Senin, 30 Desember 2013

Catatan kecilku

Diposting oleh Rumah Kopi di 16.11 0 komentar

Lama ya, kita nggak ketemu. Kamu apa kabar, Lalaland?

Mau cerita tapi nggak tau apa yang mau diceritakan. Tiba-tiba perasaanku terasa penat. Menganggap semua orang penghianat. Baik jika atau karena sesuatu. Hahh! Lantas, aku harus bagaimana? Apa iya, hidup dalam sepi? Tidak berteman, pun berkomunikasi. Kenapa aku.harus selalu berhati-hati memikirkan dan menjaga perasaan orang lain? Lalu, siapa yang menjaga hatiku?

Capek harus.berteriak menyapa satu persatu dari sekian ribu teman. Toh, mereka nggak pernah menyapaku lebih dulu. Apa harus begitu? Apa harus seperti itu? Supaya orang lain tau, kalau aku masih perduli. Buat apa aku melakukan semua ini?

Pergi sajaaaaa kalian semua! Enyahlah! Aku bisa hidup sendiri. Apa? Kenapa? Nggak terima sama ucapanku? Bodoh amat! Kalian juga nggak memikirkan perasaanku.

Taipe 30 Desember 13

Kamis, 19 Desember 2013

Diposting oleh Rumah Kopi di 18.19 0 komentar
Si Oneng Yang Songong (1)

”Lo tau nggak kenapa gue milih jomblo? Huhh, kok lo diem aja sih, May! Kelamaan mikir lo kayak pejabat yang mau nilep duit rakyat aja.”

Padahal baru saja aku mau buka mulut. Eh, dia udah nyerocos aja kayak beo habis makan tikus curut.

”Sebelumnya lo catet baek-baek ucapan gue ye, bukannya gue mau promosi. Lo pan tau, barang bagus itu nggak perlu promosi, udah pasti laku. Gue jomblo bukannya nggak laku, tapi memang selama ini pada takut ngedeketin gue. Secara yah, lo tau ndiri kan selera gue kayak apa?” Oneng menaikkan kedua alisnya di akhir ucapannya tersebut. Sumpah aku eneg lihat tingkahnya. Ku pandangi muka badaknya itu sambil menarik bibir ke kanan-kiri supaya terbentuk sinyum simpul. Aku baru sadar bahwasannya jadi penipu itu tidak gampang, mament! Buktinya pura-pura senyum aja bikin bibirku kram. Ya, sudahlah demi teman aku ngalah.

”Tapi ’kan lo bukan barang, Neng? Lagian lo bilang kek gitu di depan gue, juga kagak ngaruh. Amit-amit gue kagak bakal naksir elo, dah!”

Oneng tersenyum kecut mendengar ucapanku. Aku pikir dia sadar kalau sebenarnya males banget pagi-pagi dengar ceramah yang nggak bermutu. Bisa-bisa seharian aku sial karena aura negatif itu terus mengikutiku.

Baru saja aku bangkit dari tempat dudukku, dia udah kembali meracau tak karuan. Sambil menghela napas kasar, akhirnya aku kembali duduk. Bukan karena mau mendengarkan cerita dari dia sih, tapi satu porsi pizza baru saja dipesan olehnya. Nah, ini dia yang bikin aku rela kembali menaruh bokongku di kursi --Kafe Rere.

”Eh, betewe lo ’kan juga jomblo, May.” tanya Oneng tiba-tiba. ”Kalo gue ’kan punya alasan yang jelas kenapa sampe detik ini gue jomblo!” lanjutnya.

”Huaahaahaa! Gue tau sekarang!” si Oneng selain bermuka badak alias tidak tau malu, ternyata dia juga punya kelebihan lain, yaitu lebih sotoy dari pada teman yang lain.

”Lo jomblo karena cowok-cowok pada ilfeel sama lo yang nggak doyan mandi ’kan?”

Haah! Anjrit! Sumpah, berasa nelan kulit duren! Padahal pizza ini terbuat dari bahan-bahan yang lunak. Gara-gara ucapan Oneng, aku jadi tidak berselera lagi makan tuh pizza.

