Minggu, 24 Januari 2016

DOSEN MASA GITU

Diposting oleh Rumah Kopi di 18.55 0 komentar
Kita hidup di zaman yang awakward di mana hal biasa menjadi heboh karena pemberitaan yang berlebihan di sosmed. Greget sih! Salah makan apa ya mereka itu? Atau kesambet apa gitu para pengguna internet tersebut sehingga latah menyebar luaskan dan memberitakan berita yang tidak penting amat. 

Merunut ke belakang. Mengingat tragedi bom di Jakarta beberapa waktu silam. Di mana perhatian publik teralih oleh sosok polisi ganteng. Yang menurutku tidak ganteng amat. Sumpah demi apa pun, isi perutku sempat mau berontak ketika apa yang menempel pada polisi yang katanya ganteng itu, menjadi sempel produk pada lapak jualan toko online. Kalau tidak salah, sepatu dan tasnya. (Kenapa nggak sekalian dalemannya juga dijadikan sempel produk haha) 

Selain polisi yang katanya ganteng itu, ada banyak polisi lain yang aksinya tak kalah keren seperti di film laga. Sempat melihat salah satu TV Nasional menyebut-nyebut seseorang berbaju putih yang tertangkap kamera CCTV, diyakini sebagai teroris. 

Hallo ...! Awak media kok begitu semberono menyebarkan berita. Menurut pemberitaan TV tersebut, sesosok berbaju putih itu ialah salah satu anggota teroris, masa. Padahal ia AKBP Ir Untung Sangadji Hendro. :(

Yang masih hangat adalah berita tentang Wayan dan tangan robotnya. Laki-laki asal Pulau Dewata itu disebut-sebut sebagai pembohong dengan ciptaanya, tangan robot. 

Ih pliz deh! Kenapa pada usil banget mempermasalahkannya. Wayan mencari makan dengan tangan ciptaannya itu. Ia tidak mencuri. Tidak juga menyalahi orang lain. Tidak minta diliput begitu diliput dan terkenal malah dipojokkan digadang-gadang sebagai pencipta tangan robot gadungan. Kesyel sumpah! 

Ayolah menjadi pengguna internet yang cerdas. Jangan ganas menghadapi sesuatu hal biasa. Jangan menjadi pribadi yang kagetan. 

Ada hal lain yang sempat membuatku geregetan. Dan perutku sempat menegang karenanya. Bagaimana tidak, jika seorang dosen membagikan video tawuran antar TKI wanita, di Negeri Beton, beberapa saat lalu. Sumpah! Tindakan dosen itu membuatku ilfeel! Pelajaran apa yang bisa kita ambil dari menyebarkan video purba itu? Aku menamainya video purba. Sebab, perkelahian hanya dilakukan oleh manusia purba yang otaknya masih alami. Naluri purba. Naluri binatang di mana untuk mempertahankan sesuatu, dilakukan dengan kekerasan. Perkelahian. 

Kembali ke dosen dan video heboh. Demi apa publik harus melihat tontonan itu? Supaya tahu bahwa mental sebagian TKI serendah itu? Bukankah yang seperti itu harusnya dibungkus. Malu. Jika ada yang mesti dilakukan, ya sebaiknya memberikan pengarahan pada mereka yang memiliki darah dan naluri purba itu supaya tidak mencoreng nama baik bangsa, di negri orang. 

Pak Dosen, wajah TKI yang sudah kadung jelek di mata penduduk Indonesia sendiri, setidaknya sedikit tertupi apabila jarimu tidak sembarangan menekan tombol 'BAGI'. (Kesel deh jadi mahasiswa Anda :( 
Pak Dosen, jika waktu luangmu begitu banyak, mending berbagilah ilmu yang bermanfaat dengan kami. 


Ada lagi yang paling heboh saat ini. Aku pikir ada yang lebih penting dari pada sekadar membicarakan salju di musim dingin. Apanya yang wow gitu? Salju turun di negara yang setiap tahunnya mengalami musim dingin. Itu hal biasa. Menurutku. Kecuali kalau salju itu turun di musim panas. Baru heboh. 

Hak kalian sih menghebohkan sesuatu yang biasa dan memenuhi beranda FB dengan berita itu-itu saja. Kalau tidak mau melihat, ya cukup log out dari FB. Beres. Tetapi, ada tapinya loh ... kalian termasuk pribadi yang kagetan. Hal biasa menjadi luar biasa, seolah-olah. Sampai ada yang lompat-lompat kegirangan gitu. Norak. NORAK. 

