Senin, 30 November 2015

The Money Had I Transferred, Mom

Diposting oleh Rumah Kopi di 18.15 0 komentar

Semua ada masanya, dimana keadaan akan berbalik. Entah dalam hal apa? Dulu, selaiknya anak-anak sekolah pada umumnya, sering kali aku pulang sekolah dengan membawa berita yang barangkali paling tidak dikehendaki oleh orangtua.

Berita itu bukan mengenai kenakalanku sebagai murid. Tentu saja. Lagi pula, pada dasarnya aku belum pernah melakukan hal buruk berakibat fatal di sekolah yang akhirnya menyeret orangtua dan mencoreng nama baiknya. Berita yang kubawa pulang itu tak lain mengenai sejumlah iuran yang musti dilunasi, segera. Tanggal sekian. Jumlah sekian. Dan aku tidak pernah ambil pusing sesudahnya.

Barangkali, di sanalah letak ke naifan anak-anak. Kendati orangtuanya mengurut kening, memutar otak, membanting tulang demi mencukupi berbagai tuntutan hidup, anak-anak sepertiku, dan mungkin juga anak-anak lainnya di belahan dunia, tidak akan ambil pusing mengenai persoalan yang ada. Malahan, tahunya semua serba ada.

Dan masa itu pun akhirnya bergulir, sampailah pada saat dimana aku telah menjadi wanita dewasa, kini. Ketika bapak harus menjalani perawatan intensif di rumah sakit, saat ibu butuh biaya memenuhi kebutuhan sehari-hari, aku bisa meringankan beban yang dipikul orangtua. 

Dulu, aku sering menyampaikan berita-berita yang membuat kening bapak berkerut. Kini ketika bapak menyampaikan bahwa tanggal sekian harus ke rumah sakit demi mengontrol kesehatan jantungnya, dengan penuh kelegaan aku berkata: Seperti biasa, uangnya sudah aku transfer ke rekening ibu. Bisa dipakai buat biaya pengobatan bapak dan memenuhi kebutuhan sehari-hari. 

Dari sini, aku belajar bahwa manusia tidak perlu tergesa-gesa ingin keluar dari zona yang sedang dilakoninya. Semua ada masanya, dimana berbagai hal akan berganti seiring bergesernya waktu. 

Waktu bukanlah penentu segalanya. Namun, aku percaya, waktu bisa menjawab semua pertanyaan yang kini mondar-mandir di kepala. Semisal, tentang bagaimana kehidupanku di hari esok? Apa yang akan terjadi jika aku pulang dan kuliah belum selesai? Kapan menikah? Kapan aku selesai membayar cicilan rumah yang akan kutempati dengan anak dan suami? 

Semua ada masanya. Tenang saja. Nikmati saja apa yang saat ini sedang dihadapi. Santai saja sambil fokus dengan aktivitas dan jalan hidup yang dipilih. Santai saja karena sesuai janji Tuhan, setiap umatNya akan mendapat giliran bahagia. Santai dan terus berusaha. Itu saja sih kuncinya supaya gendut imut-imut. Eh! :3

Demikian nyinyir hari ini. Sampai ketemu lagi besok. :D


Kamis, 26 November 2015

SEAL

Diposting oleh Rumah Kopi di 18.16 0 komentar
"Dunia ini bukanlah pabrik yang mewujudkan keinginan-keinginan" 
Augustus Waters. 

Benarkah?

Malahan, aku berpikir bahwa apa yang kualami saat ini adalah perwujutan atas doa-doaku. Bertemu dan menjalani hidup dan berbagi hati dengan laki-laki yang memiliki latar belakang kehidupan, tak kalah rumitnya dengan persoalan mencari jarum di kolam buaya. 

Aku adalah manusia yang baru saja keluar dari ketidak beruntungan hidup. Dan mencoba bangkit, menjadi wanita kuat dan melupakan perihal tengik yang telah udzur. Hatiku jauh lebih rentan dari pada telur yang ditaruh di atas tanduk badak bercula. 

Dan apa kamu sadar, menjadi pendampingmu itu bukan hanya dituntut untuk sabar, melainkan mesti memiliki kekuatan ganda. Satu untuk menyemangatimu dan satu lagi untuk berpura-pura bahwa aku ini wanita kuat yang pundaknya tidak pernah berangsur turun, lelah--demi menopang kepalamu yang penuh masalah. 