”Eh, gue tegasin sama lo ya, Neng. Denger nih, baek-baek! Gue nggak pengen jadi binatang gara-gara pacaran!”

Mulut oneng membentuk huruf O, dia penasaran dengan kalimat terakhirku. Sebelum dia minta penjelasan, buru-buri aku kabur ninggalin dia.

(to becontinue)

Jumat, 13 Desember 2013

Ketika Harun Pulang Kampung

Diposting oleh Rumah Kopi di 14.23 0 komentar

Oleh

Keyzia Chan

Langkahnya terhenti ketika sampai di ujung jalan, dia berdiri tidak jauh dari rumah sederhana itu. Ah, sebenarnya bangunan itu lebih layak disebut gubuk tua. Bagaimana tidak? Dindingnya hanya terbuat dari anyaman bambu, beratapkan daduk , dan berlantaikan tanah dengan penerangan  dari sentir. Sepeda tua itu juga masih ada di sana, alat transportasi yang mengantarkan bapak dan emaknya bepergian. Nampaknya tidak ada yang berubah semenjak kepergian Harun sepuluh tahun yang lalu. Ya, saat dia meninggalkan rumah tanpa pamit waktu itu.

Puas memandangi gubuk tua itu, dengan langkah gontai laki-laki berusia 30tahun tersebut berjalan menuju rumahnya. Benaknya menyimpan kerinduan dan juga penyesalan atas apa yang dilakukannya dulu. Tetapi bukan karena rindu orangtuanya, yang membawa Harun kembali pulang. Ayah dari empat anak yang masih kecil tersebut memiliki niat busuk terhadap orangtuanya.

Kebahagiaan nampak terpancar dari ke dua orang tua Si Harun. Tidak henti-hentinya bibir Mak Ijah mengucap syukur pada Gusti Allah, air mata pun tak terbendung--berjatuhan di pipi wanita berambut putih itu. Setelah puas melepaskan rindu pada anak semata wayangnya, Pak Joyo lantas memberondongi pertanyaan pada laki-laki berbadan kurus itu. Di sela-sela obrolan mereka, tiba-tiba saja Pak Joyo berteriak lantang. Kemudian suasana di gubuk tua itu menjadi tegang.

”Apa katamu? Tidak! Pokoknya tidak mau!”  ujar Pak Joyo, menolak. Laki-laki tua yang mengenakan sarung itu, reflek naik pitam lantaran ucapan anaknya.

”Dengarkan dulu, Pak. Kalau Bapak dan Emak ikut tinggal di kota, Harun merasa lebih tenang. Karena Istriku akan merawat kalian yang sudah semakin sepuh.” ucap Harun basa-basi, demi meyakinkan Bapaknya.

”Pokoknya Bapakmu ini ndak sudi kalau harus meninggalkan rumah ini, apa lagi sampai menjualnya.” teriak Pak Joyo, kemudian tangannya meraih cangkir yang berada di atas meja. ”Di kota itu panas, barangkali banyak setannya.” lanjutnya asal, setelah itu dia menyeruput kopi yang masih panas tersebut.

”Kata siapa, Pak? Bapak ini suka mengada-ada saja.” sanggah Harun. Dia bersikeras meyakinkan ke dua orang tuanya supaya mau menjual gubuk tua tersebut. Dengan uang itu dia bisa melunasi hutang--pada rentenir. Pikirnya.

”Itu buktinya, Si Mimin anaknya Mak Inah. Pulang dari kota rambutnya disemir merah, setiap hari pake rok mini. ”sahut Mak Ijah. ”kata Si Mimin di kota itu panas.”

Harun semakin jengkel dengan ucapan ke dua orangtuanya. Sikap kolot mereka masih belum hilang meski usia mereka semakin tua. Air muka Harun nampak merah padam, jauh-jauh dia datang dan hasilnya hanya penolakan.

Andai kalian mau menurutiku menjual gubuk tua ini, aku pun tidak sudi bersusah payah merawat kalian yang tidak berguna ini. Ujar harun dalam hati. Sumpah serapah pun ke luar dari mulutnya. Membuat ke dua orang tuanya sedih.

