Rabu, 22 Oktober 2014

Great Day

Diposting oleh Rumah Kopi di 09.15 0 komentar

Selamat pagi, Lalaland? Masih semangat ’kan?

Hari ke 22 di bulan oktober. Waktu berjalan begitu cepat, ya? Tak terasa sebentar lagi kita sampai.dipenghujung tahun?

Apa yang sudah kamu peroleh dari perjalanan selama hampir sepuluh bulan terakhir, Lalaland?

Kalau aku, sih! Emm ... Banyak catatan pekerjaan yang belum terselesaikan. Entah kenapa ada saja penyebabnya perihal alasan mengapa aku mengulur hal itu. Terkadang aktuvitas kerja menyita seluruh perhatianku. Tak jarang badan juga drop. Apa itu hanya kamuflase dari rasa malas yang membudaya?

Lalaland, untuk menjalani hidup bahagia itu kuncinya hanya satu. Fleksible. Lentur. Lentur di sini bukan berarti lembek yang mudah terombang-ambing alias tidak memiliki prinsip. Lentur versiku itu adalah bagaimana manusia mengikuti alunan kehidupan itu sendiri. Misal, ketika kita benar-benar mengharapkan sesuatu [A] namun nyatanya yang diperoleh justru [Z] yah, terima saja. Berpikir yang baik. Bahwa itulah yang terbaik.

Bukannya tidak mau berusaha! Bukankah pengharapan itu di dalamnya ada tindakan atas suatu keinginan?! Jadi ’lentur’ tidak boleh dianggap menyerah. Tetapi lebih dari penerimaan atas apa yang.didapat. Ketika bersikeras mempertahankan keinginan yang mungkin saja tidak bisa diperoleh hal itu justru menimbukan penyakit galau. Sedikit berharap, sedikit resiko patah semangat.

Mengenai pandangan orang terhadapmu, janganlah hal itu menjadi beban. Kita tidak perlu berpura-pura bisa kalau sejatinya memang belum mampu. Kita tidak harus sibuk menyapa mereka satu persatu hanya agar diakui bahwa kita ini bukan maklhuk sombong. Biarkan saja oponi terbentuk beraneka ragam. Tetap menjadi diri sendiri saja. Itulah hal terbesar yang harus selalu ada.

Dunia tak perlu tahu saat aku jatuh. Ketika aku sekarat. Atau semacamnya. Dunia hatus tahu bahwa aku begitu bahagia dengan kehidupanku.

Taipe, 22 Oktober 2014

Selasa, 21 Oktober 2014

Cerita Malam

Diposting oleh Rumah Kopi di 22.42 0 komentar

Hai, Lalaland ....

Malam ini seperti biasanya aku mengikuti kelas dengan ngantuk. Pelajarannya nggak masuk ke otak. :D

Yang ini kalau ketahuan dosennya, aku pasti kena gampar. Tapi karena tidak ada rahasia di antara kita, aku kasih tahukan ke padamu, ya! Kalau dosen menjelaskan materi itu rasanya kayak dininabobokkan, deh! Hihi

Oh, iya Lalaland ... Kamu sedang sibuk apa sekarang? Lalu, bagaimana dengan teman-temanmu? Masihkah mereka seakrab dulu?

Kalau aku, ya! Seperti biasa. Sibuk kerja dan belajar. Wah! Hal itu terdengar keren sekali, pasti. Bisa membagi waktu antara kewajiban bekerja dengan tuntutan kuliah. Yang tak kalah kerennya lagi, nih ..., disempatin untuk tetap menulis. Itu sih, hobby yang sudah mendarah daging. Suka.

Yang paling menyedihkan dari itu semua, aku melakukannya dengan setengah hati. Ya, semuanya tak terkecuali. Sehingga kautahu sendirilah! Hasilnya nggak memuaskan. Pelajaran meskipun beberapa kali tugas mendapat nilai yang bagus, tetapi tak satu pun materi yang terserap di otak. Hah! Ya, benar. Aku payah!

