Sabtu, 31 Mei 2014

NUTRISI OTAK BAGI YANG SUKA NGE-FIKSI

Diposting oleh Rumah Kopi di 11.16 0 komentar

Write Your Diary

Haya Aliya Zaki - Blogger dan EditorLaunching buku Tendangan Si Madun

Writing Clinic Femina: Menulis Fiksi, Merangkai Kata menjadi Cerita. 

Kenapa harus ada fiksi?

            Femina ingin memperluas wawasan wanita melalui fiksi dan yang utama, ingin meneruskan cita-cita Sutan Takdir Alisjahbana untuk mempertahankan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Seperti yang kita ketahui, pendiri majalahFemina Group adalah anak cucu Sutan Takdir Alisjahbana, yakni Sofjan dan Mirta Alisjahbana.

Nama-nama penulis fiksi Femina tahun ’80-an mungkin tidak asing di telinga Teman-Teman. Tahu dengan NH. Dini, Titie Said, Mira W, dan Marga T pastinya, ya? Nah, fiksi-fiksi yang dimuat di Femina waktu itu selalu dikirim ke Sang Paus Sastra Indonesia, H.B. Jassin. H.B. Jassin pun mengusulkan agar dibuat sayembara menulis fiksiFemina. Penulis lawas yang pernah memenangkannya antara lain Ike Soepomo, Putu Wijaya, Arifin C Noer, Marga T, Mira W, dan Marianne Katoppo.

Menurut Yoseptin Kristanto, RedakturFemina, empat tahun belakangan ini, peserta sayembara meningkat secara signifikan alias membludak-dak-dak! Femina jadi tergerak untuk mengadakan gathering penulis fiksi (Writing Clinic). Femina ingin berbuat sesuatu bersama-sama penulis, selangkah seirama mengembangkan dunia fiksi.  Kali ini, Femina mengundang Leila S. Chudori dan Iwan Setyawan untuk memberikan materi soal fiksi. Lanjuuuttt ....

Sesi 1: Pemateri Leila S. Chudori

            Siapa yang tidak kenal Leila S. Chudori? Beliau adalah wartawan senior majalah Tempodan penulis novel. Alumnus Universitas Trent, Kanada, ini telah menulis enam buku. Novel yang teranyar berjudul Pulang. Dalam waktu sebulan,Pulang sudah cetak ulang.Leila S. Chudori“Bakat menulis merupakan hal penting, tapi bukan yang terpenting. Bakat adalah pemberian alam dan bakal sia-sia jika tidak diasah terus-menerus.” – Leila S. ChudoriLeila meyakini, penulis yang gigih dan bekerja keras, insya Allah akan menghasilkan karya yang luar biasa. Ayo, berlatih membentuk kalimat menarik, membuat kejutan plot, dan lain-lain. Paling tidak, ‘paksakan diri’ setiap hari menulis di blog selama sejam atau dua jam. Tulis cerita sehari-hari, perjalanan, resensi buku, resensi film, apa saja. Rajinlah mengobservasi dan mengamati. Peka. Lihat sekitar. Observasi sangat berguna saat kita membentuk karakter tokoh.

           Penulis yang baik adalah pembaca yang baik. Penulis akan membutuhkan buku seperti layaknya orang butuh makan dan minum. Jatahkan minimal membaca satu buku dalam dua minggu. Ikuti diskusi komunitas buku. Dengarkan berbagai ulasan dan tanggapan dari orang lain. Sadari bahwa pemikiran dalam hidup ini tidak tunggal.

“Meski nanti kita sudah menjadi penulis besar, kita tetap harus rendah hati. Ingat, meski kita berhasil, kita baru ‘menorehkan’ satu titik di dunia ini. It’s almost nothing. Sikap rendah hati akan membuat kita ingin terus belajar. “ – Leila S. Chudori

            Leila juga memaparkan tip dan teknik menulis.

Ide

            Segalanya berawal dari ide. Ide didapat dari rumah, saat jalan-jalan ke sekolah, kampus, dan lain-lain. Ide tidak harus megah atau ‘heboh’. Boleh saja, sih, kita membuat cerita dengan ide berlatar belakang sejarah, misalnya. Tapi, konsekuensinya juga besar. Butuh riset panjang dan mendalam. Tanya kepada diri sendiri, sanggupkah? Kalau sanggup, hayuk! Tapi, kalau belum, mending pakai ide yang sederhana saja dulu. Catat ide yang datang. Satu cerita bisa terdiri dari beberapa ide.

Tema

             Tema sebetulnya hanya akan membantu kita untuk fokus. Jika kita ingin menulis kisah cinta dengan latar belakang zaman kemerdekaan, janganlah latar belakang itu sekadar tempelan. Niscaya karya kita menjadi karya gagal.

Plot

            Sejak awal, seorang penulis harus menyiapkan kerangka plot. Yang paling umum adalah plot 3 babak:

Babak 1: perkenalan karakter dan problem

Babak 2: puncak problem dan klimaks

Babak 3: penyelesaian

            Tidak setiap karya harus mengikuti konsep plot seperti ini, sih. Contohnya, novel-novel Virgina Woolf dan James Joyce. Plot konsep 3 babak lazim digunakan oleh novel-novel Inggris dan Prancis abad ke-19, antara lain Oliver (Charles Dickens), Les Miserables (Victor Hugo), dan Pride and Prejudice (Jane Austen).

Karakter

            Jika kita ingin menciptakan karakter anak guru yang lahir di sebuah desa di Jawa Tengah, maka tingkah laku, bahasa lisan, bahasa tubuh harus sesuai dengan yang kita sudah rentangkan sejak mula. Kita bisa membuat perkembangan kepribadian tokoh melalui proses. Jangan menciptakan karakter ‘palsu’. Mungkinkah anak guru yang tinggal di desa jago berbahasa asing? Mungkinkah pakaiannya modern? Kecuali, ada alasan-alasan tertentu. Jangan ‘mengkhianati’ tokoh ciptaan kita sendiri.

Akhir cerita

            Ini merupakan hal pelik. Pembaca Indonesia umumnya menyukai akhir cerita yang bahagia. Mereka sering kecewa jika sebuah fiksi diakhiri dengan perpisahan, kematian, atau kekalahan. Namun, kita harus jujur kepada diri sendiri. Apakah cerita karya kita lebih baik diakhiri dengan kebahagiaan atau kepedihan? Jangan memaksakan diri. Kalaupun kita sudah merencanakan akan mengakhiri cerita dengan kepedihan, jangan mendadak saja membuat akhir cerita yang sedih. Sisipkan ‘tanda-tanda’ di babak-babak awal, tanpa menghilangkan daya kejut.

Menulis Intro

            Kesan pertama begitu menggoda .... Mungkin hampir semua pernah mendengar jargon iklan ini, ya? Kesan pertama memang penting! Ringkus perhatian pembaca pada alinea pertama cerita. Jika aline pertama datar dan membosankan, itu berbahaya. Berikut contoh alinea yang menarik.

            “ORANG MEMANGGIL AKU: MINGKE. Namaku sendiri. Sementara ini, tak perlu benar tampilkan diri di hadapan mata orang lain.

            Pada mulanya, catatan pendek ini aku tulis dalam masa berkabung. Dia telah tinggalkan aku, entah untuk sementara, entah tidak.” – (Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia)      Analisis: Elemen misteri sudah terbangun. Kenapa kalimat pertama harus ditulis dengan huruf kapital? Kenapa nama seorang pribumi ini tidak lazim, yakni Mingke? Siapa yang meninggalkan dia sehingga dia berkabung? Ini menyedot rasa penasaran pembaca untuk lanjut ke halaman berikutnya.

Sesi 2: Pemateri Iwan Setyawan

            Pukul dua belas teng, Iwan Setyawan hadir di tengah-tengah kami. Siapakah dia? Haaa ... hari gini belum baca 9 Summers 10 Autums? Apa kata duniaaa ...? Hehehe. Iwan Setyawan adalah penulis buku laris 9 Summers 10 Autums dan Ibuk.

            Iwan sharing tentang proses kreatif penulisan buku 9 Summers 10 Autums. Sebenarnya sharing ini lebih kurang sama dengan yang saya dengar beberapa tahun lalu saat menghadiri talkshow buku Iwan. Saya menuliskannya di sini. Yang bikin kening saya mengerut, gaya Iwan sekarang, kok, agak beda, ya? Dulu kalem, sekarang ngebodor abis. Abaikan.

