Kamis, 30 April 2015

Me

Diposting oleh Rumah Kopi di 07.38 0 komentar


Aku lelah ...

Bagaimana bisa memahami orang lain, sementara aku sendiri tidak mengenali siapa diriku? Apa mauku? Dan apa yang harus aku perbuat untuk mendamaikan diriku sendiri? 

Tidak semestinya aku menyalahkan sekitarku. Pun atas perlakuan mereka terhadapku, karena aku tahu bahwa masalah itu datang dari diriku sendiri. 

Tak ada orang yang menyuruhku mencintainya. Dia pun tak menyuruhku berbuat ini-itu untuknya. Aku sendiri yang mencoba masuk dalam dunianya. Dan akhirnya semua menjadi serumit ini. Kurasa bukan salahnya. Perihal dia tidak bisa menghargaiku, menjaga perasaanku, membuatku damai, nyaman, toh bukan atau belum menjadi tanggung jawabnya dia. Mengapa aku menuntut lebih dari apa yang aku terima?

Katakanlah, aku sudah berbuat yang terbaik--tetapi jika aku menginginkan seseorang berlaku sama denganku, berarti aku tidak tulus melalukannya? Entahlah .... Aku minta maaf.

Siapa diriku sebenarnya? Apa mauku?

Sedikit tentang kepribadian temperamental… Judul Bab di buku ini: Hati-hati dengan kepribadian temperamental (byYusuf Al-Uqshari).

Kepribadian yang temperamental atau orang yang mempunyai sifat temperamental adalah sebuah kepribadian yang sama sekali berbeda dengan orang yang emosional atau pemarah. Meskipun secara sekilas dalam pandangan orang banyak ada hubungan yang menyatukan mereka, tetapi jika ditinjau realitasnya dan secara ilmu psikologi, bukan seperti itu realitasnya.

Kepribadian yang temperamental juga bukan kepribadian yang sensitif. Dan, bagi setiap kepribadian ada ciri-ciri tertentu dan sisi-sisi tertentu yang membedakannya dengan kepribadian yang lain. Kepribadian yang temperamental adalah kepribadian yang ketika kita berinteraksi dengannya kita harus bersikap hati-hati. Orang yang temperamental bisa menjadi orang yang mudah marah, tidak sabar, emosional, dan sensitif, mempunyai hati yang keras, perasaannya kering, keras kepala, mudah meledakkan amarahnya karena hal yang sepele. Sikap temperamentalnya muncul tanpa dikehendaki, karena temperamental bersambung dengan aliran emosi yang mengeluarkan cairan saraf yang berada di otak bagian tengah. Lalu manakala otak menangkap pengaruh tertentu, maka pengaruhnya itu berjalan di dalam tubuh melalui aliran emosi dengan cara yang tidak dapat dikendalikan melalui gerakan yang cepat atau melalui perasaan. Dalam realitasnya, temperamen dapat dikategorikan sebagai sebuah ungkapan perasaan. Kami tegaskan bahwa orang yang mempunyai sifat temperamental tentu saja mempunyai jiwa yang sensitif, tetapi orang yang sensitif tidak mesti temperamental. Hal ini menegaskan adanya perbedaan kedua sifat tersebut.

Orang yang memiliki kepribadian temperamental dapat dikenali dengan mengetahui ciri-ciri utamanya. Ciri-ciri paling utama adalah mereka lebih mudah terpancing dengan segala sesuatu, bahkan hal-hal yang sepele. Mereka langsung gelisah ketika menghadapi sesuatu yang sebenarnya mereka ketahui bahwa itu tidak ada kepentingannya sama sekali. Mereka selalu menggunakan ungkapan-ungkapan yang keras seperti mengerikan, menakutkan, luar biasa, aku benci, aku cinta, aku melakukan, dengan dibarengi semangat tinggi.

Bisa jadi kita saksikan mereka meloncat secara tiba-tiba ketika mendengar suara yang tidak biasa atau jika mendengar ada orang yang memanggil mereka dengan suara yang mengagetkan (termasuk suara petir, gemuruh, dll yang mengagetkan). Ketika mereka sedang benar-benar marah, terkadang mereka merasakan sedikit kelumpuhan yang menjadikan mereka tidak mampu untuk  mengetahui apa yang mereka katakan dan mereka lakukan. Dan,mood mereka selalu berubah dengan cepat bahkan tanpa adanya sebab, berubah dari keadaan gembira kepada keadaan sedih/depresi, atau sebaliknya. Pikiran mereka selalu disibukkan dengan berbagai perkara yang tidak ada manfaatnya dan dengan berbagai kecurigaan dan ketakutan yang menyebabkan mereka tidak tenang.

Kata-kata yang dapat mewakili sifat-sifat orang yang temperamental adalah mudah marah, cepat terpancing, egois, tidak sabar, mempunyai mood yang selalu berubah, juga selalu gelisah dan selalu berimajinasi. Mereka menginginkan mempunyai sikap yang stabil akibat apa yang mereka rasakan (–> jadi orang temperamen itu capek, sudah tau nggak baik tetap tanpa sadar seperti itu, ingin berubah, menahan diri tapi kalau sedang lupa ya selalu berulang…. T.T). Mereka merasa gelisah dan tidak tenang dengan berbagai perasaan yang mereka alami, meskipun perubahan tersebut berupa berubahnya tempat kerja karena naik jabatan, atau pindah ke tempat yang lebih bagus, prestasi dan atau yang semisalnya.

Orang yang mempunyai jiwa temperamental juga cepat berubah warna  mukanya. Apabila mereka menghadapi sesuatu persoalan yang membuat mereka tidak tenang, maka secara tiba-tiba wajah orang-orang ini berubah dari putih menjadi merah secara tiba-tiba. Tangan mereka menjadi dingin atau berkeringat. Mereka mudah merasa jengkel dan terpengaruh jika mendapatkan kritikan atau teguran yang negatif. Mereka selalu tidak merasa sabar dan mudah terpancing. Berdasarkan pengetahuan tentang dimensi kepribadian orang-orang temperamental, maka kita harus berinteraksi secara hati-hati dan sensitif dengan mereka. Jangan sampai kita melontarkan kritikan atau membuat mereka terluka, bahkan jangan sampai memberikan teguran secara frontal pada mereka.

Jangan sampai kita mengejutkan mereka meskipun itu kabar gembira. Kita harus menggunakan cara yang bertahap dalam memberikan informasi kepada mereka tentang suatu perkara, betapapun kecilnya informasi tersebut. Kita harus memperkirakan reaksi mereka yang cepat pada suatu perkara yang sebenarnya tidak pantas untuk mendapatkan reaksi. Dan, kita biarkan mereka mengungkapkan pendapat mereka dengan metode dan cara mereka tanpa kita berikan interupsi atau kita tunjukkan ketidakpedulian kita terhadap pendapat mereka. Bahkan sebaliknya, kita harusmembuat mereka merasa bahwa kita menghargai diri dan keberadaan mereka.