Lalaland, dalam hidup itu kita tidak perlu menguasai.satu bidang tertentu. Menjadi ahlinya. Tidak perlu.

Kurasa tidak usah begitu. Mending mencoba mengerjakan atau mempelajari banyak hal supaya jika satu roboh-satunya bisa menopang. Menjadi orang yang serba bisa itu kan keren.

Taipe, 21 Oktober 2014

Kamis, 09 Oktober 2014

ARTI SAHABAT

Diposting oleh Rumah Kopi di 13.17 0 komentar
ARTI SAHABAT

Oleh Keyzia Chan

Aku pernah dijukuki bunglon, tapi aku tidak merasa sedih atau semacamnya. Bukannya sok polos! Entahlah, yang jelas aku enjoy saja dengan julukan itu. Mereka pikir itu lelucon yang jika digunjingkan berjamaah, bisa mendatangkan gelak tawa nan meriah. Bagiku julukan tersebut justru mempertegas seberapa besar ketulusan yang aku miliki. Demi menciptakan pelangi di hari-harimu.


Waktu itu, kupecahkan celengan jago yang belum lama aku beli dari pasar loak. Bisa kaubayangkan bahwa berat benda tersebut belum bertambah dengan seberapa? Aku tidak peduli itu. Setelah celengan kubanting, tentu saja pecahannya beserta kepingan uang logam berserakan di lantai. Ibu yang mendengar suara gaduh dari kamarku, lekas menghambur menghampiri. 
Kepalanya menyembul di balik pintu seraya bertanya penasaran, ”Apa yang akan kaulakukan dengan uang itu, Nak?”

“Aku akan menggunakannya untuk hal penting, Ibu.”

”Tentu saja Ibu tahu itu. Tetapi, adakah hal luar biasa hendak kaubeli dengan tabungan yang masih sedikit itu? Kenapa kau tak menyampaikan pada ibu, perihal keinginanmu itu!”

Aku berhenti memunguti uang logam tersebut. Setelah menghela napas lemah, kusampaikan niatku pada ibu, “Uang ini bukan untuk membeli sesuatu yang aku inginkan. Lebih dari itu. Aku sangat membutuhkannya. Demi seseorang yang jika tanpa kehadiranku, setiap detik di hidupnya akan terasa hampa.“ Saat aku menatap wajah ayunya, kedua alis ibu saling bertaut. Pastilah ibu menduga, bahwa putrinya sedang jatuh cinta.


“Ibu, tahukah engkau di mana aku bisa membeli sekotak senyum?” Mata ibu membola. Satu detik, dua detik, dan hingga detik kesekian ia terdiam.
”Ayolah, aku sangat membutuhkannya. Sekali lagi, demi seseorang yang sangat penting,” ujarku merajuk. Melihat ekspresi ibu yang datar, segera kukibaskan tangan kananku lalu berkata, ”Aih ... Janganlah Ibu bersedih karena tak ada yang mampu menggeser ke dudukanmu di hatiku. I love you, Ibu.” Aku pun terkekeh di akhir kalimat itu.


Ibu melangkah pelan kemudian duduk di tepi ranjang. Rasa penasaran tersirat di raut wajahnya.
“Kemarilah, Nak,” perintahnya sambil menepuk-nepuk tepi ranjang di sebelahnya.

”Kautidak bisa membeli senyum. Bukan karena jumlah uangmu yang sedikit itu. 

Tetapi, di dunia ini tak seorang pun mampu membelinya. Senyum itu memperkaya mereka yang menerimanya. Dia terjadi begitu cepat namun kenangan tentangnya kadang-kadang bisa bertahan selamanya. Tidak seorang pun meski kaya, bisa bertahan tanpa dia. Dia memberi istirahat untuk rasa lelah, sinar terang untuk rasa putus asa. Sinar mentari bagi kesedihan dan penangkal alam bagi kesulitan.”

