Senin, 24 November 2014

Belajar Menulis Cerpen

Diposting oleh Rumah Kopi di 13.19 0 komentar


                                                   MIE KUAH AJAIB                                                   
                                                             Oleh
                                                       Keyzia Chan

     Menangis sampai bola mataku keluar sekalipun tidak akan mengubah keadaan. Yang ada dalam pikiranku saat ini, dari mana aku bisa mendapatkan uang 79 juta dalam kurun waktu sehari semalam? Aku sudah berusaha menghubungi segenap kerabat yang ada. Hasilnya nihil. Sambil mengusap air mata, kupandangi selembar kertas yang diberikan suster sore tadi.
                                                                         *
     “Pencuri! Kembalikan obat-obatan itu!” Teriakan yang semula terdengar samar-samar tersebut kian jelas, kini. Ayah menghentikan aktivitasnya. Sekonyong berjalan ke luar dari kedai mie, siang itu. Aku mengekor ayah yang berpawakan kurus tersebut. Dari jarak yang tidak jauh tempatku berdiri, nampak bocah laki-laki dengan kepala pelontos berjalan mundur—keluar dari apotik. Di tangan bocah yang usianya terpaut beberapa tahun di atasku tersebut, terdapat sebotol obat serta beberapa lembar pil yang akan ia bawa begitu saja tanpa menukarnya dengan sejumlah uang. Wanita pemilik apotik terus menceracau. Tak ketinggalan tangannya menjorok-jorokkan kepala bocah sesaat setelah mengambil paksa barang dagangannya yang hampir berpindah tangan. 
     “Tunggu dulu!” teriak Ayah mencoba melerai. Raut muka ibu berambut keriting tersebut nampak berang. Sementara bocah itu terus menekuk wajahnya. Dari informasi yang disampaikan bocah itu, ayah mengetahui bahwa ibu si bocah sedang sakit. Tanpa bicara banyak, ayah merogoh kantong celananya. Mengeluarkan beberapa lembar uang. Tentu saja beliau berniat membayar sejumlah obat itu.
     “Sayang, bawakan sebungkus mie kuah kemari. Cepat!” perintah ayah.
     Mulutku sedikit maju. Jelas aku kesal. Sudah tahu bocah itu berniat mencuri, ayah memperlakukaannya dengan baik. Entahlah! Aku tidak tahu apa yang ada dalam pikiran ayah waktu itu. Bagiku pencuri tetaplah pencuri apapun alasannya kejahatan tidak bisa dibiarkan begitu saja. Tetapi, apa yang bisa aku lakukan? Tentu saja aku tak berani menentang beliau. 
     Ayah memasukkan obat-obatan tersebut ke dalam kantong plastic yang terdapat sebungkus mie kuah di dalamnya. Detik berikutnya, bocah itu mengangkat wajahnya. Menatap ayahku lekat-lekat. Setelah menyambar barang yang diberikan padanya—ia lari tunggang langgang tanpa mengucapkan terima kasih. Aku semakin kesal melihatnya. Ayah merangkulku. Kami berdua berjalan beriringan kembali melanjutkan aktivitas siang itu.
                                                                           *  
    Matahari bersinar terik. Lalu lalang kendaraan, serta pejalan kaki yang melintas di depan kedai mie menimbulkan suara gaduh. Sesekali ayah terlihat mengusap peluh yang sedari tadi menetes—menggunakan handuk kecil yang menggantung di lehernya. Kedai mie yang dirilis ayah sejak beberapa puluh tahun lalu memang berada di tengah pasar. Tak ayal tempat kami senantiasa ramai pembeli. 
      “Ayah!” Aku memanggil beliau setengah berteriak sedetik setelah mataku memelototi siapa yang datang ke kedai kami siang itu. Ya, siang kesekian kalinya setelah kejadian beberapa waktu silam. Tahun demi tahun terus berlalu. Aku beranjak dewasa. Rambut ayahku kini sudah dipenuhi uban. Tubuh kurusnya semakin ringkih saja. Segala hal telah berubah. Tetapi kebiasaan baik ayah tidak pernah berganti. 
     “Ini makan siangmu. Pergilah!” ujar ayah pada pengemis yang bertandang ke kedai kami. Di sela-sela kesibukannya melayani pembeli, ayah yang berkulit coklat tua tersebut masih saja memedulikan pengunjung yang seperti itu. Tentu saja makanan tersebut, ayah berikan secara cuma-cuma. Aku sempat berpikir, mungkin hal inilah yang membuat usaha milik keluarga tidak pernah berkembang. Dalam benakku terbersit jawaban penyebab ibu meninggalkan kami sejak aku masih kecil. Bagi ayah, yang terpenting kami tidak kekurangan makan. Sedangkan berbagi dengan orang yang membutuhkan merupakan bagian hidup yang tidak boleh ditinggalkan. Mungkin saja waktu itu, ibu menganggap ayah berlebihan. Mengingat kondisi keuangan keluarga hanya pas-pasan.
     Aku melanjutkan aktivitas. Kuhela napas kasar sambil mencuci piring serta gelas kotor yang ada di hadapanku. Bunyi gedebum diikuti suara benda-benda yang berjatuhan  membuat perhatianku beralih, cepat. Detik itu juga kupalingkan wajah ke arah sumber suara. Mulutku terbuka lebar. Mataku terbelalak. Kulempar sembarang benda yang aku pegang tadi. Gegas aku mengampiri ayah yang tengah terkapar di lantai.
                                                                                                                                               
