Senin, 28 Desember 2015

KAPAN MENIKAH?

Diposting oleh Rumah Kopi di 09.17 0 komentar


Ada beberapa pertanyaan di bumi ini, yang kalau dijawab dengan pernyataan sejujur-jurnya tetap saja masih menimbulkan keraguan. Barangkali memang 'tindakan nyata' adalah jawaban terampuh demi mematahkan keraguan. 


MENIKAH. Pertanyaan seputar, " Kapan menikah?" merupakan pertanyaan yang paling tidak disukai 'anak-anak' di muka bumi ini. Bagaimana tidak? Adalah mengenai tekanan orangtua untuk segera menikah itu sungguh menyebalkan. Sumpah. Itu menganggu. 

Beda dengan 'kesiapan', tekanan hanya akan melecut kita gegap mencari lawan jenis secara serampangan, asal siap diajak membina rumah tangga secepatnya.

Semua wanita muda pasti menginginkan menikah dengan laki-laki yang telah matang secara emosional dan finansial. Tetapi, bukankah hal itu hanya kerap ditemui dalam cerita romantis sebuah novel. Sementara, di kehidupan nyata sering kali dihadapkan pada kenyataan bahwa laki-laki yang dirasa pantas menjadi pendamping, saat ini masih berjuang demi mempersunting anak orang. Bekerja keras hingga waktunya tiba, kelak memohon restu orangtua.

Jika tergesa-gesa mencari pendamping tanpa mendalami karakter masing-masing, tanpa adanya perasaan 'saling' bagiku hanya akan membuat pusing.


Menikahlah jika kamu yakin bahwa kelak, seterjal apa pun jalan yang mesti dilewati, securam apa pun jurang yang entah apa sebabnya membuatmu sampai di dasarnya, dan semua masalah rumit rumah tangga, serta ketidak nyamanan berbagi segala hal dengan lawan jenis, dapat dilalui dengan baik. Dapat dinikmati. Membuat hidup lebih berarti. 

Aku pikir, jika menunggu sampai 'siap' manusia tidak pernah sampai pada tahapan itu. Sebab, kesiapan itu bersyarat. Sebab, syarat itulah yang membuat segalanya berat. Semisal, aku siap menikah kelak sesudah menjadi sarjana. Aku menikah jika tabunganku sudah banyak. Padahal, itu semua hanya target yang belum tentu bisa dipenuhi. Berarti kesiapan hanya alasan menunda-nunda pernikahan. 



Senin, 21 Desember 2015

DEMI KEMUNAFIKAN YANG TIDAK ADIL DAN TAK BERADAB

Diposting oleh Rumah Kopi di 18.15 4 komentar
Di dunia ini semua hal bisa terjadi, dan apa yang akan terjadi kita tak akan pernah mengetahui. Marilah kita hadapi. Pasti ada jalan ke luar. Hari ini entah giliran siapa yang akan bahagia? Hari ini, entah 'ATM' hidup mana lagi yang kamu kelabuhi dengan tampang sok alimmu yang bedebah luar biasa.

Hai, Kak. Apa kabar? Semoga kamu baik-baik ya. Tentu saja tidak boleh terjadi apa-apa denganmu. Jujur ini. Setidaknya sampai urusan mengenai tanggung jawabmu selesai. Sebab, ini bukan hanya menyangkut diriku. Sebab, ada segelintir orang yang menunggumu memenuhi janji, beberapa saat lalu kamu ucapkan. 

Oh iya, Kak, boleh aku memberitahukanmu sesuatu, meskipun tentu saja wawasanmu lebih luas dariku. Ya anggap saja, ini semacam mengingatkan. Itu pun jika kamu membaca nyinyiranku di sini. Ah walaupun tidak yakin sih, mengingat pesan yang kusampaikan lewat inbokmu, tak kamu hiraukan. 

Kak, aku pikir uang bukan satu-satunya hal penting di dunia ini. Barangkali, kamu lupa atau pura-pura tidak peduli, atau yakin bahwa orang-orang yang kamu kelabuhi, selamanya tutup mulut, atau kamu memang luar biasa bedebah! 

Kak, hal lain yang lebih penting daripada uang, ialah reputasi. Reputasi baik yang tentu saja butuh waktu seumur hidup membangunnya.

Kak, andai kata kamu tidak punya pekerjaan, tidak punya uang, dengan mengandalkan reputasi baik pada dirimu, pembawaanmu bersahaja, punya keahlian di bidang tertentu, bisa jadi, orang-orag yang mengenalmu tidak ragu mengajakmu bergabung bekerjasama, sehingga kedua belah pihak diuntungkan. Itu sih, contoh sederhana. 

Tetapi, jika kamu mencoreng reputasimu sendiri, dengan berbohong sana-sani, meminjam uang dengan dalih ini itu, sakit parah, laptop rusak, bapak meninggal dunia, dan ketika orang-orang mempertanyakan tanggung jawabmu, kamu membatu laiknya patung pancoran. 

Jadi begini, Kak. Bukannya aku mengancam, atau menakut-nakuti, atau menggurui. Sama sekali bukan. Ini sesuai dengan ilmu yang kupelajari di fakultas manajemen ekonomi, bahwa para pelanggan yang tidak puas terhadap 'barang' yang dibeli, ada banyak kemungkinan yang akan dilakukan mereka. Misalnya, langsung komplain dengan pihak bersangkutan, menggugat, dan ada pula yang menyebarluaskan perihal 'keburukan barang' itu, dari mulut ke mulut. Tentu saja.

Nah, ketika kamu melakukan satu, dua, tiga, empat, atau lebih banyak lagi keburukan, kecurangan, jangan mengira bahwa orang yang kamu rugikan akan diam saja. Jika sudah begitu, siapa yang akan mempercayai dan mau bekerja sama denganmu coba?


Kak, perkenalkan, ini kakek penjual aneka kue basah. Beliau berusia 87 tahun. Berjualan di pinggir jalan, mulai dari jam 7 pagi sampai jam 5 sore. Senin sampai Sabtu. Tidak peduli cuaca ekstrim di musim dingin, hingga mencapai suhu 7 derajat celcius. Bagi kita yang terbiasa dengan cuaca tropis, bisa dibayangkan dong, betapa dinginnya suhu 7 derajat itu. Tetapi, Kak, kakek ini tidak sedikit pun nampak murung mendapati keadaan seperti itu. Senyum dan sapaan ramah terhadap orang-orang berlalu lalang tak pernah absen dari bibir keriputnya. Beliau dengan santun menawarkan dagangan. Reputasinya benar-benar baik.

Di usia 87 tahun, sungguh tidak mudah baginya duduk di kursi tanpa sandaran, abai terhadap cuaca dingin, panas, maupun hujan, demi sesuap nasi, Kak. Beliau menjual tenaga. Bukan menjual cerita palsu (sakit parah) demi meraih simpati orang lain. Sumpah! Itu memalukan. Tidakkah Kakak malu? Atau, urat malumu sudah ikut kamu gadaikan!

Kak, orang lain mati-matian bekerja. Mengumpulkan sepeser demi sepeser. Meninggalkan keluarga, bertahan hidup menjalani masa sulit. Lalu dengan naifnya, kamu mengeruk sebagian jerih payah itu, dengan dalih demi pengobatan penyakit karanganmu.

Ayolah, Kak! Kita ini bukan ladang gandum yang bisa dipanen kapan saja! Kita, teman-temanmu yang jika kamu mati, bakalan patungan membelikan kain kafan. Menguburkanmu. Mendoakanmu. 

Kak, aku pernah bertanya, separah apa penyakitmu? Lalu kamu berkata: jika aku mengenal sosok Hazel Grace dalam The Fault In Our Stars, seperti itulah gambaran kondisi fisikmu. 

Hazel Graze bisa pergi ke Amsterdam meskipun kondisi fisiknya sangat buruk. Paru-parunya, entah kapan berhenti bekerja, tetapi dia tetap nekad ke sana demi menemui penulis buku KEMALANGAN LUAR BIASA itu. Dan Hazel baik-baik saja setelah melakukan perjalanan jauh. 

Hei! Itu cuma fiksi. Dalam kisah nyata, belum pernah menemukan sosok seperti Hazel, gadis umur 16 tahun itu yang meskipun sekarat, tetap santai menjalani hidup. Dan kamu! Ya, ampun! Kamu tidak sakit separah itu kan? Tidak perlu ongkos buat pergi ke Palembang demi pengobatan alternatif, kan? Buktinya, sampai sekarang kamu belum mati. Eh, maksudku, tidak nampak terlihat seperti seorang dengan kanker bersarang di paru-parumu.