Kamis, 21 Januari 2016

LAKI-LAKI TUA DAN SETUMPUK SELEBARAN

Diposting oleh Rumah Kopi di 13.02 0 komentar


Hari ini kotaku muram. Amat muram selaiknya seseorang yang baru patah hati, atau baru kehilangan sesuatu yang berharga di hidupnya. Musim dingin ditambah hujan deras. Emperan pertokoan menjelma bak kandang bebek. Becek oleh tempias, bekas kaki yang berlalu lalang, tetesan air dari ujung payung yang dibawa oleh orang-orang yang berjalan tergesa. Entah demi apa? 

Aku berlari kecil menuju 7-11. Pandanganku tertumbuk pada laki-laki tua yang berteduh di emperan pertokoan sambil membagikan selebaran. Sebelum sampai di depan laki-laki tua tersebut, mataku terus mengamati. Tak terhitung berapa banyak orang yang melintas di depannya, menolak menerima selebaran yang dibagikan. 


Lalu aku bertanya dalam hati, bagaimana dulu orangtua mendidik anak-anaknya sehingga kebanyakan dari anak-anak tersebut tumbuh menjadi manusia bebal. Manusia yang tidak memanusiakan orang lain. Manusia yang enggan mengangsurkan tangan demi menerima selebaran yang dibagikan di pinggir jalan. Merasa bahwa selebaran itu amat tidak penting baginya, barangkali. 




Mungkin selebaran tersebut memang tidak penting. Tetapi demi rasa kemanusian, kiranya sudilah menerimanya. Menerima selebaran itu lalu meremas dan kemudian membuangnya, tidak apalah. Yang penting selembar selebaran itu berkurang. Selebaran yang isinya tentang iklan sebuah warung makan yang baru dibuka tanggal 20 kemarin. Yang menawarkan makanan murah selama dua hari, demi menarik pelanggan. Dan laki-laki tua bekerja membagikan selebaran, demi sejumlah uang, tentu saja. Dan tidak banyak jumlahnya. 



Mekanisme pekerjaan laki-laki tua itu, sederhana. Tetapi membutuhkan kerjasama orang-orang yang berlalu lalang di depannya. Bayarannya tergantung dari setumpuk selebaran tersebut. Jika habis dalam sekejap, maka ia bisa secepatnya menerima upah. Jika selebaran itu tidak habis sampai malam tiba, maka ia tetap berdiri di sana, mencoba membagikannya, dan terus begitu sampai selebaran itu tak terisa, baru ia akan mendapatkan hasil jerih payah. 

Pekerjaan yang semacam itu, sering diremehkan. Laki-laki tua tubuhnya dibalut jaket motif kotak-kotak, topi yang terlihat usang, dengan wajah lelah yang dipaksakan tersenyum ramah, bagaikan benda tidak penting yang keberadaannya tak perlu diakui. 

Pekerja jujur yang menjual tenaga itu, justeru sering kali dipandang remeh. Tetapi si bedebah yang berpakaian rapi, pembawaannya intelek, bermulut manis, yang setiap ucapannya menguarkan kebohongan, yang otaknya penuh tipu muslihat, justeru diakui, dipercaya, dihormati.

Entah bagaimana memaknai hidup ini! Keadilan itu seperti apa? Kenapa orang-orang bedebah dibiarkan memperoleh uang serta tetek bengek bersifat keduniawian dengan mudah. Sementara itu, yang bekerja seperti robot autentik, mesin-mesin penggerak roda kehidupan, tumbal-tumbal keluarga, lekat sekali dengan kesulitan, hanya demi memperjuangkan hidup yang lebih baik?

Oh maafkan aku jika pertanyaan ini membuat-Mu tersinggung, Tuhan. Aku tidak bermaksud lancang. Bertanya sesuatu yang jelas-jelas semua itu, tak ada yang luput dari pengamatan-Mu. Segala sesuatu yang terjadinya telah Kau ketahui. Tetapi boleh kan sekiranya, aku sedikit tahu tentang mengapa orang jahat  diberikan kemudahan dalam hidupnya. Sementara orang baik, malah sebaliknya? 

Nasib ditentukan oleh manusia itu sendiri atas usahanya, katanya. Aku tidak percaya sepenuhnya. Sebab, ketika berusaha untuk memperjuangkan sesuatu, tak selamanya berjalan linier. Kadang-kadang nasib seolah mempermainkan. Nasib terbahak sambil memegang perut yang menegang melihat manusia yang gagal dan menemui jalan buntu ketika berupaya. Kemudian pulang telanjang memanggul kekalahan.