"Menulis adalah refleksi dari jiwa-jiwa yang 'gelisah'. Saya sudah menulis and for me, that’s beautiful.” – Iwan Setyawan            Pada dasarnya, Iwan menulis karena ingin membebaskan jiwanya yang ‘gelisah’. Sepuluh tahun berada di New York, membuatnya banyak berpikir tentang nilai hidup. Betapa hidup adalah perjuangan, bukan penderitaan. Best selling moment for Iwan adalah ketika ada pembaca yang terinspirasi dan tersentuh hatinya membaca buku Iwan.

Iwan Setyawan“Ibuk pernah berkata, ‘Siapa tahu dengan membaca bukumu, ada anak sopir angkot yang lain, yang termotivasi untuk meraih cita-cita, Wan.’ Ya, Ibuk benar. Ibuk benar sekali.” – Iwan Setyawan             Lalu, apakah kesuksesan selalu dinilai dari materi, berhasil kuliah keluar negeri, dan sejenisnya?

          Bagi Iwan, tidak. Contohnya, adik Iwan sendiri (saya lupa namanya). Adik Iwan tidak berlimpah materi atau kuliah di luar negeri. Namun, dia memberdayakan tetangga sekitar, mengajak membuat kerajinan, menciptakan lapangan kerja. Itu juga sebuah kesuksesan. “Yang penting, kalau sudah sukses, jangan lupa rumah. Kalau sudah sukses, bikin hidup orang lain jadi mudah,” pesan Iwan.

Berikut arti menulis bagi Iwan: menulis untuk membebaskan jiwa yang ‘gelisah’, menulis untuk berdamai dengan masa lalu, menulis adalah bermeditasi dengan diri sendiri, menulis itu menyembuhkan, menulis adalah kegiatan asyikbetween me and myself.

             

Apa kriteria menulis fiksi untuk Femina?

            Sekarang kita kembali ke fiksi Femina, yuk. Fiksi yang bagaimana, sih, yang laik tayang diFemina? Ini dia kriterianya:

1. Semisi dan sevisi dengan Femina

Fiksi harus menceritakan wanita yang aktif, modern, dan berdaya. Jadi, cerita tentang wanita yang dimadu, dipoligami, dan lemah, tidak akan dimuat di Femina. Fiksi yang merendahkan harkat marabat wanita, juga mendiskreditkan wanita, akan bernasib sama. Catet!

2. Cerita dan usia karakter tokoh sesuai pembacaFemina

3. Mudah dicerna, inspiratif, dan menghibur

4. Menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar

Jika fiksi memenuhi syarat dan dianggap laik tayang di Femina, penulis akan dikabari. Nah, Teman-Teman mau tahu pemenang Sayembara Menulis Cerber Femina tahun ini? Mereka adalah:Juara 1 Pengorek (Yohana L.A. Suyati, Kalimantan Barat)

Juara 2 Hikayat Negeri Terapung (Mellyan Cut Keumala, Aceh)

Juara 3 Janji di Negeri Titi (Siti Rahmah, Depok)

Yohana L.A. Suyati (milik Femina) Salut, deh, Yohana spesial datang dari Kalimantan Barat! Demikian juga Siti Rahmah, hadir di acara. Suasana penganugerahan hadiah kepada pemenang Sayembara Menulis CerberFemina berlangsung hangat. Yohana menguraikan secara singkat tentang proses kreatif penulisan cerbernya. Cerber Pengorek dia tulis selama 1,5 bulan. Tapi, jangan salah, risetnya sudah 2 tahun, lho! Pengorek bercerita tentang peristiwa yang kerap terjadi di kampung halamannya, yakni pencurian organ-organ tubuh untuk dijadikan sesembahan pemujaan hiiiy. Yang bikin tambah miris, terkadang orang yang tidak bersalah, dituduh sebagai pelaku pengorek.

Kenapa ketiga cerber di atas yang dipilih sebagai pemenang?        Menurut Ketua Juri Sayembara Menulis Cerber Femina, Leila S. Chudori, ketiga cerber di atas memenuhi kriteria berikut:

1. Story telling yang baik

Apakah fiksi di Femina harus melulu mengangkat unsur lokalitas? Mungkin sebagian Teman bertanya-tanya soal ini, ya. Jawabnya, tidak harus. Kita bisa mengangkat sesuatu yang khas dari sebuah daerah, bisa juga menulis sesuatu yang dekat dengan kita (Jakarta, misalnya). Asal, penceritaannya baik. It's all about story telling. Ketiga pemenang bisa meramu apik cerita yang mereka tulis dengan latar belakang yang mereka pilih. Jadi, bukan sekadar tempelan. Tokoh-tokohnya terasa akrab dengan pembaca, meski cerita yang satu nun jauh di Kalimantan, yang satu lagi di Aceh. Uniknya, Yohana dan Mellyan mampu menyisipkan unsur humor, meski tulisan mereka ironik. Humor yang jujur, bukan yang menertawakan. Sementara itu, cerber Siti adalah drama romantis. Tidak ada unsur humor, namun cerita tradisi tato yang diangkat sangat menarik.

2. Teknik penulisan yang baik (editing yang baik)           Tulisan para pemenang Sayembara Menulis Cerber Femina sudah rapi, enak dibaca, tidak perlu banyak diedit oleh dapur Femina.Foto bareng (milik Femina)         Acara yang berlangsung hingga pukul dua siang ini dimeriahkan aneka hadiah dan diakhiri dengan makan siang. Rina Susanti dan Winda Krisnadefa terpilih sebagai penanya terbaik. Sementara, Ani Berta beruntung mendapatkandoorprize. Terima kasih telah mengadakan acara Writing Clinic, Femina! Teman-Teman siap mengirim fiksi ke Femina, kan? Jangan lupa ikut sayembaranya tahun depan, ya! [] Haya Aliya Zaki                       

    
*Semoga bermafaat. Khususnya buat diri sendiri.*

Jumat, 30 Mei 2014

SEPOHON KAYU

Diposting oleh Rumah Kopi di 12.05 1 komentar
Oleh,

Keyzia Chan

Yang harus kau lakukan adalah, bersiap kehilangan. Hal itu tidak bisa dipungkiri karena dalam suatu pengharapan pasti akan ada kekecewaan. Jangan menyalahkan aku jika suatu hari ketika aku tak lagi mencarimu dengan linang air mata di pipi, atau ketika kepalaku sedang dikelilingi oleh ribuan lebah yang mendengung membuatku bingung, aku takkan lagi berlari ke arahmu. Tidak.
Aku bukan saja ingin berjalan di bawah rinai hujan deras dengan kepala tertunduk serta air mata berderaian yang kubiarkan jatuh bersama rerintik itu. Aku ingin merangkak saja. Menunduk dalam-dalam menyembunyikan getir ini dibalik rambut panjangku yang menjuntai. Bersamaan dengan itu, ujung-ujung air kiriman dari langit kubiarkan membasuh luka-luka yang telah lama aku bawa dari dataran ber-mil jauhnya sampai ke negri ini.
Tempat baru belum tentu menyuguhkan cerita yang berbeda. Sungguh.

Aku merindukan rindu. Saat kuketuk setiap pintu yang kukira bisa menampungku untuk tinggal di sana, lagi-lagi aku harus menelan rasa pahit atas kenyataan itu. Deretan rumah yang berjejer di tepi sebuah kanal, pada bangunan kokoh yang terlihat memesona itu, aku tak mendapati apa yang aku cari selama ini. Salah satu pintu rumah terbuka lebar. Aku dipersilahkan masuk, tetapi tidak untuk menetap kemudian menua di sana. Pemilik rumah itu mungkin saja ia iba terhadapku. Atau ia hanya berniat bersenang-senang, barangkali. 


Oleh karena itu aku berpikir bahwa, jika hidup sering memaksaku untuk berdamai dengan apa pun, kali ini aku menginginkan sebaliknya. Aku mencoba menentang alam. Kukira aku bisa meskipun sayatan demi sayatan telah kudapatkan, sedikit pun tak ada keinginan untuk mundur, kala itu. Aku berdiri lalu memutuskan untuk melangkah--antara berani atau tidak. Antara yakin atau tidak. Akhirnya aku pun menyerah setelah memutuskan untuk maju. 


Bukan kalah. Tidak juga berputus asa. Tetapi lebih dari itu semua aku berniat membebaskan hati dari kutukan penderitaan atas keinginanku sendiri yang tak segera kudapatkan. Hatiku layak mendapatkan tempat yang terbaik.


Semenjak itu aku kembali pada rute yang sudah kupersiapkan sebelumnya. Sewaktu melenggang di atas jalan setapak menuju tempat yang sebenarnya aku sendiri tidak tahu berada di mana itu, ketika satu persatu luka sejenak dapat kulupakan, waktu aku kembali berniat menata hidup mencari jati diri bukan hanya pencitraan semata, di situ aku menemukanmu. Kau kusebut rumah. Karena kemana pun aku pergi padamu aku kembali. Bangunan minimalis, modern. Itu lah yang nampak pertama kali. Mungkin belum lama didirikan. Rumah itu.