     Sesampainya di rumah sakit, dokter yang menangani kasus ayah menyampaikan bahwa kondisi beliau kritis. Harus segera dilakukan operasi. Aku menuruti apa yang dokter sampaikan kendati tidak memiliki sejumlah uang untuk biaya operasi yang tentu saja jumlahnya cukup besar. Yang ada dalam hati, aku harus melakukan sesuatu yang terbaik untuk ayah. Sesaat setelah selesai membahas hal tersebut, dokter kembali bertandang ke ruangan di mana ayah di rawat. Dokter tersebut seperti berusaha mengingat sesuatu ketika sorot matanya menelusup ke wajah yang tengah tak sadarkan diri tersebut.
     Aku satu-satunya keluarga yang ayah miliki. Sehingga dapt dipastikan tidak ada seseorang pun yang bisa kuajak berbicara mengenai perihal yang terjadi pada beliau. Ditengah kemelut yang sedang menyelimutiku, saat aku dipaksa memikirkan masalah beserta solusinya dalam jeda waktu 24 jam, waktu menatap tubuh ayah yang terbaring tak sadarkan diri dengan belalai infuse di sebelahnya, serta alat bantu pernapasan yang bertengger di  sebagian wajah beliau—tidak ada pilihan lain aku harus menjual rumah kami secepatnya. Rumah sekaligus kedai mie milik keluarga.
     Bangsal rumah sakit nampak sepi ketika kakiku melangkah meninggalkan ruangan di mana ayah di rawat. Terlihat beberapa suster yang bertugas jaga malam, tengah sibuk keluar-masuk kamar pasien. Malam kian tua. Aku memutuskan untuk pulang mempersiapkan sertifikat rumah. Tak ada kendaraan umum yang beroperasi di malam hari selain tukang ojek dan becak. Lagi pula tidak tersisa sepeser uang pun, maka aku putuskan untuk berjalan kaki. Jarak antara rumah sakit dengan tempat tinggalku, lumayan jauh. Dan di antaranya terdapat bulak yang konon rawan terjadi tindak kriminal di sana. Aku sudah tidak peduli apapun kecuali melakukan sesuatu demi kelangsungan hidup ayah.
                                                                               *
     Hampir lima jam segenap tim dokter tengah berjuang menyelamatkan nyawa ayah, malam itu. Aku terus mondar-mandir menungguinya di luar. Mulutku komat-kamit merapal doa. Doa supaya nyawa ayah tertolong. Doa supaya rumah kami segera terjual. Keringat dingin membanjiri tubuhku. Sementara air mataku seperti tak pernah kehabisan stok. Terus dan terus mengucur deras. Degub jantungku kian tak beraturan. Kuremas jemariku yang juga berkeingat. Sesekali menggigitnya untuk mengalihkan rasa gelisah yang hampir tidak dapat kukuasai.
     Tak kurang dari tujuh jam, peralatan medis menjelajah bagian tubuh ayah yang dibedah. Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, operasi itu berhasil. Ayah masih tidak sadarkan diri. Namun, masa kritisnya sudah lewat. Kubenamkan wajahku di samping ayah berbaring. Jiwa serta ragaku lelah. Doa terus kurapal karena bagaimanapun rumah belum terjual. 
     Tak tanggung-tanggung pagi itu sinar mentari begitu semangat memamerkan pesona kehangatannya. Aku yang terlelap di samping ayah, terjaga oleh getaran HP yang kutaruh di di sebelah. Satu pesan masuk tertulis di layarnya. Ck. Kuhela napas berat. Sms itu mengabarkan bahwa orang yang kemarin menawar rumah kami, mengurungkan niatnya. Tubuhku lemas seketika.
     Aku menaruh HP  itu. Mengusap wajah dengan ke dua tangan. Tunggu dulu. Kata hatiku sesaat setelah mendapati keberadaan selembar kertas. Ya, di sebelah ayah berbaring, terdapat secarik kertas. Aku gegas menyambarnya. Di atasnya tertulis seluruh biaya operasi serta perawatan ayah, lunas. Adalah dokter yang bertanggung jawab menangani kasus ayah tersebut, orang yang berbaik hati menanggung segala urusan kami. Di atas surat itu juga tertulis, segenap ucapan terima kasih atas kebaikan yang telah ayah lakukan 30 tahun silam. Tentang sejumlah obat-obtan serta sebungkus mie kuah yang pernah diberikan padanya. 
     Aku baru menyadari bahwa hidup adalah serangkaian sebab akibat yang terus berkesinambungan. Mie kuah yang ayah berikan secara cuma-cuma pada siapa pun yang tidak mampu membeli, memang ajaib. Di sana terselip doa yang baik bagi pemberinya yang tidak pernah mengharap apa-apa. Tak terkecuali ucapan terima kasih.
                                                                     Selesai 
    