Waktu itu, aku pikir, aku telah melakukan perkara mulia. Membebaskanmu dari tanggungan jutaan rupiah. Aku sempat bangga. Yah ... Setidaknya, sebelum kamu mati, aku pernah berbuat baik. Eh! Ternyata itu hanya omong kosong. Bedebah. Kamu memanfaatkan kenaifanku demi menguntungkan dirimu sendiri.

Mula-mula, aku relakan saja uang itu. Toh jumlahnya tak melebihi gajiku satu bulan. Tetapi, Kak, ada hal yang membuatku terusik untuk mengungkit perkara silam. Ketika Bapakku terkapar di ruang ICU, Rs Dr. Saiful Anwar, Malang, yang biaya kamarnya sebesar Rp 1 juta/hari, belum biaya menebus resep, dan lain sebagainya, sewaktu aku pontang panting kebingungan mencari uang demi membantu meringankan beban Ibu, saat itu aku teringat kamu yang bedebah. Yang pura-pura sekarat dan aku dengan lugunya begitu mudah melepas uang demi kemunafikan yang tidak adil dan tidak beradab. Begitu aku butuh uang, malah kesulitan mendapatkan. Sakit sekali hatiku, Kak. Ironis ya hidup ini!

Kak, Desember segera berlalu, jika kamu tidak menunjukkan etikad baik, maka jangan salahkan aku dan mungkin teman lain, mengambil tindakan yang bahkan bisa membuatmu terkucil seumur hidup! 

Sabtu, 19 Desember 2015

SAAT INI MASIH MENJADI TERI, SIAPA TAHU SUATU HARI BERUBAH MENJADI PAUS

Diposting oleh Rumah Kopi di 09.58 12 komentar

Hal apa yang paling ditunggu-tunggu bagi mereka yang sedang belajar menulis, selain karyanya diterima dan diapresiasi dengan baik oleh pihak-pihak yang berkompeten atas hal tersebut. Upaya yang selama ini dilakukannya tidak sia-sia. Karya tembus media, atau menjadi pemenang salah satu ajang lomba. 

Aku pikir, kemenangan itu sendiri bukan tolak ukur atas kemampuan yang kumiliki. Sadar dengan banyaknya kekurangan, maka dari itu, terus mengasah skill yang jauh dari kata mempuni. Supaya aku mampu bersaing di dunia luas.

Dunia menulis itu kuibaratkan lautan maha luas. Dimana berbagai jenis ikan baik dari ikan kecil-kecil yang keberadaanya tidak banyak diketahui, sampai ikan berukuran super besar yang semua mengenalnya, bersama-sama berenang di satu ekosistem.

Jika penulis dimaknai sebagai ikan, aku ini tentu saja jenis ikan teri atau jika ada yang lebih kecil dari itu, ya barangkali lebih tepat mewakili diriku. 

Sudah tak terhitung berapa kali, kukirimkan karyaku ke berbagai media nasional, sampai sekarang belum ada hasilnya. Nah, loh ... Apa yang mau dibanggakan coba? Patah arang sih, tidak! Tetapi, sungkan ya, kalau heboh memplokamirkan diri sendiri sebagai 'penulis'. 

Penolakan itu baik. Dalam artian, berarti selama ini tidak tinggal diam. Diam-diam mencoba menunjukkan esksistensi. Ya kali harus sadar kalau karyanya belum nyantol di salah satu media nasional, berarti kemampuannya masih di bawah rata-rata. Santai saja sih, sambil terus belajar. 

Pernah membaca kata-kata cadas seperti ini pada sebuah meme: Norak itu seperti ketika kita sedang pingsan. Kita tidak tahu apa yang terjadi waktu kita pingsan. Namun orang-orang sekitar, jelas tahu persis bagaimana keadaan kita waktu itu. Ampyuuun Jenderal*

Merayakan kemenangan sih, sah saja. Tetapi jangan sampai heboh apalagi norak. Mending gunakan waktu luang untuk mengkaji kembali karya yang masih acak adul. Karya yang ketika orang lain membacanya menimbulkan efek merinding. Merinding karena luar biasa jeleknya. Coba dilihat, mereka yang lebih keren, lebih jago, malah rendah diri. Padahal karyanya sudah tampil di berbagai media. Adumalulah*


Mula-mula, menulis itu aku anggap sebagai terapi jiwa. Pikiran dan hati yang saling memanggil untuk memadukan langkah. Menyampaikan perasaan yang tak terungkap lewat lisan. Mengenal, mempelajari hal dasar tentang tata cara ejaan yang disesuaikan. Perlahan mencoba mengaplikasikan teori yang pernah dilahap sebelumnya. Mengeksplor daya tangkap terhadap rangsangan yang kudapat di sekitar. Merangkumnya untuk kuceritakan kembali menjadi sebuah suguhan apik. Laik dinikmati. 

Kalau sekadar menulis, anak SD juga bisa. Kalau hanya bercerita mengenai pengalaman liburan tempo hari anak TK pasti lebih ahli. 

Intinya menulis itu butuh proses yang tentu saja tidak secepat saat memakai bulu mata palsu. 

Lama-lama, menulis itu bukan melulu tentang terapi jiwa. Dimana, karya yang dihasilkan ingin juga sih, dihargai lebih. Terbit dimedia. Menghasilkan uang. Menjadi terkenal dimana-mana. Jujur ini. 

Tetapi ada hal, yang mungkin menjadi semacam penghambat perkembangan belajar menulis. Mungkin, ini hanya kamuflase atau alibi demi menutupi kekuranganku yang belum bisa konsisten dalam bidang ini. 

Yah ... Bagaimana bisa konsisten seperti para senior, sementara di sini, lakon utama yang mesti kujalani ialah bekerja. Merawat lansia yang masa kerjanya 24 jam. Selain itu, ketika libur kuliah sudah usai, tugas-tugas sudah pasti menumpuk, menyedot perhatian. Dimana kenyataannya tenaga dan pikiranku tinggal setengah. 

Kukatakan tenaga dan pikiranku tinggal setengah, karena kalau ingin tahu bagaimana capeknya merawat lansia yang 'super', yang kalau memerintah lebih kejam dari Hitler. Bisa dibayangkan, ketika jam istirahat, mencoba menjamah laptop, melanjutkan menulis, tiba-tiba dipanggil dan harus datang saat itu juga. Sudah mirip seperti jin dari timur tengah. 

Kembali lagi menyadari bahwa saat ini keadaan serba terbatas. Misalnya saja, tulisan ini, yang entah berapa kali aku tinggal, lalu kembali kuhampiri, demi menunaikan kewajiban sebagai pekerja. Maka ya harus profesional. Tidak boleh manja apalagi mengeluh. Sebab, sejak memutuskan untuk terjun mencari uang, aku sadar banyak hakku sebagai manusia 'bebas, hilang.

Manusiawi kan ya, kalau ada teman memenangkan lomba atau karyanya terbit di media, rasanya euhhh gatal. Gatal ingin seperti mereka. Kalau mereka bisa, kenapa aku tidak? 

Terlepas dari itu semua, bersyukur banget tahun ini memenangkan lomba migran ke II yang hadiahnya gede. Kalau ditukar rupiah, sebanding dengan tiket pesawat, liburan ke Jepang, dua orang. Bahkan masih sisa. 

Masih banyak kesempatan meraih apa yang diimpikan. Asal tetap tekun pada jalan yang telah dipilih. Pelan dan pasti, suatu saat bisa berkesempatan menikmati rasanya dipuncak kemenangan dalam arti sesungguhnya. Dan memiliki ciri sendiri pada setiap tulisannya. 

Tetap semangat. Terus berkarya. Aku ingat bahwa semua pohon besar awalnya dari bibit kecil. Tinggal bagaimana upayaku menjadikannya tumbuh dan terus begitu. Tidak akan berhenti hanya karena belum bisa sehebat mereka. 

Demikian nyinyir hari ini. Happy weekend.  :D



Kamis, 17 Desember 2015

DENDELION DAN MASA LALU YANG TERBANG

Diposting oleh Rumah Kopi di 10.41 4 komentar
                     [wallpaper.com]

Pada akhirnya semua akan lepas seperti halnya dendelion. Terbang bersama angin dingin bulan Desember. Lenyap meninggalkan pangkal dan tangkai yang suatu hari, juga akan musnah dipamah masa. Betapa pun hal itu tidak diinginkan sama sekali, namun siapa, siapa yang mampu melawan kehendak semesta? 

