Rabu, 30 April 2014

Aku

Diposting oleh Rumah Kopi di 08.33 0 komentar

Oleh,


Keyzia Chan


Aku adalah salah satu dari sekian banyak manusia yang memiliki keinginan untuk terus maju, sama seperti mereka. Hidup tidak sekedar hidup. Tetapi, terkadang aku sadar aku sering kehilangan pegangan, terlena pada hal-hal yang tidak penting, yang berusaha mencuri perhatianku.

Aku sering bingung dan ragu terhadap apa yang hendak aku pilih dalam hidup ini. Aku menyembunyikan seluruh kegetiranku dibalik riang yang riak di permukaan. Mungkin mereka berpikir, aku adalah sesosok manusia yang hidup tanpa beban. Manusia yang seumur hidupnya diisi dengan bersenang-senang. Oh, sungguh mereka salah jika menilai begitu.

Ada banyak hal yang telah aku lalui. Hidupku tak semulus jalan tol, Teman. Kau tahu, mungkin saja jika seluruh air mata yang telah keluar tempo hari, bisa menenggelamkan kampungku. Sedikit berlebihan, sih! Hanya ingin memberitahukan bahwa aku tumbuh dengan air mata yang tak pernah berhenti mengalir. Tidak! Tidak! Aku tidak bermaksud melupakan nikmat yang melimpah. Tuhan begitu menyayangiku. Oh, tentu saja dibalik air mata ada canda. Maksudku, aku ingin keluar dari lingkaran yang sekiranya mampu menenggelamkan aku dalam tumpukan kesedihan.

Aku! Aku ingin tenang. Kebahagiaan yang kumiliki tidaklah sempurna adanya jika hatiku tidak merasa damai. Dan damai itu hanya dengan menghindari melakukan kesalahan yang berbuntut panjang.

Ayolah! Aku sudah terlalu lelah jika masih saja menanggapi hal-hal yang sekiranya tidak penting tersebut. Tentang materi yang telah lenyap, semua bisa kuupayakan kembali. Aku hanya ingin damai supaya bisa menghirup udara lebih lama. Kumohon jangan memaksaku untuk berteriak. Meneriakkan ucapan kotor yang akan aku sesali kemudian hari.

Hei, bukankah hidup ini sudah ada yang mengatur? Oh, bukan. Aku bukan bermaksud untuk pasrah begitu saja. Tentu saja aku berupaya terlebih dulu sebelum meletakkan kedua tanganku ini. Aku tidak ingin ribut. Itu sungguh merepotkan. Mereka yang berniat menzolimiku, biarkan saja. Toh, suatu hari pasti akan akan datang gilirannya menerima apa yang telah ditorehkannya padaku.

Aku ingin damai. Sekali lagi kukatakan, aku terlalu kenyang dengan masalah-masalah. Aku! Terkadang aku tidak ingin muncul ke tempat umum. Biarkan saja namaku kian tenggelam. Aku tidak peduli orang-orang melupakanku. Aku ingin hidup seperti ini. Hidup yang tidak hanya sekedar membuka mata sesaat setelah terjaga dan kemudian bangkit dari ranjang, serta kembali menutup mata ketika kembali ke peraduan.

Aku ingin berusaha tanpa diketahui orang lain. Dan mereka hanya akan melihat hasilnya. Yang terbaik dariku.

Taipe, 30 April 2014

Rabu, 23 April 2014

Catatan Galau

Diposting oleh Rumah Kopi di 09.22 0 komentar
Musim dingin belum beranjak pergi dari kotaku. Cuaca selalu saja begitu. Tidak menentu. Di musim ini, sudah kali ketujuh aku ambruk. Kekebalan tubuhku lemah. Secara fisik, aku terlihat segar bugar. Tapi, lihatlah. Aku kembali meringkuk tak berdaya di atas kasur tipis ini. Oh, Tuhan. Aku sungguh tak pantas mengeluh. Jalani. Jalani dan jalani saja. Bahwa tidak ada hal yang berhenti pada satu titik tertentu. Kesakitan dan seluruh rasa kurang nyaman ini, merupakan bagian penyempurna kebahagiaan yang aku raih. Nanti.

Hai, Lalaland. Bagaimana keadaanmu? Pasti baik saja, bukan? Lalaland, terkarang aku merasa jenuh, dan muak oleh polah mereka. Ya, orang-orang yang menganggap dirinya dewasa. Mereka yang ingin terlihat berbeda. Terpelajar, dan memiliki kemampuan lain, yaitu: menulis. Aku, emm ..., aku juga bagian dari sekelimit komunitas itu. Tetapi, aku tidak ingin seperti mereka. Berdalih menyemangati diri sendiri, menyuarakan semangat anak bangsa. Dan apalah. Aku pikir, bangga dan sombong itu, beda tipis.