Kita jauhkan mereka dari berbagai faktor yang sensitif, baik yang positif maupun yang negatif. Kita harus menghormati ketika mereka marah, bagaimanapun konyolnya bentuk kemarahan itu. Jika kita terpaksa harus meluruskan mereka, maka kita harus melakukannya dengan cara yang tenang yang berlandaskan dengan metode yang meyakinkan (misalnya berulang kali menyatakan bahwa kita menyayangi mereka, kita peduli akan mereka. Meski hal ini sangat melelahkan dan tidak penting buat kita) . Jika tidak begitu, maka persoalan ini akan berakhir pada perseteruan yang terjadi lebih cepat dari apa yang kita bayangkan. Oleh karena kepribadian yang temperamental ini dalam kebanyakan kondisi tidak dapat menyadari apa yang harus dia katakan dan dia lakukan.


Rabu, 29 April 2015

Something Stupid

Diposting oleh Rumah Kopi di 12.18 0 komentar


Siapa bilang sendiri itu menyedihkan? Orang seperti itu tidak pandai mengkondisikan keadaan! Sendiri itu menyenangkan. Ada banyak hal yang bisa dilakukan. Maka dari itu aku nggak pernah takut jika orang-orang meninggalkanku. #sombongnye :D

Kalau lagi sakit begini, lebih nyaman sendirian. Yang sakit badannya. Pikirannya masih waras. Untuk itu, browsing tentang hal- hal yang bermanfaat, jauh lebih baik dari pada sekadar mangkal di sosmed. Galau supaya mendapat simpatik seluruh alam? Najis! Mungkin, sifat yang menonjol padaku "kekanak-kanakan" tetapi untuk urusan attitude pembawaan diri di tengah keramaian, aku bisa diandalkan. ((asal pas lagi waras :v )) 

Paling anti, nyari simpatik di sono. Bukankah manusia itu tak perlu menonjolkan kelebihan yang dimiliki supaya dipuji, misalnya! Lagi pula yang aku punya hanya kelebihan dalam hal berat badan doang! :v

Hai, Lalaland? Apa yang terlintas dibenakmu ketika seseorang mengirimkan gambar yang .... ah, dalam tanda kutib, selain itu ekspresinya membuatmu menyimpulkan bahwa ; Oh, jadi wanita seperti itulah yang diinginkannya! Semoga aku salah. 

Siapa pun tentu saja boleh mengagumi lawan jenisnya, lantas mengekspresikan kekaguman itu secara berlebihan. Namun, bukankah lebih baik jika hal itu melibatkan seseorang yang tidak memiliki keterikatan hati. Bahasa singkatnya, pasangan yang akibatnya FATAL. 

Hati. Entah bagian mana yang tergores? Padahal, tak ada darah yang keluar. Namun, rasa sesak yang menghimpit rongga dada dan disertai panas tersebut sungguh nyata. Kenapa harus seperti ini sih, eskpresinya? 

Kalau kamu dihadapkan dalam situasi seperti itu, apa yang sekiranya kamu lakukan, Lalaland? Cuek? Masa bodo? Atau berkata, mungkin wanita itu memiliki body yang keren tapi apa gunanya diperlihatkan pada pasanganmu? Bagaimana kalau kita bertukar posisi? Aku mengirimkan gambar .... Ah, sudahlah. Piciknya orang yang sedang cemburu malah dicap: ANAK KECIL YANG SUKA GEDEIN MASALAH.

Liciknya orang dewasa yang selalu beranggapan bahwa dirinya paling benar!

HOW DO YOU THINK A BOUT THIS PICTURE? 

Aku tidak mau berpikir macam-macam tentang hubungan ini dan apa yang dia lakukan dibelakangku. Hal itu hanya akan menghapus kebahagiaanku saja. Jika ingat apa yang dia lakukan, rasanya kesel. Tapi aku juga tak lebih baik darinya. Ya, sudah! Impas!

Laki-laki merupakan makluk visual. Apa yang tertangkap oleh penglihatannya, sekiranya itu menarik, fitrahnya memang demikian. Demikian NORAK sehingga lupa bagaimana menjaga perasaan pasangan. 

Mungkin, pikirannya terlalu luas. Barangkali hatinya juga demikian sehingga sudah siap kalau suatu saat apa yang selama ini dilakukan, berbalik padanya. 

Apa aku yang naif, atau bodoh, setiap kesalahan yang diperbuatnya, aku telan saja karena sadar bahwa manusia memang tempatnya khilaf. 

Apa pun alasannya, sayang-sayangan dengan orang lain dibelakang pasangan itu curang, bukan? 

Lalaland, bagaimana perasaanmu jika janji yang dibuatnya, diingkari hanya demi menemani teman wanita nonton. Sebegitu tidak berhargakah pasanganmu yang selalu ada dan berusaha membuatmu bahagia, dibiarkan kecewa demi menjaga perasaan orang lain?

Tentang ucapan kasar, dan perlakuan buruknya saat marah, aku lupain sajalah. Meskipun ingin mengumpat. Aku ingin mencaci maki lebih dari ini. Bukan satu, atau dua kali ia membuatku sesak napas menahan emosi yang datangnya secepat mata berkedip. Tapi, aku tidak pernah ingin mencurangi atau membalas semua perbuatannya. Bukan karena sayang, atau sok baik, tetapi itu bukan wewenangku karena aku sendiri bukan orang suci.

Apa yang dipertahankan dari suatu hubungan yang seperti ini. Jujur saja aku lelah. Aku sudah tidak sanggup berjuang mempertahankannya. Sekarang, giliran dia yang berusaha. Sayang bukan sebatas ucapan. 

Aku tidak tahu, kenapa jadi serumit ini? Aku kehabisan waktu sia-sia. Mengutamakan orang yang tidak tahu bagaimana menjaga perasaan orang lain. 

Apa kamu tahu bagaimana rasanya susah menghirup napas supaya udara itu masuk ke paru-paru? Jika kamu pernah melihat ikan terlempar dari aquarium, gambaran sederhananya seperti itu.



Lalaland, ini ada beberapa kesimpulan yang aku dapat dari browsing tadi. Semoga bermanfaat untuk hubunganku kedepannya, serta bagi siapa saja yang membaca!