Aku kira, manusia memang tidak bisa benar-benar menghapus masa lalunya. Sebab, seperti halnya tangan, mata, jantung, serta seluruh anggota tubuh, masa lalu merupakan satu dari bagian itu. Ketika aku, dan segelintir manusia lainnya berusaha membabat habis masa lalu, itu sama halnya sedang melakukan pekerjaan menghilangkan anggota tubuh. 

Aku pernah berharap, bisa meniup masa lalu terbang jauh selaiknya serbuk dendelion. Tetapi urung kulakukan, sebab aku ingat bahwa dari situ, masa lalu itu, menyisakan tanggung jawab yang mesti aku pikul. Bukan beban. Melainkan semacam penyemangat agar aku tetap mampu menegakkan kepala, terus melangkah meskipun memiliki masa yang tidak enak untuk dikenang. 
 
Aku pernah bertanya, kemana perginya serbuk dendelion itu? Apa mereka lebih bahagia dari pada menempel pada pangkalnya? Barangkali, pertanyaan ini serupa dengan, apakah ketika lepas dari masa lalu, aku bisa mendapatkan kembali kebahagian.

Barangkali, karena terlalu fokus akan kejadian menyesakkan, aku lupa akan adanya pendar cahaya harapan. Harapan akan janji semesta atas kehidupan lebih baik dari sebelumnya.

Jika dendelion saja tidak pernah khawatir akan nasibnya, kenapa aku takut akan hal-hal buruk yang belum tentu terjadi. 

Menyimpan pikiran buruk lebih berbahaya dari pada senjata tajam yang bisa melukai. Pikiran buruk hanya akan meracuni lantas memunculkan ketakutan-ketakutan menyebalkan. Selaiknya serbuk dendelion yang terbang ditiup angin dingin bulan Desember, seringan itu pula harusnya aku melangkah menyambut janji semesta.

Aku pikir, masa lalu memang tidak perlu dimusnahkan, hanya perlu dipenjarakan dalam kotak kenangan, sesekali diambil bagian baiknya, dijadikan cambuk demi melecut diri sendiri supaya tak pernah takut, langkah tak pernah surut. 

Rabu, 16 Desember 2015

TAK KENAL MAKA TAK DIPEGANG

Diposting oleh Rumah Kopi di 17.56 0 komentar

Barangkali, di Indonesia belum banyak penampakan mesin seperti ini. Hallo ini bukan mesin waktu seperti kepunyaan Doraemon yang paling diburu oleh para pejuang LDR--jika memiliki mesin seperti itu, mereka bisa leluasa pergi ke tempat dimana pasangannya berada. Tanpa ribet visa, paspor, ongkos, dan lain sebagainya. Haha

Oh iya! Ini bukan automatic teller machine yang biasa dipakai menarik uang tersebut loh. 

Itu merupakan penampakan self service kiosk. Penjelasan gampangnya, mesin tersebut mengambil alih fungsi 'administrasi' yang biasanya melayani pembayaran di loket, rumah sakit. 

Kalau di Indonesia, seperti yang aku tahu, ketika habis periksa dokter di rumah sakit, pasien mendapat resep, dan tentu saja wajib membayar administrasi atas jasa dokter tadi. 

Nah, mesin ini berfungsi ganda. Lebih efisien. Seperti namanya self service kiosk jadi pasien bisa membayar biaya periksa sekaligus menebus obat secara mandiri menggunakan mesin ini. Setelah itu, pasien tinggal menuju ke bagian apoteker untuk mengambil obat dengan menyerahkan kartu askes, serta tanda pelunasan pembayaran.


Di rumah sakit elit, Taiwan, yang jumlah pengunjungnya (baca: pasien) kurang lebih 2000 orang perhari, kebayang dong antrian panjang di setiap loket administrasi. Hal itu menjadi pemandangan yang biasa. 

Demi mengurangi antrian panjang, pihak rumah sakit menyediakan self service kiosk. Bagi mereka yang rela berdiri lama di antara pasien rumah sakit lainnya, bisa menggunakan jasa administrasi manusia. 

Tetapi sayangnya, mesin tersebut kurang diminati. Mungki saja para pasien tidak mengenali apa fungsi mesin tersebut. Sehingga, jarang dipegang. Dalam artian, hanya segelintir saja yang memanfaatkan mesin itu. Padahal, penggunaanya lumayan praktis. 

Di monitor memang hanya terdapat tulisan mandarin tentang tata cara penggunaannya. Tetapi di sebelah monitor terdapat petunjuk berupa gambar, mengenai langkah-langkah menggunakan self service kiosk. Dan yang paling praktis, mesin tersebut tidak mewajibkan kita menggunakan uang pas.    Katakanlah, biaya berobat sebesar $ 560 NT, nah apabila kita memasukkan uang $1000 NT, dalam beberapa detik, kembalian akan keluar bersama selesainya pengoperasian mesin. 

Berharap banget, kelak di Indonesia tersedia mesin seperti ini supaya tidak perlu antri lama. Tahu sendiri kan kalau masyarakat kita kurang membudayakan antri. Jadi, mereka bisa memanfaatkan mesin tersebut. Eh tetapi, jika penggunanya lebih dari satu orang, tentu saja harus antri. Hihi 

 

Sabtu, 12 Desember 2015

TANPA JUDUL

Diposting oleh Rumah Kopi di 15.45 2 komentar



Aku diam. Aku tidak sedang merajuk. Hanya saja, aku pikir cinta butuh udara sejuk. Cinta butuh penyegaran, bukan? Tidak peduli, sehebat apa pun rasa cinta yang kita punya, namun jika tidak mampu menjaganya baik-baik, semua akan sia-sia. Kita harus merawat pohon cinta yang akarnya telah tertanam kuat, supaya kelak bisa memanen buahnya yang tentu saja amat lezat. 

Aku diam. Aku tidak sedang merajuk. Aku hanya ingin menunjukkan padamu, bahwa aku bisa mandiri tanpa perlu merengek ribut ini-itu seolah mengganggu istirahatmu. Aku tegaskan bahwa aku bisa menepati apa yang telah kuucapkan, tetapi untuk emosiku yang sering timbul tenggelam, maaf aku belum pandai mengatasinya. 

Aku diam. Aku tidak sedang merajuk. Aku pikir, diam adalah sebaik-baiknya menghargai diri sendiri. Barangkali terlalu banyak omongan yang tidak berkulaitas, dan kamu tentu tahu bahwa hal itu tidak baik demi kenyamanan masing-masing. 

Awalnya, aku pikir tidak masalah seberapa pun jarak telah menjadi semacam benteng tinggi, menjulang menghalangi kebersamaan. Bukankah teknologi sudah begitu canggih sehingga hampir setiap saat kita bisa bertukar kabar. Tetapi, tetap saja ada yang kurang tanpa kehadiran masing-masing. 

Aku pikir ada yang lebih penting dari pada membicarakan hubungan ini. Misalnya, bagaimana caranya menjadi orang kaya di usia muda. Bagaimana melunasi tanggungan yang menumpuk. Bukankah itu lebih bermanfaat dari pada berdebat, perihal aku yang selalu menaruh curiga padamu. 

Aku diam. Hanya ingin menyendiri supaya emosiku menguap. Aku diam. Aku tidak sedang merajuk. Kebaikan seperti apa pun tidak akan nampak jika masing-masing dari kita tidak memberi jeda untuk berpikir bahwa hubungan ini bukanlah remeh temeh selaiknya urusan cinta-cintaan semata. 


DUA RATUS ENAM PULUH DAN SENYUM YANG HILANG

Diposting oleh Rumah Kopi di 10.34 0 komentar



Pagi di musim dingin, sisa hujan semalam, kopi yang menunggu diseduh, selimut tebal yang ogah-ogahan ditinggal. Begitulah kira-kira aku menyambut hari, Sabtu ini. 

Ada sedikit perasaan sebal, sisa perselisihan remeh temeh tempo hari, yang barangkali merujuk pada sesuatu yaitu, jaga jarak saja dulu. Bagaimana pun juga, segala sesuatu jika terlalu mepet, tanpa jarak kemungkinan besar bisa nabrak. Begitu pula sebuah hubungan. 

Aku dan kamu tidak akan melihat sebuah kebaikan dalam keributan. Tetapi dengan menahan diri untuk tidak terus melepaskan ucapan yang tak enak didengar, perlahan emosi kan memudar. 

