bahkan membungkus seluruh bagian angsa berbulu putihku. Dan itu berarti jika masih ingin melihat angsa berwarna-warni, kembali aku harus mengulang melukis merah, kuning, hijau, dan mungkin akan kutambahkan warna emas, perak, atau apa saja sehingga angsaku tampak memesona.


Aku ingat, bahwa seorang polisi tidak mungkin mengenakan seragam dokter saat bertugas. Seorang bikuni, tidak akan membungkus kepalanya menggunakan jilbab milik ustadzhah. Berarti, setiap hal yang memamg sudah semestinya begitu.


Jumat, 15 April 2016

MUNGKIN JUGA TIDAK PERLU TERLALU SERIUS MEMBACA INI

Diposting oleh Rumah Kopi di 19.21 0 komentar

Kita memang seperti ini. Selalu begini. Tidak pernah berubah meskipun umur telah bertambah. Entahlah. Ada rasa bosan ketika mengingat kembali beberapa peristiwa yang membuat maskaraku meleleh. Meskipun sebenarnya aku tidak pernah memakai maskara, kecuali ketika belajar mengaplikasikan riasan di wajah.

Kamu harus tahu, mungkin juga tidak perlu tahu bahwa kadang-kadang aku kepingin menyedot tubuhmu  menggunakan vacuum cleaner. Kemudian memasukkannya ke dalam botol kaca. Menutupnya rapat-rapat. Selanjutnya aku bergegas ke laut. Bukan untuk piknik apa lagi berjemur. Bukan. Aku tidak suka bau matahari di tubuhku, di rambutku. Kamu tahu, aku gampang berkeringat. Jadi lupakan tentang piknik ke pantai bersamaku.

Dengan botol berisi tubuhmu, pikiran-pikiranmu, juga mulutmu yang enggan terbuka itu, oh tak ketinggalan kusertakan juga keegoisanmu, semuanya terperangkap di sana. Aku melihatmu menggapai-gapai. Kamu berharap aku melepasmu. Dan dari luar, aku menggeleng dengan memasang senyum paling licik namun bahagia. Kepuasan itu membuncah begitu saja setelah berhasil membuatmu tak berdaya. Dan kupikir saat ini dan selanjutnya, aku pasti berhenti menangis. Berhenti sakit hati karenamu.

Omong-omong, sebelum ke pantai, tentu saja aku terlebih dahulu sarapan. Sebab, sarapan adalah hal yang tidak boleh ditinggalkan. Dengan setangkup roti tawar isi selada, ikan tuna, mayonis, irisan tomat segar, dan segelas kopi 3 in 1. Aku tidak suka kopi hitam. Kecuali saat itu, dulu pertama kali mencicipi kopi hitam  buatan Ibu yang tentu bukan disuguhkan untukku. Kopi hitam kepunyaan Bapak yang masih mengeluarkan asap tipis meliuk-liuk laiknya penari tiang (aku lupa nama tarian yang diperagakan oleh gadis yang melilitkan tubuh indahnya pada tiang stainless itu, seperti ulat bulu yang merambat pada tanamam) aku menyesap kopi panas itu barang satu, dua, tiga kali, dan uh membuatku tergila gila dengan kopi sampai detik ini.

Jangan bertanya menyoal kesopanan dan semacam itu, mencuri kopi hitam kepunyaan Bapak, sebab pertama kali jatuh cinta dengan kopi, aku masih terbiasa mengenakan kaos dalam serta bawahan berbentuk segitiga dengan motif kartun lucu, bermain-main ke seluruh penjuru kota. Desa ding, kan aku anak desa. :)

Entah kapan tepatnya, pelan-pelan aku meninggalkan kopi hitam. Aku lebih suka menikmati pahitnya kopi, manisnya gula, serta gurihnya krimer, larut bersama. Aku pikir, pahitnya hidup bisa disiasati dengan cara seperti ketika aku menikmati secangkir kopi blanded.

