Selasa, 09 Desember 2014

Winter In Taipe

Diposting oleh Rumah Kopi di 07.22 0 komentar

Hai, Lalaland. Selamat pagi. Sudah sarapan? Emmm ...! Apa rencanamu pagi ini sampai sore nanti.

Aku kasitahukan padamu, ya. Jadwalku cukup padat hari ini. Bisa jadi, aku tidak memiliki waktu istirahat. Apalagi telponan santai. Tetapi, bagiku tidak masalah. Sebab kautahu, dalam tujuh hari yang kaulalui akan ada satu atau dua di antaranya, hari itu membuatmu senewen. Aha! Pastikan lima hari lainnya terasa menyenangkan. Semangat!

Lalaland, terkadang manusia sering menyakiti dirinya sendiri. Dengan atau tanpa sadar. Misalkan saja, berpikir yang tidak-tidak terhadap sesuatu. Contohnya nih, kemarin aku pikir ada yang berubah setelah pertemuan hari minggu. Nyatanya aku salah besar. Mase tetap saja seperti yang selama ini aku kenal. Hangat. Pengertian. Perhatian. Walaupun galak sih! Hee ... Kautahu kan, Lalalalnd? Segala hal tidak mungkin berdiri sendiri. Ada hukum sebab akibat. Begitu pula sikap seseorang. Seharian Mase banyak diam. Ternyata dia sedang kurang enak badan. Mungkin darah rendahnya kumat. Atau apalah? Yang jelas bukan karenaku.

Eh, Lalaland! Aku dulu, seharusnya jadi itu apa namanya? Emmm... Detektiv. Ya! Ya! Selain detail menganalisa sesuatu, aku suka mempelajari karakter seseorang lewat caranya berinteraksi. Ih, apakah aku berlebihan? Kurasa wajar ya. Aku ingin mendewasakan diriku. Piawai membawa diri dan bersikap di depan khalayak umum.

Jadi begini, kemarin aku membaca obrolan seseorang. Lelaki dan perempuan. Tentu saja tidak ada yang istimewa. Namun dapat kutarik pemahaman, bahwa bercanda itu juga ada teorinya. Setidaknya, kenali lawan bicaramu. Di mana tempatmu berinteraksi. Lalu guyonan apa yang pantas dilontarkan. Ya, dengan begitu kau tidak akan terlihat tolol karenanya. Karena sikapmu sendiri tadi. Sederhana memang. Bisa jadi tidak banyak orang yang mempermasalahkan hal ini. Tetapi bagiku, dengan menjadikan diri sendiri pribadi yang sopan, maka otomatis orang lain menghargaiku.

Tidak perlu contoh untuk bergerak. Bergeraklah supaya menjadi contoh.

Taipe, 9 Desember 2014

Senin, 08 Desember 2014

Desember Rain

Diposting oleh Rumah Kopi di 14.21 0 komentar

Hai, Lalaland! Ketemu lagi di musim dingin. Oh iya, ada banyak hal yang ingin kuceritakan padamu. Banyak sekali, kautahu! Sebelumnya, aku akan menceritakan suasana kotaku siang ini. Matahari bersembunyi di balik awan. Tentu saja begitu, sebab sedari pagi gerimis tipis mengungkung kota. Musim dingin yang lengkap. Kotaku muram. Semoga hatimu dan hatiku tidak begitu.

Lalaland, di awal bulan november, tepatnya tanggal 7 hubungan yang telah aku jalin setahun ini kandas. Banyak hal yang menjadi pemicu. Kurasa semuanya tidak perlu dibahas. Saat ini yang terpenting adalah bagaimana bertahan lalu bangkit dari keterpurukan. Luka ini terjadi di hatiku. Sudah jelas, hanya aku yang bisa mengobatinya.

Awalnya aku tidak mampu berpikir jernih. Sejak kejadian itu air mata berderai-derai, kautahu? Dan itu adalah gambaran perasaanku yang tengah terluka. Dalam sekali. Ah, mungkin juga tidak terlalu dalam.

Tuhan telah mengambil seseorang yang datang padaku tanpa kuundang. Lalu, atas kuasaNya seseorang itu pergi. Dia tidak menyakitiku. Kami memang tidak bia menyatu. Dan aku terus merangkak naik kepermukaan setelah air mata yang tertumpah, hampir saja menenggelamkan diriku.

Aku mencari makna atas apa yang sebenarnya terjadi? Hal buruk apa yang akan menimpa ketika memaksa bersama? Kebahagiaan seperti apa yang akan menghampiri ketika aku berani melepas rasa sakit yang membelitku! Ya, tentu saja aku sakit sebab aku terlalu banyak berharap. Mimpiku terlalu jauh. Dan ketika semua musnah, aku hampir saja linglung.

Lalaland, Tuhan selalu baik. Ketika Dia mengambil seseorang itu, segera Dia menggantikannya dengan orang baru. Tentu saja dia tak kalah hebat dengan orang yang telah keluar dari hatiku. Bahkan lebih hebat. Kemarin, tepat pasca satu bulan aku berpisah dengan mantan kekasih itu, kami bertemu. Maksudku aku bertemu dengan Mase. Sebut saja begitu.