Tuhan pasti mempunyai rencana. Dan seperti yang kuketahui, rencana-Nya adalah maha baik. Tidak ada upaya yang sia-sia, hanya saja mungkin waktunya belum tepat. Mengapa aku dipertemukan denganmu? Kenapa kamu yang harus menjadi teman hidupku? Sementara, tabiat kita sama-sama keras. Barangkali, jika ada kesamaan, merujuk pada tanggung jawab kita terhadap kesejahteraan keluarga, begitu besar. 


Pagi di musim dingin, sisa hujan semalam, kopi yang menunggu diseduh, selimut tebal yang ogah-ogahan ditinggal. Hari ini akan menjadi hari sibuk. Pikirku begitu. Pasalnya, selain kedatangan anggota keluarga yang tinggal di Taichung, jadwal pergi ke dokter sudah menjadi wacana jauh hari sebelumnya. 

Untuk masalah jadwal ke dokter, aku hanya menjadi tim pengikut. Maksudku, aku sendiri tidak pernah tahu persis kapan musti periksa ke Dr. Whu, atau Dokter He, atau Dr. Liu Chang Pang, atau ke dokter yang satunya lagi. Entah lupa siapa namanya. Jika semua nama dokter kumasukkan dalam ingatan, takut kalau memoriku kelebihan muatan. Dan akhirnya ingatanku perlu diroot. 

Aku hanya mengingat sambil lalu. Karena, biasanya juga, pasienku ini mendadak periksa ke salah satu dokter langganannya, semisal ketika sedikit saja kurang enak badan, atau tidak bisa berak selama satu setengah hari, atau tumbuh jerawat di hidung, serta merta ia panik lalu tergopoh pergi ke dokter. 

Jalan basah, serta sisa air yang menempel pada dedaunan dan benda apa saja di luar sana, menengarahi bahwa hujan benar-benar turun dengan lebat. Aku menemaninya periksa ke Dr. Whu. Dokter langganan yang menangani masalah insomnia-nya. 

Oh iya, bicara tentang insomnia, ada banyak penyebabnya. Tentu saja. Salah satunya ialah, terlalu banyak tidur siang. Hal itu menjadi salah satu dalang dibalik mata yang terus mengajak bergadang. Dia selalu mengeluh tidak bisa tidur malam. Bingung kesana kemari mencari dokter. Tanpa menyadari bahwa penyebabnya ialah kebiasaan tidurnya di siang hari itu, kebanyakan. 

Kembali kuceritakan, bahwa hari ini pukul 08:50, taxi yang sudah dipesan, menunggu dibawah. Sepagian aku sibuk. Sarapan dan kopiku, belum sempat kutandaskan. Sementara dia sudah mengomando untuk segera berangkat. Dan aku tidak bisa membantah. Tentu saja. HP dan buku menjadi barang penting harus kubawa. 

Taxi bergerak meninggalkan apartemen menunu jalan Zhong Shau West.rd. Sengaja aku tidak mengutak-atik HP. Asyik menikmati jalanan basah serta pohon-pohon di pinggir jalan yang seolah lari menjauh dari taxi yang kami tumpangi. Dua pulun menit berlalu. Akhirnya sampai pada tempat praktik dokter itu. 

"Dua ratus enam puluh," begitu sopir taxi itu berujar. Ada semacam gerundelan laiknya koloni lebah yang mendengung mengintari bunga-bunga. Dengungan itu berasal dari nenek dan sopir taxi. Bahkan, sopir taxi itu sempat mengumpat, "Hen loso!" Yang artinya cerewet. Beruntung nenek tidak mendengar. Atau barangkali perang dunia ke 17 meledak pagi ini jika umpatan sopir itu sampai di telinga nenek.

Sesampainya kami menapaki gedung, seorang satpam yang berusai udzur, menginformasikan bahwa praktik dokter sedang libur. 

What! Begitu kira-kira ekspresi nenek.

Bibir tua yang masih nampak segar, langsung mengerucut seperti pantat ayam. Beberapa ungkapan kesal, lepas begitu saja dari sana. 

Entah siapa yang salah? Dokter atau nenek yang lupa bahwa jadwal periksanya adalah tanggal 19, minggu depan. 

Padahal, di kertas pembungkus obat tertera jelas tanggal dan bulan, jadwal periksa yang benar. Namun nenek tidak mau disalahkan. Ia bilang, "Aku mendengar dengan jelas kalau tanggal 12 dokter menyuruhku datang. Seenaknya menggati jadwal tanpa memberitahu lebih dulu. Chi Se (mati saja)"!

Seperti yang kusampaikan tadi, aku tidak pernah tahu kapan dia periksa ke dokter. Misalnya saja, waktu itu seingatku dia harus periksa Selasa pagi, minggu depan. Eh, tiba-tiba-tiba Jumat sore, tanpa memberitahuku lebih dulu, langsung mengajakku berangkat. Padahal aku masih mengerjakan pekerjaan lainnya. Jadi, untuk jadwal periksa, aku lepas tangan saja. Suka-suka dia.

Keluar dari gedung, nenek masih saja gerundel laiknya lebah. Lalu, kami menuju halte. Pulangnya naik bus karena $260 ongkos taxi, terlalu mahal. Dan sia-sia. Dan akhirnya memilih angkutan umum yang ongkosnya tidak lebih dari $15/orang. 

Wajahnya ditekuk. Bibirnya cemberut. Entah apa yang dipikirkannya. Bagi orang kaya, kehilangan uang seperti itu, sangat menyebalkan kali ya? Bisa jadi, kekayaan yang dimiliki saat ini, hasil dari perhitungan luar biasa alias pelit yang menjadi prinsip ekonomi rumah tangga. :D

Barangkali, jika ada yang mau mencontoh seperti dia, hidupnya bakal memilmpah harta, kelak. Sampai-sampai mengabaikan keselamatannya sendiri. Aku pikir begitu. Ongkos naik bus memang murah. Tetapi untuk lansia 85 tahun, berdesakan dengan banyak orang, berbahaya. Jika jatuh, biaya perawatannya bakalan lebih mahal dari ongkos taxi sebesar dua ratus enam puluh. 


Jumat, 11 Desember 2015

MISUNDERSTANDING

Diposting oleh Rumah Kopi di 20.26 0 komentar


Waktu begitu cepat berlalu. Meninggalkan berbagai cerita di masa itu. Cerita yang bisa jadi paling pelik, paling kejam, paling buruk, paling manis. Semua tersimpan rapi dalam kotak kenangan. Cerita kejam dari sebuah ketidak beruntungan. Cerita buruk atas kegagalan yang suatu hari bisa dijadikan bahan evaluasi. Cerita manis yang semoga saja masih bisa merasainya di tahun-tahun berikutnya.

Tahun 2015 segera berlalu dengan berakhirnya penanggalan di bulan Desember. Cepat sekali. Oh iya. Aku lupa, tahun ini natal ke berapa? 

Kurasa, tidak penting berapa lama aku tinggal di negara ini, yang paling penting, apa saja yang sudah aku dapatkan selama ini. 

Banyak pengalaman telah kurasakan. Pahit, manis, asem, asin. Untuk rasa pedas, aku hanya menemukannya dari sambel terasi kesukaan. Bukan dari pengalaman. Tentu saja. Hihi. 

Dari semua rasa yang sudah kukecap, akhirnya membentuk pribadi yang .... kuat. Kuat dalam beragumen doang. Kuat dalam berdebat. Bukan tanpa alasan sih! Aku tidak ingin merasakan hal-hal buruk yang pernah menemani hariku. Aku hanya ingin memertahankan apa yang sudah aku perjuangkan. -_- 

                     [Natal tahun lalu]

Omong-omong tentang salah paham, hal itu merupakan momok paling mengerikan dibanding sejumlah kesalahan yang pernah dilakukan. Aku pikir, lebih mudah meminta maaf atas sebuah kesalahan 'biasa' dari pada kesalahan yang disebabkan perbedaan pemahaman. 

Yang paling sering menyebabkan salah paham adalah cara komunikasi yang disampaikan lewat tulisan. Menurutku begitu. Sebab, kita masing-masing memiliki argumen atas sebuah kalimat yang tertera pada layar ponsel. Tiap orang memiliki intonasti berbeda saat menyampaikan ucapan lewat tulisan. Ketika aku mengucapkan suatu permohonan, bisa jadi pihak lain mengartikan itu sebagai ancaman. 

Lewat bahasa tulis tentu kita tidak dapat membaca mimik muka lawan bicara. Bisa jadi, saat itu aku tidak sedang marah. Sebaliknya. Aku lagi bercanda. Hanya saja kalimatku lumayan 'sengit' tetapi sialnya, yang bersangkutan tidak mampu menangkap sinyal 'lelucon' atas apa yang aku tulis tadi. Dari sana buncahlah kesalah pahaman tadi. 

