Senin, 28 Desember 2015
KAPAN MENIKAH?
Senin, 21 Desember 2015
DEMI KEMUNAFIKAN YANG TIDAK ADIL DAN TAK BERADAB
Sabtu, 19 Desember 2015
SAAT INI MASIH MENJADI TERI, SIAPA TAHU SUATU HARI BERUBAH MENJADI PAUS
Intinya menulis itu butuh proses yang tentu saja tidak secepat saat memakai bulu mata palsu.
Lama-lama, menulis itu bukan melulu tentang terapi jiwa. Dimana, karya yang dihasilkan ingin juga sih, dihargai lebih. Terbit dimedia. Menghasilkan uang. Menjadi terkenal dimana-mana. Jujur ini.
Tetapi ada hal, yang mungkin menjadi semacam penghambat perkembangan belajar menulis. Mungkin, ini hanya kamuflase atau alibi demi menutupi kekuranganku yang belum bisa konsisten dalam bidang ini.
Yah ... Bagaimana bisa konsisten seperti para senior, sementara di sini, lakon utama yang mesti kujalani ialah bekerja. Merawat lansia yang masa kerjanya 24 jam. Selain itu, ketika libur kuliah sudah usai, tugas-tugas sudah pasti menumpuk, menyedot perhatian. Dimana kenyataannya tenaga dan pikiranku tinggal setengah.
Kukatakan tenaga dan pikiranku tinggal setengah, karena kalau ingin tahu bagaimana capeknya merawat lansia yang 'super', yang kalau memerintah lebih kejam dari Hitler. Bisa dibayangkan, ketika jam istirahat, mencoba menjamah laptop, melanjutkan menulis, tiba-tiba dipanggil dan harus datang saat itu juga. Sudah mirip seperti jin dari timur tengah.
Kembali lagi menyadari bahwa saat ini keadaan serba terbatas. Misalnya saja, tulisan ini, yang entah berapa kali aku tinggal, lalu kembali kuhampiri, demi menunaikan kewajiban sebagai pekerja. Maka ya harus profesional. Tidak boleh manja apalagi mengeluh. Sebab, sejak memutuskan untuk terjun mencari uang, aku sadar banyak hakku sebagai manusia 'bebas, hilang.
Manusiawi kan ya, kalau ada teman memenangkan lomba atau karyanya terbit di media, rasanya euhhh gatal. Gatal ingin seperti mereka. Kalau mereka bisa, kenapa aku tidak?
Terlepas dari itu semua, bersyukur banget tahun ini memenangkan lomba migran ke II yang hadiahnya gede. Kalau ditukar rupiah, sebanding dengan tiket pesawat, liburan ke Jepang, dua orang. Bahkan masih sisa.
Masih banyak kesempatan meraih apa yang diimpikan. Asal tetap tekun pada jalan yang telah dipilih. Pelan dan pasti, suatu saat bisa berkesempatan menikmati rasanya dipuncak kemenangan dalam arti sesungguhnya. Dan memiliki ciri sendiri pada setiap tulisannya.
Tetap semangat. Terus berkarya. Aku ingat bahwa semua pohon besar awalnya dari bibit kecil. Tinggal bagaimana upayaku menjadikannya tumbuh dan terus begitu. Tidak akan berhenti hanya karena belum bisa sehebat mereka.
Demikian nyinyir hari ini. Happy weekend. :D
Kamis, 17 Desember 2015
DENDELION DAN MASA LALU YANG TERBANG
Rabu, 16 Desember 2015
TAK KENAL MAKA TAK DIPEGANG
Sabtu, 12 Desember 2015
TANPA JUDUL
DUA RATUS ENAM PULUH DAN SENYUM YANG HILANG
Jumat, 11 Desember 2015
MISUNDERSTANDING
Selasa, 08 Desember 2015
I'M NOT A LITTLE GIRL
Rabu, 02 Desember 2015
SPACE
Senin, 30 November 2015
The Money Had I Transferred, Mom
Kamis, 26 November 2015
SEAL
Kamis, 19 November 2015
PROLOG
Jumat, 13 November 2015
APOLOGIZE
Jumat, 06 November 2015
KASIH TAK SANTAI
Minggu, 01 November 2015
JILU
"Melupakan mantan itu hanya ada satu cara. Nggak usah diingat-ingat melulu. Ntar juga lupa. Beres kan!"
Mendengar hal itu, aku tidak bereaksi. Pandanganku tetap tertuju pada jalanan di balik kaca cafe ini. Dalam hati, ingin aku melemparkan gelas yang isinya baru saja tandas. Mengajaknya nongkrong di sini bukan untuk menceracau seperti itu. Aku hanya butuh teman. Entah dalam rangka apa? Yang jelas, aku tidak sedang ingin membahas hal seputar patah hati dan saudara-saudaranya.
"Ngapain kamu mengasingkan diri? Cobalah mencari kekasih baru! Kayak udah nggak laku ini!"