Dia bukan sosok sederhana. Dia pribadi yang emm ... Sulit dijelaskan. Aku rasa, dia sangat menikmati hidupnya. Seleranya tinggi. Wawasan dan pengalamannya luas. Usianya terpaut beberapa tahun diatasku. Dia humoris. Kadang bercandanya membuatku kesal. Tetap saja itu menenangkan. Dihadapannya, sungguh aku tidak memiliki kesempatan untuk merajuk. Marah. Lebay. Dia mampu membuatku takluk. Dalam artian, sekali dia berucap aku lekas mematuhinya. Dia seseorang yang sangat perhatian. Pengertian. Tapi, moody. Oh, tidak! Ini PR terberat yang harus aku selesaikan. Aku juga moody. Dan bagaimana jadinya jika kami berdua berada dalam titik itu.

Ayolah! Jalani saja dulu. Kali ini aku tidak berani berharap banyak. Biarkan saja semuanya mengalir seperti air yang pasti akan bermuara nantinya. Aku tidak mampu membatasi seberapa besarkah aku menaruh hati padanya? Tetapi aku harus bisa mengedalikan sikapku yang tidak perlu selalu tergantung padanya.

Aku harus terus bersemangat! Aku harus bahagia dengan atau tanpa seseorang yang spesial. Jodoh itu sudah diatur. Dan usahaku mendekatkan diri denganNya dengan Mase, bukankah itu suatu bentuk usaha menjemput jodoh?

Laland, perjalananku masih panjang. Menyelesaikan kuliah. Membahagiakan orangtua. Menabung. Sementara tujuan hidupku hanya itu. Tentang pendampingku kelak, aku pasrahkan pada Dzat Yang Maha membolak balikkan hati.

Saat ini sementara seperti ini saja dulu. Aku tidak mau terjatuh terlalu dalam. Saat ini biarkan saja semua seperti ini karena hatiku juga butuh istirahat. Eh, apakah ini perasaanku saja atau memang beginilah yang terjadi? Kurasa setelah pertemuan kemarin, Mase berubah. Ah! Tidak! Aku terlalu sensitif. Sikapnya bukankah sama seperti biasa? Emmm .... Tetapi, biasanya dia hangat memanggilku ‘sayang’! Kenapa hari ini sama sekali tidak kudengar panggilan itu?

Oh, semoga ini hanya perasaanku saja. Semoga dia tidak berubah. Sama seperti yang kukenal dulu. Semoga.

Taipe, 8 Desember 2014

Senin, 24 November 2014

Belajar Menulis Cerpen

Diposting oleh Rumah Kopi di 13.19 0 komentar


                                                   MIE KUAH AJAIB                                                   
                                                             Oleh
                                                       Keyzia Chan