Ah, kenapa pula aku memerhatikan mereka. Bisa jadi, bukan hanya tubuhku yang sakit. Tetapi, jiwaku juga. Aku tak mau ikut-ikutan seperti mereka. Berkampanye. Aku lebih suka, belajar secara diam-diam. Keluar dari persembunyian dengan hasil yang membanggakan. Untuk sementara, aku ingin menarik diri dari dunia luar. Dari sana, aku memperoleh sedikit hiburan atas segala penatku. Namun, dari sana pula, aku sering jatuh bangun oleh masalah yang sebenarnya bukan masalahku. Yang jelas. Aku ingin menyendiri. Belajar memperbaiki diriku.

Senin, 07 April 2014

SIMPLE QUOTES

Diposting oleh Rumah Kopi di 21.54 0 komentar
oleh

     Keyzia Chan


Dear, Laland, bagaimana kabarmu hari ini? Semoga senantiasa dalam lindungan-Nya, ya. Aamiin. Hei, Laland. Malam ini, aku ingin bercerita padamu. Oh, aku mohon jangan seperti itu. Kamu tak perlu melotot begitu. Mulutmu juga tak perlu maju. Lagi pula, kamu sahabatku satu-satunya yang selalu ada untukku.

Mereka, sahabat-sahabat ku itu, memiliki segudang aktivitas. Maka, aku tak mau mengganggu dengan menyuguhi segala keluh kesah ini. Hanya kamu. Iya, kamu. Jika kamu ngambek begitu, lantas aku harus bercerita pada siapa?

Nah, gitu dong. Tersenyum. Senyummu membuatku damai. Okay, sekarang biarkan aku bercerita. Dan kamu, duduk manis di situ sambil menikmati coklat panas buatanku!

Lalaland, pernahkah kamu ingin menyerah ketika menghadapi kesulitan dalam hidup? Emmm ... Hebat sekali kalau tak pernah. Aku dong pernah. Sekali, dua kali, atau ah aku lupa tepatnya berapa kali? Bodoh? Kamu bilang aku bodoh! Enak saja!

Katakan, apa yang kamu lakukan ketika dalam keadaan tertekan?
Kalau aku sih, jujur sedih, emosi dan kadang berpikir aneh-aneh. Tapi, tunggu dulu. Itu urusan zaman dulu ketika aku belum mampu berpikir bahwa setiap kejadian adalah pelajaran berharga, Itulah cara Tuhan membentuk karakter yang kuat padaku. Percaya atau tidak? Bahwa otak manusia itu sebenarnya lebih canggih dari pada perangkat komputer yang hanya ciptan manusia. Hanya saja ketika sedang menghadapi masalah, kita sering mengalami kebuntuan berpikir

Kembali lagi pada topik awal. Pembentukan karakter terjadi lewat proses ujian-demi ujian. Banyak hal yang sudah aku lalui. Dan setiap cerita meninggalkan kesan serta pesan yang tak sama. Dari semuanya, sedikit demi sedikit membantuku tumbuh menjadi manusia dewasa yang kuat. Ya, tak terkecuali. Emosiku juga kuat, meledak-ledak. Tapi, kan aku masih bisa menyimpannya sendiri. Tidak dipaparkan pada wall fb atau sejenisnya. Tidak.

Mereka pikir, hidupku selalu datar-datar saja. Mereka pikir aku hanya bersenang-senang? Biarlah. Terserah pendapat orang. Mereka berhak mengumpat, aku pun berhak untuk tidak mempedulikan. Jujur aku takut. Tepatnya takut tersakiti jika membauar dengan banyak orang. Makanya aku lebih suka memilih menyendiri. Aku masih menyapa teman-temanku. Ya, bicara seperlunya. Bersikap sewajarnya.

Mereka? Tahu kah kamu? Beberapa orang memusuhiku secara tiba-tiba karena suatu hal yang tak jelas. Aku dianggap menyalahi? Melupakan sahabat? Busuk lah, ini-itu, dan ah, terlalu menyakitkan jika diingat. Rasanya ingin menghampiri mereka satu-persatu, tetapi sudahlah. Kenapa pula aku menghabiskan tenaga untuk mengklarifikasi persoalan yang tidak ada sangkut pautnya denganku. Yang jelas aku tidak menyalahi mereka. Jika mereka ingin menjauhiku hanya gara-gara hasutan atau omongan sebelah pihak, itu hak mereka. Dan kamu tahu? Merekalah yang jelek, ketika menjelek-jelekkan orang lain.