Yakin, kali ini aku mulai geram. Aku mengangkat gelas. Mendekatkan ke bibir meski tahu isinya sudah habis. Ini hati. Bukan kulkas. Kalau isinya kosong tinggal beli di pasar.
Patah hati memang perkara biasa. Anak-anak SD zaman sekarang pun tahu. Yang luar biasa itu jika hubungan selama 4 tahun, 2 bulan, 3 minggu harus berkhir hanya karena faktor jilu.
*
Pagi-pagi aku sudah berada di atas kereta yang akan membawaku meninggalkan Surabaya. Bapak memintaku pulang. Semenjak tiga bulan lalu, pasca terlibat perselisihan perihal jodoh, komunikasi di antara kami tidak baik.
Aku berselisih paham dengan bapak. Menurutku, syarat menikah itu hanya dua. Laki-laki, perempuan dan keduanya sama-sama siap membina rumah tangga. Sayangnya, menurut bapak, dalam istiadat jawa syaratnya tidak sesederhana itu. Merepotkan.
"Kami bersedia menerima lamaran, Pak. Tapi, Mas Giri harus terlebih dulu naik pelaminan." Kedua adik kembarku sepakat.
Bagaimana aku menikah, sementara calon saja belum ada. Tapi jika aku tidak segera menikah, kasihan kedua adikku. Mereka bakal dicap sebagai perawan tua oleh tetangga. Heran. Mengapa semua tetek bengek dalam pernikahan, ditentukan oleh adat dan masyrakat. Lalu di mana letak kebebasan kami menjalani hidup di tanah yang katanya sudah merdeka ini?
"Kalau kamu tidak bisa mencari istri, biar Bapak yang mencarikan."
Aku menghela napas frustasi. Tak sepatah kata pun keluar dari mulutku. Oh ya, ampun. Bukannya tidak bisa mencari calon pendamping. Melainkan, perhitungan ilmu titen itulah yang memaksaku mengakhiri hubungan dengan Hanna.
Waktu memang sengaja menyembunyikan hubunganku dengan Hanna. Kami berdua sepakat, jika sudah siap, kami menghadap orangtua. Meminta restu. Di luar dugaan, setelah menelusuri silsilah keluarga, hubungan kami tidak boleh dilanjutkan.
Aku anak pertama. Sementara Hanna anak ke tiga. Dalam ilmu titen jawa, hal itu dimaknai dengan jilu. Jilu singkatan dari siji telu (satu tiga). Menurut bapak, jika kami melangsungkan pernikahan, rumah tanggaku akan sial. Perekonomian buruk. Dan entah hal tidak masuk akal apa lagi yang dijejalkan ke telingaku.
*
Sore itu, aku nongkrong di warung kopi dekat rumah. Beberapa laki-laki seumuran bapak, nampak asyik ngobrol di bawah pendar bohlam. Seseorang menepuk bahuku. Aku mengangguk sopan.
"Belum pernah melihat cah bagus ini sebelumnya."
Bapak itu memasang wajah bertanya-tanya pada pemilik warung.
"Oh dia anaknya Nur Huda. Tinggalnya di kota. Bukan begitu, Giri."
"Lhoh, Nur Huda yang rumahnya di sebelah kelurahan?"
Lagi-lagi aku hanya mengangguk.
"Bukankah dulu dia mau menikah dengan Rusmini yang anaknya Pak Haji? Seingatku, mereka pacaran lama sekali. Jebule nggak jadi nikah?"
"Nggak jadi. Lamarannya nggak diterima. Malahan dia dinikahkan sama orang lain. Suami Rusmini seorang kepala desa."
Bukankah bapaknya Hanna juga kepala desa. Dan ibunya bernama Rusmini.
Senin, 26 Oktober 2015
MATINYA PRIVASI
Kesalahan dalam membangun hubungan rumah tangga
Beberapa kesalahan yang sering dilakukan pasangan dalam kehidupan pernikahan ini antara lain:
1. Menjadi orang baik
Banyak yang beranggapan bahwa menjadi orang baik bagi pasangan bisa menjadi jaminan pernikahan yang bahagia. Orang baik tidak selalu dapat membuat pasangannya bahagia, tidak berjudi, tidak ringan tangan, dan lain-lain. "Bukannya tidak penting menjadi orang baik, tapi menjadi orang baik saja belum cukup. Jangan pernah puas sudah menjadi orang yang baik, tapi berusahalah untuk selalu belajar menjadi yang terbaik bagi pasangan dalam segala hal," katanya.
2. Menerima pasangan apa adanya
Saran yang sering diberikan para orangtua saat Anda akan menikah adalah untuk menerima pasangan apa adanya, baik kelebihan maupun kekurangannya. Ini tidak salah, hanya saja penerapannya membutuhkan situasi dan kondisi yang tepat, karena tidak adil bagi pasangan ketika ia selalu diminta untuk memaklumi sifat-sifat buruk Anda. "Kata-kata ini digunakan sebagai mantra sakti ketika Anda melakukan kesalahan," jelasnya.