     Menangis sampai bola mataku keluar sekalipun tidak akan mengubah keadaan. Yang ada dalam pikiranku saat ini, dari mana aku bisa mendapatkan uang 79 juta dalam kurun waktu sehari semalam? Aku sudah berusaha menghubungi segenap kerabat yang ada. Hasilnya nihil. Sambil mengusap air mata, kupandangi selembar kertas yang diberikan suster sore tadi.
                                                                         *
     “Pencuri! Kembalikan obat-obatan itu!” Teriakan yang semula terdengar samar-samar tersebut kian jelas, kini. Ayah menghentikan aktivitasnya. Sekonyong berjalan ke luar dari kedai mie, siang itu. Aku mengekor ayah yang berpawakan kurus tersebut. Dari jarak yang tidak jauh tempatku berdiri, nampak bocah laki-laki dengan kepala pelontos berjalan mundur—keluar dari apotik. Di tangan bocah yang usianya terpaut beberapa tahun di atasku tersebut, terdapat sebotol obat serta beberapa lembar pil yang akan ia bawa begitu saja tanpa menukarnya dengan sejumlah uang. Wanita pemilik apotik terus menceracau. Tak ketinggalan tangannya menjorok-jorokkan kepala bocah sesaat setelah mengambil paksa barang dagangannya yang hampir berpindah tangan. 
     “Tunggu dulu!” teriak Ayah mencoba melerai. Raut muka ibu berambut keriting tersebut nampak berang. Sementara bocah itu terus menekuk wajahnya. Dari informasi yang disampaikan bocah itu, ayah mengetahui bahwa ibu si bocah sedang sakit. Tanpa bicara banyak, ayah merogoh kantong celananya. Mengeluarkan beberapa lembar uang. Tentu saja beliau berniat membayar sejumlah obat itu.
     “Sayang, bawakan sebungkus mie kuah kemari. Cepat!” perintah ayah.
     Mulutku sedikit maju. Jelas aku kesal. Sudah tahu bocah itu berniat mencuri, ayah memperlakukaannya dengan baik. Entahlah! Aku tidak tahu apa yang ada dalam pikiran ayah waktu itu. Bagiku pencuri tetaplah pencuri apapun alasannya kejahatan tidak bisa dibiarkan begitu saja. Tetapi, apa yang bisa aku lakukan? Tentu saja aku tak berani menentang beliau. 
     Ayah memasukkan obat-obatan tersebut ke dalam kantong plastic yang terdapat sebungkus mie kuah di dalamnya. Detik berikutnya, bocah itu mengangkat wajahnya. Menatap ayahku lekat-lekat. Setelah menyambar barang yang diberikan padanya—ia lari tunggang langgang tanpa mengucapkan terima kasih. Aku semakin kesal melihatnya. Ayah merangkulku. Kami berdua berjalan beriringan kembali melanjutkan aktivitas siang itu.
                                                                           *  
    Matahari bersinar terik. Lalu lalang kendaraan, serta pejalan kaki yang melintas di depan kedai mie menimbulkan suara gaduh. Sesekali ayah terlihat mengusap peluh yang sedari tadi menetes—menggunakan handuk kecil yang menggantung di lehernya. Kedai mie yang dirilis ayah sejak beberapa puluh tahun lalu memang berada di tengah pasar. Tak ayal tempat kami senantiasa ramai pembeli. 
      “Ayah!” Aku memanggil beliau setengah berteriak sedetik setelah mataku memelototi siapa yang datang ke kedai kami siang itu. Ya, siang kesekian kalinya setelah kejadian beberapa waktu silam. Tahun demi tahun terus berlalu. Aku beranjak dewasa. Rambut ayahku kini sudah dipenuhi uban. Tubuh kurusnya semakin ringkih saja. Segala hal telah berubah. Tetapi kebiasaan baik ayah tidak pernah berganti. 
     “Ini makan siangmu. Pergilah!” ujar ayah pada pengemis yang bertandang ke kedai kami. Di sela-sela kesibukannya melayani pembeli, ayah yang berkulit coklat tua tersebut masih saja memedulikan pengunjung yang seperti itu. Tentu saja makanan tersebut, ayah berikan secara cuma-cuma. Aku sempat berpikir, mungkin hal inilah yang membuat usaha milik keluarga tidak pernah berkembang. Dalam benakku terbersit jawaban penyebab ibu meninggalkan kami sejak aku masih kecil. Bagi ayah, yang terpenting kami tidak kekurangan makan. Sedangkan berbagi dengan orang yang membutuhkan merupakan bagian hidup yang tidak boleh ditinggalkan. Mungkin saja waktu itu, ibu menganggap ayah berlebihan. Mengingat kondisi keuangan keluarga hanya pas-pasan.
     Aku melanjutkan aktivitas. Kuhela napas kasar sambil mencuci piring serta gelas kotor yang ada di hadapanku. Bunyi gedebum diikuti suara benda-benda yang berjatuhan  membuat perhatianku beralih, cepat. Detik itu juga kupalingkan wajah ke arah sumber suara. Mulutku terbuka lebar. Mataku terbelalak. Kulempar sembarang benda yang aku pegang tadi. Gegas aku mengampiri ayah yang tengah terkapar di lantai.
                                                                                                                                               