***
  • Dalam hidup berdampingan banyak sekali ungkapan rasa cinta dan sayang baik terungkap dengan kalimat maupun tingkah laku. Sering kali terjadi kesalahpahaman dengan salah satu ungkapan rasa sayang dalam tingkah laku yaitu rasa cemburu. Cemburu merupakan hal yang wajar dan sudah banyak terjadi pada setiap insan yang saling mencintai, bahkan juga akan terjadi pada seseorang yang merasa tersaingi dalam mengagumi seseorang. Yang ditakutkan apabila rasa cemburu tidak didampingi dengan pikiran positif maka dapat mengakibatkan kesalah pahaman dan menimbulkan masalah. Tidak sedikit korban kekerasan, pembunuhan, dan penyiksaan penyebab kecemburuan. Sangat disayangkan apabila rasa cemburu yang sebelumnya rasa cinta berubah menjadi suatu kebencian yang mendalam. Berikut beberapa cara melepaskan rasa cemburu dari dalam diri kita:

    • 1. Mencintai seseorang apa adanya

      Dengan mencintai segala yang ada pada diri orang yang dicintai, akan menutup segala keburukan masa lampau. Mungkin pasangan Anda pernah melakukan sesuatu yang membuat Anda kecewa. Hal ini memang sulit dilakukan tetapi akan berdampak baik untuk hubungan Anda.

    • 2. Membangun sebuah kepercayaan

      Kepercayaan sebagai pokok utama untuk kelangsungan hubungan percintaan, tanpa adanya kepercayaan hubungan tidak akan bertahan. Percayalah kepada pasangan. Beri kesempatan untuk menunjukkan kesetiaan kepada Anda. Dan yang sangat baik yaitu percayalah bahwa pasangan Anda adalah yang terbaik yang Anda miliki dan memang jodoh Anda.

    • 3. Tanamkan pikiran positif

      Tidak hanya menanamkan rasa percaya saja, pikiran positif juga ikut andil dalam hubungan percintaan. Mungkin Anda bisa dapat mengatakan percaya dengan pasangan tetapi pikiran positif akan menambah ketenangan dalam hati dan pikiran Anda. Dampak negatif dari tidak berpikir positif ialah terjadi perang batin dalam diri dan secara tidak sadar menunjukkan sebuah luapan emosi yang tidak terkontrol sehingga mengakibatkan kesalahpahaman.

    • 4. Mengingat kenangan yang positif

      Pada saat larut dalam kekecewaan terhadap pasangan, jangan pernah mengingat hal-hal buruk yang telah terjadi karena akan menambah kekecewaan dalam hati Anda. Bayangkan kenangan indah yang pernah Anda alami bersamanya agar mempersempit ruang untuk rasa kecemburuan yang timbul, seperti Anda mungkin pernah mengalami rasa senang dan bangga memiliki dia yang dulu pernah menunjukkan rasa cintanya dan menurut Anda kejadian itu hal yang paling terindah.


    • 5. Menjalin komunikasi yang baik

      Anda mungkin sudah tahu pentingnya komunikasi dalam hubungan percintaan, hal ini sangat berpengaruh dalam hubungan Anda karena dengan berkomunikasi yang baik akan memperkecil kesalahpahaman. Jangan selalu diam ketika ada permasalahan dan cobalah untuk berbagi dengan pasangan supaya tidak ada hal yang disembunyikan dalam hubungan Anda.

    • 6. Menanamkan kejujuran

      Kejujuran dalam hal mengantisipasi timbulnya kecemburuan sangat diperlukan. Tidak jujur dalam segala hal akan menimbulkan rasa cemburu karena jika pernah terungkap sebuah kebohongan di dalam hubungan mengakibatkan Anda mudah berpikir negatif dan tidak ada rasa percaya kepada pasangan.

    • 7. Mengikhlaskan kejadian yang pernah terjadi

      Hal yang paling sulit untuk dilakukan yaitu mengikhlaskan segala sesuatunya, tetapi hal ini sangat bermanfaat dalam menghilangkan rasa cemburu dalam hubungan. Keikhlasan dalam hal ini yaitu membesarkan hati dengan tidak mempermasalahkan kejadian yang telah terjadi. Maka dari itu pikiran negatif nanti akan hilang dan kepercayaan terhadap pasangan akan semakin kuat.

      Semoga hubungan yang saya jalani, serta Anda dan pasangan dapat berjalan baik dan selalu harmonis dengan mengikuti beberapa saran dan tips yang ada di dalam artikel ini. 

      Taipe

      20.31

Kamis, 23 April 2015

Life Is Miracle

Diposting oleh Rumah Kopi di 07.28 0 komentar


Ketika membuka mata, kulihat segalanya baik-baik saja. Entahlah, apakah ini perasaan terbaik? 

Yang pertama kali terlintas dipikiranku ialah, tentang rutinitas sepanjang hari yang terkadang sedikit membosankan. Tentang tugas-tugas itu yang seolah menyedot seluruh perhatian. Tentang tanggungan yang entah kapan selesainya? Tentang perselisihan kecil yang disertai caci maki tingkah dungu, mengganggu.

Seolah hidup ini seperti rumus pasti yang jika satu ditambah satu sama dengan dua. Sama halnya kita sering berpikir bahwa manusia selalu dihadapkan dengan persoalan pelik saja. Kita sering lupa tentang hal lain yang juga merupakan bagian dari kehidupan.

Sepagian ini, sudahkah kita, tepatnya aku bersyukur masih bisa menyesap segelas kopi kental yang tersaji dengan selembar roti panggang? 

Mungkin, akan terasa basi ketika kutulis bahwa bersyukur adalah salah satu cara menikmati hidup. Tapi nyatanya memang demikian. 

Bahagia bukan perkara apa yang kita inginkan dapat terwujud. Lebih dari itu jika kita bisa menerima apa yang saat ini dimiliki, belum tentu orang lain mendapat kesempatan serupa.

Jadi begini. Kuberikan gambaran kecil yang sering terjadi. Setiap saat ketika kita berselisih dengan pasangan, rasa sebal luar biasa enggan pergi meskipun sudah lebih dari satu atau dua hari. Kita terlalu fokus dengan sifat dan juga sikapnya yang membuat feeling menjadi buruk seketika. Lantas, kita menyikapinya dengan kelakuan yang serupa. Pernahkah kita berpikir, dengan demikian kita ini tak lebih baik dari pasangan yang digadang-gadang sering menyulut pertengkaran? Pernahkah kita mencoba untuk sedikit melunak, supaya segalanya menjadi lebih baik. Pernahkah terlintas dibenak, jika besi dilalap api hasilnya adalah bara panas.

Mengalah bukan berarti kalah. Lebih dari itu, mengalah berarti kemenangan kecil atas emosi yang telah menguasai hati. Mengalah berarti memberi kesempatan bagi kita untuk membuka pintu supaya angin segar mampu memadamkan bara api tersebut.

Aku pikir, tidak bijak menyalahkan orang lain atas setiap ketidaknyamanan. Jika hidup hanyalah putaran waktu, bukankah apa yang kita dapati hari ini merupakan investasi dari tempo hari? 