”Lantas, di mana aku bisa membelinya, Ibu. Lekas katakan ....”

”Yang harus kautahu, Nak ..., senyum itu tidak bisa dibeli, dimohon, dipinjam, atau dicuri karena dia adalah sesuatu yang tidak berguna sebelum diberikan pada orang lain.”

Mendengar penjelasan itu, aku tertunduk lesu. Bagaimana ini? Semangatku tiba-tiba lenyap. Oh, ibu! Adakah yang bisa kulakukan demi seulas senyum ceria untuknya. Demi yang selalu menyebutku bunglon itu. Bisikku lirih.
Terkadang, di depan sahabat manusia tidak memiliki warna spesifik. Bukan! Bukan karena plin-plan. Bukan pula karena tidak memiliki karakter kuat sehingga tidak mampu mempengaruhi. Aku tidak memiliki satu warna saja. Tetapi lebih dari itu, tentu saja padaku ada sejuta warna. 

Sahabat, demi dirimu aku bisa menjadi apa saja. Aku menangis saat kauterluka. Aku bahagia ketika kaubahagia. Aku tidak pandai berjanji, layaknya mentari yang selalu muncul di ufuk timur setiap paginya. Hanya saja, selama kaumasih membutuhkan diriku, aku akan hadir seperti mentari itu--menghangatkanmu. Semampuku.


“Kaujangan murung begitu, Nak. Meskipun tidak bisa dibeli, bukankah senyum itu bisa diciptakan? Kaubisa bercerita tentang suatu hal yang lucu pada seseorang yang kauanggap penting itu. Kau juga bisa mengajaknya untuk refreshing sebentar supaya suasana hatinya jernih kembali. Atau, lakukan apa saja sekiranya bisa menciptakan garis lengkung sempurna demi dia,” ujar ibu mencoba menyemangatiku. 

”Oh, Ibu. Aku sayang padamu!” Senyumku mengembang. Mataku berbinar-binar. Semangat yang sempat lenyap bebarapa saat, kini telah hadir kembali.


Selesai

Minggu, 05 Oktober 2014

Diposting oleh Rumah Kopi di 11.19 0 komentar

                        ANAK SAPI
                                                                      
                              Oleh
                               
                       Keyzia Chan

     Ibukmu d rmhsakit. Kami brda d ruang gwt darurat. Hpnya paman yg bw

     Satu pesan masuk ke HP-ku itu, berasal dari nomer ibu. Aku kelabakan sesaat setelah membaca SMS tersebut. Otakku membeku. Tiba-tiba semua terasa hening. Bukan hanya itu saja, rasanya ada kekuatan super yang mencekik leherku sehingga aku kesulitan bernapas. Segala rasa  bercampur aduk dan tertahan di hati. 
 
     Tidak berlebihan jika aku menganggap ibu pemilik separuh jiwaku. Sayangnya, akhir-akhir ini hubunganku dengan beliau kurang harmonis. Dan itu salahku.

     Terlambat sudah! Desisku sambil menggigit bibir kuat-kuat.
     BRUK! Lututku membentur lantai. Kotak berisi mukena yang terbungkus kertas kado—hadiah untuk ibu, berhambur keluar dari kantong plastic.
                                                                     ***
     “Sarapan dulu, Ibu sudah mengambilkan sepiring nasi untukmu.”
     “Nggak usah!”
     “Tapi, nasinya sudah nggak panas seperti kemarin pagi.”
     “Nggak keburu, Bu. Lihat, tuh! Udah jam berapa?!” teriakku dari kamar.
     Ibu melenguh kesal, tapi perasaan itu ia simpan rapi dalam hati.
     “Ya, sudah kalau begitu. Bekal makan siangmu, Ibu masukkan ke dalam jok.”

     Aku mendengarnya tetapi tidak membalas kalimat terakhir dari ibu. Di kamar, aku justru asyik membalas pesan dari sahabatku.