Dari luar terlihat cukup teduh. Menarik untuk sebuah hunian. Memaksaku berhenti kemudian melihat-lihat setiap ruangan yang terdapat di sana. Tanpa sadar aku terlelap. Nyaman sekali. Itulah awalnya. Karena kauterus meyakinkan aku untuk tinggal, lambat laun aku pun luluh juga. Sejenak lupa dengan tujuanku sebelumnya. Mencari jati diri. Membangun mimpi. 


Tetapi ada kalanya rumah itu seperti asing bagiku meskipun aku sudah lama tinggal di sana. Bangunan minimalis modern yang dulu menggemaskan itu, membuatku tidak betah, kini. Suatu ketika aku mendapati rumah dalam keadaan terang benderang. Dengan pencahayaan seperti itu mengisyaratkan bahwa penghuninya belum beranjak keperaduan. Aku berada di luar kala itu. Tubuhku basah kuyup. Aku ... Aku ..., tentu saja menggigil kedinginan saat hujan kembali menampar-nampar wajahku. Menghujam tubuhku. Aku butuh perlindungan di rumah itu, tetapi justru kau (rumah) tak segera membukakan pintu untukku. Kau membiarkan aku sendirian di luar. 


Aku mengutukimu. Merutuki kesialanku. Menyalahkan semua-muanya. Aku berteriak tapi suaraku tertahan. Aku meronta namun sejatinya anggota tubuhku tak dapat bergerak. Aku limbung. Hilang dan tenggelam dalam dendam purba. Kesedihan dan penderitaan  menganak pinak yang justru dari situ lahirlah jiwa baru. 


Aku menjelma menjadi sebatang pohon. Aku lah pohon itu. Dahan, ranting, dedaunan rindang--siap memberi perlindungan pada siapa saja yang membutuhkanku. Aku lah pohon itu. Dimana meskipun angin, hujan, terik mentari silih berganti menerpa, aku tetap berdiri kokoh di sana. Aku lah pohon itu yang jika kau memotong dahan atau ranting untuk kau jadikan api unggun demi menghangatkan seluruh penghuni rumahmu, aku rela melakukannya. Aku meminta upah? Tentu saja. Tetapi jangan khawatir, aku tak akan memepersulitmu. Cukup kirimi aku secarik doa yang kau rapal setiap saat ketika mengingatku. Upahi aku dengan seulas senyum. Senyum tulus luapan kegembiraan dan akulah yang mendatangkan kegembiraan itu.


Aku tidak butuh siapa-siapa untuk menggantungkan nasibku, kini. Aku hanya perlu berdiri pada pijakan yang kuat supaya akar-akarku bebas menjalar. Di mana ada pengharapan, aku akan hidup dan bertahan. Sebaiknya kusimpan perasaanku ini. Tentang pahit yang kusulap menjadi manis, di situ mungkin mereka melihatku sedang berpura-pura. Mencari pencitraan baik. Ya sudah jika sepicik itu pikiran kalian aku hanya turut prihatin saja. Tetap berbuat seperti biasa karena kebahagiaanku ada di dalamnya. Berbuat yang begitu untuk berinvestasi karena kelak aku membutuhkannya. Aku berjudi. Memasang taruhan dengan harapan mendapat hadiah besar yang datangnya dari Tuhan.

Aku sepohon kayu. Dan kau rumah. Rumah tetap membutuhkan kayu. Tapi pohon tidak butuh rumah. Dia tentu saja hidup liar di alam terbuka. Kau dan alam yang memaksaku menjadi seperti ini. Aku sepohon kayu, kini.


Taipe, 31 Mei 2014

Info keren

Diposting oleh Rumah Kopi di 08.51 0 komentar

Syarat Pengiriman dan Contoh Cerpen ke Femina dan Kartini

Posted on December 22, 2013 by Jihan Davincka

Perasaan sudah pernah posting tentang ini, ya? Tapi lupa di postingan yang mana. Banyak yang bertanya jadi daripada bolak balik, ditulis saja selengkap mungkin di satu tulisan khusus :).Kok Kartini sama Femina doang? Ya pernah dimuatnya di situ doang. Itu pun cuma 3 kali hihihi. Entah kenapa sekarang jarang sekali menulis cerpen-cerpen lagi :(. Banyakan malasnya nih *getokKepalaSendiri*.

Kalau berminat mengirim cerpen ke Femina dan Kartini. Syarat-syaratnya sbb :

1. Kartini, jumlah karakter (with space) sekitar 13.500 karakter (lebih kurang dikit boleh lah ya). Femina sekitar 12.000 karakter (with space).

2. Fontnya bisa TNR bisa Arial, spasi 1.5 atau double juga boleh.

3. Alamat redaksi Kartini –> redaksi_kartini@yahoo.com. Alamat redaksi Femina –> kontak@femina.co.id

4. Honor di Kartini 350 ribu rupiah (transfer setelah sebulan dimuat), di Femina 850 ribu rupiah (transfer semingguan setelah dimuat).

5. Tema sih mirip-mirip, ya. Tapi ingat, Femina tidak suka cerita tentang ‘perempuan cengeng’ . Kartini juga sepertinya sih begitu hehehe.

6. Keduanya selalu memberitahu apa tulisan akan dimuat atau tidak. Tapi Kartini tidak spesifik menyebutkan kapannya sedangkan Femina selalu memberitahu nomor edisi pemuatan sebelumnya .

7. Contoh-contoh cerpen di sana… boleh cek di website Femina untuk Femina. Tapi kalau mau ke blog saya juga boleh hihihihihi 

Ini cerpen saya yang pernah dimuat di Kartini –> 
http://jihandavincka.wordpress.com/2013/05/26/cerpen-yang-kumau/

Ini cerpen di Femina yg Juni 2012 –> http://jihandavincka.wordpress.com/2012/06/27/namanya-aryana-femina-no-242012/

Ini cerpen ke-2 di Femina yg Desember 2012 –> http://jihandavincka.wordpress.com/2013/01/02/cerpen-tiga-rahasia/Hope that helps ^_^.  