Aku sih, sebenarnya sakit hati melihat atau mendengar secuil kalimat-kalimat tajam itu. Tetapi, kurasa dunia isinya bukan mereka doang. Jika mereka tidak mau menjalin silaturahmi denganku, itu haknya. Yang penting sekali lagi aku tidak menyalahi.


Minggu, 06 April 2014

Catatan Kecil

Diposting oleh Rumah Kopi di 13.16 0 komentar

SEBERAPA BERANIKAH DIRIMU?

Oleh

Keyzia Chan

”Dewasa itu, ia yang berani bertanggung jawab atas apa yang dilakukan.”
(Langit Amaravati)

Dewasa itu keberanian menentukan segala sesuatu yang dianggap baik, tanpa campur tangan pihak lain. Itu sih menurutku.

Berani.

Ya, keberanian merupakan modal terbesar yang harus.dimiliki. Sebab dalam keberanian akan ada tindakan. Dan tindakan adalah penentu dari perubahan.

Haaiisst! Panjang sekali.

Begini saja, jika saya tidak berani memulai maka saya tidak akan tau hasilnya. Gagasan yang hebat, tanpa adanya pelaksanaan perwujudtan, maka akan sia-sia.

Berani. Ya, apa pun resikonya nanti, yang terpenting saya harus berani menghadapi. Masalah akan terselesaikan jika saya segera bertindak. Dan keberanianlah yang mendorong untuk itu.

Hari ini, setelah berhari-hari digelayuti rasa yang tidak karuan, ketakutan, sehingga membuat saya tertekan saat memikirkannya, akhirnya saya memutuskan untuk segera bertindak supaya tau mengenai apa yang sekiranya terjadi pada diri saya. Penyakit apakah yang sedang menggerogoti kekebalan tubuh saya?

Beruntunglah di sini, di sekitar tempat tinggal saya, ada beberapa klinik pengobatan yang tetap buka meskipun hari minggu. Dan setelah melewati sejumlah pemeriksaan, saya pun lega. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan mengenai kondisi tubuh. Mungkin ini masuk angin, demam biasa. Perubahan cuaca, dingin ke musim semi--musim panas.

Syukurlah.

Jumat, 04 April 2014

Diposting oleh Rumah Kopi di 22.30 0 komentar


Demi Sekerat Roti, Jeruji Besi Menanti

oleh

Keyzia Chan
    
     Sepasang biji mataku tidak beranjak dari pemandangan miris itu. Tak ada yang aku lakukan selain melihat sambil mengerutkan dahi. Seorang laki-laki berbadan tambun, berkepala botak terlihat sibuk. Bukan para tamu-tamu yang hadir di rumah makannya, yang membuatnya nampak gusar. Tetapi, seorang bocah bertubuh kurus, berpakaian kusam yang berhasil membuatnya demikian. Laki-laki bermata sipit tersebut terus meracau, tangannya belum beranjak dari telinga bocah itu. Pemandangan tersebut mencuri perhatianku, sehingga aku menunda melahap menu makan siangku kala itu. Bocah itu meringis kesakitan. Kepalanya miring-miring mengikuti gerakan tangan si gendut. Meskipun dia terus melenguh, tangan laki-laki itu tidak beranjak dari telinga anak berusia sekitar 8 tahun tersebut. Apa yang telah diperbuat olehnya, siapa dia? Mengapa tidak seorang pun iba padanya? Tiba-tiba otakku dipenuhi pertanyaan yang membuatku kian bingung.


     
     Tidak ada yang mencoba menghentikan perbuatan laki-laki yang berkaca mata minus tersebut. Termasuk aku. Rambut gondrong bocah itu nampak lepek. Di belakang tadi, si empunya rumah makan mengguyur kepalanya dengan segayung air.  Beberapa saat kemudian, si gendut berkata dengan suara lantang, "Belum kapok juga rupanya!" Beberapa orang yang  tengah menikmati makan siang, saling berbisik. ”Kabarnya ayah bocah itu mati bunuh diri.” Salah seorang yang juga sedang makan di warung itu menimpali.

"Iya, semenjak bocah itu umur dua bulan, dengan menjatuhkan diri dari atas lantai 21, si ayah mengakhiri hidupnya."

"Kasak kusuk yang aku dengar, dia tidak sanggup mencari dana dalam jumlah besar yang diajukan pihak rumahsakit. Sekiranya, duit itu untuk biaya operasi yang akan dilakukan demi kesembuhan putranya," ujar laki-laki berambut kriting itu.
 