Omong-omong tenagaku cukup kuat untuk melempar botol berisi tubuhmu itu. Betapa girang hatiku melihat botol itu membubumbung tinggi sebelum akhirnya jatuh mengapung di permukaan laut saat itu. Oh iya, sebelumnya, aku telah bernegosiasi pada Tuhan, supaya melindungimu dari tajamnya gigi ikan hiu, rakusnya kawanan ikan paus, dan sepertinya Tuhan setuju akan hal itu. Lalu aku mengusap-usapkan kedua telapak tangan setelah melemparkan botol berisi tubuhmu--seolah-olah baru saja memegang benda kotor. Membalik badan dan mengayun kaki meninggalkan pantai.

*

100 tahun kemudian, pada pagi yang belum sempurna, aku tergopoh menghampiri bibir pantai. Lebih tepatnya menjemput botol kaca yang tergeletak sembarangan di sana. Ketika menemukan benda itu, aku tidak terlalu kaget. Sebab, sesuai doa yang aku panjatkan waktu melempar botol berisi tubuhmu, kurapalkan mantra bahwa kelak, hanya aku yang akan menemukannya. Membebaskanmu. Dan berharap, ketika itu, semua berubah. Tak ada lagi teriakan. Tak ada lagi tingkah lakumu yang menyebalkan itu, juga protes nyinyir dariku, dan itu semua bibit-bibit penyebab kita berdua mabuk emosi yang akhirnya entah kapan mulainya, kita saling melemparkan kata kotor. Lalu kamu terlelap. Sementara aku susah tidur karena migrain.

Saat pertengkaran demi pertengkaran itu terjadi, aku membencimu seperti membenci semangkuk bakso yang telah dingin dan dipaksakan untuk masuk ke mulutku, dan sialnya, setelah terlempar ke perut, bakso dingin itu keluar melalui jalan yang sama. Itu menyebalkan. Sepertimu.

Mula-mula, aku menganggap apa yang terjadi antara kita, adalah kekonyolan dua manusia yang hatinya telah lama kering. Kering karena ketidak hadiran kecintaannya pada kurun waktu lama--di hadapan masing-masing. Lalu seperti mayat-mayat yang bangkit dari kubur, mencari mangsa, balas dendam, sebab mayat-mayat itu belum siap mati. Ya walaupun kenyataannya tak ada makluk yang siap mati. Ini kasus lain, tentu saja mayat itu penasaran mendatangi pembunuhnya.

Ah, sepertinya analogiku tidak masuk akal membandingkan mayat yang bangkit dari kubur mendatangi pembunuhnya (Seperti Dewi Ayu dalam novel Cantik Itu Luka, namun dalam kisah itu Dewi Ayu bukan mati karena dibunuh) dengan perasaan rindu yang ditahan menahun, dan seolah tidak sabar menunggu untuk disegarkan dalam sebuah pertemuan.

"Kita sudah berjalan cukup jauh, dan tinggal selangkah lagi sampai pada rencana yang telah kususun rapi. Jadi tolong bersabarlah, dan jangan berpikir macam-macam," katamu sesaat setelah bebas dari belenggu botol kaca.

"Apa kamu tidak marah dengan apa yang aku lakukan padamu?"

"Hah! Aku sudah terbiasa menghadapi ulah si manusia keras kepala. Lagi pula, kamu telah berkali-kali mematahkan hatiku. Jadi apa lagi? Aku akan membuatmu menangis suatu hari."

"Sudah kuduga. Kamu memang penjahat."

"Aku akan membuatmu menangis dan kemudian memelukku. Tersengal mengucapkan terima kasih, sebab diam-diam aku bersumpah akan menggunakan sisa hidupku untuk membahagiakanmu."

Senin, 29 Februari 2016

KETIKA HARUS BERJUDI DENGAN KEHIDUPAN

Diposting oleh Rumah Kopi di 10.59 0 komentar

Aku tidak tahu, seperti apa kehidupanku kelak. Itu jelas. Aku toh bukan peramal masa depan. Aku hanya tahu bagaimana mempersiapkan segala seuatu, jauh di awal.

Tentang keputusanku untuk meninggalkan negara yang telah mengajariku banyak hal, sedikit membuatku risau. Tetapi melulu pada kerisauan itu, yang bersifat keduniawian, yang tidak membuatku bahagia, alih-alih nyaman, apa lagi yang kupertahankan?