Senin, 26 Mei 2014

Takaran

Diposting oleh Rumah Kopi di 20.21 0 komentar
Oleh,
Keyzia Chan
Aku tidak ingat, umur berapa waktu itu. Yang jelas pertanyaan konyol tersebut, hingga kini masih bertengger dalam benakku. Pertanyaan yang menyakitkan, barangkali. Sampai-sampai menciptakan sungai kembar mengalir sejajar di pipi tirus ibuku.
”Bu, kenapa ya, ketiga paman dari keluarga Ibu, semuanya kaya. Hidupnya serba berkecukupan. Padahal mereka terlahir jauh sesudah ibu tumbuh menjadi bocah. Berarti, ibu berjuang lebih lama dari pada mereka. Tapi, justru mereka lebih mapan. Lihatlah, Paman Agus sudah menyandang gelar Haji, begitu juga istrinya. Bulek Is yang masih berusia 38 tahun, sudah menjadi Hajah.” Waktu itu, ibu seperti tidak menggubris ocehanku. Beliau tetap fokus dengan baju lusuh, benang dan jarum. Baju yang sudah tidak layak pakai itu sayang untuk dibuang, katanya. Jika mau sedikit bersusah payah menjahitnya, maka daster ini akan menjadi baju tidur ternyaman. Adem.
Saat itu memang sedang musim hujan. Malam ketika gerombolan awan membungkus desa kecil kami, udara panas bisa disisasati dengan mengenakan pakaian yang bahannya tipis, lentur. Dan daster lama yang ada di tangan ibu itu, memang berguna di saat yang tepat.
Aku duduk di dingklik, tanganku memegang pensil. Buku-buku berserakan di atas meja, ruang tamu. Derik jangkrik serta suara serangga kecil lainnya, menjadi begraound suasana selepas magrib waktu itu. Kami hanya bertiga. Adikku tertidur pulas setelah minum asi. Untunglah produksi asi ibu lancar. Jika tidak, celakalah satu keluarga jika ibu harus mengalihkan jatah belanja untuk membeli susu formula.
Bapak yang menjadi seles jamu godokan, serta suplemen untuk manusia dan hewan ternak--terpaksa tinggal di tempat kost, Wlingi-Blitar. Pada awal tahun 1990 di daerah Blitar bagian selatan, wilayah lereng gunung yang penduduknya jarang memiliki kendaraan pribadi, harus menempuh jalan kaki sejauh 10 KM supaya sampai ke kota sekedar mencari jamu, misalnya. Adalah lahan yang tepat dijadikan tempat pemasaran obat tradisional jawa. Untuk itu, bapak tidak bisa pulang ke Desa Iatiwaru setiap hari. Ibu tidak keberatan atas hal itu, karena kami mengandalkan hasil keringat bapak.
Aku masih penasaran dengan pertanyaan yang memenuhi otakku. Karena ibu tidak bereaksi dengan sederet pertanyaan tadi, maka aku mengulanginya.
“Lalu, lihatlah Paman Budi dan Bulek Rini. Mereka nampak bahagia. Bulek yang seorang guru SD dan Paman Budi memelihara sapi perah. Jika bertandang ke rumah nenek, paman mengendarai mobil Panther Sporti sehingga sekeluarga bebas dari terik mentari atau pun hujan. Begitu pula Paman Irul, usahanya berkembang pesat. Kantor Simpan Pinjam Uang yang ia kelola, memberikan hasil yang luar biasa. Rumah berlantai dua nan mewah, serta mobil Kijang Crysta.” Ibu masih saja tak meladeni celotehku. Aku mendengus, sebal. Kembali berulah memutar otak mengajukan pertanyaan.
”Jika ada yang sama dari kita semua, adalah jumlah anak. Ya, ya, ya. Ibu dan ketiga adik sama-sama memiliki dua anak.” Aku terkekeh waktu itu. Entah bagian mana yang terdengar lucu. Atau barangkali, aku menertawakan diriku sendiri. Yang terlahir ditengah keluarga serba kekurangan.
“Bu, kenapa bisa begitu, ya?” tanyaku memelas.
”Apanya, Nak?”
“Kehidupan kita, kenapa berbeda dengan ketiga paman?”
Sambil terus menusuk lalu menarik benang itu dari daster yang dipegang, ibu mulai bereaksi atas berondongan pertanyaan yang tidak seharusnya menjejali kepala bocah yang baru kelas IV SD. Ibu mendesah pelan. Lampu neon yang tidak cukup terang barangkali membuat mata ibu perih. Ketika melirik ke arahnya, ibu mengucek mata beberapa kali.
“Dengarkan ibu. Setiap orang terlahir dengan takdir yang berbeda, Anakku. Berapa lama ia hidup di dunia? Berjodoh dengan siapa? Berapa banyak keturunan yang dimiliki, semua sudah diatur oleh Tuhan. Begitu pula dengan Ibu, serta ketiga Pamanmu.” Selesai mengucapkan kalimat itu, ibu melempar sembarang benda yang sedari tadi ia pegang. Beliau bergegas ke kamar. Mungkin ada seekor nyamuk yang tengah berjuang mempertahankan hidupnya dengan menyedot darah di tubuh adikku. Atau, barangkali ia mimpi buruk waktu itu. Emm entahlah. Bisa jadi, Unai sedang haus. Tangisnya membahana, tiba-tiba.
Ketika hari libur tiba, saat ibu sedang sibuk menyiapkan makanan di dapur untuk kami, aku mendapat tugas menjaga adik yang masih belum genap berusia dua tahun. Di depan rumah, tegalan milik tetangga yang disulap menjadi halaman--setiap hari dua kali disapu bersih sehingga daun bambu kering yang berguguran tak nampak bertebaran di pekarangan. Aku dan adikku bermain di sana. Gundukan tanah yang sebelumnya aku persiapkan--menggunakan sapu lidi yang disapukan secara rebah, kemudian dengan sendok dan peralatan dapur yang tak terpakai, aku  memperagakan seseorang yang tengah berjualan di toko klontong.
Ibu melangkah mendekat ke arah kami setelah satu jam lebih berjibaku didapur. Tangannya memegang piring yang memuat nasi serta sayuran--siap kami lahap. Kami? Ya, aku dan adikku makan dari piring yang sama dan dari tangan yang sama. Tepatnya, ibu menyuapiku dan adik. Suapan pertama diberikan padaku. Sambil mengunyah, aku meneruskan acara bermain itu.
Adikku memegang sendok teh, serta cepuk bekas sabun colek, seperempat kilo. Sementara aku sendiri, memegang irus serta cepuk bekas sabun colek ukuran setengah kilogram.
Wadah yang aku pegang lebih besar dibanding milik adikku. Wadahku cepat terisi penuh oleh tanah. Sementara milik adikku belum terisi separo.
“Kasihan kamu, Dik, tertinggal jauh oleh Kakak,” aku jumawa, menertawakan adik.
”Persis seperti itulah, jawaban atas pertanyaanmu tempo hari, Nak,” ibu menyahut tiba-tiba.
”Maksudnya bagaimana, Ibu?” Aku melipat dahi. Menatap ibu penasaran.
”Kamu memegang alat yang berbeda untuk mengambil kemudian masukkan tanah demi memenuhi wadah yang beda pula ukurannya. Kamu lebih tua dibanding adikmu. Punya kemampuan lebih darinya. Di luar itu, kamu memegang irus yang beberapa kali lebih besar dibandingkan sendok teh. Sudah barang tentu, wadahmu lebih cepat penuh, bukan?”
***
Waktu itu, aku tak mampu memahami ucapan ibu. Tetapi kini, semua sudah benar-benar kupahami. Bahwa masing-masing orang memiliki takaran, tingkat kemapun, serta keahlian berbeda untuk mendapatkan dan mendatangkan hal yang sama, rezeki.
Selesai
Taipe, 26 Mei 2014

Tips Menulis Dan Menyiasati Redaksi

Diposting oleh Rumah Kopi di 10.49 0 komentar

Rainif Venesa menulis catatan baru: Menulis dan Menyiasati Redaksi by Donatus A. Nugroho.

8 Mei Tadinya pengen inbox ini materi ke teman yang memerlukan materi ini karena kebingungan bagaimana cara menyiasati redaksi. Berhubung inbox/obrolan lagi gak bisa dibuka, jadi pakai catatan saja. Sekalian di share ke kalian. Materi ini pernah dibahas di workshop kepenulisan yang diadakan CRAFF(Cendolers Rafflesia) pada tanggal 11-11-2012 di Bengkulu. Ini makalah asli, tanpa ada mengurangi dan menambah isi dari pembahasan. Semoga bermanfaat. Note: Menulis dengan baik dan benar itu dimulai dari menulis tanpa menyingkat kata dan 4l4y, menggunakan huruf besar pada awal kalimat, nama tempat dan nama orang. Penulis yang keren itu, enggak pakai nama alay pada facebooknya. Misal, R41nif V3n3sa / NeSa. =========================================== 

Donatus A. Nugroho MENULIS DAN MENYIASATI REDAKSI 

Mungkin kamu sudah banyak melahirkan cerpen. Belasan bahkan puluhan judul. Tapi berapa banyak cerpen-cerpenmu yang lolos dan kemudian mucul di media massa? Apakah sudah 3 bulan lebih naskahmu nggak ketahuan nasibnya? Berapa naskahmu yang dikembalikan karena nggak layak muat? Kamu selalu memantau majalah dan tabloid, tapi nggak satu pun cerpenmu dimuat disitu? Atau cerpenmu cuma pernah dimuat sekali dan setelah itu nggak ada lagi? Kamu gagal? Belum! Tidak! Teman, banyak penulis mengalami nasib sepertimu, bahkan penulis-penulis yang kini namanya telah berkibar. Mereka juga sepertimu. Saya pun juga pernah mengalami hal serupa. Naskah entah dimana, naskah dikembalikan dengan coretan-coretan yang nggak berarti. Banyak menulis tapi banyak pula yang nggak dimuat. Tapi pernahkah kamu membayangkan yang ini? 

Faktanya ... Sebagai contoh: Di redaksi majalah Gadis ada sekitar 100 naskah cerpen yang masuk setiap bulannya. Jika Gadis terbit 3 kali dalam sebulan dan setiap kali terbit hanya menampilkan 1 cerpen, berarti hanya 3 cerpen yang berhak lolos seleksi. Selebihnya kemana? Situasi di setiap ruang redaksi pasti berbeda, tapi situasi di redaksi Gadis memberikan gambaran nyata ke kamu bahwa persaingan untuk meloloskan cerpen kita amatlah ketat. Butuh perjuangan ekstra keras, butuh strategi khusus. Tapi perjuanganmu belum berakhir! Ingat, bahwa kamu sudah memiliki jurus-jurus yang handal, bekal untuk menjadi jagoan nulis cerpen. Kamu sudah mampu melahirkan cerpen-cerpen yang bagus dan benar. Jika ternyata naskahmu masih juga belum dimuat, pasti ada sesuatu yang keliru di luar naskahmu. Ada cara-cara lain yang harus ditempuh untuk memuluskan perjuanganmu untuk menjadi seorang jagoan nulis cerpen yang karyanya tersebar dimana-mana. Mari kita telusuri. Menyiasati redaksi Ya, suka nggak suka, manusia dengan jabatan redaksi ini memang menjadi penentu lolos dan tidaknya cerpen kamu. Tapi redaksi itu juga manusia. Dia punya rasa suka dan nggak suka. Dia bisa membenci dan mencintai. Bagaimana caranya kamu bisa memperoleh perasaan suka dan cintanya? Bagaimana kamu mengalahkan ‘keangkuhannya’ sehingga mau berpaling dan peduli dengan cerpenmu? 