Aku mencoba, menawarkan kehidupan baru supaya kelak kamu tidak hanya memikirkan persoalan hidupmu yang entah kapan selesainya. Aku harus menjadi apa pun. Kadang-kadang menjadi pendamping, kadang-kadang menjadi tempat sampah tempatmu membuang keluh kesah juga amarah.




Pernahkah kamu memikirkan persoalan apa yang membebaniku? Pernahkan kamu merasa iba atas kehidupanku dengan segala ketertekanan di sini? Pernahkah kamu sedikit saja .... Ah lupakan.

Satu hal yang aku pahami. Dengan menerima kekurangan orang lain, itu berarti aku memberikan kesempatan bahwa kelak orang lain akan menerima kekuranganku. Aku menerimamu seperti kamu menerima keadaanku. Kita selesaikan saja masalah yang sedang dihadapi orangtuamu, bersama-sama tanpa bantuan dari siapa pun.

Semestinya, kamu menyadari tidak ada yang lebih peduli padamu dari pada aku. Tidak juga dengan adikmu yang gengsian itu. Kurasa. Namun begitu, begitu kejinya kata-katamu mendarat ditelingaku. 

Barangkali aku memang salah. Tidak mau berhenti bicara atas apa yang tidak ingin kamu dengar. Tetapi, kesempatan ini aku ingin mengutarakan isi hatiku bahwa jelas aku keberatan jika kamu mengesampingkan masa depanmu [kita] demi menuruti gengsi dari adikmu yang ... Maaf [tidak tahu diri] itu. 

Jika ucapanmu itu benar, kamu tidak mempedulikan tengtang apa yang ia lakukan, baiklah. Aku pegang ucapanmu. Dan kelak, aku tidak mau dengar rengekan manjanya meminta ini itu. Jika memang berniat bekerja, tentu yang dipilhnya adalah hal mudah yang sudah jelas penghasilannya. 

Ah, sudahlah. Malas mengurusi hal seperti itu. Tidak ada untungnya demi kemajuanku dalam hal apa pun. Toh, tidak ada yang peduli dengan keadaanku saat ini. Tidak pula dengan mereka. Lantas, untuk apa aku bersusah payah memeras otak, beradu otot denganmu. 

Lagi pula, sesuatu yang selalu ada bersamamu, akan menjadi hal baik yang akan kehilangan kebaikannya. Menurutku begitu. Ada sedikit rasa bosan ketika kita, hampir sepanjang tahun yang kita lewati, tidak pernah terpisah [komunikasi] dan kurasa itu adalah salah satu pemicu hilangnya rasa belas kasih. Bisa dibilang kamu muak. Sehingga, jika aku hilang dari kehidupanmu itu, tidaklah menjadi masalah besar. Kurasa. 

Aku tidak akan meninggalkamu, karena aku sudah pernah berjanji. Bagiku, di dunia ini tak ada jodoh yang sesuai dengan apa yang kita inginkan. Tetapi, jika kita bisa menerima seseorang yang dihadirkan untuk kita, di sanalah kebahagiaan berada. Namun tidak berarti aku melarangmu jika ingin pergi dan mencari seseorang yang sesuai dengan kemauanmu. 



Kamis, 19 November 2015

PROLOG

Diposting oleh Rumah Kopi di 17.48 0 komentar
Kau tahu apa yang lebih menyebalkan dari pada pertengkaran? Iya. Dia adalah rindu. Sungguh rindu ini seperti amoeba yang bisa membelah diri. Menjadi banyak. Banyak dan terus begitu. Tak terhitung berapa cara yang sudah kucoba untuk sekadar menghilangkan perasaan yang teramat sialan ini. Tetapi, alih-alih membaik, justru kian membuatku panik. 

Aku sadar, ini adalah pilihan yang sudah kita sepakati. Tetapi, ketika berpamit padaku untuk pergi, kamu lupa mengajarkanku bagaimana caranya menanggulangi perasaan rindu yang menyiksa ini. 