Cobalah meraba kembali. Ia yang kau gadang-gadang selalu menghadirkan percikan pertikaian, bukankah ia juga yang senantiasa menghadirkan keceriaan serta serentetan gelak tawa di hari-harimu yang tengik itu? Ia yang kau anggap menyebalkan, apakah jika ia tiba-tiba menghilang senyum bahagiamu masih menghiasi bibirmu. Ia yang selalu meributkan semua hal, bukankah ia juga yang selalu khawatir akan keadaanmu?

Coba renungkan hal apa yang sekiranya sudah kita berikan pada pasangan sehingga kita menginginkan hal-hal terbaik saja darinya dan membenci tingkah buruknya yang merupakan sisi lain manusia.

KISAH SETITIK TERANG DIBALIK SETIAP KESULITAN


Suatu kala, ada seorang yang cukup terkenal akan kepintarannya dalam membantu orang mengatasi masalah. Meskipun usianya sudah cukup tua, namun kebijaksanaannya luar biasa luas. Karena itulah, orang berbondong-bondong ingin bertemu dengannya dengan harapan agar masalah mereka bisa diselesaikan.

Setiap hari, ada saja orang yang datang bertemu dengannya. Mereka sangat mengharapkan jawaban yang kiranya dapat menjadi solusi bagi permasalahan yang sedang mereka hadapi. Dan hebatnya, rata-rata dari mereka puas akan jawaban yang diberikan. Tidak heran, kepiawaiannya dalam mengatasi masalah membuat namanya begitu tersohor.

Suatu hari, seorang pemuda mendengar pembicaraan orang-orang di sekitar yang bercerita tentang orang tua tersebut. Ia pun menjadi penasaran dan berusaha mencari tahu keberadaannya. Ia juga ingin bertemu dengannya. Ada sesuatu yang sedang mengganjal di hatinya dan ia masih belum mendapatkan jawaban. Ia berharap mendapatkan jawaban dari orang tua tersebut.

Setelah berhasil mendapatkan lokasi tempat tinggal orang tua itu, ia bergegas menuju ke sana. Tempat tinggal orang tua tersebut dari luar terlihat sangat luas bagai istana.

Setelah masuk ke dalam rumah, ia akhirnya bertemu dengan orang tua bijaksana tersebut. Ia bertanya, "Apakah Anda orang yang terkenal yang sering dibicarakan orang-orang mampu mengatasi berbagai masalah?"

Orang tua itu menjawab dengan rendah hati, "Ah, orang-orang terlalu melebih-lebihkan. Saya hanya berusaha sebaik mungkin membantu mereka. Ada yang bisa saya bantu, anak muda? Kalau memang memungkinkan, saya akan membantu kamu dengan senang hati."

"Mudah saja. Saya hanya ingin tahu apa rahasia hidup bahagia? Sampai saat ini saya masih belum menemukan jawabannya. Jika Anda mampu memberi jawaban yang memuaskan, saya akan memberi hormat dan dua jempol kepada Anda serta menceritakan kehebatan Anda pada orang-orang," balas pemuda itu.

Orang tua itu berkata, "Saya tidak bisa menjawab sekarang."

Pemuda itu merengut, berkata, "Kenapa? Apakah Anda juga tidak tahu jawabannya?"

"Bukan tidak bisa. Saya ada sedikit urusan mendadak," balas orang tua itu. Setelah berpikir sebentar, ia melanjutkan, "Begini saja, kamu tunggu sebentar."

Orang tua itu pergi ke ruangan lain mengambil sesuatu. Sesaat kemudian, ia kembali dengan membawa sebuah sendok dan sebotol tinta. Sambil menuangkan tinta ke sendok, ia berkata, "Saya ada urusan yang harus diselesaikan. Tidak lama, hanya setengah jam. Selagi menunggu, saya ingin kamu berjalan dan melihat-lihat keindahan rumah dan halaman di luar sambil membawa sendok ini."

"Untuk apa?" tanya pemuda itu dengan penasaran.

"Sudah, jangan banyak tanya. Lakukan saja. Saya akan kembali setengah jam lagi," kata orang tua itu seraya menyodorkan sendok pada pemuda itu dan kemudian pergi.

Setengah jam berlalu, dan orang tua bijak itu pun kembali dan segera menemui pemuda itu.

Ia bertanya pada pemuda itu, "Kamu sudah mengelilingi seisi rumah dan halaman di luar?"

Pemuda itu menganggukkan kepala sambil berkata, "Sudah."

Orang tua itu lanjut bertanya, "Kalau begitu, apa yang sudah kamu lihat? Tolong beritahu saya."

Pemuda itu hanya diam tanpa menjawab.

Orang tua itu bertanya lagi, "Kenapa diam? Rumah dan halaman begitu luas, banyak sekali yang bisa dilihat. Apa saja yang telah kamu lihat?"

Pemuda itu mulai bicara, "Saya tidak melihat apa pun. Kalau pun melihat, itu hanya sekilas saja. Saya tidak bisa ingat sepenuhnya."

"Mengapa bisa begitu?" tanya orang tua itu.

Sang pemuda dengan malu menjawab, "Karena saat berjalan, saya terus memperhatikan sendok ini, takut tinta jatuh dan mengotori rumah Anda."

Dengan senyum, orang tua bijak itu berseru, "Nah, itulah jawaban yang kamu cari-cari selama ini. Kamu telah mengorbankan keindahan rumah yang seharusnya bisa kamu nikmati hanya untuk memerhatikan sendok berisi tinta ini. Karena terus mengkhawatirkan tinta ini, kamu tidak sempat melihat rumah dan halaman yang begitu indah. Rumah ini ada begitu banyak patung, ukiran, lukisan, hiasan dan ornamen yang cantik. Begitu juga dengan halaman rumah yang berhiaskan bunga-bunga warna-warni yang bermekaran. Kamu tidak bisa melihatnya karena kamu terus melihat sendok ini."

Ia melanjutkan, "Jika kamu selalu melihat kejelekan di balik tumpukan keindahan, hidup kamu akan dipenuhi penderitaan dan kesengsaraan. Sebaliknya, jika kamu selalu mampu melihat keindahan di balik tumpukan kejelekan, maka hidup kamu akan lebih indah. Itulah rahasia dari kebahagiaan. Apakah sekarang sudah mengerti, anak muda?"

Pemuda itu benar-benar salut atas kebijaksaan dari orang tua itu. Ia sungguh puas dengan jawabannya. Akhirnya ia menemukan jawaban yang selama ini ia cari. Sebelum pergi, ia menepati janjinya dengan memberi hormat dan dua jempol kepada orang tua tersebut.

RENUNGAN : Dalam hidup ini, alangkah baiknya kita tidak menjerumuskan diri kita ke dalam keterpurukan. Selalu ada hal positif yang bisa kita ambil. Jangan mengorbankan keindahan hidup hanya untuk melihat sisi jeleknya. Jadilah orang yang senantiasa melihat setitik terang di dalam gelap.