Manusia sebagai pelaku kehidupan yang terlanjur tengik, dipaksa menerima takdir apa saja. Dan tidak berhak menentukan hidupnya kecuali semua telah diatur oleh-Nya. 

Jika boleh dan bisa memilih, orang tua itu pasti ingin bertukar posisi, menjadi bagian yang melintas di depan orang yang sedang membagikan selebaran. Tetapi apa boleh buat, sekali lagi takdir telah bertindak semena-mena atas dirinya. 

Lalu aku mulai meraba diri sendiri. Bukankah aku dan pekerjaanku lebih baik darinya. Dari laki-laki tua itu yang bahkan harus membawa air putih dalam botol bekas di jejalkan dalam tas usangnya. Dan ketika kakinya pegal, tidak ada tempat untuknya duduk. 

Seringkali manusia iri dengan manusia lainnya. Iri dengan mereka yang mendapat kehidupan lebih baik. Padahal belum tentu kenyataannya begitu. Ketika orang lain bisa begini dan kenapa dirinya tidak, lalu pikirannya mulai berontak.  Manusia yang suka iri tersebut hanya memandang dari satu sisi. Ambil contoh, ketika kita melihat sesosok tubuh dari ketinggian tertentu, yang tampak hanya titik hitam, yang merupakan kepalanya. Sementara, ketika melihat tubuh dari kejauhan, bukankah yang terlihat hanya segaris lurus. Jadi buat apa iri dengan kehidupan orang lain. Kenapa tidak melihat bahwa masih banyak orang-orang yang tidak lebih beruntung dariku, darimu, dari kita. 



Sabtu, 16 Januari 2016

JATUH

Diposting oleh Rumah Kopi di 16.45 0 komentar

Jatuh itu tidak sakit, kalau jatuhnya di hatimu. :D

Sudah berhati-hati tetapi masih jatuh. Ini berarti penyebab masalah bukan melulu dari diri sendiri. Malainkan faktor sekitar. Ngeles :D


Belajar dari fenomena jalan raya. Banyak sekali kendaraan yang melintas. Baik searah maupun berlawanan. Yang jelas, semuanya ingin segera sampai di tujuan. Begitu juga aku. Tetapi, kadang dihadapkan pada kenyataan bahwa perjalanan tentu saja tidak semulus ekpektasinya. 

Kecalakaan, ban bocor, demo di jalan raya, lampu merah, karenanya perjalanan menjadi sedikit lebih lambat. Sedikit lambat. Itu saja. Tetapi tidak ada perjalanan yang tak mengantarkanku sampai di tujuan. Asal aku tidak menyerah. Semua butuh waktu. 

*

Hari ini malas sekali. Malas. Malas. Malas. Malas itu kalau di salah satu akun sosmed berteman dengan keponakan. Bukan malas sih. Malu. Sebab, sebagai saudara yang lebih tua, harus memberi contoh yang baik kan. Eh, meskipun aku tidak nyeleneh di sosmed tetap saja malu sih kalau pas upload video, dikomentari keponakan. 

IG-nya Maulanarizky93. rizky_rainer. Berteman di IG dengan keponakan kecil itu, yang suka kepo itu, jadi keki. Aku gusur besoknya dicari. Uh dasar anak-anak. Bukannya fokus sama sekolah malah .... :(

Kalau membahas Rizky, rasanya sedih. Anak itu. Ya ampun. Kasihan. Dia anak penurut. Tidak mau menyusahkan orang lain meskipun keadaan ekonomi keluarganya jatuh. Kalau ditanya, butuh apa? Selalu menjawab, tidak butuh apa-apa, Mbak. Lalu nasihat lugu, meluncur darinya begitu saja. Menguatkanku untuk selalu tegar dan tidak usah memikirkan banyak hal. 

Bagaimana aku tidak memikirkan banyak hal? Segala sesuatu, yang masuk ke telinga, membuatku tidak bisa berhenti untuk tidak ikut meringankan beban. Mendengar Icha dimarahi guru karena bersepatu merah muda, belum melunasi daftar ulang, reflek otakku memutuskan menyusihkan sebagian uang untuk kekuarga tante. Bulan depan. Kenapa laptopnya ikutan rusak. Sedih. 