     Sesampainya di rumah sakit, dokter yang menangani kasus ayah menyampaikan bahwa kondisi beliau kritis. Harus segera dilakukan operasi. Aku menuruti apa yang dokter sampaikan kendati tidak memiliki sejumlah uang untuk biaya operasi yang tentu saja jumlahnya cukup besar. Yang ada dalam hati, aku harus melakukan sesuatu yang terbaik untuk ayah. Sesaat setelah selesai membahas hal tersebut, dokter kembali bertandang ke ruangan di mana ayah di rawat. Dokter tersebut seperti berusaha mengingat sesuatu ketika sorot matanya menelusup ke wajah yang tengah tak sadarkan diri tersebut.
     Aku satu-satunya keluarga yang ayah miliki. Sehingga dapt dipastikan tidak ada seseorang pun yang bisa kuajak berbicara mengenai perihal yang terjadi pada beliau. Ditengah kemelut yang sedang menyelimutiku, saat aku dipaksa memikirkan masalah beserta solusinya dalam jeda waktu 24 jam, waktu menatap tubuh ayah yang terbaring tak sadarkan diri dengan belalai infuse di sebelahnya, serta alat bantu pernapasan yang bertengger di  sebagian wajah beliau—tidak ada pilihan lain aku harus menjual rumah kami secepatnya. Rumah sekaligus kedai mie milik keluarga.
     Bangsal rumah sakit nampak sepi ketika kakiku melangkah meninggalkan ruangan di mana ayah di rawat. Terlihat beberapa suster yang bertugas jaga malam, tengah sibuk keluar-masuk kamar pasien. Malam kian tua. Aku memutuskan untuk pulang mempersiapkan sertifikat rumah. Tak ada kendaraan umum yang beroperasi di malam hari selain tukang ojek dan becak. Lagi pula tidak tersisa sepeser uang pun, maka aku putuskan untuk berjalan kaki. Jarak antara rumah sakit dengan tempat tinggalku, lumayan jauh. Dan di antaranya terdapat bulak yang konon rawan terjadi tindak kriminal di sana. Aku sudah tidak peduli apapun kecuali melakukan sesuatu demi kelangsungan hidup ayah.
                                                                               *
     Hampir lima jam segenap tim dokter tengah berjuang menyelamatkan nyawa ayah, malam itu. Aku terus mondar-mandir menungguinya di luar. Mulutku komat-kamit merapal doa. Doa supaya nyawa ayah tertolong. Doa supaya rumah kami segera terjual. Keringat dingin membanjiri tubuhku. Sementara air mataku seperti tak pernah kehabisan stok. Terus dan terus mengucur deras. Degub jantungku kian tak beraturan. Kuremas jemariku yang juga berkeingat. Sesekali menggigitnya untuk mengalihkan rasa gelisah yang hampir tidak dapat kukuasai.
     Tak kurang dari tujuh jam, peralatan medis menjelajah bagian tubuh ayah yang dibedah. Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, operasi itu berhasil. Ayah masih tidak sadarkan diri. Namun, masa kritisnya sudah lewat. Kubenamkan wajahku di samping ayah berbaring. Jiwa serta ragaku lelah. Doa terus kurapal karena bagaimanapun rumah belum terjual. 
     Tak tanggung-tanggung pagi itu sinar mentari begitu semangat memamerkan pesona kehangatannya. Aku yang terlelap di samping ayah, terjaga oleh getaran HP yang kutaruh di di sebelah. Satu pesan masuk tertulis di layarnya. Ck. Kuhela napas berat. Sms itu mengabarkan bahwa orang yang kemarin menawar rumah kami, mengurungkan niatnya. Tubuhku lemas seketika.
     Aku menaruh HP  itu. Mengusap wajah dengan ke dua tangan. Tunggu dulu. Kata hatiku sesaat setelah mendapati keberadaan selembar kertas. Ya, di sebelah ayah berbaring, terdapat secarik kertas. Aku gegas menyambarnya. Di atasnya tertulis seluruh biaya operasi serta perawatan ayah, lunas. Adalah dokter yang bertanggung jawab menangani kasus ayah tersebut, orang yang berbaik hati menanggung segala urusan kami. Di atas surat itu juga tertulis, segenap ucapan terima kasih atas kebaikan yang telah ayah lakukan 30 tahun silam. Tentang sejumlah obat-obtan serta sebungkus mie kuah yang pernah diberikan padanya. 
     Aku baru menyadari bahwa hidup adalah serangkaian sebab akibat yang terus berkesinambungan. Mie kuah yang ayah berikan secara cuma-cuma pada siapa pun yang tidak mampu membeli, memang ajaib. Di sana terselip doa yang baik bagi pemberinya yang tidak pernah mengharap apa-apa. Tak terkecuali ucapan terima kasih.
                                                                     Selesai 
    

Minggu, 23 November 2014

Diposting oleh Rumah Kopi di 11.09 0 komentar
                                       KITA

Kita adalah bara api yang sama-sama memiliki kekuatan besar untuk saling menghanguskan. Karaktermu begitu kuat. Sedangkan mungkin daya tarik yang ada padaku (bukan fisik) mampu mengikatmu lama bertahan. 

Kita saling …. Ah! Kurasa kita tidak saling mencintai. Hanya pernah jatuh hati saat awal bertemu. Kau begitu menggebu-gebu. Dan aku sempat risih atas perilakumu itu. Aku bukannya menyombongkan diri tetapi aku mengenali diriku. Aku tahu ada benteng yang menjulang tinggi—kau tidak mampu memanjatnya, menurutku. Maka dari itu aku meragu. Membatasi diriku. Dan ternyata kau memang memiliki karakter begitu kuat terus meringsek merobohkan pertahananku.
Sialnya ketika kau sampai pada puncak tertinggi dan mendapatkan hatiku seluruhnya, justru kau sudah kehabisan tenaga. Kau yang dulu aku kagumi pergi entah kemana? Perlahan aku hanya mendapati ruang kosong. Gelap. Pengap. Kau yang dulu penuh warna dan selalu hadir dengan kesejukan itu lesap. Lenyap. Bisa jadi hal tersebut aku yang menyebabkanny. Entah?! Aku seperti setan kelaparan mencari-cari sumber kehidupan tetapi benar-hbenar tak kudapati darimu. Kau sudah lebih dulu mati. Mati. Mati. Hatimu mati.

Kau tersiksa dan aku terluka. Kita sudah lama tidak saling cinta, namun kita memaksa bertahan. Bukan demi sesuatu tetapi mungkin saja menyayangkan kebersamaan yang telah kita lewati selama setahun ini hilang begitu saja.
Kau dan aku tidak bahagia. Kau berusa namun upayamu tidak diikuti niat yang sungguh. Maka yang ada sehari kita adem ayem—enam hari kita berantem. Dan apa kau lupa dari dulu aku memang type orang yang tidak menyukai keramaian. Dunia kita berbeda.