"Ayo makan anak-anak"

Dari kalimat ini saja, tanpa adanya (,) di antaranya, bisa timbul berbagai arti:

1. Ajakan memakan anak-anak. (Ih serem)
2. Mengajak anak-anak makan. (Asyik

Nah, itu sebabnya aku lebih suka berbicara langsung lewat telpon dari pada menulis pesan kalau memang keadaanya memungkinkan. Meskipun tidak dapat melihat ekspresi, paling tidak, aku bisa mendengar intonasi dari kalimat yang disampaikan. Bukan mengartikan sendiri atas apa yang tertulis di layar. 










Selasa, 08 Desember 2015

I'M NOT A LITTLE GIRL

Diposting oleh Rumah Kopi di 11.06 4 komentar
Semalam, setelah sekian kalinya tunduk pada semua aturan, akhirnya aku berani menentukan perihal apa yang ingin kulakukan. Aku tidak mau lagi didekte selayaknya gadis kecil. Bukan bermaksud menentang orangtua. Namun lebih menekankan bahwa kini aku sudah dewasa. Barangkali mereka lupa akan hal itu. 

Ada waktu di mana, keputusan itu musti kuambil tanpa persetujuan orangtua. Terlepas hal tersebut bukanlah merujuk hal-hal negatif. Aku paham, berapa pun usiaku, sedewasa apakah diriku, setatusku tetaplah anak. Anak yang selayaknya patuh pada aturan. 

Tetapi ini hidupku. Aku juga berhak menentukan sendiri tentang apa yang mau atau tidak mau kulakukan. Aku ingin berkembang selayaknya orang dewasa. Melakukan banyak hal sesuai kata hati. Semisal, menunda mengenalkan seseorang yang akan menjadi pedampingku kelak. Aku punya alasan mengapa hal itu kulakukan. 

Saat pikiran sedang jernih, tanpa emosi tentu saja, tiba-tiba terlintas hal ini, bahwa yang terpenting adalah bagaimana menyelami hati masing-masing, menguatkan rasa yang sudah terjalin, menyamakan atau paling tidak mencari jalan tengah atas prinsip hidup yang kadang tidak seirama. Menurutku itu lebih penting dari pada mengenalkan pada orangtua. 

Semalam ibu bertanya: Kenapa Mamasmu belum juga punya etikad bersulaturahmi dengan Bapak Ibu? 

Lalu aku mencoba memberi pengertian pada ibu. Kusampaikan padanya bahwa ini pilihanku. Maksudku, aku memilih untuk tidak atau menunda mengenalkan pada orangtua. Alasannya sudah jelas. Lagi pula, jika sudah saatnya nanti, aku dan seseorang yang menjadi pendampingku itu, pasti pulang meminta restu. 

Belajar dari pengalaman sebelumnya, bahwa mengenalkan pasangan pada orangtua bukan berarti ikatan di antara kami sudah benar-benar kuat. Yang terpenting adalah, orang yang kupilih itu merupakan orang baik-baik. Dari keluarga baik-baik. Kami saling menyayangi. Itu saja menurutku cukup untuk saat ini. Akan ada waktunya di mana hubungan ini akan kami bawa pada jenjang resmi. 

Rabu, 02 Desember 2015

SPACE

Diposting oleh Rumah Kopi di 07.40 0 komentar
Kenapa aku menceritakan sesuatu yang selama ini kututupi? Bukankah itu memalukan? Tentu saja aku kuat. Lebih dari yang orang bayangkan. 

Suatu hari aku ingin menangis. Hanya itu saja. Tanpa bermaksud meminta belas kasih. Ini hidupku. Aku mempunyai tanggung jawab atas kehidupan keluarga. Sementara, tentang masa depan serta kebahagianku, kutitipkan padamu. 

Aku tidak ingin apa-apa. Aku tidak mau berpikir tentang banyak hal. Sementara, aku menukar hidup dengan $21.000 NT. Barangkali itu nilai setimpal. Jadi tidak ada yang perlu diratapi terlalu dalam. Toh semua hanya sementara. -_-


Senin, 30 November 2015

The Money Had I Transferred, Mom

Diposting oleh Rumah Kopi di 18.15 0 komentar

Semua ada masanya, dimana keadaan akan berbalik. Entah dalam hal apa? Dulu, selaiknya anak-anak sekolah pada umumnya, sering kali aku pulang sekolah dengan membawa berita yang barangkali paling tidak dikehendaki oleh orangtua.

Berita itu bukan mengenai kenakalanku sebagai murid. Tentu saja. Lagi pula, pada dasarnya aku belum pernah melakukan hal buruk berakibat fatal di sekolah yang akhirnya menyeret orangtua dan mencoreng nama baiknya. Berita yang kubawa pulang itu tak lain mengenai sejumlah iuran yang musti dilunasi, segera. Tanggal sekian. Jumlah sekian. Dan aku tidak pernah ambil pusing sesudahnya.

Barangkali, di sanalah letak ke naifan anak-anak. Kendati orangtuanya mengurut kening, memutar otak, membanting tulang demi mencukupi berbagai tuntutan hidup, anak-anak sepertiku, dan mungkin juga anak-anak lainnya di belahan dunia, tidak akan ambil pusing mengenai persoalan yang ada. Malahan, tahunya semua serba ada.

Dan masa itu pun akhirnya bergulir, sampailah pada saat dimana aku telah menjadi wanita dewasa, kini. Ketika bapak harus menjalani perawatan intensif di rumah sakit, saat ibu butuh biaya memenuhi kebutuhan sehari-hari, aku bisa meringankan beban yang dipikul orangtua. 

Dulu, aku sering menyampaikan berita-berita yang membuat kening bapak berkerut. Kini ketika bapak menyampaikan bahwa tanggal sekian harus ke rumah sakit demi mengontrol kesehatan jantungnya, dengan penuh kelegaan aku berkata: Seperti biasa, uangnya sudah aku transfer ke rekening ibu. Bisa dipakai buat biaya pengobatan bapak dan memenuhi kebutuhan sehari-hari. 

Dari sini, aku belajar bahwa manusia tidak perlu tergesa-gesa ingin keluar dari zona yang sedang dilakoninya. Semua ada masanya, dimana berbagai hal akan berganti seiring bergesernya waktu. 

Waktu bukanlah penentu segalanya. Namun, aku percaya, waktu bisa menjawab semua pertanyaan yang kini mondar-mandir di kepala. Semisal, tentang bagaimana kehidupanku di hari esok? Apa yang akan terjadi jika aku pulang dan kuliah belum selesai? Kapan menikah? Kapan aku selesai membayar cicilan rumah yang akan kutempati dengan anak dan suami? 

Semua ada masanya. Tenang saja. Nikmati saja apa yang saat ini sedang dihadapi. Santai saja sambil fokus dengan aktivitas dan jalan hidup yang dipilih. Santai saja karena sesuai janji Tuhan, setiap umatNya akan mendapat giliran bahagia. Santai dan terus berusaha. Itu saja sih kuncinya supaya gendut imut-imut. Eh! :3

Demikian nyinyir hari ini. Sampai ketemu lagi besok. :D


Kamis, 26 November 2015

SEAL

Diposting oleh Rumah Kopi di 18.16 0 komentar
"Dunia ini bukanlah pabrik yang mewujudkan keinginan-keinginan" 
Augustus Waters. 

Benarkah?

Malahan, aku berpikir bahwa apa yang kualami saat ini adalah perwujutan atas doa-doaku. Bertemu dan menjalani hidup dan berbagi hati dengan laki-laki yang memiliki latar belakang kehidupan, tak kalah rumitnya dengan persoalan mencari jarum di kolam buaya. 

Aku adalah manusia yang baru saja keluar dari ketidak beruntungan hidup. Dan mencoba bangkit, menjadi wanita kuat dan melupakan perihal tengik yang telah udzur. Hatiku jauh lebih rentan dari pada telur yang ditaruh di atas tanduk badak bercula. 

Dan apa kamu sadar, menjadi pendampingmu itu bukan hanya dituntut untuk sabar, melainkan mesti memiliki kekuatan ganda. Satu untuk menyemangatimu dan satu lagi untuk berpura-pura bahwa aku ini wanita kuat yang pundaknya tidak pernah berangsur turun, lelah--demi menopang kepalamu yang penuh masalah. 