Aku pun tahu, setiap pilihan ada konsekuensinya. Namun, apakah harus sesakit ini menahan ngilu ketika aku merindukan kehadiranmu di sini! Ternyata, suara dan berbagai sapaan mesra bukanlah mantra hebat pengusir rindu. Kamu paham ini kan?

Demi Tuhan, kenapa aku menjadi sebedebah ini? Selemah ini? Bukankah ada hal-hal yang terlebih dulu mesti diselesaikan, sebelum akhirnya kita menghabiskan sisa usia yang masih dimiliki, bersama-sama. 

Tolong ingatkan kembali, bahwa kita adalah sepasang kekasih yang harus berpisah, lalu masing-masing kalis pada roda kehidupan. Iya, kita adalah tumbal-tumbal penggerak roda kehidupan. Kita tidak boleh mati sebelum tanggung jawab kita terhadap orangtua, rampung. Senyum mereka di usia yang kian senja, lebih dari sekadar penting daripada kebersamaan kita saat ini. 

Aku tidak harus menitipkan salam pada angin, pada rintik hujan, pada gelap yang membungkus malam, supaya kamu tahu bahwa di sini aku merindukanmu setiap waktu. Tidak. Aku tidak perlu melakukan itu karena disana, kamu juga merasai apa yang saat ini aku alami. 

Kita tidak boleh menyerah pada lembar-lembar buku kehidupan, yang mana pada bagian itu, tertulis jelas saat ini adalah mustahil bagi kita bersenang-senang sementara, kedua orangtua kita menjerit menahan himpitan beban. Aku sadar itu. 

Menghitung hari demi hari, dimana kita akan kembali dipertemukan. Mengkalkulasi sudah berapa banyak hutang rindu yang harus dilunasi, juga tidak lupa menghitung berapa sering kita hanyut dalam pertengkaran dan caci maki? 

Jumat, 13 November 2015

APOLOGIZE

Diposting oleh Rumah Kopi di 16.58 0 komentar






Semua bentuk peperangan baik secara fisik maupun verbal, akan mendatangkan kerugian. Tentu saja. 

Jika mengingat itu, ya ampun sepertinya aku baru menyadari hal bodoh yang menjadi santapan sehari-hari. Ya, tentang peperangan itu. Ini bukan tentang bagaimana melukai lawan dengan senjata. Lebih dari hal tersebut, perang verbal memiliki dampak psikologis yang sama-sama mengerikan saat tubuh kita dilukai dengan senjata tajam. 

Barangkali, otak kita perlu dicuci bersih. Menurutku begitu. Sebab, perang mulut yang senantiasa mewarnai hari-hari penat kita, ditimbulkan oleh masalah sepele. Sumpah ini konyol. Bagaimana tidak? Kita yang katanya sudah dewasa, masih meributkan tentang tetek bengek tak penting, semisal siapa yang paling mengutamakan siapa, atau perihal siap yang lebih mencintai siapa? Basi. 

Mungkin salah satu penyebabnya, kita tidak pernah bersyukur atas rasa cinta yang kita miliki. Bukan kita, aku sih, yang paling sering menuntut diberikan lebih dari ini. 

Susahnya menjalani LDR. Jenuh. Bosan. Dan yang bisa dilakukan hanya sms atau telponan. Apa lagi? Tetapi, salah besar jika hanya karena hal itu, kita menyerah lalu berpikir untuk mengakhiri semuanya. Bagaimana tentang impian-impian yang telah dirangkai bersama? 

Aku tahu kamu lelah. Aku pun demikian. Demi Tuhan, jangan pernah berkata untuk berhenti bersabar untukku. Aku ingat, betapa kamu yang seorang angkuh itu, rela menekuk lutut mengikatkan tali sepatuku. Kamu yang keras itu, rela berjongkok untuk menempelkan hansaplast di tumitku. Dan masih banyak hal lagi. Hal baik, tentu saja. 

Maafkan aku. I love you more and more! 