"Mungkin sebaiknya aku membawamu ke kantor polisi, biar kamu jera." Laki-laki bertubuh pendek itu berteriak sembari mendong bocah tersebut. Dia tersungkur di pinggir jalan. Bibirnya mengatup. Pada pipinya terdapat dua garis sejajar. Dia menyembunyikan sesuatu di balik bajunya. Bocah tersebut bersikeras menahannya meskipun si gendut itu memaksa meminta barang yang disembunyikan olehnya.

***

     Musim panas belum beranjak dari Taipe. Hari ini, BMG memperkirakan suhu udara bisa mencapai 37 derajat celcius, hingga sore hari. Tidak ada acara sepesial di hari liburku. Pagi, pukul 10.00 seusai mandi dan mengenakan kaus warna putih, serta celana jeans selutut, dengan langkah santai aku berjalan ke 7-11. Tas punggung berisi kamera dan gadjet, tak ketinggalan menemani acara liburku yang tak bertujuan. Seperti biasa jalan raya nampak lengang setiap hari libur. Hanya taxi dan bus kota yang berseliweran dengan sedikit penumpang di dalamnya. Setelah melewati beberapa apartemen dan pertokoan, akhirnya aku sampai di mini market yang buka 24jam tersebut.


     Sandwich, dan segelas es kopi latte sudah berada di tanganku. Seusai membayarnya di kasir, aku mencari tempat duduk yang masih berada dalam ruangan yang sama. Kuletakkan dengan hati-hati tas punggung berwarna biru tua itu. Kemudian aku mulai menikmati sarapanku. Belum sempat aku menelan makanan itu, lagi-lagi aku melihat pemandangan yang serupa. Bocah laki-laki berambut gondrong, berbaju kusam, yang aku lihat tempo hari, dia kembali melintas di depanku. Kaca tebal di hadapanku ini , membuat pendengaranku tidak mampu menangkap suara dari luar dengan jelas. Seorang laki-laki berambut putih nampak berjalan tergopoh. Bocah itu mencoba mensejajarkan langkahnya dengan berlari kecil. Kepalanya terlihat miring-miring karena kuping kirinya dijewer oleh si bapak.

     Sekonyong-konyong aku mengemasi barang-barang, lantas berjalan mengendap-endap mengikuti keduanya. Bapak tua tersebut terus meracau sepanjang jalan. Bocah yang tidak mengenakan alas kaki tersebut, seperti biasa tida mengucapkan sepatah kata pun. Entah mau dibawa kemana dia? Aku terus mengikuti mereka. Menyusuri gang kecil yang terletak diantara bangunan yang menjulang tinggi. Seperti kejadian kemarin, tidak ada yang mencoba menolong bocah malang tersebut. Ah, orang kota dimana pun sama saja. Tidak mau ambil pusing dengan urusan orang lain. Batinku.


      Setelah berjalan selama 15 menit, mereka berhenti di sebuah bangunan kecil. Di depan timbunan sampah daur ulang, bocah itu bermukim. Nampak seorang wanita berpakaian kumal sedang duduk di depan rumah kumuh. Kedatangan bocah kecil dan laki-laki tersebut, tidak digubris olehnya. Pandangannya tidak beranjak dari semula. Sambil mengayun-ayunkan tubuhnya, wanita itu terus memilin-milin rambutnya yang kumal. Laki-laki tua itu mendorong bocah tersebut kuat-kuat hingga membuatnya tersungkur. Bocah itu segera bangkit dan memeluk ibunya. Wanita itu masih saja tidak memedulikan hal yang terjadi di dekatnya. Pandangannya kosong. Laki-laki itu berkata, "Aku tidak akan segan memenjarakanmu jika ketahuan mencuri makanan lagi!" hardiknya. Bocah itu beringsut. Dia membenamkan wajah tirusnya di pangkuan ibu. Seperti kurang puas dengan kalimat yang berhasil membuat bocah itu ketakutan, laki-laki itu menendang bokong bocah kecil tersebut hingga dia terguling. "Ibumu gila setelah bapakmu bunuh diri karena malu memiliki anak cacat sepertimu," ucapnya sembarangan.  Kemudaian dengan langkah besar-besar bapak itu beranjak dari tempat kumuh.