”Jangan, Run. Ini harta Emak satu-satunya!” teriak Mak Ijah tiba-tiba. Harun mencopot paksa cincin yang dikenakan Mak Ijah. Hal itu dia lakukan karena tidak memiliki uang sepeser pun untuk ongkos kembali ke kota. Tidak cukup itu, Harun mendorong laki-laki tua yang hendak menghalanginya mencopot paksa cincin Emaknya. Tak ayal darah segar ke luar dari pelipis Pak Joyo akibat terbentur meja ketika jatuh.

Hoalaah! Apa yang kamu lakukan, Nak. Teganya kamu berbuat ini pada kami. Ingat, Run. Becek ketitek, olo ketoro.” ujar Mak Ijah sambil terisak-isak.

Rupanya tekanan ekonomi dan kemiskinan membuatnya nekat, sehingga tega berbuat apa saja. Harun tidak berpikir bahwa perbuatan keliru yang dia lakukan, akan semakin mempersulit keadaan. Beberapa saat kemudian karena panik melihat keadaan Bapaknya, Harun lari tunggang langgang dan apesnya sebuah mobil menabrak Harun saat menyeberang jalan. Tubuhnya terpental sejauh 5meter.

Selesai.

Rabu, 04 Desember 2013

Catatan kecilku

Diposting oleh Rumah Kopi di 18.05 0 komentar
Dear Lalaland...
Ada satu pelajaran bau yang telah ku terima. Apa kau tahu? Bahwa suatu institusi bisa tercemar karena ulah kita sendiri. Hahhh! Jengah!
Semenjak awal kita kenal sampai sekarang yang sudah tidak ada lagi komunikasi, satu hal yang tak pernah kudapatkan darimu! KEPERCAYAAN!! Entah, apa yang membuatmu begitu. Apakah kamu adalah type manusia yang miskin kepercayaan atau diriku dan tingkah lakuku yang membuatmu begitu?
Anggap saja aku yang menjadi penyebabnya! Lantas di mana letak salahku. Oh, mungkin kamu bingung mengartikan bahasa tubuh dan bahasa bibirku yang kontra?
Ketika aku bilang lagi kurang enak badan, tapi nyatanya aku selalu ceria dan bergerak aktif seolah tidak terjadi apa-apa dengan tubuhku. Aku ngoceh dengan guyonan segar yang sudah jadi kebiasaanku, aku bergerak kesana kemari bangun kemudian rebahan dan terus bergerak sampai aku ketiduran. Nah, mungkin dari situ kamu berpikir ucapanku hanya omong kosong yang bermaksud menarik simpatimu. Salah! Kau salah besar. Aku... Entahlah, saat bersamamu seperti anak kecil yang digandeng Mamahnya berjalan masuk ke kelas. Kemudian menghambur bersama teman lainnya dengan perasaan nyaman karena merasa Mamahnya selalu menjaganya dari luar. Aku... Ya, sebisa mingkin aku menutupi kegetiran yang aku rasakan saat itu. Napas yang tiba-tiba memburu, sesak, jantung berdebar tak beraturan bahkan menahan sakit kepala yang nyaris mau pecah. Semua luruh saat kau menemaniku saat itu. Namun sayangnya semua itu justru keliru.
Ya, kau menganggapku berpura-pura saja untuk mendapatkan simpatik dan perhatianmu. Ini yang disebut institusi yang tercemar karena ulahku yang sebenarnya hanya mengekspresikan kebahagiaan yang luar biasa saat kau ada.
Hahhhh! Ah, suuudahlah! Semua sudah berlalu, terlepas bagaimana kau menilaiku waktu itu yang penting aku bahagia dan nyaman. Apakah kau merasakan yang sama sepertiku? Dan satu hal lagi yang ingin ku tahu, apakah kau masih mengingatku sampai detik ini?
Setahuku cinta tak bisa berhenti secepat saat aku jatuh hati. Dan bagaimana pun sikapmu sampai kini aku masih menyimpan rasa sayang untukmu. Lebih lagi saat aku sering jatuh sakit seperti akhir-akhir ini.
Taipe, 4 desember 2012

Selasa, 03 Desember 2013

Terlambat Sudah

Diposting oleh Rumah Kopi di 05.19 0 komentar



Oleh



Keyzia Chan


Jika menangis, meratap bisa menyelesaikan masalah, mungkin Anisa Maharani dan semua penghuni bumi ini tak perlu susah payah mencari solusi. Ini bukan dongeng namun cerita nyata anak manusia. Tekanan dan penghinaan yang datang dari keluarga Reyhan, membuatnya bepikir nekat. Dia memutuskan pergi  ke suatu tempat yang jauh, meninggalkan keluarga serta kekasihnya tersebut.