Aku merindukanmu yang dulu. Aku terus berusaha bertahan dan mencoba menemukan. Kautahu itu menyakitkan. Aku lelah. Lagi pula kautidak pernah benar-benar memahamiku. Aku tidak menyalahkanmu. Yang aku tahu kau type orang “malas” ribet—tentu saja itu wajar. Hidupmu seperti jarum jam yang bergerak dengan tempo sama pada tempat yang sama pula. Kau bilang bosan dengan keadaan. Kau saja bosan dengan keadaanmu bagaimana dengan orang-orang di sekitarmu, aku? Kau sendiri tidak beritikad keluar dari lingkaran itu. Maka dari situ aku turut lelah bersamamu. Usahaku kau abaikan. Niatku tidak kau hiraukan. Kau menuntut untuk dimengerti tanpa memahami apa yang dibutuhkan untuk mempertahankan hubungan ini. 

Berakhirlah jika memang jalannya begini. Aku mengiklaskan atas apa yang terjadi di antara kita. Aku memaafkan atas perlakuan burukmu terhadapku. Begitu pula maafkan atas kesalahanku. 


Rabu, 22 Oktober 2014

Great Day

Diposting oleh Rumah Kopi di 09.15 0 komentar

Selamat pagi, Lalaland? Masih semangat ’kan?

Hari ke 22 di bulan oktober. Waktu berjalan begitu cepat, ya? Tak terasa sebentar lagi kita sampai.dipenghujung tahun?

Apa yang sudah kamu peroleh dari perjalanan selama hampir sepuluh bulan terakhir, Lalaland?

Kalau aku, sih! Emm ... Banyak catatan pekerjaan yang belum terselesaikan. Entah kenapa ada saja penyebabnya perihal alasan mengapa aku mengulur hal itu. Terkadang aktuvitas kerja menyita seluruh perhatianku. Tak jarang badan juga drop. Apa itu hanya kamuflase dari rasa malas yang membudaya?

Lalaland, untuk menjalani hidup bahagia itu kuncinya hanya satu. Fleksible. Lentur. Lentur di sini bukan berarti lembek yang mudah terombang-ambing alias tidak memiliki prinsip. Lentur versiku itu adalah bagaimana manusia mengikuti alunan kehidupan itu sendiri. Misal, ketika kita benar-benar mengharapkan sesuatu [A] namun nyatanya yang diperoleh justru [Z] yah, terima saja. Berpikir yang baik. Bahwa itulah yang terbaik.

Bukannya tidak mau berusaha! Bukankah pengharapan itu di dalamnya ada tindakan atas suatu keinginan?! Jadi ’lentur’ tidak boleh dianggap menyerah. Tetapi lebih dari penerimaan atas apa yang.didapat. Ketika bersikeras mempertahankan keinginan yang mungkin saja tidak bisa diperoleh hal itu justru menimbukan penyakit galau. Sedikit berharap, sedikit resiko patah semangat.

Mengenai pandangan orang terhadapmu, janganlah hal itu menjadi beban. Kita tidak perlu berpura-pura bisa kalau sejatinya memang belum mampu. Kita tidak harus sibuk menyapa mereka satu persatu hanya agar diakui bahwa kita ini bukan maklhuk sombong. Biarkan saja oponi terbentuk beraneka ragam. Tetap menjadi diri sendiri saja. Itulah hal terbesar yang harus selalu ada.

Dunia tak perlu tahu saat aku jatuh. Ketika aku sekarat. Atau semacamnya. Dunia hatus tahu bahwa aku begitu bahagia dengan kehidupanku.

Taipe, 22 Oktober 2014

Selasa, 21 Oktober 2014

Cerita Malam

Diposting oleh Rumah Kopi di 22.42 0 komentar

Hai, Lalaland ....

Malam ini seperti biasanya aku mengikuti kelas dengan ngantuk. Pelajarannya nggak masuk ke otak. :D

Yang ini kalau ketahuan dosennya, aku pasti kena gampar. Tapi karena tidak ada rahasia di antara kita, aku kasih tahukan ke padamu, ya! Kalau dosen menjelaskan materi itu rasanya kayak dininabobokkan, deh! Hihi

Oh, iya Lalaland ... Kamu sedang sibuk apa sekarang? Lalu, bagaimana dengan teman-temanmu? Masihkah mereka seakrab dulu?

Kalau aku, ya! Seperti biasa. Sibuk kerja dan belajar. Wah! Hal itu terdengar keren sekali, pasti. Bisa membagi waktu antara kewajiban bekerja dengan tuntutan kuliah. Yang tak kalah kerennya lagi, nih ..., disempatin untuk tetap menulis. Itu sih, hobby yang sudah mendarah daging. Suka.

Yang paling menyedihkan dari itu semua, aku melakukannya dengan setengah hati. Ya, semuanya tak terkecuali. Sehingga kautahu sendirilah! Hasilnya nggak memuaskan. Pelajaran meskipun beberapa kali tugas mendapat nilai yang bagus, tetapi tak satu pun materi yang terserap di otak. Hah! Ya, benar. Aku payah!

Lalaland, dalam hidup itu kita tidak perlu menguasai.satu bidang tertentu. Menjadi ahlinya. Tidak perlu.

Kurasa tidak usah begitu. Mending mencoba mengerjakan atau mempelajari banyak hal supaya jika satu roboh-satunya bisa menopang. Menjadi orang yang serba bisa itu kan keren.