    
Setelah laki-laki itu menghilang dari hadapan mereka, bocah itu nampak mengeluarkan sesuatu dari kantong celananya. Sekerat roti berada di tangannya kini. Secuil demi secuil disuapkannya potongan roti tersebut ke mulut ibunya. Rupanya, demi mengganjal perut keduanya, bocah itu harus mencuri makanan. Bukankah resikonya sangat besar? Bagaimana kalau ucapan bapak itu tidak main-main? Pikirku. 

     Wanita itu masih dengan tubuh yang terayun-ayun, dia mengunyah roti hasil jerih payah putranya. Tepatnya hasil dari mencuri. Bocah itu dengam menggunakan bahasa isyarat, mencoba memberi tau sesuatu pada ibunya. Seulas senyum ceria terpancar dari bibir mungilnya. Rupanya bocah itu tunarungu. Tanpa sadar pipiku pun basah oleh pemandangan itu.
Deg! Aku terperanjat melihat pemandangan berikutnya. Wanita mengangkat kedua tangannya. Ditempelkannya telapak tanga tersebut di pipi bocah kecil itu. Dia menatap nanar putranya. Detik berikutnya kedua tangan perempuan itu mengusapa-usap rambut godrong putranya, ke belakang. Aku mengucek-ucek mata, berharap salah melihat. Bocah itu tidak memiliki telinga rupanya.

Selesai.




Diposting oleh Rumah Kopi di 22.01 0 komentar

Kamis, 03 April 2014

Simple Quotes

Diposting oleh Rumah Kopi di 10.21 0 komentar

Keyzia Chan

*Manusia Paling Beruntung*

Siapakah dia? 

Dia adalah Anda semua. Manusia-manusia yang pandai bersyukur. Ya, saat kehilangan sesuatu, uang misalnya. Lantas dengan tegas berkata, ”Untung aku hanya kehilangan uang satu juta. Dan nyawaku masih melekat pada raga yang sehat. Insya Allah aku masih bisa mencari yang hilang itu, bahkan lebih malah.” Meskipun dalam hati masih tersisa nelangsa karena sebulan ke depan tidak tau dari mana Anda mendapatkan uang untuk makan, paling tidak Anda tak perlu mengutuki kesialannya yang justeru menambah deretan panjang kesedihan. Yang jelas penyesalan itu tidak akan mengembalikan keadaan.

Hal kecil lainnya yang sering menggerogoti kesabaran ialah, tekanan yang terjadi di tempat kerja. Sebagai bawahan, walaupun saat itu Anda berdiri pada posisi yang benar, akan tetapi kewenagan atasan mampu menjungkir balikkan fakta. Benar atau pun salah, maka baginya Anda adalah segala tempat di mana kesalahan itu berada. Di saat seperti itu, lekas tarik napas dalam-dalam, kemudian ingatlah kembali bahwa untung Anda hanya dicaci maki, seluruh tubuh masih utuh dan sama sekali tak ada luka di sana. Tidak dipukuli seperti yang dialami oleh beberapa rekan TKI yang kurang beruntung di luar sana. Dan beruntung selain mendapat gaji besar, dari tempat ini Anda mendapatkan banyak pengalaman, serta pelajaran berharga yang mungkin saja tidak bisa diperoleh di kampung halaman. Belajar iklas sih, memang susah. Tetapi, setidaknya dengan bersyukur dan selalu merasa beruntung, lambat laun Anda bisa menjalani hidup tanpa banyak gerundel. Kesialan yang terjadi pada saya tadi malam ialah, naskah cerpen bergenre thriller, sudah rampung saya tulis sebanyak 7 halaman. Entah bagaimana isinya--keren atau tidak, yang jelas dengan menyelesaikan sebuah cerita, bagi saya itu suatu prestasi. Lantaran kurang berhati-hati saat menyimpan file, naskah itu pun lenyap sesaat setelah saya me-restard laptop. Bukan hanya menggerutu, mata pun sulit terpejam. Meskipun bisa menulis ulang tetapi bukankah belum tentu feel-nya dapat, seperti tulisan yang terlanjut lenyap. Huft.

Sampai pagi ini pun hati saya masih jengkel. Tetapi, sambil bekerja saya berpikir bahwa masih untung yang hilang cuma tulisan, bukan laptop atau jemari saya yang merupakan aset berharga untuk belajar membuat cerita-cerita lainnya. Jadi beruntunglah kita yang masih bertemu dengan siang ini tanpa kekurangan suatu apapun.

Semangat, key. Semangat!‪

#‎menghibur_diri_sendiri‬ ^_~ ‪#‎aku_opo_opo_jane

 

Rumah Kopi Copyright © 2010 Design by Ipietoon Blogger Template Graphic from Enakei | web hosting