Diposting oleh Rumah Kopi di 06.51 0 komentar

                                                                      WIN  

                                  

               Oleh: Cris Yunia


    “Hitam ya, hitam. Putih ya, putih. Semua begitu jelas. Di dunia kami tidak ada istilah abu-abu. Berani melawan …?DORRR!!!” Ia membentuk jemarinya menyerupai ujung pistol. Mendekatkan kepelipis kirinya. Tak ada senyum di wajah lelaki itu. Sorot matanya tajam layaknya binatang buas yang tengah membidik mangsanya.

 

    Aku bergidik. Beringsut seketika. Keringat dingin merembes dari pori-pori. Kututup rapat pintu yang kubuka sedikit tadi, nyaris tak menimbulkan suara. Segera kuurungkan niatku. Pelan aku melangkah kembali ke kamar.

                                                                 

                                                                       *** 

     Seperti biasa sesudah mandi, sebelum istirahat terlebih dulu kutengok keadaannya sebentar. Tidurnya nampak damai meskipun kecemasan enggan pergi dari benakknya. Aku bisa melihat dari sorot matanya kala ia terjaga. Kegelisahan itu. Ya, aku dapat merasakannya. Bagaimana tidak, di usinya yang sudah senja—orang-orang yang harusnya menjadi pelindungnya justru tidak sabar menunggu Malaikat Maut menjemput sesosok yang sudah tidak berdaya itu. Ada saja usaha yang dilakukan oleh menantunya demi menghilangkan nyawa nenek yang kurawat.

   

    Setelah memastikan tidurnya pulas, aku rebahan di ranjang.Tak ada yang menarik untuk dibahas malam ini. Semuanya masih sama seperti beberapa waktu lalu. 


Sebuah kesepakatan yang diputuskan berdasarkan satu pemahaman, tanpa meminta pendapat orang lain, kesepakatan yang terjadi bukan atas dua buah pikiran itu beda tipis dengan pemaksaan, ‘kan? Dan hei! Beraninya kamu meninggalkanku seorang diri dengan tanggung jawab yang begitu besar.

 

    Ah! Bukankah manusia itu budak-budak alam yang terkadang seperti binatang dungu. Manakala dilecut bagian tubuhnya lantas bergerak menuruti perintah tuannya. Meski sambil melenguh, sesekali merintih. Meski terseok-seok ia terus berjalan. Entah sampai kapan? Baginya, tak ada kata berhenti sebab bukankah itu artinya mati! Lagi pula, demi perut-perut yang butuh diisi setiap hari, yang berada di suatu tempat nan jauh di sana, apapun wujud dari kesulitan ini tak ada kata menyerah. Seharusnya memang begitu.

                                                                      

                                                                    ***

    "Semalam, Mama pulang dalam keadaan mabuk lagi?" Pemuda itu berdiri di tengah pintu kamar yang ditempati olehku dan nenek. Aku yang membelakanginya, hanya mengangguk tanpa menoleh ke arah sumber suara. Fokus menyuapkan bubur ke mulut nenek.


    "Apa laki-laki itu pulang bersamanya!" Aku menoleh. Menganggukkan kepala dua kali. 


    Selang beberapa detik kemudian ....  BRAKKK! Tuan muda menendang pintu kamar nenek. Aku dan nenek terlonjak bersamaan. Reflek aku mencoba menenangkan nenek. Mengusap lembut punggung tangannya yang keriput.


    "BERENGSEK! JANGAN BERISIK!" 


    Dari kamar, seorang wanita paruh baya berteriak gusar sebelum akhirnya, sebuah benda dibantingnya sehingga menimbulkan suara tak kalah gaduh dari sebelumnya. Untunglah ini bukan apartement sehingga tak ada tetangga yang mendengar keributan di rumah. Hunian ini jauh dari keramaian, tepatnya di sekitar kawasan pemandian air panas, Beitou. 

 

    Suasana seperti ini sudah tidak asing lagi. Penghuni rumah tersebut tidak pernah akur satu sama lain, kecuali Huang Hau Yun dan neneknya. Setiap hari adalah senam jantung bagiku yang didaulat merawat nenek yang dua tahun belakangan ini mengalami stroke, berusia 78 tahun. Bagaimana tidak? Ancaman bukan hanya datang dari nyonya rumah, melainkan dari laki-laki genit yang merupakan kekasih dari majikanku itu. Setiap aku lengah, David begitu laki-laki berusia 30 tahun tersebut biasa disapa, mencoba menggerayangi tubuhku. Dan jika nyonya melihat kejadian itu, sekonyong ia menghujaniku hadiah berupa pukulan, cubitan, yang merupakan bagian penyempurna ulah David yang sialan tersebut.

 

    Harusnya, aku tidak boleh mendiamkan hal itu. Waspada dan berhati-hati saja tidak cukup. Segera lapor pada pihak yang terkait supaya kejadian buruk dapat dihindari. Namun, bukankah manusia selalu memiliki pertimbangan lain yang menurutnya itu adalah langkah terbaik? Setidaknya untuk saat ini. 

 

   "Tumben belum tidur?" tanya Huang Hau Yun mengagetkanku. Aku mendongak lalu kembali mengarahkan pandanganku lurus. Kedua tanganku saling mengait memegangi lutut yang berdempetan. 

    

     Malam di musim panas, adalah perkara yang tepat menghabiskan waktu di luar rumah. Sayangnya, saat itu angin seolah enggan berhembus sehingga akhirnya memaksa keringatku ke luar sempurna. Ditambah keberadaanya di sebelahku, tak ayal membuat napas ini memburu disertai degub jantung tak menentu.

   

    Tidak seperti layaknya tuan muda dengan pekerja rumah tangga, aku dan Huang Hau Yun bisa dibilang akrab bagaikan dua sahabat baik yang sudah saling mengenal sejak kecil.

 

    “Kelak jika pendidikanku sudah selesai, bersediakah kamu menikah denganku, Win?”

 

    PLAK! Kupukul pelan lengan kekar pemilik hidup lancip itu.

 

    “Kamu pikir, aku anak kecil apaBerhenti menggodaku,” ujarku memerintah sambil melebarkan kedua mataku yang bulat.

 

    “Apa kamu tak melihat aku ini tidak sedang bercanda?” ucapnya sambil menunjuk hidungnya sendiri. Mimik wajah pemuda berahang tegas itu, tiba-tiba nampak serius. 

 

     Huang Hau Yun seperti manusia berkepribadin ganda. Saat berhadapan dengan ibunya, ia seperti sedang menghadapi musuh bebuyutan. Di luar itu, ia adalah pemuda ramah dan senang sekali bercanda.

 

     “Kenapa mesti memilihku? Bukankah gadis-gadis Taiwan lebih cantik? Hei! Apa kamu takut mereka menolakmu, ha?” ujarku menggoda sambil menyikutnya.