Taipe, 21 Oktober 2014

Kamis, 09 Oktober 2014

ARTI SAHABAT

Diposting oleh Rumah Kopi di 13.17 0 komentar
ARTI SAHABAT

Oleh Keyzia Chan

Aku pernah dijukuki bunglon, tapi aku tidak merasa sedih atau semacamnya. Bukannya sok polos! Entahlah, yang jelas aku enjoy saja dengan julukan itu. Mereka pikir itu lelucon yang jika digunjingkan berjamaah, bisa mendatangkan gelak tawa nan meriah. Bagiku julukan tersebut justru mempertegas seberapa besar ketulusan yang aku miliki. Demi menciptakan pelangi di hari-harimu.


Waktu itu, kupecahkan celengan jago yang belum lama aku beli dari pasar loak. Bisa kaubayangkan bahwa berat benda tersebut belum bertambah dengan seberapa? Aku tidak peduli itu. Setelah celengan kubanting, tentu saja pecahannya beserta kepingan uang logam berserakan di lantai. Ibu yang mendengar suara gaduh dari kamarku, lekas menghambur menghampiri. 
Kepalanya menyembul di balik pintu seraya bertanya penasaran, ”Apa yang akan kaulakukan dengan uang itu, Nak?”

“Aku akan menggunakannya untuk hal penting, Ibu.”

”Tentu saja Ibu tahu itu. Tetapi, adakah hal luar biasa hendak kaubeli dengan tabungan yang masih sedikit itu? Kenapa kau tak menyampaikan pada ibu, perihal keinginanmu itu!”

Aku berhenti memunguti uang logam tersebut. Setelah menghela napas lemah, kusampaikan niatku pada ibu, “Uang ini bukan untuk membeli sesuatu yang aku inginkan. Lebih dari itu. Aku sangat membutuhkannya. Demi seseorang yang jika tanpa kehadiranku, setiap detik di hidupnya akan terasa hampa.“ Saat aku menatap wajah ayunya, kedua alis ibu saling bertaut. Pastilah ibu menduga, bahwa putrinya sedang jatuh cinta.


“Ibu, tahukah engkau di mana aku bisa membeli sekotak senyum?” Mata ibu membola. Satu detik, dua detik, dan hingga detik kesekian ia terdiam.
”Ayolah, aku sangat membutuhkannya. Sekali lagi, demi seseorang yang sangat penting,” ujarku merajuk. Melihat ekspresi ibu yang datar, segera kukibaskan tangan kananku lalu berkata, ”Aih ... Janganlah Ibu bersedih karena tak ada yang mampu menggeser ke dudukanmu di hatiku. I love you, Ibu.” Aku pun terkekeh di akhir kalimat itu.


Ibu melangkah pelan kemudian duduk di tepi ranjang. Rasa penasaran tersirat di raut wajahnya.
“Kemarilah, Nak,” perintahnya sambil menepuk-nepuk tepi ranjang di sebelahnya.

”Kautidak bisa membeli senyum. Bukan karena jumlah uangmu yang sedikit itu. 

Tetapi, di dunia ini tak seorang pun mampu membelinya. Senyum itu memperkaya mereka yang menerimanya. Dia terjadi begitu cepat namun kenangan tentangnya kadang-kadang bisa bertahan selamanya. Tidak seorang pun meski kaya, bisa bertahan tanpa dia. Dia memberi istirahat untuk rasa lelah, sinar terang untuk rasa putus asa. Sinar mentari bagi kesedihan dan penangkal alam bagi kesulitan.”

”Lantas, di mana aku bisa membelinya, Ibu. Lekas katakan ....”

”Yang harus kautahu, Nak ..., senyum itu tidak bisa dibeli, dimohon, dipinjam, atau dicuri karena dia adalah sesuatu yang tidak berguna sebelum diberikan pada orang lain.”

Mendengar penjelasan itu, aku tertunduk lesu. Bagaimana ini? Semangatku tiba-tiba lenyap. Oh, ibu! Adakah yang bisa kulakukan demi seulas senyum ceria untuknya. Demi yang selalu menyebutku bunglon itu. Bisikku lirih.
Terkadang, di depan sahabat manusia tidak memiliki warna spesifik. Bukan! Bukan karena plin-plan. Bukan pula karena tidak memiliki karakter kuat sehingga tidak mampu mempengaruhi. Aku tidak memiliki satu warna saja. Tetapi lebih dari itu, tentu saja padaku ada sejuta warna. 

Sahabat, demi dirimu aku bisa menjadi apa saja. Aku menangis saat kauterluka. Aku bahagia ketika kaubahagia. Aku tidak pandai berjanji, layaknya mentari yang selalu muncul di ufuk timur setiap paginya. Hanya saja, selama kaumasih membutuhkan diriku, aku akan hadir seperti mentari itu--menghangatkanmu. Semampuku.