***


”Mamah dan Kakak perempuanku ingin berkenalan denganmu, Ran. Sabtu malam aku akan membawamu bertemu mereka.“ ujar Reyhan lembut. ”Malam minggu ini, nggak ada jadwal pentas nari kan?” lanjut Reyhan meyakinkan.


” Iya, nggak ada jadwal tapi aku belum siap bertemu dengan keluargamu, Rey. Aku takut mereka...” Rani menghentikan ucapannya. Dalam benaknya sejuta kekhawatiran membuncah, bayangan penolakan keluarga kekasihnya itu tiba-tiba menghantui. Gadis berlesung pipit itu menghela napas kasar di depan Reyhan yang sedari tadi menggamiti jemarinya. Rey menatap retina gadisnya dengan tatapan penuh harap. Cowok berwajah oriental tersebut tidak memahami apa yag dirasakan Rani. Jarak di antara ke duanya bagaikan langit dan bumi. Itulah momok besar penghalang hubungan dua sejoli tersebut.


”Ayolah, sayang. Ku mohon, jangan takut karena aku akan selalu ada di sisihmu.” ucap Rey, kemudian dengan lembut cowok itu mencium jemari Rani.




Malam yang mendebarkan itu akhirnya tiba juga. Pukul 19.00 WIB Rey menjemput Rani dengan mengendarai Toyoya Yaris warna hitam. Saat itu juga ke duanya berangkat ke kediaman keluarga Reyhan. Sesampainya di rumah berlantai dua nan mewah itu, mobil yang dikendarai Rey berhenti. Setelah memarkir mobilnya, cowok yang memiliki tinggi 180centi tersebut menggandeng tangan kekasihnya yang dingin dan berkeringat. Meskipun mengenakan blosh on namun pipi chuby Rani terlihat pucat.


Seorang wanita paruh baya nampak berjalan menuruni anak tangga. Sorot matanya tajam, tanpa senyum dia memandangi Rani dari kejauhan. Membuat nyali Rani semakin menciut. Rambut keriting sebahu dengan lipstick merah menyala adalah style yang melekat pada Mamah Rey. Setelah berdiri di hadapan Rani, akhirnya wanita itu tersenyum saat menjabat tangan calon menatunya itu, tentu saja senyum sinis tanda tak suka. Rani menggigit bibirnya kuat-kuat, nampaknya ada makluk lain yang tak kalah mengerikan dibanding Mamahnya Rey. Ya, dia adalah Malinda Indah. Kakak perempuan Rey. Tangan Rani semakin dingin, keringatnya membasahi kening sehingga poni kesayangannya itu nampak lepek. Sesudah semua hidangan selesai disajikn oleh pembantunya, mereka berempat bergegas menuju ruang makan. Tak ada canda tawa dan obrolan hangat menghiasi acara makan malam waktu itu.


”Jadi ini, gadis yang kamu pilih, Rey?” sorot mata Mamah Rey, bagaikan anak panah yang menghujam tepat di jatung Rani si anak seorang janda yang menjadi tukang jahit semenjak Rani bayi.


”Perbedaan antara kalian sungguh terlau jauh. Apa kata teman Mamah dan keluarga kita mengenai calon yang kamu pilih.” ujar Mamah Rey ketus, sambil mengerling ke arah Rani. ” Seorang pangeran Memeilih gadis kampung yang tak jelas asal usulnya.” lanjut Mamah Rey menghina terang-terangan di depan Rani.



***

Meski pun dengan berat hati, akhirnya Rey merelakan Rani untuk hijrah ke luar negeri sebagai perawat di panti jompo. Formosa adalah negara yang ia pilih. 