     Sampai kapan pun, anak tidak pernah menjadi dewasa di hadapan ibunya. Meski usianya berbilang kepala dua. Anak tetaplah anak yang harus diurusi segala keperluannya. Kendati sebenarnya si anak tidak ingin merepotkan ibu. Selama ini, ibu selalu turut andil menentukan apa-apa yang akan kulakukan. Itulah sebabnya aku terlambat dewasa.

    Aku masih ingat saat itu ketika masih duduk di bangku SD, teman-teman sering memanggilku ‘anak sapi’. Saat terik mentari membungkus kota. Aku berjalan seorang diri. STBottom oBesekali jemari kecilku mengelap pipi yang basah. Sepanjang perjalanan pulang pikiranku masih terpusat pada ucapan Yuna, ia teman sebangku di SD Darmawanita. Kerikil dan bebatuan kecil jalanan menjadi pelampiasan kekesalanku. Kutendang benda-benda tersebut kencang. Sambil manyun aku bertanya dalam hati, apa iya aku bukan anak kandung Ibu?

     Sesampainya di rumah aku melempar sembarang tas sekolah itu, kemudian kubanting pintu keras-keras. Ibu yang sedang sibuk di dapur bergegas mencari tahu apa yang terjadi?  Dipungutnya tas sekolah yang berada di lantai, setelah itu ia duduk di tepi ranjang. Mengetahui kedatangan ibu, aku bangun dan duduk di hadapannya. Dengan sorot mata tajam, aku yang berkepang dua—meminta penjelasan pada sesosok berparas lembut tersebut.

     ”Katakan sejujurnya, sebenarnya Sasi anak siapa?” ucapu sambil terisak-isak.

     ”Kenapa tiba-tiba bertanya seperti itu?” ibu kembali bertanya, bingung.

     ”Katakan saja, siapa ibu kandungku? Kata teman-teman, aku ini anak sapi.” Bibirku semakin maju. Sejurus kemudian aku kembali tengkurap di atas ranjang. Kubenamkan wajahku ke dalam bantal. Sambil mengusap kepalaku, pemilik kulit kuning itu berkata, ”Tidak ada tanduk di kepalamu.” Seulas senyum tersungging di bibirnya. ”Berarti Sasi bukan anak sapi. Bukankah sapi itu bertanduk?” tandas Ibu.

     Beberapa detik berikutnya aku kembali bangkit. Tak mau kalah dengan ibu, aku pun menjelaskan asal mula munculnya pertanyaan bodoh tersebut. Kusampaikan pada ibu bahwa teman-teman menyebutku ‘anak sapi’ lantaran dari kecil tidak minum asi melainkan susu kaleng. Dan karena setiap hari aku masih disuapi, temanku bilang: Itu memalukan.

     ”Apanya yang memalukan?” tanya ibu akhirnya.

     ”Disuapi itu memalukan, apa lagi Sasi sudah SD. Mulai sekarang, Ibu jangan lagi menyuapiku,”

     ”Ibu akan terus melakukannya.”

     ”Kenapa?”

     ”Karena Ibu sayang dengan Sasi.”

     ”Sampai kapan Ibu melakukannya?”

     ”Sampai kapan pun, selagi tangan Ibu masih bisa menyuapimu.”

     ”Apaka Ibu meminta bayaran?” 

     Ibu tidak menjawab pertanyaanku. Beliau merengkuhku ke dalam dekapannya.

                                                                       ***
     Perlahan, aku mulai membiasakan diri untuk tidak tergantung dengan ibu. Menjadi tua adalah kepastian. Tetapi menjadi dewasa adalah suatu pilihan. Kutipan kalimat tersebut terus mendorongku untuk mengubah kebiasaan-kebiasaan yang tidak sepatutnya dilakukan oleh gadis berusia 20 tahun. Aku tidak lagi melibatkan ibu dalam masalah-masalah yang kuhadapi. Aku jarang menghabiskan waktu bergelayut manja pada ibu. Kami, khususnya aku seperti orang asing di rumah sendiri. Menyapa sekadarnya. Bicara seperlunya. Tentu saja ibu mempertanyakan atas perubahan sikapku. Aku selalu beralasan sedang lelah karena padatnya pekerjaan. Itu saja.