Senin, 11 Januari 2016

TERSESAT MERUPAKAN CARA TUHAN MENUNJUKKAN TEMPAT BARU YANG BELUM PERNAH KUKETAHUI SEBELUMNYA

Diposting oleh Rumah Kopi di 11.17 0 komentar


Ah, ya! Demi sesuatu yang dituju, terlebih dahulu, Tuhan menguji dengan membuatku tersesat. Jauh. Lelah sudah pasti. Lantas seberapa besar keyakinan, kesungguhan yang kumiliki untuk mencapai tujuan itu, tetap ada pilihan, menyerah atau melanjutkan. Semua pilihan ada padaku. Dan aku memilih melanjutkan sebab dengan begitu aku bisa menemukan kebahagiaan, kepuasan, yang tersembunyi dibalik kesulitan. Siapa bilang aku tidak mandiri. Aku berani mengambil resiko. Apa pun itu. 

*

Seharusnya memang tidak ada yang perlu ditakuti, kecuali Dia. Sebab, setiap langkah yang kutempuh, tak luput dari campur tangan-Nya. Dia tahu perihal apa saja yang terjadi padaku. Dan Dia akan memelihara hal-hal baik yang memang sejak awal disiapkan untukku.

Berbicara tentang langkah, kemarin pertama kalinya aku pergi ke Daan Park. Salah satu taman terbesar berada di wilayah Taipe, seorang diri. Aku melangkah ragu begitu keluar dari kereta bawah tanah, menuju 台北市大安區和平東路二段 24 號 6F. Sebab, seperti yang aku tahu, setiap stasiun kereta bawah tanah memiliki banyak pintu keluar. Dan setiap pintu memiliki akses berbeda. 

Sempat mondar-mandir mencari pintu yang tepat. Oh iya, tentu saja banyak informasi di sana. Semacam peta wilayah di sekitar stasiun. Menggunakan dua bahasa; Inggris dan Mandarin. Ah sialnya, alamat yang kucari tidak tertera pada peta wilayah tersebut.

Akhirnya, aku bertanya pada seorang, katakan saja tante baik. Sebenarnya, dia juga tidak tahu alamat yang aku perlihatkan. Lalu, dengan gadjet-nya dia membantuku menemukan jalan. Tetapi, dia tidak membantu banyak. Hanya menunjukkan letak tempat yang kucari. Jauh sekali, katanya. 

Aku nekat keluar dari pintu, sembarang. Sampai di luar stasiun aku bertanya pada petugas barangkali dia satpam stasiun, tapi entahlah, toh dia juga tidak banyak membantu. Lupakan.

Menyebalkan ketika google map ini juga tidak banyak membantu. Malahan, menyesatkan. Sialan. Katanya, aku disuruh belok kanan dan jalan lurus sejauh 3 km. What! Padahal, aku sudah jalan selama 20 menit dan hanya muter-muter di tempat yang itu-itu juga. 

Rasanya pengen menyerah. Aku capek. Dan waktu pun sudah terbuang banyak. Telat masuk kelas pertama yang aku ikuti. Tetapi, sayang sekali bukan, jika aku menyerah begitu saja! Sudah kepalang capek. Gagal pula, masa. Bukankah itu terdengar kurang cerdas. 


By: taipe.travel

Oh iya, dari dulu aku meyakini bahwa tersesat merupakan salah satu cara Tuhan, menunjukkan tempat baru yang belum pernah aku lihat secara langsung, sebelumnya. Kejadian kemarin, membawaku sampai di Masjid Daan. 

Masjid Agung Taipei (Mandarin: 臺北清真大寺; Hanyu Pinyin: Táiběi Qīngzhēn Dàsì) adalah masjid terbesar dan termasyhur di Taiwan dengan jumlah wilayah keseluruhan 2.747 meter persegi. Mesjid ini terletak di distrikDaanKota Taipei. Mesjid ini adalah bangunan Islam terpenting di Taiwan dan dicatat sebagai landmarkbersejarah pada tanggal 26 Juni 1999oleh pemerintahan kota Taipei[2].

Masjid ini dibangun didanai bersama oleh pemerintah Taiwan dan pemerintahArab Saudi selesai pada tanggal 13 April 1960 didesain oleh arsitek ternamaYang Cho-cheng, yang juga membangun Hotel Yuanshan dan Balai Peringatan Chiang Kai-shek. (Sumber: wikipedia)

Tentu saja, aku tidak sempat mengambil gambar masjid itu. Aku panik. Waktu izinku hanya sampai pukul 3 sore.