 

     “Orang Taiwan, atau orang Indonesia itu sama saja. Cantik. Yang terpenting ia baik. Itu saja."

 

    “Tunggu dulu. Apa kamu tidak mengikuti berita perkembangan para TKI yang berada di Negara ini? Orang Indonesia memiliki citra buruk, kamu tahu?”

 

    “Kamuharus tahu ini, Win. Menurutku, orang Indonesia, Vietnam, Philipin, pada dasarnya mereka baik. Bukan lantaran satu atau dua orang yang melakukan kesalahan, lantas satu Negara harus menanggungnya. Dicap buruk. Ibu pertiwi pasti menangis mendengar anak-anaknya berbuat onar di negara orang, Win. Tawuran atau apalah itu? Padahal, selama ini selalu diajarkannya bahwa dimana pun berada kita bersaudara. Anak-anak yang tumbuh besar dipangkuan ibu pertiwi adalah saudara. Dengan berperilaku baik, artinya ikut menjaga nama baik bangsa di mata dunia."

 

    Aku mengetuk-ngetuk bibir dengan ujung jari. Mencoba mencerna kalimat panjang tersebut. Tuan muda adalah salah satu alasan kenapa aku masih bertahan selain kebaikan yang nenek lakukan padaku. Tunggu! Meskipun ia rupawan dan baik, rasanya tak layak bagiku bermimpi bisa bersanding dengan pangeran. Ah, lupakan. 

 

    Dulu ketika aku baru sampai di Taiwan, kira-kira dua minggu—kabar buruk datang dari keluarga mengabarkan bahwa bapak masuk rumah sakit. Beliau menderita batu ginjal. Tentu butuh biaya yang besar untuk operasi. Dan waktu itu nenek yang masih sehat, berbaik hati meminjamkan sejumlah uang untuk kukirim demi pengobatan bapak. Nenek, sedikit pun tidak menaruh perasaan curiga bahwa bisa saja aku kabur sebelum bisa melunasi hutangku. Tuhan lebih tahu siapa aku. Pertolongan nenek adalah cara Tuhan mengulurkan tangannya padaku. Aku percaya itu.

 

    Hidup adalah perkara menabur dan menuia, bukan? Kebaikan nenek mengingatkanku akan kisah dari Alexander Fleming Si Penemu Penisilin. Kisah nyata yang kubaca dari sebuah buku motifasi. Kurang lebih ceritanya begini: Pada suatu hari seorang pemuda berjalan di tengah hutan. Tiba-tiba ia mendengar jeritan minta tolong. Ternyata ia melihat seorang pemuda sebaya dengan dirinya sedang bergumul dengan lumpur yang mengambang. Semakin bergerak malah semakin terperosok. Tanpa berpikir panjang, Alexander menolong pemuda itu dan memapahnya pulang ke rumah. Ternyata pemuda itu adalah anak orang kaya raya. Orangtua pemuda tersebut hendak memberikan imbalan pada Alexander, namun ia menolaknya seraya berkata, “Selayaknya sesama manusia menolong orang lain dalam kesusahan.” Sejak kejadian itu mereka bersahahabat.

 

    Alexander adalah pemuda miskin, cerdas, yang memiliki cita-cita menjadi seorang dokter. Impiannya terwujud oleh beasiswa yang diterimanya. Ternyata, beasiswa itu berasal dari oranguta pemuda yang ditolongnya beberapa waktu lalu. Kemudian Alexander Fleming menemukan obat bernama penisilin. Sedangkan pemuda bangsawan kaya raya tersebut masuk dinasmiliter. Dan dalam tugas ke medan perang ia terluka parah sehingga menyebabkan demam tinggi  karena infeksi. Para dokter mendengar tentang penisilin penemuan dr. Fleming lalu menyuntikkan pada pemuda bangsawan. Pemuda itu berangsur sembuh.

 

    Tahukah kalian, siapa pemuda bangsawan itu? Ya, ia tidak lain adalah Winston Churcill, perdana mentri Inggris yang termasyur itu. Dalam kisah ini, dapat kita lihat hukum menabur dan menui. Sesederhana itu. Yang jelas, hidup adalah perkara yang terus berkesinambungan.

 

    Kembali pada ceritaku. Nenek yang baik telah menyelamatkan bapak. Aku tidak boleh menyia-nyiakan jasanya. Merawat nenek serta melindunginya dari ulah jahat nyonya saat Huang Hau Yun tidak di rumah, sepenuhnya adalah tanggung jawabku.

 

     Aku heran dengan orng-orang yang hidupnya dipenuhi dendam seperti nyonya. Apa untungngnya coba?  Meskipun dulu, ia sempat tidak diakui sebagai menantu dikeluarga ini, dan akhirnya lantaran dalam rahim nyonya tumbuh janin yaitu Huang Hau Yun, tanpa memikirkan latar belakangnya yang seorang wanita penghibur, nenek begitu saja menerimanya menjadi menantu. Padahal, belum tentu bayi itu hasil hubungannya dengan putra nenek semata wayang yang sudah meninggal beberapa tahun silam. Sebelum kehadiranku. Anehnya, kebencian nyonya tak pernah padam—seumur hidupnya digunakan untuk mendendam.

       

 

 

   Seperti yang sudah kusampaikan bahwa manusia sering dihadapkan pada persoalan pelik yang sangat dihindarinya. Namun seperti yang kita tahu, bahwa takdir tetap mendominasi lakon apa yang mesti dijalani oleh cucu-cucu Adam. 


     Sepeninggalan tuan muda untuk menyelesaikan pendidikannya, keselamatan nenek sepenuhnya berada dalam pengawasanku. Aku tidak boleh lengah, kamu tahu? 


     Ternyata, nyonya mengalami gangguan jiwa. Bukan hanya dendam kesumat yang membuatnya berniat menghabisi nyawa nenek. Melainkan ketidakstabilan pikirannya itu menimbulkan tindakan berbahaya bagi orang lain, terutama yang tidak disukai olehnya.


    Waktu itu obat nenek habis. Sialnya tuan muda belum juga kembali, sekadar melihat keadaan neneknya atau hanya mengantar obat saja. Padahal obat itu merupakan penyambung nyawa bagi nenek sehingga keberadaannya tidak boleh nihil. Tetapi, jika nekat mengambil obat ke rumah sakit seorang diri, aku khawatir akan keselamatan nenek. 


    Siang memberentang ketika suara gaduh itu melintas di balik pintu kamar, lalu lesap sesaat bunyi pintu dibanting dengan sekuat tenaga. Aku berjingkat dari posisi dudukku. Pelan kubuka pintu. Bak radar, mataku mengawasi sekitar ruang tamu sampai kamar yang terletak paling ujung. Pintu kamar itu terbuka pertanda nyonya dan kekasihnya sedang tak di sanaAku menggelinjang senang. Pucuk dicinta ulampun tiba. Batinku.