     Sore itu hujan deras mengguyur kota. Sesekali kilat membelah langit diikuti gemuruh guntur, menggelegar. Aku dalam perjalanan pulang. Beruntung rumahku tidak jauh dari tempat kerja sehingga aku nekat menerobos jalanan basah, waktu itu.

    “Ya, ampun … kenapa nekat pulang?! Harusnya berteduh dulu sampai hujan reda.”

     Kedatanganku disambut berondongan pertanyaan ibu. Aku tidak menjawabnya. Setelah memarkir motor, kulepas helm kemudian menaruhnya sembarang.

  “Ibu bilang, jangan lupa bawa jas hujan. Sudah tau lagi musimnya, kok ya nggak mau nurut sama ibu ….”
     Aku masih malas bicara. Kurasa ibu meracau tidak pada tempatnya. Apa tidak bisa ditunda barang sejenak? Paling tidak, menunggu aku selesai mandi. Gerutuku. Tidak berhenti sampai di situ, ibu masih saja bicara panjang lebar.

     “Lihat! Gara-gara ini, jas hujannya nggak muat ditaruh dalam jok,” ucapku mengkal. Kusodorkan kotak tempat makan itu. Dan aku baru sadar hari ini isinya belum aku sentuh sama sekali.

     “Loh, kok masih berat? Kamu nggak memakannya? Kenapa? Lagi kurang enak badan, atau banyak pekerjaan sehingga nggak sempat makan, Nak?”

     “Cukup, Bu! Bisa nggak, ngomelnya nanti aja. Aku nggak lagi sakit. Biasanya, makanan itu kuberikan sama temanku,” ujarku lirih. Tetapi ternyata, ibu mendengarnya. Ibu tertunduk memegangi tempat makan itu. Entahlah, mungkin beliu menangis. Aku terlanjur kesal sampai-sampai aku mengabaikannya.

                                                                       ***

     Hari-hari berikutnya, ibu tidak lagi ribut soal bekal makan. Ibu masih menyiapkan sarapan untukku. Bedanya, ibu tidak lagi berteriak menyuruhku segera sarapan. Teman, pernahkah kalian merasakan hal ini? Sesuatu yang sempat kita benci, suatu saat akan menghandirkan aroma rindu yang membuncah. Aku sering mengalaminya. Seperti sekarang ini. Aku merindukan kotak makanku—isinya dan ….

     Bukan hanya kehilangan bekal makan, tetapi lebih dari itu. Sepertinya, ibu juga sering terlihat murung. Tidak lagi banyak bicara tentang ini itu. Ini tidak bisa dibiarkan. Aku berkata dalam hati. Segala cara telah aku lakukan untuk mengembalikan keadaan seperti dulu. Namun belum menunjukkan adanya perubahan.

     Aku mendengar deru mesin mobil berhenti di halaman rumah. Tangisku meledak. Kuambil kado itu lalu memasukkanya ke dalam plastic. Aku berusaha bangkit, tapi kakiku seperti terpatri dengan lantai. Ini kiamat kecil. Ya, aku merutuki diriku yang telah menyia-nyiakan kasih sayang ibu.Tangisku semakin menjadi-jadi.

     “Sasiii …! Apa yang terjadi, Nak …?”
     Serta merta mataku terbelalak. Kupertajam pendengaranku. Apa aku berhalusinasi? Ibu tergopoh menghampiriku, diikuti paman, bibi, serta nenek. Mereka baru saja menjenguk saudara yang tengah di rawat di rumah sakit.

Selesai


Taipe, 3 Oktober 2014
 

Rumah Kopi Copyright © 2010 Design by Ipietoon Blogger Template Graphic from Enakei | web hosting