Aku belajar mengikuti langkah kaki. Tentu saja logikaku masih jalan. Masih hidup. Tentu saja. Bukankah aku ini seperti robot autentik, yang setiap geraknya senantiasa diperhitungkan. Andai saja, ada hal yang keliru, meleset dari perhitungan, aku tahu bagaimana mengantisipasi supaya langkahku tidak terlalu lama timpang. Apakah aku terdengar sombong?

Keputusanku sudah bulat. Aku tidak bahagia di sini, bahkan dengan nominal gaji yang fantastis bagi ukuran wanita.  Ada pertanyaan-pertanyaan seperti ini yang mondar-mandir di kepala:

Untuk apa hidupku ini? Apa semua melulu tentang materi yang tak akan terpuaskan sampai akhir zaman.

Aku ingin menemukan jawaban. Aku tidak mau terjebak dan selamanya hidup sebagai tumbal kehidupan. Aku berhak mencari kebahagiaanku. Pun begitu, segalanya masih sama. Prioritas tetap sama. Apa pun itu, hidupku ini tak lain demi memenuhi hajad hidup orang banyak. Selebihnya, aku juga ingin mewujudkan impianku.

Barangkali memang, ini beresiko tinggi. Aku melepaskan sesuatu yang sudah pasti dan menggapai hal yang masih samar. Tapi kan kalau kita tidak mencoba, tak pernah tahu hasilnya.

Hidup itu perjudian besar. Jika tidak berani memasang taruhan, bagaimana mungkin berkesempatan memenangkan hadiah. Lagi pula, bukan hanya hadiahnya yang membuatku bersemangat. Seseorang, yang kelak akan mendampingiku seumur hidup, menungguku di sana.

Pernikahan, hidup seatap, sama-sama mewujudkan impian, adalah pasti menenangkan. Inilah harapan terbesar wanita. Menikah dengan orang yang tepat.

Hidup bukan perihal menambah jumlah nol di rekening. Lebih dari itu, kenyamanan, bagiku segalanya. Ya, saat-saat terburuk, jauh lebih mudah dijalani ketika ada seseorang yang tak pernah melepaskan kita untuk pergi. Segala sesuatu akan terlihat indah jika kita melihatnya dari kaca mata (hati) bening (bahagia). Sebaliknya, semua jadi redup, gelap, kalau kaca matanya kotor berdebu.

Rabu, 17 Februari 2016

KERACUNAN SAMBAL

Diposting oleh Rumah Kopi di 21.26 1 komentar

Lidah jawa, selalu akrab dengan makanan pedas. Tidak selalu sih, tetapi kebanyakan memang begitu, pecinta kuliner pedas. Katanya sih kalau tidak pedas, makanannya kurang sedap. :)

Aku suka pedas. Eh, tapi masih di level standar kali ya. Pedasnya tidak sampai bikin lidah kebas.

Bicara soal pedas, yang jelas pikiran kita tertuju pada sambal. Kapan hari itu, dapat kiriman sambal terasi dari saudara. Seneng sudah pasti. Secara, sambal terasi merupakan makanan langka di negara ini. Dan mengingat, aku sendiri "tidak bisa masak" dan jarang mendapati sambal terasi menghiasi piring nasi, kemarin aku makannya lumayan rakus. Nasinya sedikit, sambalnya banyak.

Oh sial! Semalam, gara-gara keracunan sambal, aku diare. Bolak-balik ke kamar mandi. Sakit perutnya benar-benar parah. Sumpah gilak, habis BAB, langsung muntah. Rasanya mau pingsan. Aku curiga, ditaruh obat pencuci perut pada sambal itu. Pfffttt

Pagi-pagi, aku menelpon saudaraku. Komplain tentang sambal kirimannya. Dia malah terkekeh santai. Katanya, dia juga ikut makan sebelum sambal itu dikirim ke tempatku. Tapi, perutnya baik-baik saja. Yah ... aku jadi garuk-garuk jidat. Mungkin kondisi pencernaan setiap orang tidak sama. Jadi, efek pasca makan sambal pun jelas-jelas memiliki reaksi beda.

Bagi kalian penyuka makanan pedas, ini beberapa efek samping yang ditimbulkan. Hati-hati ya. Boleh makan pedas sih asal tidak berlebihan sehingga diare sampai mau pinsan.