Ini adalah bocoran untuk merampas perhatian redaksi: • Penuhi semua aturan tentang kriteria naskah yang telah mereka tetapkan.
 • Pertama kali dan mutlak harus adalah kamu mengirimkan naskah yang betul-betul baik, dari format penulisan sampai isinya.
 • Jika naskahmu dikirim dalam bentuk print-out, usahakan kamu mengirim lembar-lembar yang rapi, bersih dan mudah dibaca. Saya bahkan sering mengirim naskah dengan kertas warna-warni dan amplop surat yang mencolok yang amat berbeda dengan amplop kebanyakan untuk menarik perhatian. • Curi perhatiannya dengan judul dan awal cerpen yang menteror sehingga dia tegerak untuk membaca cerpenmu sampai habis. 
• Perhatikan misi dan visi media yang bersangkutan. Misalnya saja Hai adalah bacaan remaja cowok, sedangkan Gadis adalah bacaan untuk remaja cewek usia 13-17 tahun. Jadi percuma saja jika kamu mengirimkan cerpen bagus yang tokoh utamanya sudah mahasiswi atau wanita karir ke majalah Gadis. • Sodorkan tema-tema yang unik, yang jarang atau bahkan belum pernah diangkat oleh penulis lain. Kalau cuma cinta-cintaan melulu redaksi sudah mabok, karena kebanyakan cerpen remaja yang diterima mengangkat tema pacaran. Cobalah mengupas sisi remaja yang lain. Pertemanan, ilmu pengetahuan, cinta alam, kepedulian sosial dan tema-tema lain yang jarang tergarap. 
• Kamu boleh menelpon redaksi dan berbincang dengannya untuk menanyakan nasib cerpenmu atau meminta advisnya. Jangan sungkan. Toh redaksi dan medianya sebenarnya juga sangat membutuhkan kamu sebagai kontributor naskah demi kepentingan dan kelangsungan media mereka juga. Dalam hal ini kamu bukanlah pelengkap penderita semata. Ajaklah ia berteman sehingga dia punya perhatian lebih pada naskah-naskahmu. Kalau bisa mendapat nomor telepon pribadinya, kamu bisa kirim salam dan menanyakan kabar cerpenmu via SMS. Lebih bagus lagi kalau kamu diperkenankan mengirim naskah ke e-mail pribadinya dan dengan begitu kirimanmu segera dibaca.
 • Tapi sedekat dan semesra apapun hubunganmu dengan redaksi, kalau cerpenmu buruk ya sama saja bohong. Jadi yang utama dan terpenting adalah: cerpenmu harus ‘benar’ dan ‘bagus’! Cerpen tematik Salah satu strategi agar cerpenmu lebih cepat dimuat dan segera pula ketahuan nasibnya adalah menyodorkan cerpen-cerpen tematik. Tahu dong kamu bahwa media cetak selalu punya edisi khusus untuk menyambut hari-hari tertentu. Misalnya edisi ulang tahun, edisi Hari Kartini, edisi 17 Agustus, edisi liburan, edisi Lebaran, edisi Natal dll. Manfaatkan momen-momen khusus itu dengan menembakkan cerpen yang tematik. Caranya, kamu harus menulis cerpen tema tertentu jauh hari sebelum moment-nya berlangsung. Amannya adalah 3 bulan sebelum hari H. Jadi misalnya kamu tahu bahwa majalah Story berulang tahun pada bulan Juli, maka pada bulan April kamu sudah mengirimkan cerpen bertema ulang tahun ke redaksi Story. Cantumkan tulisan “Cerpen Ulang Tahun” di sudut kiri halaman pertama cerpenmu sehingga redaksi langsung tahu bahwa cerpenmu adalah cerpen khusus untuk edisi ulang tahun. Buka majalah Story edisi ulang tahun di bulan Juli dan kamu akan segera tahu nasib cerpenmu. 

Kuantitas menurunkan kualitas? Kamu memang harus ngotot. Seperti halnya kalau kamu sudah ngebet sama seseorang, kamu pun pasti akan ngotot dan berusaha semaksimal mungkin untuk mendapatkan hatinya. Kamu juga harus ngebet agar cerpenmu lolos dan muncul di media. Dan salah satu caranya adalah memberondongkan cerpen-cerpen kamu. Nggak cukup satu, tapi harus dua atau sepuluh! Semakin banyak mengirim semakin besar kans untuk dimuat. Dengan semakin banyak mengirim, namamu otomatis akan sering terbaca oleh redaksi dan akhirnya redaksi sadar akan keseriusanmu dalam menulis cerpen. Percayalah, setidaknya dia akan merasa respek dengan perjuanganmu. 

Menulis cerpen sebanyak mungkin dan menjadi amat produktif bahkan sebelum satu cerpen pun dimuat adalah permulaan yang amat bagus untuk nantinya menjadi penulis yang produktif sekaligus berkualitas. 

Banyak anggapan keliru bahwa produktifitas menulis akan membuat kita kehabisan ide, melakukan pengulangan dan lain-lain yang berakibat pada menurunnya kualitas tulisan. Ini jelas keliru! Kenyataan yang terjadi dari pengalaman dan pengamatan saya, yang terjadi justru sebaliknya. Kuantitas tulisan bisa berkembang berbarengan dengan kualitas tulisan. Ibarat mata pisau, semakin sering dipakai justru akan semakin tajam, dan sebaliknya pisau yang nggak pernah dipakai akan tumpul dan karatan. Nah, daripada tumpul dan karatan mendingan pisaumu dipakai terus biar semakin tajam. Saya amat produktif menulis bahkan saking produktifnya saya terpaksa menggunakan banyak nama samaran agar produktifitas saya nggak mubazir. Nama samaran ini saya gunakan untuk menghindari kejenuhan pembaca yang setiap saat menemukan nama saya di majalah atau tabloid atau koran. Satu atau dua nama samaran yang sering saya pakai akhirnya menjadi sama bekennya dengan nama asli saya. Jangan iri, ya. Kelak kamu juga bisa seperti saya, bahkan lebih. 

Belajar terus, terus belajar Produktifitas menulis harus diimbangi dengan kemauan untuk tetap belajar. Cerpen juga tumbuh dan berkembang seiring kemajuan jaman. Dari waktu ke waktu cerpen mucul dengan tren-tren yang sesuai tuntutan jaman. Sebagai jagoan nulis cerpen kamu pun harus menyadari hal ini. Membaca tren, memasukkan hal-hal dan pengetahuan baru untuk memperkaya cerpenmu. Banyak belajar, belajar sebanyak-banyaknya. Penulis yang cerdas dan mau belajar tercermin lewat karyanya. Penulis yang cuma menulis begitu-begitu saja akan segera tersingkir oleh persaingan.

Agar nggak kehabisan ide, kamu harus belajar banyak hal. Kamu harus paham banyak hal. Kamu harus tahu tentang tren film, musik dan gaya hidup kekinian. Kamu juga kudu memahami perkembangan teknologi, mengetahui situasi politik yang tengah berkembang, bahkan gejolak yang tengah terjadi di belahan dunia lain. Dengan memahami atau paling tidak mengetahui banyak hal, cerpen-cerpenmu pun akan semakin beragam dan bernas. 

D i s i p l i n 

Jika kamu sudah berkomitmen untuk menjadi seorang penulis atau cerpenis (ingat terus komitmen awalmu!) kamu dituntut untuk setia dengan pilihanmu. Dan pilihanmu mengandung konsekuensi yang harus kamu penuhi. Seperti juga pada kegiatan dan profesi yang lain, menulis pun menuntut tanggung jawab profesi dan kedisplinanmu. Kini setelah kamu semakin mahir menulis cerpen, kamu harus pastikan jadwal menulismu. Atur waktu secara teratur kapan kamu HARUS menulis. Keteraturan yang kamu ciptakan akan menimbulkan kebiasaan bagus, sehingga ketika tiba waktunya kamu berhadapan dengan komputermu, sadar atau nggak sadar kamu sudah siap untuk menulis. 

Perasaan bersalah! 