“Kaujangan murung begitu, Nak. Meskipun tidak bisa dibeli, bukankah senyum itu bisa diciptakan? Kaubisa bercerita tentang suatu hal yang lucu pada seseorang yang kauanggap penting itu. Kau juga bisa mengajaknya untuk refreshing sebentar supaya suasana hatinya jernih kembali. Atau, lakukan apa saja sekiranya bisa menciptakan garis lengkung sempurna demi dia,” ujar ibu mencoba menyemangatiku. 

”Oh, Ibu. Aku sayang padamu!” Senyumku mengembang. Mataku berbinar-binar. Semangat yang sempat lenyap bebarapa saat, kini telah hadir kembali.


Selesai

Minggu, 05 Oktober 2014

Diposting oleh Rumah Kopi di 11.19 0 komentar

                        ANAK SAPI
                                                                      
                              Oleh
                               
                       Keyzia Chan

     Ibukmu d rmhsakit. Kami brda d ruang gwt darurat. Hpnya paman yg bw

     Satu pesan masuk ke HP-ku itu, berasal dari nomer ibu. Aku kelabakan sesaat setelah membaca SMS tersebut. Otakku membeku. Tiba-tiba semua terasa hening. Bukan hanya itu saja, rasanya ada kekuatan super yang mencekik leherku sehingga aku kesulitan bernapas. Segala rasa  bercampur aduk dan tertahan di hati. 
 
     Tidak berlebihan jika aku menganggap ibu pemilik separuh jiwaku. Sayangnya, akhir-akhir ini hubunganku dengan beliau kurang harmonis. Dan itu salahku.

     Terlambat sudah! Desisku sambil menggigit bibir kuat-kuat.
     BRUK! Lututku membentur lantai. Kotak berisi mukena yang terbungkus kertas kado—hadiah untuk ibu, berhambur keluar dari kantong plastic.
                                                                     ***
     “Sarapan dulu, Ibu sudah mengambilkan sepiring nasi untukmu.”
     “Nggak usah!”
     “Tapi, nasinya sudah nggak panas seperti kemarin pagi.”
     “Nggak keburu, Bu. Lihat, tuh! Udah jam berapa?!” teriakku dari kamar.
     Ibu melenguh kesal, tapi perasaan itu ia simpan rapi dalam hati.
     “Ya, sudah kalau begitu. Bekal makan siangmu, Ibu masukkan ke dalam jok.”

     Aku mendengarnya tetapi tidak membalas kalimat terakhir dari ibu. Di kamar, aku justru asyik membalas pesan dari sahabatku.

     Sampai kapan pun, anak tidak pernah menjadi dewasa di hadapan ibunya. Meski usianya berbilang kepala dua. Anak tetaplah anak yang harus diurusi segala keperluannya. Kendati sebenarnya si anak tidak ingin merepotkan ibu. Selama ini, ibu selalu turut andil menentukan apa-apa yang akan kulakukan. Itulah sebabnya aku terlambat dewasa.

    Aku masih ingat saat itu ketika masih duduk di bangku SD, teman-teman sering memanggilku ‘anak sapi’. Saat terik mentari membungkus kota. Aku berjalan seorang diri. STBottom oBesekali jemari kecilku mengelap pipi yang basah. Sepanjang perjalanan pulang pikiranku masih terpusat pada ucapan Yuna, ia teman sebangku di SD Darmawanita. Kerikil dan bebatuan kecil jalanan menjadi pelampiasan kekesalanku. Kutendang benda-benda tersebut kencang. Sambil manyun aku bertanya dalam hati, apa iya aku bukan anak kandung Ibu?

     Sesampainya di rumah aku melempar sembarang tas sekolah itu, kemudian kubanting pintu keras-keras. Ibu yang sedang sibuk di dapur bergegas mencari tahu apa yang terjadi?  Dipungutnya tas sekolah yang berada di lantai, setelah itu ia duduk di tepi ranjang. Mengetahui kedatangan ibu, aku bangun dan duduk di hadapannya. Dengan sorot mata tajam, aku yang berkepang dua—meminta penjelasan pada sesosok berparas lembut tersebut.

     ”Katakan sejujurnya, sebenarnya Sasi anak siapa?” ucapu sambil terisak-isak.

     ”Kenapa tiba-tiba bertanya seperti itu?” ibu kembali bertanya, bingung.

     ”Katakan saja, siapa ibu kandungku? Kata teman-teman, aku ini anak sapi.” Bibirku semakin maju. Sejurus kemudian aku kembali tengkurap di atas ranjang. Kubenamkan wajahku ke dalam bantal. Sambil mengusap kepalaku, pemilik kulit kuning itu berkata, ”Tidak ada tanduk di kepalamu.” Seulas senyum tersungging di bibirnya. ”Berarti Sasi bukan anak sapi. Bukankah sapi itu bertanduk?” tandas Ibu.

     Beberapa detik berikutnya aku kembali bangkit. Tak mau kalah dengan ibu, aku pun menjelaskan asal mula munculnya pertanyaan bodoh tersebut. Kusampaikan pada ibu bahwa teman-teman menyebutku ‘anak sapi’ lantaran dari kecil tidak minum asi melainkan susu kaleng. Dan karena setiap hari aku masih disuapi, temanku bilang: Itu memalukan.

     ”Apanya yang memalukan?” tanya ibu akhirnya.