Aku mencoba, menawarkan kehidupan baru supaya kelak kamu tidak hanya memikirkan persoalan hidupmu yang entah kapan selesainya. Aku harus menjadi apa pun. Kadang-kadang menjadi pendamping, kadang-kadang menjadi tempat sampah tempatmu membuang keluh kesah juga amarah.




Pernahkah kamu memikirkan persoalan apa yang membebaniku? Pernahkan kamu merasa iba atas kehidupanku dengan segala ketertekanan di sini? Pernahkah kamu sedikit saja .... Ah lupakan.

Satu hal yang aku pahami. Dengan menerima kekurangan orang lain, itu berarti aku memberikan kesempatan bahwa kelak orang lain akan menerima kekuranganku. Aku menerimamu seperti kamu menerima keadaanku. Kita selesaikan saja masalah yang sedang dihadapi orangtuamu, bersama-sama tanpa bantuan dari siapa pun.

Semestinya, kamu menyadari tidak ada yang lebih peduli padamu dari pada aku. Tidak juga dengan adikmu yang gengsian itu. Kurasa. Namun begitu, begitu kejinya kata-katamu mendarat ditelingaku. 

Barangkali aku memang salah. Tidak mau berhenti bicara atas apa yang tidak ingin kamu dengar. Tetapi, kesempatan ini aku ingin mengutarakan isi hatiku bahwa jelas aku keberatan jika kamu mengesampingkan masa depanmu [kita] demi menuruti gengsi dari adikmu yang ... Maaf [tidak tahu diri] itu. 

Jika ucapanmu itu benar, kamu tidak mempedulikan tengtang apa yang ia lakukan, baiklah. Aku pegang ucapanmu. Dan kelak, aku tidak mau dengar rengekan manjanya meminta ini itu. Jika memang berniat bekerja, tentu yang dipilhnya adalah hal mudah yang sudah jelas penghasilannya. 

Ah, sudahlah. Malas mengurusi hal seperti itu. Tidak ada untungnya demi kemajuanku dalam hal apa pun. Toh, tidak ada yang peduli dengan keadaanku saat ini. Tidak pula dengan mereka. Lantas, untuk apa aku bersusah payah memeras otak, beradu otot denganmu. 

Lagi pula, sesuatu yang selalu ada bersamamu, akan menjadi hal baik yang akan kehilangan kebaikannya. Menurutku begitu. Ada sedikit rasa bosan ketika kita, hampir sepanjang tahun yang kita lewati, tidak pernah terpisah [komunikasi] dan kurasa itu adalah salah satu pemicu hilangnya rasa belas kasih. Bisa dibilang kamu muak. Sehingga, jika aku hilang dari kehidupanmu itu, tidaklah menjadi masalah besar. Kurasa. 

Aku tidak akan meninggalkamu, karena aku sudah pernah berjanji. Bagiku, di dunia ini tak ada jodoh yang sesuai dengan apa yang kita inginkan. Tetapi, jika kita bisa menerima seseorang yang dihadirkan untuk kita, di sanalah kebahagiaan berada. Namun tidak berarti aku melarangmu jika ingin pergi dan mencari seseorang yang sesuai dengan kemauanmu. 



Kamis, 19 November 2015

PROLOG

Diposting oleh Rumah Kopi di 17.48 0 komentar
Kau tahu apa yang lebih menyebalkan dari pada pertengkaran? Iya. Dia adalah rindu. Sungguh rindu ini seperti amoeba yang bisa membelah diri. Menjadi banyak. Banyak dan terus begitu. Tak terhitung berapa cara yang sudah kucoba untuk sekadar menghilangkan perasaan yang teramat sialan ini. Tetapi, alih-alih membaik, justru kian membuatku panik. 

Aku sadar, ini adalah pilihan yang sudah kita sepakati. Tetapi, ketika berpamit padaku untuk pergi, kamu lupa mengajarkanku bagaimana caranya menanggulangi perasaan rindu yang menyiksa ini. 

Aku pun tahu, setiap pilihan ada konsekuensinya. Namun, apakah harus sesakit ini menahan ngilu ketika aku merindukan kehadiranmu di sini! Ternyata, suara dan berbagai sapaan mesra bukanlah mantra hebat pengusir rindu. Kamu paham ini kan?

Demi Tuhan, kenapa aku menjadi sebedebah ini? Selemah ini? Bukankah ada hal-hal yang terlebih dulu mesti diselesaikan, sebelum akhirnya kita menghabiskan sisa usia yang masih dimiliki, bersama-sama. 

Tolong ingatkan kembali, bahwa kita adalah sepasang kekasih yang harus berpisah, lalu masing-masing kalis pada roda kehidupan. Iya, kita adalah tumbal-tumbal penggerak roda kehidupan. Kita tidak boleh mati sebelum tanggung jawab kita terhadap orangtua, rampung. Senyum mereka di usia yang kian senja, lebih dari sekadar penting daripada kebersamaan kita saat ini. 

Aku tidak harus menitipkan salam pada angin, pada rintik hujan, pada gelap yang membungkus malam, supaya kamu tahu bahwa di sini aku merindukanmu setiap waktu. Tidak. Aku tidak perlu melakukan itu karena disana, kamu juga merasai apa yang saat ini aku alami. 

Kita tidak boleh menyerah pada lembar-lembar buku kehidupan, yang mana pada bagian itu, tertulis jelas saat ini adalah mustahil bagi kita bersenang-senang sementara, kedua orangtua kita menjerit menahan himpitan beban. Aku sadar itu. 

Menghitung hari demi hari, dimana kita akan kembali dipertemukan. Mengkalkulasi sudah berapa banyak hutang rindu yang harus dilunasi, juga tidak lupa menghitung berapa sering kita hanyut dalam pertengkaran dan caci maki? 

Jumat, 13 November 2015

APOLOGIZE

Diposting oleh Rumah Kopi di 16.58 0 komentar






Semua bentuk peperangan baik secara fisik maupun verbal, akan mendatangkan kerugian. Tentu saja. 

Jika mengingat itu, ya ampun sepertinya aku baru menyadari hal bodoh yang menjadi santapan sehari-hari. Ya, tentang peperangan itu. Ini bukan tentang bagaimana melukai lawan dengan senjata. Lebih dari hal tersebut, perang verbal memiliki dampak psikologis yang sama-sama mengerikan saat tubuh kita dilukai dengan senjata tajam. 

Barangkali, otak kita perlu dicuci bersih. Menurutku begitu. Sebab, perang mulut yang senantiasa mewarnai hari-hari penat kita, ditimbulkan oleh masalah sepele. Sumpah ini konyol. Bagaimana tidak? Kita yang katanya sudah dewasa, masih meributkan tentang tetek bengek tak penting, semisal siapa yang paling mengutamakan siapa, atau perihal siap yang lebih mencintai siapa? Basi. 

Mungkin salah satu penyebabnya, kita tidak pernah bersyukur atas rasa cinta yang kita miliki. Bukan kita, aku sih, yang paling sering menuntut diberikan lebih dari ini. 

Susahnya menjalani LDR. Jenuh. Bosan. Dan yang bisa dilakukan hanya sms atau telponan. Apa lagi? Tetapi, salah besar jika hanya karena hal itu, kita menyerah lalu berpikir untuk mengakhiri semuanya. Bagaimana tentang impian-impian yang telah dirangkai bersama? 

Aku tahu kamu lelah. Aku pun demikian. Demi Tuhan, jangan pernah berkata untuk berhenti bersabar untukku. Aku ingat, betapa kamu yang seorang angkuh itu, rela menekuk lutut mengikatkan tali sepatuku. Kamu yang keras itu, rela berjongkok untuk menempelkan hansaplast di tumitku. Dan masih banyak hal lagi. Hal baik, tentu saja. 

Maafkan aku. I love you more and more! 

Jumat, 06 November 2015

KASIH TAK SANTAI

Diposting oleh Rumah Kopi di 09.41 0 komentar



Para pujangga sering menyebutkan: hujan, senja, angin, daun yang bergesek, dalam sebuah tulisan mereka. Yang mana hal itu digambarkan mewakili keindahan. Cakrawala dengan warna emas kemerahan mengungkung semesta  yang biasa disebut senja itu, bagaikan ratu yang menguasai panggung. Demikian halnya dengan hujan. Lewat ujung-ujungnya yang bergantian mencium bumi, nampak epik memamerkan harmonisasi keindahan. Dan entah bagaimana lagi, mereka menggambarkan keindahan menggunakan senja, hujan, angin dan sebagainya. 