Munculkan perasaan bersalah jika kamu mengingkari komitmenmu. Serang perasaanmu ketika terlalu lama kamu nggak menulis dan nggak melakukan apa-apa untuk tujuan menulis cerpen. Saya selalu merasa bersalah ketika terlalu lama nggak menulis. Saya merasa seperti seorang pegawai yang membolos dari jam kerja dan karenanya saya harus siap menghadapi sanksi dari atasan saya. Saya malu jika banyak hari yang bolong tanpa sebuah tulisan. Saya merasa dikejar-kejar oleh sesuatu. Bisakah kamu menyalahkan dan menghukum dirimu sendiri ketika kamu lama nggak menulis? Kamu harus! Berdiskusi dengan komunitas Untuk lebih mengasah kemampuan menulismu bergaullah dengan orang-orang yang seminat dan setujuan. Jika di kotamu ada komunitas penulis, bergabunglah dengan mereka. Jika nggak ada, carilah satu atau dua penulis dan membentuk kelompok diskusi. Atau kamu bisa nimbrung di milis-milis penulis cerpen di internet. Dari diskusi dan obrolan nggak tertutup kemungkinan kalian bisa nulis bareng. Menyatukan ide dan gagasan lalu mewujudkannya dalam sebuah cerpen. Kolaborasi dalam menulis cerpen itu sah dan sudah sering dilakukan oleh banyak penulis. Biasanya ini terjadi pada penulis yunior yang ingin karyanya disempurnakan oleh penulis senior. Selain untuk bertukar pengalaman dan memperluas wawasan, kalian juga bisa saling berbagi peluang. Mungkin temanmu menyimpan alamat-alamat redaksi yang selama ini kamu abaikan. Mungkin temanmu punya ‘hubungan khusus’ dengan redaksi majalah tertentu. Manfaatkan akses yang dimiliki untuk memperlancar upayamu menembus media sebanyak-banyaknya.

 ***

Sabtu, 24 Mei 2014

Rahasia Dapur Orang Beken

Diposting oleh Rumah Kopi di 17.12 0 komentar

Ini lebih dari keren. Tips dari novelis yang sudah malang melintang di dunia kepenulisan, Windry Ramadhina. Supaya nggak terselip dengan file lain, maka saya pajang artikel ini di blog pribadi saya untuk memudahkan pencarian sewaktu-waktu dibutuhkan.

Windry Ramadhina

 Home Books Read Stories Windry's World News Writing Tips About Windry ▼

(Tips) Getting to Know Your Character

Aih, berapa lama saya tidak menulis sesuatu di blog ini? Belakangan saya memang benar-benar sibuk. Selain mempersiapkan terbitnya 'Memori' yang telah rilis awal bulan Mei, saya fokus mengedit novel berikutnya. Kini, setelah dua urusan itu selesai, saya punya sedikit waktu luang untuk berbagi beberapa tips menulis.

Saya ingin bercerita tentang penokohan. Seringkali, kita menemukan tokoh-tokoh yang, well, klise dalam sebuah novel. Banyak penulis, semoga saya tidak termasuk, kesulitan menghadirkan sebuah tokoh yang utuh, yang terasa nyata dan mampu melekat dalam benak pembaca untuk waktu yang lama.

Sebenarnya, ada beberapa panduan sederhana untuk mengembangkan tokoh dalam novel. Saya telah mempraktikkan ini dan ingin menyarankannya kepada teman-teman.

Pertama.

Deskripsikan ciri fisik tokoh kita secara detail. Tinggi dan berat badan, gaya rambut, bentuk tubuh, postur (bagaimana cara dia berdiri, duduk, melangkah, dll), warna kulit, warna rambut, warna mata, bentuk hidung, suara, dan seterusnya. Catat juga apabila dia memiliki tanda lahir, bekas luka yang tidak bisa hilang seperti bekas jahitan yang dia dapat ketika umur tujuh tahun. Bagian tubuh mana dari dirinya sendiri yang dia sukai, bagian mana yang dia tidak sukai.

Kedua.

Deskripsikan ekspresi-ekspresi wajah dan bahasa tubuh yang sering ditampilkan tokoh kita. Apakah dia punya gerak-gerik khusus yang menjadi kebiasaannya, seperti mengusap-usap tengkuknya saat gugup atau mengetuk-ngetuk lutut dengan jemari saat merasa bosan.

Ketiga.

Deskripsikan isi lemari pakaian tokoh kita (pakaian, sepatu, tas, aksesori). Penulis harus tahu persis apa-apa saja yang biasa tokohnya kenakan. Apa pakaian kesukaannya, sepatu kesukaannya, tas yang dijinjingnya. Bagaimana dia bergaya dalam situasi tertentu--pesta, misalkan. Bahkan, penulis harus tahu brand yang karakternya pakai, di mana pakaian-pakaian itu dibeli, berapa kisaran harganya, apakah dia memang sanggup membeli itu atau itu barangfake. Kesan apa yang ingin ditampilkan lewat itu. Apakah dia glamor, chic, kasual, rapi, kuno, feminim/ maskulin/ metroseksual, dll.

Keempat.

Deskripsikan properti apa saja yang dimiliki tokoh kita. Apakah dia punya rumah atau mengontrak atau menumpang? Di mana? Bagaimana dia mendapatkannya? Seperti apa tempat yang dia tinggali, seluas apa, bagaimana lingkungan dan tetangganya. Apa dia punya kendaraan? Motor, mobil, atau sepeda? Apa tipe, warna, dan brandkendaraan itu (atau malah kalau bisa keluaran tahun berapa)? Apa dia punya aset seperti perusahaan, tanah, emas, dll.

Kelima.

Deskripsikan barang-barang yang dimiliki tokoh kita, termasuk benda-benda kenangan yang dia simpan secara khusus. Dalam buku 'Memori', Simon memiliki sketsa usang yang mempertemukan dia dengan Mahoni. Dalam 'Orange', Faye memiliki kamera kesayangan Nikon F5, Diyan memiliki ponsel berisi nomer telepon Rera dan kumpulan foto Paris di kamarnya. Dalam 'Metropolis', Johan memiliki banyak CD Nouvelle Vague.

Keenam.

Deskripsikan ketertarikan dan hobi tokoh kita. Apakah dia penggila fotografi, penyuka acara dokumenter 'Mega Structures', atau penggemar Frank O Gehry. Apa musik, film, buku, makanan, minuman kesukaannya? Apakah dia memilih Jazz atau Rock? Ethan Hawk atau Brad Pitt? Film roman atau komedi? Junkfood atau salad? Kopi atau teh? Jus atau soda? Apa yang dia lakukan di waktu luang? Apa hobinya? Apakah dia punya hobi yang kini telah dia tinggalkan? Oh, banyak sekali yang bisa kita gali dalam hal ini.

Ketujuh. 

Deskripsikan sifat dan kepribadian tokoh kita. Melankolis, plegmatis, koleris, atau sanguinis? Introvert atau extrovert? Pemalu atau pandai bergaul? Senang bercanda atau serius? Cermat atau ceroboh? Penakut atau pemberani? Feminim atau tomboi? Cerewet atau pendiam? Cuek atau sensitif? Pemarah atau sabar? Sediakan waktu yang cukup banyak untuk mendalami kepribadiannya. Ini hal penting yang akan berpengaruh kepada tingkah lakunya, keputusan yang dia ambil, tindakannya, dan ujung-ujungnya jalan cerita. Karena, saya percaya, karakter lah yang menentukan arah cerita kita. Bukan penulis. Konflik semata-mata adalah perbenturan karakter dengan karakter, kepentingan dengan kepentingan.

Terakhir.

Ceritakan perjalanan hidup tokoh kita sebanyak beberapa halaman, dari dia lahir hingga titik yang diinginkan dalam kisah. Fokus kepada hal-hal penting yang dia alami, yang menentukan arah hidupnya.

Oke, barusan itu adalah delapan poin yang selalu saya gali untuk tokoh-tokoh novel saya. Biasanya, saya menggunakan sebuah buku tulis khusus untuk pendalaman karakter tokoh-tokoh tersebut dan menyertakan sketsa wajah dan tubuh. Barangkali tidak semua informasi di atas akan terpakai dalam novel, tetapi--percaya kepada saya--semua itu tidak akan sia-sia. Semakin banyak informasi yang kita miliki, semakin kuat tokoh dalam novel kita. Kita pun akan memiliki keterkaitan emosi dengannya.

Ingat satu hal ini, teman-teman. Pesan dalam novel kita bisa tersampaikan apabila pembaca memiliki empati kepada tokoh kita. Seperti Johan. Dia jelas-jelas tokoh antagonis, tetapi kebanyakan pembaca 'Metropolis' justru terpikat kepadanya dan sedih ketika tokoh itu berakhir dengan tragis. Dan, empati diawali dari kedekatan antara pembaca dengan tokoh.