”Percayalah, Rey. Jarak nggak akan merubah kesetiaan dan cintaku padamu. Justru di sinilah semuanya diuji, jika kita mampu menjalani masa sulit ini maka tak ada lagi jarak di antara hatimu dan hatiku.” ujarnya sambil terisak waktu itu.

Saat ini dirinya sudah tinggal di Formosa. Rani adalah gadis manis yang tidak suka hura-hura. Kesempatan libur dua minggu sekali dia manfaatkan untuk mengasah kemampuannya menari. Tari tradisional lah yang ia kuasai. Gadis berhidung lancip itu sering tampil di acara yang diselenggarakan KDEI. Tak jarang dia didaulat menari di depan para Duta besar untuk memerkan salah satu tari tradisional yang dimiliki negara indonesia. Rani yang piawai menari sejak SD, tak ayal memukau para Dubes maupun para pejabat yang hadir pada event yang diselenggarakan.


Hampir dua tahun berjalan, tapi kelurga Rey masih tidak menyukai bahkan masih saja menolak mentah-mentah menerima Rani menjadi bagian dari anggota keluarga. Suatu hari tanpa sengaja Malinda membaca salah satu tabloit Ibu kota, menulis tentang perjuangan  BMI indonesia.  Bekerja di Taiwan, sekaligus berusaha memperkenalkan seni tari tradisional pada dunia. Dan sering menjuarai event yang diadakan di sana. Orang itu tak lain adalah Anisa Maharani. Dari situlah kesombongan keluarga Reyhan mulai terkikis. Mamah dan Kakak Reyhan sering menanyakan kabar gadis miskin itu pada putranya. Ini merupakan angin segar bagi ke dua sejoli tersebut. Nampaknya usaha Rani tidak sia-sia. Ribuan mil yang ditempuh kini mulai menghasilkan harapan kebahgiaan. Selaian mendapatkan modal finansial, beberapa penghargaan atas prestasinya. Akhirnya Rani memegang tiket untuk masuk ke dalam keluarga tersebut.




Jam menunjukkan pukul 10.45 WIB, namun Rey tak kunjung keluar kamar. Mamahnya nampak khawatir karena Rey belum pernah seperti ini sebelumnya. Wanita paruh baya tersebut bergegas menuju kamar putranya. Nampak sesosok bertubuh kurus meringkuk di dalam kamar mandi, terdapat bercak darah di lantai dan telapak tangan. Reyhan tidak sadarkan diri. Wanita berbadan gemuk itu berteriak memanggil Malinda yang tidak kalah terkejut melihat keadaan menyedihkan itu. Beberapa saat kemudian dengan mobil Ambulance, Rey dibawa menuju rumah sakit harapan kita. 



”Sebelumnya saya atas nama pribadi minta maaf, Bu Rusmi. Mungkin yang saya sampaikan adalah berita kurang baik” ujar dokter itu sesaat setelah memeriksa Rey yang tergeletak di ruang ICCU. ” tabahkan hati anda, Bu. Putra anda terkena liver akut dan prosentasi hidupnya sangat tipis.” ujar dokter itu lirih.


Kabar itu sampai di telinga Rani. Gadis itu! beringsut saat mendengar berita ini dari mamahnya Rey. Tubuh langsing gadis itu gemetaran. Sementara air matanya meleleh membasahi pipi mulusnya. Kembali lagi Rani diuji dan kali ini ujiannya luar biasa dahsyat. Kepalanya terasa berat bagaikan dihantam godem raksasa dan Rani pun terkulai tak sadarkan diri.


***

Kembali lagi hal sulit datang menghampiri Rani, susah payah dia mengajukan pemohonan cuti. Namun setelah mendapat izin, Gadis itu tidak diperkenankan meninggalkan Formosa karena TBC yang ia derita. Setelah menunggu 6bulan masa penyembuhan maka dia boleh meninggalkan Formosa.

Ya, Tuhan. Kuatkan hatiku dan beri kesempatan untuk bertemu dengan dia. Jeritnya dalam hati.

Siang itu Rani kembali mendapat kabar buruk bahwa kondisi Rey memburuk. Seperti menelan timah mendidih, dadanya terasa panas. Kali ini dia bersikeras untuk pulang ke indonesia dan usahanya berhasil karena 6bulan terakhir TBC itu mulai sembuh.