Bagiku, mati lampu, jalanan macet, bau keringat, genteng bocor sekalipun akan nampak menyenangkan. Terasa indah, jika hati dalam keadaan bahagia. Menurutku begitu. Akar dari semuanya adalah hati. Sekali lagi, jika hati sedang bahagia, jalanan bopeng-bopeng yang sukar dilewati itu, tetap menyenangkan. Mendatangkan gelak tawa membahana.

Oh iya, lupakan tentang senja, bau keringat, jalanan bopeng. Aku akan membahas tentang ini saja. Pernikahan. Ya, mengajak menikah kamu saat ini, sama anehnya seperti bertanya sesuatu yang jawabannya sudah kukantongi. 

Pernikahan bukan hal sederhana. Aku paham ini dan kamu tahu itu. Hanya saja, sebagai manusia dewasa yang sudah sejiwa (katanya begitu) mengesahkan hubungan di depan Allah, adalah hal terbesar yang kuimpikan. Tepatnya, impian setiap pasangan.

Sayangnya, kita terbentur pada dinding-dinding nisbi, yang mana hal itu tidak bisa dianggap sepele. Aku punya tanggung jawab besar. Dan kamu juga. Kita akan tetap bersama meskipun ikatan ini hanya atas dasar cinta. Bukankah itu landasan luar biasa? Untuk apa menikah jika tidak saling mencintai. Dan apa yang mesti ditakutkan jika keduanya percaya bahwa cinta akan menemukan jalan paling terang, kelak. 

Aku mencabut tuntutan. Ah, seperti jaksa saja. Aku tidak lagi menganjurkanmu ini itu. Harusnya aku yang paling memahami dirimu. Memang kenyataannya begitu. Kamu grogi jika dihadapkan pada hal-hal serius, semisal menghadap atasan. Apa lagi menghadap bapakku untuk minta restu. 

Sebenarnya, tanpa diminta sekarang pun, sejak awal bapak bakal mengamininya. Hanya saja, sebagai laki-laki bukankah kamu sepantasnya meminta izin terlebih dahulu supaya hubungan ini memiliki ketingkatan selangkah lebih maju. Ah, tapi sekali lagi kusampaikan, aku tidak tega demi melihatmu gelisah tak karuan. 

Kamu tenang saja. Nanti, kita berdua menghadap bapak bersama. Meminta restu. Seperti kesepakatan awal saat itu. Kita masing-masing saling mendalami perasaan saja dulu. Lebih dan lebih. Dalam hal seperti ini, kamu butuh aku yang mendampingi atau bahkan mengelap keringatmu yang mengucur seperti air hujan.

Ucapanku tempo hari, anggap saja itu adalah ulah manusia yang sedang dilanda jenuh dengan hubungan. Bukan bosan ya. Hanya sedikit jenuh. Ini manusiawi. Kurasa begitu. Ketika cinta, perhatian, serta segala tetek bengek sudah didapat, maka 'greget' itu sedikit menurun.

Tapi jangan khawatir. Kita dua manusia yang selalu tahu bagaimana bangkit setalah jatuh. Kurasa, masa jenuh akan berlalu. Dan semangat menggebu tentang perencanaan masa depan pun, akan bermunculan seperti jamur di musim hujan. 

Minggu, 01 November 2015

JILU

Diposting oleh Rumah Kopi di 17.50 0 komentar

"Melupakan mantan itu hanya ada satu cara. Nggak usah diingat-ingat melulu. Ntar juga lupa. Beres kan!"


Mendengar hal itu, aku tidak bereaksi. Pandanganku tetap tertuju pada jalanan di balik kaca cafe ini. Dalam hati, ingin aku melemparkan gelas yang isinya baru saja tandas. Mengajaknya nongkrong di sini bukan untuk menceracau seperti itu. Aku hanya butuh teman. Entah dalam rangka apa? Yang jelas, aku tidak sedang ingin membahas hal seputar patah hati dan saudara-saudaranya. 


"Ngapain kamu mengasingkan diri? Cobalah mencari kekasih baru! Kayak udah nggak laku ini!" 


Yakin, kali ini aku mulai geram. Aku mengangkat gelas. Mendekatkan ke bibir meski tahu isinya sudah habis. Ini hati. Bukan kulkas. Kalau isinya kosong tinggal beli di pasar. 



Patah hati memang perkara biasa. Anak-anak SD zaman sekarang pun tahu. Yang luar biasa itu jika hubungan selama 4 tahun, 2 bulan, 3 minggu harus berkhir hanya karena faktor jilu



Pagi-pagi aku sudah berada di atas kereta yang akan membawaku meninggalkan Surabaya. Bapak memintaku pulang. Semenjak tiga bulan lalu, pasca terlibat perselisihan perihal jodoh, komunikasi di antara kami tidak baik.



Aku berselisih paham dengan bapak. Menurutku, syarat menikah itu hanya dua. Laki-laki, perempuan dan keduanya sama-sama siap membina rumah tangga. Sayangnya, menurut bapak, dalam istiadat jawa syaratnya tidak sesederhana itu. Merepotkan.



"Kami bersedia menerima lamaran, Pak. Tapi, Mas Giri harus terlebih dulu naik pelaminan." Kedua adik kembarku sepakat. 



Bagaimana aku menikah, sementara calon saja belum ada. Tapi jika aku tidak segera menikah, kasihan kedua adikku. Mereka bakal dicap sebagai perawan tua oleh tetangga. Heran. Mengapa semua tetek bengek dalam pernikahan, ditentukan oleh adat dan masyrakat. Lalu di mana letak kebebasan kami menjalani hidup di tanah yang katanya sudah merdeka ini?



"Kalau kamu tidak bisa mencari istri, biar Bapak yang mencarikan." 


Aku menghela napas frustasi. Tak sepatah kata pun keluar dari mulutku. Oh ya, ampun. Bukannya tidak bisa mencari calon pendamping. Melainkan, perhitungan ilmu titen itulah yang memaksaku mengakhiri hubungan dengan Hanna. 


Waktu memang sengaja menyembunyikan hubunganku dengan Hanna. Kami berdua sepakat, jika sudah siap, kami menghadap orangtua. Meminta restu. Di luar dugaan, setelah menelusuri silsilah keluarga, hubungan kami tidak boleh dilanjutkan. 


Aku anak pertama. Sementara Hanna anak ke tiga. Dalam ilmu titen jawa, hal itu dimaknai dengan jilu. Jilu singkatan dari siji telu (satu tiga). Menurut bapak, jika kami melangsungkan pernikahan, rumah tanggaku akan sial. Perekonomian buruk. Dan entah hal tidak masuk akal apa lagi yang dijejalkan ke telingaku. 


*


Sore itu, aku nongkrong di warung kopi dekat rumah. Beberapa laki-laki seumuran bapak, nampak asyik ngobrol di bawah pendar bohlam. Seseorang menepuk bahuku. Aku mengangguk sopan.


"Belum pernah melihat cah bagus ini sebelumnya." 


Bapak itu memasang wajah bertanya-tanya pada pemilik warung.


"Oh dia anaknya Nur Huda. Tinggalnya di kota. Bukan begitu, Giri."


"Lhoh, Nur Huda yang rumahnya di sebelah kelurahan?" 


Lagi-lagi aku hanya mengangguk.


"Bukankah dulu dia mau menikah dengan Rusmini yang anaknya Pak Haji? Seingatku, mereka pacaran lama sekali. Jebule nggak jadi nikah?"


"Nggak jadi. Lamarannya nggak diterima. Malahan dia dinikahkan sama orang lain. Suami Rusmini seorang kepala desa."


Bukankah bapaknya Hanna juga kepala desa. Dan ibunya bernama Rusmini. 



Senin, 26 Oktober 2015

MATINYA PRIVASI

Diposting oleh Rumah Kopi di 10.01 0 komentar


Saya sering menekankan pada diri sendiri, menasihati jangan sampai menyakiti. Memberi tahukan hal keliru, jangan sampai dianggap menggurui. Tapi kadang, saya masih susah menerapkan. Niatnya mengingatkan malah mendapat cacian, sering saya mengalami begitu.

Manusia makluk sosial yang tentu saja tidak bisa hidup sendiri. Jika memutuskan untuk membaur dengan khalayak umum, terkadang ada privasi yang hilang. Coba saja ingat hal ini: Ketika kita sudah terikat kontrak dengan perusahaan tertentu, maka jangan harap bisa bebas berlibur kapan saja di hari-hari kerja. Kita tidak keberatan, kan? Hal itu merupakan bagian yang telah disepakati. 