Nah, selamat mencoba. Ayo, buat tokoh-tokohmu utuh dan kuat!windry at 12.5.12Share 

7 comments:

Radiana FasihMay 15, 2012 at 1:37 AMterimakasih tips nya :DReplyReplieswindryMay 15, 2012 at 5:04 AMsama-sama. semoga bermanfaat :)ReplysaptoriniMay 21, 2012 at 6:41 AMPas banget, nih, saya baru bingung bikin karakter yang kuat *baru belajar nulis novel*ReplyReplieswindryMay 21, 2012 at 8:52 PMd^_^b yay, writing is cool! selamat mencoba tips ini, ya :)Replyriawani elytaAugust 13, 2012 at 12:04 AMkeren tipsnya mbak, novelnya juga keren, yg Memori :)ReplyReplieswindryAugust 13, 2012 at 3:43 AMterima kasih :). thanks for reading MemoriReplyDial ApriliandaSeptember 12, 2012 at 8:50 AMkak windry, tipsnya bermanfaat pake banget. kebetulan saya baru mau mulai nulis novel true story, ditunggu tips"lainnya kak! sukses terus!! :DReply‹›HomeView web versionPowered by Blogger

Jumat, 23 Mei 2014

Mengapa Harus Menulis?

Diposting oleh Rumah Kopi di 18.41 0 komentar

Menulis itu bukan seperti kau memburu baju yang telah lama kauidamkan. Ada uang di dompet lalu bergegas membelinya--mengenakannya di depan banyak orang supaya mendapat pujian. Bukan seperti itu. Menulis itu terapi jiwa. Pikiran dan hati yang saling memanggil untuk memadukan langkah. Menyampaikan perasaan yang tak terungkap lewat lisan. Mengenal, mempelajari hal dasar tentang tata cara ejaan yang disesuaikan. Perlahan mencoba mengaplikasikan teori yang pernah dilahap sebelumnya. Mengeksplor daya tangkap terhadap rangsangan yang kau dapat di sekitar. Merangkumnya untuk diceritakan kembali menjadi sebuah suguhan apik. Layak dinikmati. Kalau sekedar menulis saja, anak SD juga bisa. Kalau hanya bercerita mengenai pengalaman liburan tempo hari anak TK pasti lebih ahli. 

Intinya menulis itu butuh proses yang tentu saja tidak secepat saat kau memakai bulu mata palsu. 

Dalam dunia literasi, berlaku hukum rimba. Siapa yang kuat dia layak terus bertahan, berjalan. Dunia menulis itu keras. Kejam. Ibarat sabetan pedang yang menembus kulit bisa diobati dalam waktu beberapa hari atau bulan, tetapi sabetan kata-kata yang kau terima dan terlanjur mengendap dalam palung hati tentu lebih sulit diobati.

Menulis itu dunia mereka orang-orang yang otaknya penuh dengan materi. Tak terhitung berapa banyak tumpukan buku yang telah dibaca. Di luar pengetahuan ilmu yang diterima dari internet serta langsung dari para ahli.

Tapi, kembali lagi pada niat awal. Untuk apa menulis? Apa yang menjadi motifasi menulis? Saya sendiri, jujur saja menulis untuk bersenang-senang. Membangkitkan sisi lain dari apa yang sudah saya bangun. Di samping karir serta masa depan yang sudah saya rintis jauh sebelumnya. Menulis untuk berbagi cerita. Dari pada bergumul dengan orang-orang yang akhirnya menggunting dalam lipatan, lebih baik menulis sehingga tidak perlu susah payah mencari teman untuk curhatan.

Menulis bagi saya bukan ajang keren-kerenan. Gaya-gayaan. Lebih dari itu. Yang jelas saya malah takut terkenal. Saya tidak dan belum siap jika kehidupan pribadi saya terusik. Bukankah orang kebanyakan sibuk mencari tahu masa lalu serta celah buruk yang digunkan senjata menjatuhkan lawannya. Saya menulis karena hal itu menyenangkan.

Menulislah supaya selalu ingat hal apa saja yang telah kau alami. Perasaan yang bagaimana--menyapa hidupmu. Menulislah supaya dunia tahu bahwa di dunia ini adalah dirimu salah satu milyatan penduduk bumi. :D

Taipe, 22 Mei 2014

Selasa, 20 Mei 2014

Rain at a Morning

Diposting oleh Rumah Kopi di 07.12 0 komentar

Selamat pagi, Lalaland. Sudah sarapan belum? :D

Selasa yang basah. Meskipun hujan sudah berlalu tapi, langitnya masih tetap kelabu. Seperti hatiku. Ngantuk ditambah kepala terasa berat. Haiiyaa! Jadi males kerja. Benar juga kata pepatah, ”Mesin penghemat tenaga adalah suami yang berada.”

Hei! Hei! Hei! Jika kamu tidak memiliki kekuatan untuk memperjuangkan, memerdekakan banyak orang. Setidaknya kamu jadilah pahlawan untuk dirimu sendiri. Merdekakan hidupmu dari segala hal buruk yang membelenggu. :D

Eh, tadi pagi aku membaca sebuah artikel di blog, tentang kepribadian INTROVERT. Hei, Lalaland? Apa menurutmu orang yang menikmati dunianya dalam kesendirian, disebut pribadi yang aneh? Orang-orang yang menarik diri dari pergaulan luas. Jarang berbicara kecuali dengan mereka yang dipercaya, menurutku itu adalah hal wajar karena tidak semua orang memiliki kepedulian yang sama terhadap si ITROVERT.

Pendiam itu terkesan sombong dan tidak mau tahu urusan orang di sekelilingnya, ya! Parahnya jika dikaitkan dengan hal lain, dituduh merasa paling hebat, misalnya. Aauuoooo menyakitkan.

Mungkin saya adalah salah satu contoh nyata jenis manusia yang terlihat menyebalkan.

Ada beberapa teman, kerap menodong saya dengan pertanyaan seperti ini: ”Key, kamu nggak sedih sering dikatain blagu. Sombong dan semacamnya?”

Dengan tegas saya menjawabnya, ”Jujur, awalnya nangis jejeritan dalam kamar tujuh hari tujuh malam. :D Enggak, ding! Saya mencoba bersikap obyektif saja. Mereka boleh berpendapat tentang apa yang dilihat. Tapi, jangan menyimpulkan argumentasi tanpa disertai fakta. Mungkin, dari luar memang saya nampak seprti itu. Terlepas dari itu, mereka yang mengenal saya secara pribadi pasti paham siapa dan bagaimana diri saya.”

Kembali pada topik Introvert.

Tidakkah kalian pernah berpikir bahwa orang dengan kepribadian introvert, biasanya memiliki latar belakang hidup yang cukup menyedihkan. Lantas, jika mereka memilih untuk mengasingkan diri dari keramaian untuk menjaga privasinya, apakah itu berlebihan! Siapa yang bisa menjaga hati ini jika bukan pemiliknya sendiri?

Bukankah setiap orang perlu waktu untuk menyendiri dan memikirkan hal-hal apa yang sudah dilalui. Dan keputusan apa yang akan diambil untuk menjalani kehidupan masa depannya.

Semua dikembalikan pada masing-masing. Anggapan yang kurang menyenangkan tentang dirimu, biarkan saja. Toh lama-lama akan menguap jika tidak mendapat tanggapan. Lagi pula, mereka berhak untuk bersuara. Dan siempunya pribadi, punya kewajiban untuk menyikapinya secara bijak.

Semoga hari ini menyenangkan ya, Lalaland. Jika ingin mendapatkan sesuatu yang lebih, maka harus bersiap meberikan hal yang sama. Jadi, nikmati saja semua yang akan terjadi hari ini. Semoga rezekinya barokah, dan kebaikan selalu menyertaiku. Aamiin.

Taipe, 20 Mei 2014

Jumat, 16 Mei 2014

What? Oh, No!

Diposting oleh Rumah Kopi di 17.13 0 komentar

Hai, Laland, alhamdulillah ketemu lagi dengan Jumat, ya!
Apa yang kaulakukan seharian tadi?

Eh, malah balik nanya. -_-
Baiklah, baik ... Akan aku ceritakan kegiatanku seharian.