1. Gastritis

Gastritis adalah inflamasi atau peradangan yang terjadi pada lambung. Biasanya gastritis atau yang biasa disebut dengan maag ini disebabkan karena bakteri tetapi terlalu banyak makan cabai juga bisa menjadi salah satu penyebabnya karena makanan pedas dipercaya dapat menurunkan kemampuan lapisan pelindung lambung. Lapisan ini berfungsi melindungi lambung dari asam lambung.

2. Refluks asam lambung

Salah satu yang tidak dibolehkan pada orang yang memiliki penyakit refluks asam lambungadalah mengkonsumsi makanan yang pedas-pedas. Refluks asam lambung kronis dapat menimbulkan berbagai komplikasi seperti kanker esophagus, pneumonia dan gigi rusak karena asam lambung.

3. Insomnia

Kebanyakan kita tidak tahu bahwa selain kafein ternyata makanan pedas juga bisa menimbulkan kesulitan tidur. Ini terjadi karena setelah memakan makanan pedas maka suhu tubuh akan naik (itu sebabnya kita berkeringat setelah memakannya) sementara tubuh perlu melambatkan metabolisme sebelum tidur. Supaya lebih mudah tidur, hindari makanan pedas mendekati jam tidur.

4. Menurunnya kepekaan lidah

Semakin lama orang terbiasa mengkonsumsi makanan yang pedas maka kepekaan lidahnya menurun. Bagi orang lain satu sendok sambal sudah sangat pedas tetapi bagi orang yang terbiasa maka hanya sedikit merasakan pedas. Ini tidak hanya berlaku pada rasa pedas saja tetapi juga berpengaruh terhadap pengecapan rasa lainnya seperti manis, asin, asam dan pahit. Menurunnya indera pengecapan ini tidak jauh berbeda pada berkurangnya pendengaran orang berada dilingkungan bising, keduanya mempunyai akibat yang permanen.

5. Sakit perut dan diare

Ini akibat iritasi pada organ pencernaan karena makanan pedas. Meskipun sifatnya akut dan tidak persisten tetapi ini merupakan suatu tanda bahwa kita sudah kelebihan makanan pedas.

(Sumber: kesehatanlengkap.com)

Minggu, 14 Februari 2016

CARAMEL MACHIATTO YANG HAMBAR

Diposting oleh Rumah Kopi di 20.44 3 komentar

Tadi, setelah enam bulan yang lalu, aku datang lagi ke sana. Kedai kopi favorit kita. Benar tidak ya, itu tempat memang favorit, atau kita berdua kurang familiar dengan kedai kopi di Ximenting. :)

Terakhir ke sana, beberapa hari menjelang kepergianmu dari negara ini. Lalu, aku memutuskan tidak akan mendatangi Starbucks lagi. Bukan apa-apa sih, hanya saja, kenangan saat kita asyik menikmati setiap detik yang terus merangkak pergi, membuat rasa kangen kian menjadi. Dan betul saja.

Sepulang les, tadi aku mampir ke Starbucks dengan teman. Ketika mengantri di meja barista, kok rasanya lain. Biasanya, kamu yang berdiri di sebelahku, dan ketika bukan dirimu yang kudapati di sana, aku sedih.

Starbucks masih seperti yang dulu. Dan sialnya, tadi aku mendapat tempat di lantai 3, pojokan. Kamu ingat kan? :(
Caramel Machiatto, kopi favorit kita itu, yang biasanya enak dan selalu membuatku kurang sehingga merebut bagianmu, demi Tuhan, terasa hambar.

Air mataku jatuh satu-satu, masa. Tidak tahu kenapa? Jatuh begitu saja. Padahal aku tidak serapuh itu, kamu tahu. Aku hanya sedikit merasa sedih. Sedih telah berusaha membohongi diri sendiri bahwa aku membencimu dan berniat meninggalkanmu. Sedih telah mengucapkan kata-kata yang sebenarnya, aku sendiri tidak ingin mendengarkannya.

Aku tidak pernah mempermasalahkan masa depanmu, tidak pula merendahkanmu atas keadaan hidupmu. Aku menerimamu seperti kamu menerima keadaanku. Bahkan aku salut denganmu. Jika jadi kamu, belum tentu aku mampu menjalani hidup dengan penuh tekanan yang entah kapan berakhirnya.