Konsekuensi. Nah, dalam berumah tangga, saya pikir juga demikian. Kita tidak lagi sok-sok-an minta pada pasangan supaya diberikan privasi supaya bebas melakukan kesenangan. Kenapa menikah jika masih ingin bebas? Kenapa berumah tangga kalau tidak mau terikat berbagai macam aturan? 
 
Meskipun privasi tidak lagi dimiliki, tetap saja masing-masing orang butuh dan punya Me Time. Sejenak bisa memanjakan diri. Tetapi masih tetap pada batasan. Me time beda dengan privasi. Tidak ada yang menegur jika kita tidak menyalahi. Tidak perlu ribut privasilah jika kita pandai membawa diri. 

(succes-family.blogspot.com)
"Selain itu, karena suami istri itu soulmate, maka keduanya tidak berjalan atau atas nama diri sendiri. Kemana dan dimana saja, masing-masing membawa nama pasangannya, walau secara fisik tidak bersama, tapi identitas pasangan akan selalu melekat. Itulah, suami istri itu bukan dua tapi satu. Suami istri itu memiliki privasi rumah tangga mereka, tidak boleh ada privasi suami atau privasi istri."


Devinisi dari sebuah hubungan, menurut saya ialah bersama-sama belajar menjadi manusia lebih baik dari masa ke masa. Saling melengkapi. Mengingatkan. Menerima. Saya rasa hal tersebut sudah mewakili banyak hal. Tidak perlu gengsi mengakui kelebihan pasangan. Tidak usah marah jika diingatkan ketika melakukan sesuatu yang bertentangan. Ingat, orang yang peduli akan banyak memberi tahukan hal-hal apa saja yang kurang baik jika dilakukan. 

Mungkin saya masih terlalu awam untuk membicarakan masalah ini, maka saya mengusung artikel dari blog berikut supaya Anda tidak merasa mengkal digurui anak kecil. :(

(keluargakecilsehat.blogspot.com)


Kesalahan dalam membangun hubungan rumah tangga

Saat menikah, kita sering menerima nasihat dari orangtua mengenai cara membentuk keluarga yang bahagia. "Sayangnya, tidak semua nasihat ini benar. Karena tanpa disadari, saran ini bisa memancing konflik besar yang bisa berakibat buruk pada pernikahan," ungkap konsultan pernikahan Indra Noveldy.

Beberapa kesalahan yang sering dilakukan pasangan dalam kehidupan pernikahan ini antara lain:

1. Menjadi orang baik
Banyak yang beranggapan bahwa menjadi orang baik bagi pasangan bisa menjadi jaminan pernikahan yang bahagia. Orang baik tidak selalu dapat membuat pasangannya bahagia, tidak berjudi, tidak ringan tangan, dan lain-lain. "Bukannya tidak penting menjadi orang baik, tapi menjadi orang baik saja belum cukup. Jangan pernah puas sudah menjadi orang yang baik, tapi berusahalah untuk selalu belajar menjadi yang terbaik bagi pasangan dalam segala hal," katanya.


2. Menerima pasangan apa adanya
Saran yang sering diberikan para orangtua saat Anda akan menikah adalah untuk menerima pasangan apa adanya, baik kelebihan maupun kekurangannya. Ini tidak salah, hanya saja penerapannya membutuhkan situasi dan kondisi yang tepat, karena tidak adil bagi pasangan ketika ia selalu diminta untuk memaklumi sifat-sifat buruk Anda. "Kata-kata ini digunakan sebagai mantra sakti ketika Anda melakukan kesalahan," jelasnya.

Indra menambahkan, "mantra" ini merupakan salah satu tanda bahwa Anda tidak ingin berubah dan berkembang menjadi pribadi yang lebih baik untuk pasangan. Padahal, setiap langkah dalam pernikahan adalah proses pembelajaran untuk menjadi pribadi yang lebih baik bagi diri sendiri dan juga pasangan.

3. Konsep "harusnya", "mestinya"
Pernikahan yang sehat dan bahagia adalah pernikahan yang tanpa tekanan. Namun sampai saat ini, masih banyak orang yang secara tak sadar selalu memberi tekanan pada pasangannya. Kalimat "Seharusnya kamu...", atau "Mestinya kamu..." secara tak langsung akan memaksa pasangan untuk selalu melakukan keinginan Anda. Jika memang menginginkan pasangan untuk menuruti keinginan Anda (dalam hal positif), hindari kata-kata yang penuh tekanan.

4. Mengalir seperti air
Kehidupan pernikahan yang penuh tekanan pasti tidak akan berjalan bahagia. Namun, pernikahan yang mengalir seperti air pun tidak membuat bahagia. Kehidupan pernikahan yang mengalir seperti air sekilas memang terlihat lebih bebas dan menyenangkan, tanpa adanya batasan mutlak dari pasangan. "Mengalir seperti air boleh saja, namun arah alirannya tetap harus diatur untuk meminimalisir konflik dan mencapai tujuan pernikahan," sarannya.

5. Mengalah
Mengalah merupakan salah satu cara yang dilakukan untuk menghindari konflik menjadi semakin besar. Mengalah belum tentu selalu benar dan tepat untuk mengatasi masalah. "Jangan pakai konsep mengalah, tapi yang paling penting adalah cobalah untuk mengerti," tukasnya.

6. Melakukan pembiaran
Ingin membahagiakan pasangan, bukan berarti membebaskan pasangan untuk melakukan hal-hal sesukanya, atau selalu memanjakan. "Ketegasan juga sangat dibutuhkan untuk memberi batasan, mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak," saran Indra.

Saat pasangan melakukan kesalahan, sekalipun kecil, tegurlah dia agar tidak mengulangi kesalahan tersebut. Jangan sepelekan masalah kecil dalam rumah tangga, karena proses pembiaran ini akan membuat masalah menjadi besar. Selain itu, proses pembiaran akan membuat pasangan tidak berkembang dan tidak belajar menjadi lebih baik.

7. Menuntut dibahagiakan
Salah satu kunci sukses untuk membina rumah tangga adalah dengan konsep ikhlas dalam memberi. "Banyak orang berpikir, saat menikah mereka siap dibahagiakan. Padahal untuk bahagia, pasangan harus saling membahagiakan," jelasnya. Indra menambahkan, bahwa memberi merupakan hukum alam yang tak bisa ditawar dalam pernikahan.

8. Sudahkah Anda bersikap adil?
Salah satu bentuk ketidakadilan yang sering dilakukan adalah ketidakseimbangan antara jam kerja di kantor dengan waktu untuk keluarga. Dalam satu hari sekitar 12 jam dihabiskan untuk bekerja. Saat di rumah, biasanya Anda akan lebih menghabiskan waktu untuk beristirahat karena sudah terlalu lelah.

"Karena lelah, sesampainya di rumah Anda justru marah-marah karena berbagai hal kecil," jelasnya. Untuk mengatasi hal ini, ubah mindset Anda untuk memberikan yang terbaik pada keluarga dan bukan menuntut banyak hal dari mereka.

9. Waktu akan menyembuhkan segalanya
Banyak orang yang percaya pada ungkapan ini. Sayangnya hal ini tidak terbukti benar ketika menyangkut masalah yang terjadi dalam rumah tangga. "Waktu tidak akan menyelesaikan masalah, tapi hanya menyimpannya sementara, dan suatu saat bisa terbuka kembali dan berkembang menjadi lebih parah," ujarnya.

Indra menambahkan bahwa konsep ini juga "menipu" banyak orang untuk berpikir bahwa masa kritis pernikahan ada pada lima tahun pertama pernikahan. "Padahal tidak ada jaminan bahwa waktu dan lamanya pernikahan akan membuat Anda lebih kuat menghadapi masalah dan bebas konflik," jelasnya.

10. Privasi
Menikah merupakan proses penyatuan dua manusia menjadi satu bagian. Setelah menikah seharusnya tidak perlu lagi ada rahasia di antara suami dan istri. "Setelah menikah seharusnya tidak ada lagi tempat untuk kepentingan pribadi atau privasi," jelasnya. Keterbukaan dan kejujuran antarpasangan akan membantu menciptakan keharmonisan rumah tang

Mengalah sebenarnya hanya menumpuk masalah dan memicu bom waktu yang bisa meledak karena "sumbu" kesabarannya sudah habis. Saat mengalah sebenarnya masih ada perasaan kecewa yang tersimpan.

 

Rumah Kopi Copyright © 2010 Design by Ipietoon Blogger Template Graphic from Enakei | web hosting