Jumat, 06 November 2015

KASIH TAK SANTAI

Diposting oleh Rumah Kopi di 09.41 0 komentar



Para pujangga sering menyebutkan: hujan, senja, angin, daun yang bergesek, dalam sebuah tulisan mereka. Yang mana hal itu digambarkan mewakili keindahan. Cakrawala dengan warna emas kemerahan mengungkung semesta  yang biasa disebut senja itu, bagaikan ratu yang menguasai panggung. Demikian halnya dengan hujan. Lewat ujung-ujungnya yang bergantian mencium bumi, nampak epik memamerkan harmonisasi keindahan. Dan entah bagaimana lagi, mereka menggambarkan keindahan menggunakan senja, hujan, angin dan sebagainya. 

Bagiku, mati lampu, jalanan macet, bau keringat, genteng bocor sekalipun akan nampak menyenangkan. Terasa indah, jika hati dalam keadaan bahagia. Menurutku begitu. Akar dari semuanya adalah hati. Sekali lagi, jika hati sedang bahagia, jalanan bopeng-bopeng yang sukar dilewati itu, tetap menyenangkan. Mendatangkan gelak tawa membahana.

Oh iya, lupakan tentang senja, bau keringat, jalanan bopeng. Aku akan membahas tentang ini saja. Pernikahan. Ya, mengajak menikah kamu saat ini, sama anehnya seperti bertanya sesuatu yang jawabannya sudah kukantongi. 

Pernikahan bukan hal sederhana. Aku paham ini dan kamu tahu itu. Hanya saja, sebagai manusia dewasa yang sudah sejiwa (katanya begitu) mengesahkan hubungan di depan Allah, adalah hal terbesar yang kuimpikan. Tepatnya, impian setiap pasangan.

Sayangnya, kita terbentur pada dinding-dinding nisbi, yang mana hal itu tidak bisa dianggap sepele. Aku punya tanggung jawab besar. Dan kamu juga. Kita akan tetap bersama meskipun ikatan ini hanya atas dasar cinta. Bukankah itu landasan luar biasa? Untuk apa menikah jika tidak saling mencintai. Dan apa yang mesti ditakutkan jika keduanya percaya bahwa cinta akan menemukan jalan paling terang, kelak. 

Aku mencabut tuntutan. Ah, seperti jaksa saja. Aku tidak lagi menganjurkanmu ini itu. Harusnya aku yang paling memahami dirimu. Memang kenyataannya begitu. Kamu grogi jika dihadapkan pada hal-hal serius, semisal menghadap atasan. Apa lagi menghadap bapakku untuk minta restu. 

Sebenarnya, tanpa diminta sekarang pun, sejak awal bapak bakal mengamininya. Hanya saja, sebagai laki-laki bukankah kamu sepantasnya meminta izin terlebih dahulu supaya hubungan ini memiliki ketingkatan selangkah lebih maju. Ah, tapi sekali lagi kusampaikan, aku tidak tega demi melihatmu gelisah tak karuan. 

Kamu tenang saja. Nanti, kita berdua menghadap bapak bersama. Meminta restu. Seperti kesepakatan awal saat itu. Kita masing-masing saling mendalami perasaan saja dulu. Lebih dan lebih. Dalam hal seperti ini, kamu butuh aku yang mendampingi atau bahkan mengelap keringatmu yang mengucur seperti air hujan.

Ucapanku tempo hari, anggap saja itu adalah ulah manusia yang sedang dilanda jenuh dengan hubungan. Bukan bosan ya. Hanya sedikit jenuh. Ini manusiawi. Kurasa begitu. Ketika cinta, perhatian, serta segala tetek bengek sudah didapat, maka 'greget' itu sedikit menurun.

Tapi jangan khawatir. Kita dua manusia yang selalu tahu bagaimana bangkit setalah jatuh. Kurasa, masa jenuh akan berlalu. Dan semangat menggebu tentang perencanaan masa depan pun, akan bermunculan seperti jamur di musim hujan. 

Minggu, 01 November 2015

JILU

Diposting oleh Rumah Kopi di 17.50 0 komentar

"Melupakan mantan itu hanya ada satu cara. Nggak usah diingat-ingat melulu. Ntar juga lupa. Beres kan!"


Mendengar hal itu, aku tidak bereaksi. Pandanganku tetap tertuju pada jalanan di balik kaca cafe ini. Dalam hati, ingin aku melemparkan gelas yang isinya baru saja tandas. Mengajaknya nongkrong di sini bukan untuk menceracau seperti itu. Aku hanya butuh teman. Entah dalam rangka apa? Yang jelas, aku tidak sedang ingin membahas hal seputar patah hati dan saudara-saudaranya. 