Tunggu aku, Rey. Ku akan pulang, maafkan keegoisanku telah meninggalkanmu pergi sejauh ini, sayang. Ujarnya lirih. Taxi yang ditumpanginya menuju rumah sakit, berjalan bak siput. ”Maklum, bukan Jakarta namanya jika tidak macet, Neng.” kata sopir taxi itu.


Gadis bermbut panjang itu berlari menyusuri koridor rumah sakit, dari kejauhan nampak Mamah dan Kakak Rey saling berpelukan. Rani memelankan langkahnya, dalam hatinya berkecamuk ketakutan yang luar biasa. Ah, tidak mungkin! Reyhan akan menungguku dia pasti baik-baik saja. Ia mencoba meyakinkan dirinya.

" Tante, Kak Linda. Bagaimana keadaan Rey?" tanyanya gelisah. Mamah Reyhan menghambur memeluk Rani dan menumpahkan tangisnya. Rani semakin bingung dibuatnya.

Sesaat kemudian suster keluar mendorong ranjang tempat Rey berbaring. Selimut bertuliskan Rumah Sakit Harapan Kita nampak menutupi seluruh bagian tubuh dari ujung kaki sampai menutup bagian muka lelaki muda yang Rani kasihi.



Gerimis tipis mengiringi pemakaman siang itu. Semua yang hadir kepemakaman Reyhan, sudah pergi meninggalkan tempat itu. Tinggal Rani seorang diri duduk bersimpuh dan memegangi batu nisan. 


"Sudahlah, tak ada yang bisa kamu lakukan di sini." suara itu sontak mengejutkan gadis berkerudung hitam tersebut. 


" Aaaaa... Reyhan...!" teriaknya, kembali terkejut melihat sesosok yang dia cintai berdiri di depannya. Rani berjalan mundur ketakutan. Sambil tersenyum cowok tampan itu mengulurkan tangan seraya berkata " Jangan takut, aku bukan hantu. Perkenalkan namaku Revan, saudara kembar Reyhan yang diasuh Om dan Tante sejak bayi." 

Kehadiran Revan sangat berarti untuk memulihkan semangat Rani. Di awal tahun mereka memutuskan menikah setelah 2tahun menjalin kasih.



Selesai



Minggu, 01 Desember 2013

Afraid

Diposting oleh Rumah Kopi di 23.27 0 komentar

Aku hanya ingin memeluk siapa saja yang ada di sampingku dan menumpahkan seluruh air mataku yang tersimpan lama sekali. Benar, ini seperti magma yang akhirnya keluar dari hati. Seharusnya aku tidak boleh menangis tapi aku tidak bisa lagi berpura-pura menyembunyikan rada sakit ini.

Apa? Tidak! Aku tak akan menghubungi Bunda di rumah. Pasti darah tingginya kambuh jika aku meraung-raung seperti ini. Biarlah malam ini kamarku basah, bahkan banjir dan menenggelamkanku. Yah! Aku tenggelam oleh genangan air mata. Aku tak mau membebani siapa pun karena ternyata masing-masing orang memiliki masalah yang tak kalah berat dariku.

Kau akan baik-baik saja key! Setidaknya pikirkan saja begitu. Coba ambil wudlu dan shalatlah supaya hatimu tenang. Bukankah air matamu tadi pagi sudh berhasil menaikkan suhu badanmu? Lantas jika kau meraung seperti ini, apa yang akan terjadi besok?
Tentu kau masih ingin bekerja tanpa tersiksa rasa sakit dan muntah besokk

Ya Allah lindungi dan jaga key

Tenang key tennnaaaaaaaaanggggg kau akan baik saja! Kau hebat kau tak perlu mencari siapapun untuk menjadi pelampiasanmu, Tuhanlah yang bisa menolongmu key

Catatan Kecil Awal Desember

Diposting oleh Rumah Kopi di 21.52 0 komentar

Hy Lalaland, apa kabar?