Indra menambahkan, "mantra" ini merupakan salah satu tanda bahwa Anda tidak ingin berubah dan berkembang menjadi pribadi yang lebih baik untuk pasangan. Padahal, setiap langkah dalam pernikahan adalah proses pembelajaran untuk menjadi pribadi yang lebih baik bagi diri sendiri dan juga pasangan.
3. Konsep "harusnya", "mestinya"
Pernikahan yang sehat dan bahagia adalah pernikahan yang tanpa tekanan. Namun sampai saat ini, masih banyak orang yang secara tak sadar selalu memberi tekanan pada pasangannya. Kalimat "Seharusnya kamu...", atau "Mestinya kamu..." secara tak langsung akan memaksa pasangan untuk selalu melakukan keinginan Anda. Jika memang menginginkan pasangan untuk menuruti keinginan Anda (dalam hal positif), hindari kata-kata yang penuh tekanan.
4. Mengalir seperti air
Kehidupan pernikahan yang penuh tekanan pasti tidak akan berjalan bahagia. Namun, pernikahan yang mengalir seperti air pun tidak membuat bahagia. Kehidupan pernikahan yang mengalir seperti air sekilas memang terlihat lebih bebas dan menyenangkan, tanpa adanya batasan mutlak dari pasangan. "Mengalir seperti air boleh saja, namun arah alirannya tetap harus diatur untuk meminimalisir konflik dan mencapai tujuan pernikahan," sarannya.
5. Mengalah
Mengalah merupakan salah satu cara yang dilakukan untuk menghindari konflik menjadi semakin besar. Mengalah belum tentu selalu benar dan tepat untuk mengatasi masalah. "Jangan pakai konsep mengalah, tapi yang paling penting adalah cobalah untuk mengerti," tukasnya.
6. Melakukan pembiaran
Ingin membahagiakan pasangan, bukan berarti membebaskan pasangan untuk melakukan hal-hal sesukanya, atau selalu memanjakan. "Ketegasan juga sangat dibutuhkan untuk memberi batasan, mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak," saran Indra.
Saat pasangan melakukan kesalahan, sekalipun kecil, tegurlah dia agar tidak mengulangi kesalahan tersebut. Jangan sepelekan masalah kecil dalam rumah tangga, karena proses pembiaran ini akan membuat masalah menjadi besar. Selain itu, proses pembiaran akan membuat pasangan tidak berkembang dan tidak belajar menjadi lebih baik.
7. Menuntut dibahagiakan
Salah satu kunci sukses untuk membina rumah tangga adalah dengan konsep ikhlas dalam memberi. "Banyak orang berpikir, saat menikah mereka siap dibahagiakan. Padahal untuk bahagia, pasangan harus saling membahagiakan," jelasnya. Indra menambahkan, bahwa memberi merupakan hukum alam yang tak bisa ditawar dalam pernikahan.
8. Sudahkah Anda bersikap adil?
Salah satu bentuk ketidakadilan yang sering dilakukan adalah ketidakseimbangan antara jam kerja di kantor dengan waktu untuk keluarga. Dalam satu hari sekitar 12 jam dihabiskan untuk bekerja. Saat di rumah, biasanya Anda akan lebih menghabiskan waktu untuk beristirahat karena sudah terlalu lelah.
"Karena lelah, sesampainya di rumah Anda justru marah-marah karena berbagai hal kecil," jelasnya. Untuk mengatasi hal ini, ubah mindset Anda untuk memberikan yang terbaik pada keluarga dan bukan menuntut banyak hal dari mereka.
9. Waktu akan menyembuhkan segalanya
Banyak orang yang percaya pada ungkapan ini. Sayangnya hal ini tidak terbukti benar ketika menyangkut masalah yang terjadi dalam rumah tangga. "Waktu tidak akan menyelesaikan masalah, tapi hanya menyimpannya sementara, dan suatu saat bisa terbuka kembali dan berkembang menjadi lebih parah," ujarnya.
Indra menambahkan bahwa konsep ini juga "menipu" banyak orang untuk berpikir bahwa masa kritis pernikahan ada pada lima tahun pertama pernikahan. "Padahal tidak ada jaminan bahwa waktu dan lamanya pernikahan akan membuat Anda lebih kuat menghadapi masalah dan bebas konflik," jelasnya.
10. Privasi
Menikah merupakan proses penyatuan dua manusia menjadi satu bagian. Setelah menikah seharusnya tidak perlu lagi ada rahasia di antara suami dan istri. "Setelah menikah seharusnya tidak ada lagi tempat untuk kepentingan pribadi atau privasi," jelasnya. Keterbukaan dan kejujuran antarpasangan akan membantu menciptakan keharmonisan rumah tang
Mengalah sebenarnya hanya menumpuk masalah dan memicu bom waktu yang bisa meledak karena "sumbu" kesabarannya sudah habis. Saat mengalah sebenarnya masih ada perasaan kecewa yang tersimpan.