Minggu, 23 November 2014

Diposting oleh Rumah Kopi di 11.09 0 komentar
                                       KITA

Kita adalah bara api yang sama-sama memiliki kekuatan besar untuk saling menghanguskan. Karaktermu begitu kuat. Sedangkan mungkin daya tarik yang ada padaku (bukan fisik) mampu mengikatmu lama bertahan. 

Kita saling …. Ah! Kurasa kita tidak saling mencintai. Hanya pernah jatuh hati saat awal bertemu. Kau begitu menggebu-gebu. Dan aku sempat risih atas perilakumu itu. Aku bukannya menyombongkan diri tetapi aku mengenali diriku. Aku tahu ada benteng yang menjulang tinggi—kau tidak mampu memanjatnya, menurutku. Maka dari itu aku meragu. Membatasi diriku. Dan ternyata kau memang memiliki karakter begitu kuat terus meringsek merobohkan pertahananku.
Sialnya ketika kau sampai pada puncak tertinggi dan mendapatkan hatiku seluruhnya, justru kau sudah kehabisan tenaga. Kau yang dulu aku kagumi pergi entah kemana? Perlahan aku hanya mendapati ruang kosong. Gelap. Pengap. Kau yang dulu penuh warna dan selalu hadir dengan kesejukan itu lesap. Lenyap. Bisa jadi hal tersebut aku yang menyebabkanny. Entah?! Aku seperti setan kelaparan mencari-cari sumber kehidupan tetapi benar-hbenar tak kudapati darimu. Kau sudah lebih dulu mati. Mati. Mati. Hatimu mati.

Kau tersiksa dan aku terluka. Kita sudah lama tidak saling cinta, namun kita memaksa bertahan. Bukan demi sesuatu tetapi mungkin saja menyayangkan kebersamaan yang telah kita lewati selama setahun ini hilang begitu saja.
Kau dan aku tidak bahagia. Kau berusa namun upayamu tidak diikuti niat yang sungguh. Maka yang ada sehari kita adem ayem—enam hari kita berantem. Dan apa kau lupa dari dulu aku memang type orang yang tidak menyukai keramaian. Dunia kita berbeda.

Aku merindukanmu yang dulu. Aku terus berusaha bertahan dan mencoba menemukan. Kautahu itu menyakitkan. Aku lelah. Lagi pula kautidak pernah benar-benar memahamiku. Aku tidak menyalahkanmu. Yang aku tahu kau type orang “malas” ribet—tentu saja itu wajar. Hidupmu seperti jarum jam yang bergerak dengan tempo sama pada tempat yang sama pula. Kau bilang bosan dengan keadaan. Kau saja bosan dengan keadaanmu bagaimana dengan orang-orang di sekitarmu, aku? Kau sendiri tidak beritikad keluar dari lingkaran itu. Maka dari situ aku turut lelah bersamamu. Usahaku kau abaikan. Niatku tidak kau hiraukan. Kau menuntut untuk dimengerti tanpa memahami apa yang dibutuhkan untuk mempertahankan hubungan ini. 

Berakhirlah jika memang jalannya begini. Aku mengiklaskan atas apa yang terjadi di antara kita. Aku memaafkan atas perlakuan burukmu terhadapku. Begitu pula maafkan atas kesalahanku. 


 

Rumah Kopi Copyright © 2010 Design by Ipietoon Blogger Template Graphic from Enakei | web hosting