Seperti biasa, bangun pagi dengan kesadaran yang belum maksimal. Ya, ya, ya! Sebab, seseorang sudah berteriak memanggil namaku sebelum kesadaranku kembali. Maksudku sadar dari alam tidur. Bukannya pingsan. -_-

Jadwal hari ini padat. Tak perlu dijelaskan bukankah kau sudah hafal diluar kepala? Jika ada yang kurang menyenangkan dari hari ini adalah, berita itu datang dari tempat Dokter Chen. Seperti yang pernah aku dengar dulu, tahun awal aku bekerja, kudengar di sana akan mengambil tenaga kerja full time. Otomatis jika itu terjadi, aku tidak akan kerja di tempat Dokter itu. Dan berarti ... Ah, apa yang bisa aku lakukan? Bukankah semua hal tidak dapat kuputuskan sendiri.

Bagaimana, ya? Aku ini manusia biasa. Untuk menerima segala sesuatu yang datang secara tiba-tiba, pasti butih waktu. Masalah satu belum terselesaikan, sudah datang masalah lainnya. Aku ... Entahlah. Terkadang memang sengaja bepura-pura lupa dengan masalahku itu, tetapi sebenarnya aku juga memikirkannya. Apalagi kalau sedang sendirian. Rasa khawatir itu sering datang seperti jelangkung saja.

Bagaimana, ya? Dipikirkan juga tak ada gunanya karena kali ini benar-benar tidak kunjung menemukan solusinya. Maka aku pura-pura lupa. Dan apa kautahu? Itu menyedihkan. Ibarat makan tapi tidak kenyang. Aku terlihat tertawa padahal sebenarnya itu hatiku meraung-raung tak karuan.

Laland, bukankah hal mustahil jika tak ingin mendapat masalah. Cobaan. Ujian. Bukan hidup jika tidak ada hal menyedihkan di balik kebahagiaan. Pun sebaliknya. Ah, kali ini pasrah sajalah. Toh, aku ini masih punya Tuhan yang senantiasa menjagaku. Bukannya pesimis, Laland, kalau menyangkut pekerjaan di sini bukankah aku tak punya wewenang memutuskan! Aku bukan pedagang yang harus memiliki seribu cara bagaimana menjual dagangannya. Aku pekerja upahan. Jika tenagaku sudah tidak dibutuhkan, bukankah aku harus menerimanya, bukan? Yang jelas, ini tidak menyangkut kwalitas kerjaku. Hanya masalah waktu. Kautahu ’kan? Di sana, di tempat Dokter itu, aku pekerja part time. Sedangkan tugas utamaku kan menjaga pasien yang di sini.

Yang menyedihkan adalah, penghasilanku bakal berkurang. Padahal biaya kuliahku, asuransi, deposito, dan tunjangan untuk orangtuaku, tidak bisa bisa dirubah lagi. Maksudku, semua harus tetap seperti itu. Tidak ada yang dikorbankan. Semua itu kewajibanku. Emmm ...  Bagaimana, ya?

Entahlah kali ini aku angkat tangan. Semoga aku sehat. Itu saja. Supaya tidak menambah runyam urusanku. Lagi pula ini hanya rencana dari pihak sana. Belum ada kepastian. Semoga apa pun yang akan terjadi kelak, itu yang terbaik untukku serta semuanya.

Taipe, 16 Mei 2014

Senin, 12 Mei 2014

Girl On A Fire ( A. Keys)

Diposting oleh Rumah Kopi di 16.56 0 komentar


Iya, nggak apa-apa.”

”Oh, itu ..., emm tadi mataku kemasukan debu, di jalan.” 

Disadari atau tidak, wanita lebih sering berbohong demi menutupi perihal yang sebenarnya terjadi. Bukan hanya itu, kebohongan kecil yang ia ciptakan tak lain supaya orang yang disayangi tidak ikut menanggung beban, serta serentetan kegelisahan hatinya.

Namun, apa yang ia lakukan tersebut tak urung malah menimbulkan asumsi lain. Tak tertulis dalam Kitab Agama mengajarkan berbohong demi kebaikan. Mungkin lantaran hal itu, kebohongan yang dilakukan wanita, justru berbalik menyerangnya. Diamnya dianggap sok kuat/ tidak butuh bantuan pihak lain saat ia tengah berada dalam kemelut masalah.

Wanita dengan sejuta pesona. Di balik kelembutannya, tersimpan kekuatan besar yang mampu menghancurkan. Air mata, amarah, naluri penyayang yang ada dalam dirinya, menjadikan ia makluk abu-abu. Kelembutannya berubah garang mana kala ada hal yang mengusik hatinya. Jika sudah begitu, air mata tak ayal meluap dan mungkin saja bisa menenggelamkan dirinya. Tetapi, naluri penyayang yang tertanam dalam sanubarinya, perlahan mampu menetralisir keadaan. Akhirnya, ia mengalah agar keadaan lebih baik.

Wanita meskipun egois tetapi ia adalah makluk yang paling peka. Rela berkorban untuk kebaikan orang-orang di sekitarnya. 

Apakah selamanya wanita hanya dan harus mengalah? Tidakkah ia diperbolehkan untuk menyampaikan apa yang ia rasakan? Apa benar wanita hanya diizinkan menunggu tanpa menggerutu? Tidak! Tidak! Tentu saja saya tidak setuju dengan pemahaman tersebut. Wanita, meskipun lebih sering memakai perasaan daripada logika, tetapi baginya setiap tindakan selalu disertai alasan. Bukankah, jika semua hal berjalan normal, tak mungkin ia gusar, lantas berkata kasar.

Ya, ya, ya, mungkin wanita harus selalu belajar bersabar. Bersabar dan selamanya harus bersabar. Tidak mudah menjadi wanita. Ia memiliki peran ganda. Menjadi ibu yang baik serta istri yang cerdas. Selain harus mampu mengendalikan emosinya sendiri, wanita juga mesti pandai mengendalikan emosi pasangannya. Kedamaian lelaki terletak pada wanitanya yang senantiasa manjadi penawar segala asa.


Taipe, 12 Mei 2014





Jumat, 02 Mei 2014

Lonely be Happy

Diposting oleh Rumah Kopi di 12.36 0 komentar

Hai, apa kabar, Lalaland?

Jumat yang lembab. Jumat yang harusnya disambut dengan jiwa penuh semangat. Tetapi, hari ini aku benar-benar tak siap menyambut segala kejutan yang terjadi. Rasa lelah masih saja menggelayuti tubuhku. Kelopak mataku melebar. Tandanya aku kurang tidur. Ah, aku selalu kalah. Tak bisa menjaga diriku. Kondisi.tubuhku.

Oh, iya, Lalaland! Apa kamu suka sepi? Maksudku, berada dalam tempat yang sunyi. Hanya ada dirimu sendiri di sana. Tak perlu berinteraksi dengan orang lain?

Ya, kalau aku suka sekali. Aku suka menyendiri. Mulut mengatup. Melakukan hal-hal yang aku suka. Tiduran. Membaca. Menulis. Googling. Itu saja. Aku lebih suka menghabiskan waktuku dengan melakukan hal itu. Tentu saja sesekali, aku jalan-jalan keluar. Belanja. :D

Aku kasih tahukan padamu, ya. Banyak teman banyak masalah yang akan menghampirimu jika kamu tidak pandai menyesueikan diri. Masalahnya, di luar sana banyak karakter orang yang mungkin kontras dengan karaktermu. Tak mungkinlah, jika kamu menyuruh orang lain mengerti dan menurutimu. Pun sebaliknya. Jadi, aku lebih suka menyendiri. Bersembunyi dari mulut sadis mereka yang tak menyukaiku.

Hei, aku kasih tahu, ya! Apa pun yang kamu lakukan, orang lain memiliki celah untuk mencela. Jadi, jangan berharap semua orang bisa menerimamu, meskipun kamu baik bak peri kecil tanpa sayap. Dan belum tentu kamu bisa selalu berbuat baik, bukan? Ayolah! Kita ini manusia biasa yang memiliki banyak kekurangan. Kelemahanku adalah, aku selalu labil. Emosiku sering tak terkendali. Aku tak suka hal ini. Aku, tentu saja ingin selalu belajar bersabar. Namun belum berhasil. Padahal, kondisi fisikku ditentukan oleh kemampuanku mengendalikan emosi.

Sederhana saja. Aku sensitif. Ini menyiksaku, karena terlalu perasa. Jika emosiku meningkat, denyut jantungku berdetak cepat. Dan itu tidak baik untukku. Sekarang, aku lebih menyukai dan menikmati kesendirianku. Melakukan apa pun berdasarkan keinginanku. Tapi, tetap saja hanya bisa kulakukan di.luar jam kerja.

Hidup ini sederhana. Bahagia pun diperoleh dengan cara sederhana. Kesederhanaan= keseimbangan. Dan hal ini tidak akan membuatku jiwaku lelah.

Taipe, 02 Mei 2014

 

Rumah Kopi Copyright © 2010 Design by Ipietoon Blogger Template Graphic from Enakei | web hosting