Embusan angin di musim dingin membuatku sering menggigil. Padahal berlapis baju serta jaket sudah membalut badanku. Aku yang masih muda saja sampa berkali-kali ambruk, lantas bagaimana dengan lelaki tua itu? Lelaki yang aku temui kemarin lusa di perempatan dekat 7-11. Kakek berudia 75tahun yang tak punya gigi, menunggui gerobak reotnya dengan beberapa lonjor tebu serta beberapa butir jeruk di atasnya. Wajah lusuhnya dipenuhi lipatan di sana-sini, tubuhnya tak mampu berdiri tegak. Mungkin tulangnya lapuk dimakan usia atau dia memang punya penyakit osteoporosis. Entahlah! Jika aku amati lebih dalam sepertinya dia tak pernah cukup makan, selain membungkuk dia tetlihat kurus. Sungguh aku iba melihatnya. Bajunya lusuh, apalagi dia hanya beralaskan sendal jepit yang tipis. Mungkin dia juga kedinginan? Bahkan pasti lebih dingin dariku. Yang membuat aku semakin miris manakala aku ingat tumpukan sepatuku yang sekoper gede itu. Tumpukan pakaianku yang bahkan aku tak ingat kapan belinya? Huft, semakin jengkel karena di dalam almari tak juga kutemukaan jaket yang bisa dipakai Kakek itu. Apa lagi sepatu?
Maafkan aku ya, Pak Tua. Aku hanya bisa membelikanmu makan siang dan mengalungkan syal di lehermu, yang kemarin aku beli. Do’aku kau sehat selalu karena aku tau itulah modal satu-satunya bagimu, untuk bertahan hidup di dunia ini.

***

Kemarin berkoar-koar untuk berhati-hati di musim dingin. Ah! Ternyata aku malah sudah berkali-kali tumbang karenanya. Huaaaaaaa! Gimana bisa jadi perawat yang hebat kalau diri sendiri kedodoran. Paling tidak aku bisa merasakan lega setiap mampu melewati satu masa sulit.
Oh, tidak! Bahkan aku pernah hampir meregang nyawa dalm keadaan sendiri meringkuk di atas kasur yang tipis ini. Bersyukurlah, Key! Masih ada, bahkan lebih banyak yang lebih tidak beruntung darimu. Kamu masih lebih enak dengan apa yang ada pada dirimu. Tengoklah sekelilingmu yang kesulitan secara ekonomi, dan lain sebagainya.
Semangat key, kamu tidak harus meratapi dirimu. Bukankah tahu, semua itu justru akan membuatmu sakit untuk yang ke dua kalinya, sakit jiwa serta raga.
Jika menangis bisa mengurangi beban dan meratap adalah solusi dari sebuah masalah, maka semua orang akan menangis dan meratap. Ini konsekuensi yang pasti sudah harus kamu.pertimbangkan jauh hari sebelum kamu menginjakkan kaki di sini.

Kenapa aku menangis dan iba terhadap nasip orang lain? Dan berpikir aku tidak boleh berpangku tangan! Perasaanku begitu sensitif dan jika bisa, aku ingin menolong semua orang yang membutuhkanku supaya sisa waktuku berguna.
Biarlah jika mereka yang dulu memanfatkan kenaifanku, mungkin memang jaannya begitiu agar aku bisa begini.

Yang jelas aku banyak bertemu orang hebat akhir-akhir ini! Orang hebat yang merangkulku dan menguatkan tanpa memandang siapa dan apa yang ada di diriku. Sayang sekali, semua datang di saat segalanya sudah sampai di penghujung. Ah, sudahlah! Semua adalah rahasia dan kuasa Tuhan untuk membuka hati dan jalan pikiranku agar  bersyukur atas apa yang terjadi di diriku

Kau bukan santa clause yang membagikan permen dan coklat pada semua orang supaya bisa ikut mengecap manisnya. Kau tidak lebih dari lilin yang berusaha menyinari sekitar sehingga diri sendiri meleleh. Setidaknya berdo’alah agar mereka diberi kekuatan dan mampu menjalani semua ini dengan baik. Termasuk juga kamu.

Kau cukup bersyukur dan bahagia karena tawa Bunda di rumah selalu menjadi penyemangatmu, Key. Bunda, Anakmu akan selalu baik-baik saja, dan kau akan bangga pada gadismu ini!


 

Rumah Kopi Copyright © 2010 Design by Ipietoon Blogger Template Graphic from Enakei | web hosting