     ”Disuapi itu memalukan, apa lagi Sasi sudah SD. Mulai sekarang, Ibu jangan lagi menyuapiku,”

     ”Ibu akan terus melakukannya.”

     ”Kenapa?”

     ”Karena Ibu sayang dengan Sasi.”

     ”Sampai kapan Ibu melakukannya?”

     ”Sampai kapan pun, selagi tangan Ibu masih bisa menyuapimu.”

     ”Apaka Ibu meminta bayaran?” 

     Ibu tidak menjawab pertanyaanku. Beliau merengkuhku ke dalam dekapannya.

                                                                       ***
     Perlahan, aku mulai membiasakan diri untuk tidak tergantung dengan ibu. Menjadi tua adalah kepastian. Tetapi menjadi dewasa adalah suatu pilihan. Kutipan kalimat tersebut terus mendorongku untuk mengubah kebiasaan-kebiasaan yang tidak sepatutnya dilakukan oleh gadis berusia 20 tahun. Aku tidak lagi melibatkan ibu dalam masalah-masalah yang kuhadapi. Aku jarang menghabiskan waktu bergelayut manja pada ibu. Kami, khususnya aku seperti orang asing di rumah sendiri. Menyapa sekadarnya. Bicara seperlunya. Tentu saja ibu mempertanyakan atas perubahan sikapku. Aku selalu beralasan sedang lelah karena padatnya pekerjaan. Itu saja.

     Sore itu hujan deras mengguyur kota. Sesekali kilat membelah langit diikuti gemuruh guntur, menggelegar. Aku dalam perjalanan pulang. Beruntung rumahku tidak jauh dari tempat kerja sehingga aku nekat menerobos jalanan basah, waktu itu.

    “Ya, ampun … kenapa nekat pulang?! Harusnya berteduh dulu sampai hujan reda.”

     Kedatanganku disambut berondongan pertanyaan ibu. Aku tidak menjawabnya. Setelah memarkir motor, kulepas helm kemudian menaruhnya sembarang.

  “Ibu bilang, jangan lupa bawa jas hujan. Sudah tau lagi musimnya, kok ya nggak mau nurut sama ibu ….”
     Aku masih malas bicara. Kurasa ibu meracau tidak pada tempatnya. Apa tidak bisa ditunda barang sejenak? Paling tidak, menunggu aku selesai mandi. Gerutuku. Tidak berhenti sampai di situ, ibu masih saja bicara panjang lebar.

     “Lihat! Gara-gara ini, jas hujannya nggak muat ditaruh dalam jok,” ucapku mengkal. Kusodorkan kotak tempat makan itu. Dan aku baru sadar hari ini isinya belum aku sentuh sama sekali.

     “Loh, kok masih berat? Kamu nggak memakannya? Kenapa? Lagi kurang enak badan, atau banyak pekerjaan sehingga nggak sempat makan, Nak?”

     “Cukup, Bu! Bisa nggak, ngomelnya nanti aja. Aku nggak lagi sakit. Biasanya, makanan itu kuberikan sama temanku,” ujarku lirih. Tetapi ternyata, ibu mendengarnya. Ibu tertunduk memegangi tempat makan itu. Entahlah, mungkin beliu menangis. Aku terlanjur kesal sampai-sampai aku mengabaikannya.

                                                                       ***

     Hari-hari berikutnya, ibu tidak lagi ribut soal bekal makan. Ibu masih menyiapkan sarapan untukku. Bedanya, ibu tidak lagi berteriak menyuruhku segera sarapan. Teman, pernahkah kalian merasakan hal ini? Sesuatu yang sempat kita benci, suatu saat akan menghandirkan aroma rindu yang membuncah. Aku sering mengalaminya. Seperti sekarang ini. Aku merindukan kotak makanku—isinya dan ….

     Bukan hanya kehilangan bekal makan, tetapi lebih dari itu. Sepertinya, ibu juga sering terlihat murung. Tidak lagi banyak bicara tentang ini itu. Ini tidak bisa dibiarkan. Aku berkata dalam hati. Segala cara telah aku lakukan untuk mengembalikan keadaan seperti dulu. Namun belum menunjukkan adanya perubahan.

     Aku mendengar deru mesin mobil berhenti di halaman rumah. Tangisku meledak. Kuambil kado itu lalu memasukkanya ke dalam plastic. Aku berusaha bangkit, tapi kakiku seperti terpatri dengan lantai. Ini kiamat kecil. Ya, aku merutuki diriku yang telah menyia-nyiakan kasih sayang ibu.Tangisku semakin menjadi-jadi.

     “Sasiii …! Apa yang terjadi, Nak …?”
     Serta merta mataku terbelalak. Kupertajam pendengaranku. Apa aku berhalusinasi? Ibu tergopoh menghampiriku, diikuti paman, bibi, serta nenek. Mereka baru saja menjenguk saudara yang tengah di rawat di rumah sakit.

Selesai


Taipe, 3 Oktober 2014
 

Rumah Kopi Copyright © 2010 Design by Ipietoon Blogger Template Graphic from Enakei | web hosting