"Ngapain kamu mengasingkan diri? Cobalah mencari kekasih baru! Kayak udah nggak laku ini!" 


Yakin, kali ini aku mulai geram. Aku mengangkat gelas. Mendekatkan ke bibir meski tahu isinya sudah habis. Ini hati. Bukan kulkas. Kalau isinya kosong tinggal beli di pasar. 



Patah hati memang perkara biasa. Anak-anak SD zaman sekarang pun tahu. Yang luar biasa itu jika hubungan selama 4 tahun, 2 bulan, 3 minggu harus berkhir hanya karena faktor jilu



Pagi-pagi aku sudah berada di atas kereta yang akan membawaku meninggalkan Surabaya. Bapak memintaku pulang. Semenjak tiga bulan lalu, pasca terlibat perselisihan perihal jodoh, komunikasi di antara kami tidak baik.



Aku berselisih paham dengan bapak. Menurutku, syarat menikah itu hanya dua. Laki-laki, perempuan dan keduanya sama-sama siap membina rumah tangga. Sayangnya, menurut bapak, dalam istiadat jawa syaratnya tidak sesederhana itu. Merepotkan.



"Kami bersedia menerima lamaran, Pak. Tapi, Mas Giri harus terlebih dulu naik pelaminan." Kedua adik kembarku sepakat. 



Bagaimana aku menikah, sementara calon saja belum ada. Tapi jika aku tidak segera menikah, kasihan kedua adikku. Mereka bakal dicap sebagai perawan tua oleh tetangga. Heran. Mengapa semua tetek bengek dalam pernikahan, ditentukan oleh adat dan masyrakat. Lalu di mana letak kebebasan kami menjalani hidup di tanah yang katanya sudah merdeka ini?



"Kalau kamu tidak bisa mencari istri, biar Bapak yang mencarikan." 


Aku menghela napas frustasi. Tak sepatah kata pun keluar dari mulutku. Oh ya, ampun. Bukannya tidak bisa mencari calon pendamping. Melainkan, perhitungan ilmu titen itulah yang memaksaku mengakhiri hubungan dengan Hanna. 


Waktu memang sengaja menyembunyikan hubunganku dengan Hanna. Kami berdua sepakat, jika sudah siap, kami menghadap orangtua. Meminta restu. Di luar dugaan, setelah menelusuri silsilah keluarga, hubungan kami tidak boleh dilanjutkan. 


Aku anak pertama. Sementara Hanna anak ke tiga. Dalam ilmu titen jawa, hal itu dimaknai dengan jilu. Jilu singkatan dari siji telu (satu tiga). Menurut bapak, jika kami melangsungkan pernikahan, rumah tanggaku akan sial. Perekonomian buruk. Dan entah hal tidak masuk akal apa lagi yang dijejalkan ke telingaku. 


*


Sore itu, aku nongkrong di warung kopi dekat rumah. Beberapa laki-laki seumuran bapak, nampak asyik ngobrol di bawah pendar bohlam. Seseorang menepuk bahuku. Aku mengangguk sopan.


"Belum pernah melihat cah bagus ini sebelumnya." 


Bapak itu memasang wajah bertanya-tanya pada pemilik warung.


"Oh dia anaknya Nur Huda. Tinggalnya di kota. Bukan begitu, Giri."


"Lhoh, Nur Huda yang rumahnya di sebelah kelurahan?" 


Lagi-lagi aku hanya mengangguk.


"Bukankah dulu dia mau menikah dengan Rusmini yang anaknya Pak Haji? Seingatku, mereka pacaran lama sekali. Jebule nggak jadi nikah?"


"Nggak jadi. Lamarannya nggak diterima. Malahan dia dinikahkan sama orang lain. Suami Rusmini seorang kepala desa."


Bukankah bapaknya Hanna juga kepala desa. Dan ibunya bernama Rusmini. 



 

Rumah Kopi Copyright © 2010 Design by Ipietoon Blogger Template Graphic from Enakei | web hosting