Aku tidak pernah menjanjikan apa pun. Hanya saja, berniat memberikan dukungan dan menyediakan pundak untukmu bersandar dari beban hidup. Aku rumahmu. 

Tapi .... Kamu membenciku? Ah itu hanya ucapan saat emosi. Aku tahu kamu menyayangiku.

Aku ingin menua dengan melepas kegelisahan. Mendamaikan hati dengan tidak banyak memikirkan hal yang membuatku kian tertekan. Memasrahkan segala sesuatu pada Tuhan. Tentu saja setelah aku berupa terlebih dahulu. Dan kurasa, upayaku sudah lebih dari cukup. Maaf jika belum maksimal. Karena toh aku hanya manusia yang tak luput dari salah. Nabi saja, pernah salah, apa lagi aku? Kembalilah ketika rindumu sudah amat menggila. Sebelum itu, mari berbicara tentang setia ala penulis keren ini: Fadh Pahdepi.

Setia adalah melindungi.

Lazimnya seseorang yang bisa melindungi orang lain, dirinya harus terlebih dahulu selamat dari marabahaya. Melindungi tak sama dengan ‘menyelamatkan’. Mungkin kita bisa tidak selamat ketika kita berusaha menyelamatkan orang lain. Tapi kita tak bisa melindungi orang lain jika kita sendiri tak terlindung, bukan? Setia adalah situasi semacam itu… Saat kita tahu bahwa rasa cinta dan sayang kita telah terlindung, sehingga kita bisa melindungi perasaan orang yang kita cintai atau sayangi. Dalam relasi semacam ini terdapat hukum sebab akibat. Semua akibat yang kita terima ditentukan oleh sebab-sebab yang kita ciptakan. Jika kita tidak ingin disakiti, maka kita tak boleh menyakiti. 

Setia itu takut.

Ketakutan adalah situasi di mana kita tak bisa mengukur kekuatan kita sendiri karena kita tak memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang situasi yang sedang dihadapi. Kita tak pernah tahu apa yang akan terjadi besok, seberapa besar ujian yang akan datang, seberapa berat cobaan yang akan menimpa, dan seterusnya… Di sini, rasa takut diperlukan agar kita mawas diri. Kekhawatiran dibutuhkan agar kita selalu rendah hati dan tidak jumawa merasa bisa menghadapi semuanya sendirian. Kita selalu butuh teman sejati, seseorang yang akan mendampingi kita dalam kondisi apapun dan bukan seseorang yang hanya akan membersamai kita saat bahagia saja… Setia adalah rasa takut kehilangan teman semacam itu.

Setia itu tidak mendua.

Tidak menduakan cinta. Tidak menduakan rasa. Tidak menduakan hati. Tidak memberi kesempatan untuk menciptakan kemungkinan-kemungkinan yang bisa membuat satu hati tersakiti.

Setia itu bersyukur.  

Sabar itu ada batasnya, tetapi syukur tak pernah memiliki batas. Syukur itu meluaskan. Cara berpikir kita akan sempit ketika kita gagal bersyukur. Mungkin seseorang yang selama ini kita cintai memiliki banyak kekurangan. Jika kita tidak bersyukur, tentu kita akan mulai mencari yang tak dimiliki pasangan kita pada diri orang lain. Tetapi jika kita bersyukur, betapa kita akan tahu bahwa seberapa banyak pun kekurangan yang dimiliki pasangan kita, sebenarnya tak bisa kita bandingkan dengan begitu banyak kelebihan-kelebihan yang telah ia berikan dalam hidup kita selama ini. Syukur semacam itu mungkin tak akan mengubah masa lalu, tetapi pasti melapangkan masa depan.

Tapi, di atas semua itu, setia itu sulit…

Maka hanya mereka yang bersungguh-sungguh mencintai saja yang bisa setia. Ya, setia itu sulit. Sebab jika ia mudah, tak akan ada orang yang memiliki cinta yang luar biasa.

 

Rumah Kopi Copyright © 2010 Design by Ipietoon Blogger Template Graphic from Enakei | web hosting