    "Istirahatlah, Nek. Tidur yang nyenyak. Aku pergi ke Rong Zong sebentar," ujarku sambil mengelus keningnya. Matanya menutup rapat. Napasnya landai. Aku sedikit tenang saat meninggalkannya yang tengah tertidur pulas.


    Seperti anak panah yang terlepas dari busurnya, secepatnya aku melesat menelusuri jalan menuju Stasiun Xinbeitou. Napasku terengah. Keringat membasahi sekujur tubuhku. Setelah lima belas menit, sampailah aku di tempat itu. Papan monitor pengumuman tertulis kereta menuju Stasiun Shibai 30 detik lagi segera sampai. Aku menyeka keringat lalu mengipasi wajahku yang terasa basah.


    Xinbetou menuju Shibai memakan waktu 20 menit saja, namun bagiku sangatlah lama. Tiba-tiba rasa gelisah menyeruak memenuhi rongga dada. Nenek. Panggilku dalam hati. Setelah turun dari kereta, untuk sampai ke Rumah sakit Rong Zong aku mesti berjalan kaki kurang lebih 10 menit. Saat itu kegelisahanku semakin menggila.


    Ketika obat sudah berada di tanganku, senja menyertai perjalananku pulang. Aku sudah tidak sabar untuk segera sampai di rumah. Rasanya, kereta ini berjalan lambat. Kugigit bibirku menahan rasa gelisah yang semakin membuat degub jantungku bertalu-talu.


    Setibanya di rumah, tepatnya di ruang tamu, kulihat David dengan santainya menghisap rokok sambil menopangkan kedua kakinya ke atas meja. Sementara itu, kudapati nyonya tengah sibuk berbicara di telpon. Aku mengerutkan dahi mendengar nyonya terisak-isak di sela obralannya.

 

     Aku berlari kecil menuju kamar. Mataku terbelalak, hampir saja kedua bijinya lepas ketika penglihatanku mendapati sebuah bantal bertengger di atas wajah nenek.

                                                                   ***

 

    Sepertinya, langit pun turut berduka atas kepergian wanita baik seperti nenek. Malam itu langit menumpahkan seluruh kandungan air yang ditahannya. Guntur menggelegar dan kilat membelah tampak semakin mengancam. Persis seperti kemurkaan nyonya ketika menyaksikan David laki-laki pujaannya, memeluk tubuhku yang menelungkup mendekap tubuh kaku nenek. 


    Bukannya menyalahkan si bedabah itu, sekonyong nyonya menjambak rambut panjang yang biasa kukuncir ekor kuda tersebut. Suasana paling sengit seumur hidup, baru aku alami saat ini dimana kesedihan luar biasa menghadapi kenyataan bahwa nenek telah meregang nyawa saat aku tidak ada, dan di saat itu pula nyonya memukulku dengan membabi buta lantaran cemburu. 


     Meninggalnya nenek sungguh tidak wajar. Dan kecurigaan itu tentu saja mengarah pada kedua pasangan bangsat yang tidak punya nurani tersebut. Aku meronta berusaha melepaskan cengkeraman itu tanpa menyadari bahwa tangan kanan nyonya menyambar sesuatu entah apa? Yang jelas ketika benda tersebut dihantamkan berkali-kali ke tubuhku, rasanya luar biasa ngilu. 


    Nyonya benar-benar kalap saat itu. Aku tersungkur di lantai. Kulihat wanita itu berlari ke arah dapur. Jeda beberapa detik kemudian ia kembali dengan pisau pemotong daging berada dalam genggamannya. Tanpa berpikir panjang aku bangkit kemudian menghambur ke luar rumah tak peduli hujan deras sekalipun. 


    Pepohonan di pinggir jalan bergoyang. Dedaunan saling menggesek, berisik. Seperti orang kesetanan, aku terus berlari tanpa alas kaki. Pontang-panting sesekali menoleh memastikan bahwa wanita itu tidak mengekor di belakangku. Pada sebuah bangunan yang nampak tidak berpenghuni, aku berteduh di sanaMengatur napas sambil menahan gigil yang luar biasa. 


    "Hei!" Aku terlonjak saat seseorang menyapaku. Samar-samar kulihat laki-laki paruh baya berbadan tambun berdiri sejajar denganku. Entah dari mana datangnya?


    "Apa yang kaulakukan di sini?" Pertanyaan macam apa ini? Batinku. Apa tidak melihat bahwa aku sedang berteduh.


   "Di sini dingin. Mari ikut aku masuk." 


    Aku tetap pada posisi semula. Tak sepatah kata pun keluar dari bibirku. Kupegangi kedua lenganku yang terasa ngilu.


   "Jangan takut. Istriku ada di dalam." 


    Akhirnya kuikuti langkahnya. Bangunan yang kukira tak berpenghuni itu, ternyata sepasangan suami istri tinggal di sana


    Mula-mula aku sedikit lega, paling tidak ada tempat berteduh malam ini. Paman dan bibi penghuni rumah itu memperlakulanku dengan baik. Tanpa bertanya bagaimana bisa aku berada di depan rumahnya di malam hujan deras seperti ini. 


    "Ganti pakaianmu. Dan kau boleh tidur di kamar itu," ujar bibi sambil menyodorkan baju ke arahku. Aku mengangguk sambil mengucapkan terimakasih berkali-kali. 


    Ke esokan paginya, ketika cahaya matahari masuk melalui celah-celah jendela kamar, aku terbangun dengan perasaan tidak karuan. Sekujur tubuhku terasa sakit. Nenek. Tuan muda. Bagaimana aku menjelaskan semua ini?


    Seseorang mengetuk pintu kamar. Aku bergegas membukanya lalu ke luar. Selain paman dan bibi pemilik rumah, ada dua laki-laki berpenampilan perlente. Aku hanya mematung di depan kamarDua laki-laki itu mengamatiku dari ujung kaki sampai kepala. Aku kikuk dibuatnya.


    "Barang bagus," kata salah satu laki-laki itu.


    "Kapan kami bisa membawanya?" ucap yang satunya bertanya.


   "Sekarang juga bisa. Asal ...." Paman itu tidak melanjutkan kalimatnya. Ia hanya mengangkat tangannya, menggesekkan ibu jari dan jari telunjuk, berkali-kali. Aku semakin tidak mengerti.

 

    Setelah melemparkan amplop coklat di atas meja, salah satu laki-laki itu menggelandang tanganku. Aku menepisnya.


    "Turuti saja. Kau aman bersamanya," 


    "Kenapa aku harus menurutinya? Aku mau pulang saat ini juga!" pekikku lantang. 


    "Tanpa menunggu lebih lama, salah satu laki-laki itu kembali menggelandangku. Dan sampailah aku di tempat ini, Fit."


      Aku menyeka sudut mataku sebelum bulir bening teraebut berhamburan. Di sini, di ruangan yang dua tahun belakangan menjadi tempatku serta pekerja yang lainnya mematut diri sebelum menghambur memenuhi menghibur para tamu.


    "Yang sabar ya, Win. Mungkin hanya itu yang bisa kusampaikan. Saat ini posisi kita sama-sama sebagai kaburan dan terjebak di dunia prostitusi yang sialan tengik ini."


    Aku memeluk Fitri. Ia satu-satunya sahabat yang kumiliki beberapa bulan belakangan ini. Baru saja kuceritakan padanya seluruh perjalanan hidupku di Formosa. Tentang cinta yang tak pernah terungkap. Tentang ajakan tuan muda untuk menikah waktu itu. Tentang kasus pembunuhan nenek, semuanya. 


     Pada sahabatku itu, tak lupa kuceritakan bagaimana rasanya dipaksa melayani para lelaki hidung belang. Aku bukan penulis, tak mahir menceritakan apa yang kualami. Yang jelas, aku seperti berjalan seorang diri di hutan. Dan tanpa kusadari, langkahku sampai pada kubangan lumpur hidup. Semakin aku berontak, lumpur itu kian ganas menyedotku. Menenggelamkan tubuhku. Maka dari itu, aku putuskan untuk diam. Diam sambil menunggu waktu sampai saat pembebesan itu tiba. 


    Berkali-kali kucoba untuk melarikan diri, seperti beberapa waktu lalu. Namun urung kulakukan. Pemilik tempat hiburan malam ini adalah orang keji yang tidak memiliki hati nurani. Dari percakapan yang tak sengaja kudengar tempo hari, membuat nyaliku menciut. Rupanya Tuhan belum memberiku jalan. 


   “Hitam ya, hitam. Putih ya, putih. Semua begitu jelas. Di dunia kami tidak ada istilah abu-abu. Berani melawan …?DORRR!!!” 


   

   “Win, ada tamu untukmu."


    “Aku kerja dulu, Fit. Terima kasih sudah bersedia mendengarkan seluruh kisahku.”


    Fitri mengangguk, dalam.


    Aku segera bangkit. Setelah mematut diri sejenak, aku melangkah lesu menuju ruang di mana biasa terjadi transaksi antara penghibur dan pelanggannya. Cahaya temaram memenuhi bangunan berukuran 2x3 meter. Seorang laki-laki terduduk di sofa. Menunduk memelototi layar HP. Ia seolah tidak peduli dengan kehadiranku.


      Setelah aku menyapanya, laki-laki itu mengangkat wajahnya. Mataku mengerjab berkali-kali. Seolah tak percaya dengan apa yang kulihat. 


     “Huang Hau Yun,” lirihku sambil membekap mulut sendiri. Sama sepertiku, laki-laki itu nampak terkejut. Aku yang merasa kikuk, tak sadar menarik-narik rok pendek yang kukenakan karena selama ini belum pernah berpenampilan seksi di depannya. 


    Aku tidak percaya, orang yang selama ini paling kurindukan hadir di depanku. Aku menghela napas berat. 


     Kamu harus tahu bahwa hidup ini merupakan serentetan kejadian yang serba tak terduga, Teman.  


    Kuberanikan diri mendekat ke arahnya. Menganggukkan kepala. Mataku tak berani menatap pemilik rahang tegas itu. Beberapa saat kemudian, setelah berbasi-basi sejenak, iamenghujaniku dengan pertanyaan-pertanyaan. Dan aku, tak satupun ada hal yang kututupi. Perkara ia percaya atau tidak, itu urusannya


     "Bagaimana pendidikanmu? Apakah kamu masih berniat mempersuntingku?" ujarku menggoda mencoba mencairkan suasana. 


    Tuan muda terdiam. Wajahnya pias. Sejenak ia menunduk dalam-dalam. Tiba-tiba ia menarikku dalam dekapannya. Tentu saja aku tidak berontak.


    "Selama ini, aku terus mencari keberadaanmu, Win. Aku merasa, hal buruk telah menimpamu. Dan itu salahku.  Maukah kamu memaafkanku? Apa kamu tidak ingin pulang?"


    "Pulang ...." Aku mengulangi pertanyaannya. Bukan tidak ingin, melainkan belum punya kesempatan saja keluar dari tempat jahanam ini. Aku tidak boleh egois mementingkan diriku sendiri. Di tempat nan jauh di sana, ada beberapa perut yang harus kuberi makan. Tahu apalah orang lain tentang halal atau haram uang yang kudapatkan? Yang jelas, aku tidak mau keluargaku sengsara. Apalagi, pasca dioperasi bapak praktis tidak lagi bekerja. Sementara ibu, dengan keahlian ala wanita kampung yang tidak mengenyam bangku pendidikan, hanya bisa menjadi buruh mencuci baju milik tetangga. Sungguh. Biarlah aku yang menggantikan orangtuaku menjadi tulang punggung keluarga. Aku tidak mau pulang. Paling tidak, sampai keempat adikku lulus SLTA.


     "Ini semua bukan salahmu. Ini takdirku. Inilah jalan hidup kita. Awalnya, aku tidak berhenti merutuki nasib ini. Namun semakin kutentang, hanya rasa sakit yang kudapati. Jika hidup ini adalah sebuah perjalanan, aku percaya suatu saat langkahku akan sampai pada tempat dan waktu yang menghadirkan kebahagiaan." Air mataku berjatuhan. Pelukan itu dilepasnya pelan.


    

                                                                             ***

    Tak ada kesepakatan atau apapun antara aku dengan Huang Hau Yun waktu itu. Namun, padanya aku berharap banyak. Seminggu telah berlalu tapi tak juga kuterima kabar darinya.


    “Wiiin!” Fitri menjerit tak biasa. “POLISI. POLISI DIMANA-MANA.”


   Apa maksudmu?”


    Fitri belum sempat menjawab pertanyaanku, suara ledakan pistol serta gaduh yang terdengar di luar sana, membuatku mengerti bahwa tempat ini digerebek polisi. Aku dan Fitri berpelukan. Semua yang berada di tempat ini, diperintah untuk berkumpul di hall. Terbersit pikiran, ingin melarikan diri melalui jendela yang terdapat di ruang rias. Setelah melangkah beberap kali, pintu raungan ini didobrak. Aku menoleh cepat. Seseorang aparat polisi berdiri gagah di tengah pintu sambil mengacungkan pistolnya ke arahku.


     Mataku menangkap bayangan laki-laki itu. 


    “Hau Yun,”


    

SELESAI

 

 

 

 

 

Rumah Kopi Copyright © 2010 Design by Ipietoon Blogger Template Graphic from Enakei | web hosting