Tak terhitung jumlah orang yang kutanyai perihal alamat yang kucari itu. Sampai akhirnya, aku bertanya kembali pada seorang berusia 40 tahunan. Baik sekali. Orang itu mengantarkanku ke alamat yang kucari. Berlawanan arah dari petunjuk yang tertera di google map

Lega meskipun harus kambali jalan kaki yang amat jauh. Oh iya, orang itu tidak mengenali bahwa aku bukan penduduk Taiwan. Sempat dia bilang: bahasa mandarinku bagus, dan tampangku tidak jauh beda dengan orang Taiwan. Dalam hati sempat aku berkata; Kalau aku orang Taiwan, mana mungkin aku kesulitan mencari alamat ini. Setidaknya, mudah saja bagiku membaca tulisan mandarin di setiap sudut jalan. Tetapi, aku harus berterima kasih padanya. Jika tidak ada dia, barangkali aku hanya muter-muter disesatin google map si doraka. 

Akhirnya aku sampai di kelas, pukul 2:30. Haha sial. Sial yang manis. Setidaknya, kelak aku tidak perlu muter-muter lagi, tersesat, niat nyerah, nangis, dan segala macam. Untungnya, seperti pada kelas-kelas pertemuan pertama umumnya, acaranya hanya perkenalan diri dan sedikit mengenal huruf mandarin. 

Sempat nyengir sih, ya ketika Laushi memanggilku Gigi. Wajahku lucu, gemesin, katanya. Ha? Aku pikir itu karena susunan gigiku yang berantakan sehingga guru cantik itu menyebutku demikian. Ternyata, Gigi yang dimaksud, istrinya si Raffi. Nyengir. 

Dari pengalaman kemarin, dapat kutarik kesimpulan, bahwa tak ada jalan yang tidak berujung. Tak ada kesulitan yang abadi. Tak ada yang perlu ditakuti sebab, semua ketidaknyamanan atau apalah itu, berlaku sementara. Dan jika kita mencari, apa pun itu, pasti bisa ditemukan selagi aku tidak menyerah ditengah jalan. 

Ah, ya! Demi sesuatu yang dituju, terlebih dahulu, Tuhan menguji dengan membuatku tersesat. Jauh. Lelah sudah pasti. Lantas seberapa besar keyakinan, kesungguhan yang kumiliki untuk mencapai tujuan itu, tetap ada pilihan, menyerah atau melanjutkan. Semua pilihan ada padaku. Dan aku memilih melanjutkan sebab dengan begitu aku bisa menemukan kebahagiaan, kepuasan, yang tersembunyi dibalik kesulitan. :D

Rabu, 06 Januari 2016

KAMU YANG TELAH MEMILIKI HATIKU

Diposting oleh Rumah Kopi di 15.30 0 komentar

Rasanya seperti disengat ribuan lebah, ketika aku tak lagi bisa menggapaimu. Padahal itu bukan apa-apa. Kamu hanya ingin menyendiri. Tetapi hal itu sudah membuatku panik. 

Ada yang lupa kusadari, bahwa kebahagianku bukan ada pada benda lain, barang mewah, atau apa pun, kecuali setiap aku menghembuskan napas, aku tahu ada seseorang yang begitu menyayangiku. 

Barangkali pengorbananmu tak terlihat olehku. Tetapi ini cinta, bukan persembahan atau apa, yang jelas tak perlu ada pengorbanan. Tak usah ada janji muluk-muluk. Tetapi hanya butuh saling mengasihi. Saling menjaga. 

Kebahagiaan itu bukan terletak pada pemberian-pemberian, kebahagian itu berupa kehadiran. Kehadiranmu setiap waktu. Canda tawa. Nasihat-nasihat. Apa pun. Dadaku panas. Kamu tahu? Aku megap-megap. Entah kenapa aku seperti ini. Padahal aku tahu kamu tidak akan pernah pergi dariku. Tapi sumpah dadaku panas ketika aku tak bisa menggapaimu. 

Aku ingin ditemani kamu, semalam. Saat aku tak berdaya, ketika jarum suntik kembali meninggalkan sedikit nyeri. Aku tidak mau bilang bahwa aku sakit. Aku tak mau memenuhi isi kepalamu lagi dengan hal-hal yang mungkin bisa mengusik ketenanganmu di sana. 

Oh iya, aku tidak melarangmu berbuat baik. Tetapi, tolonglah beritahu aku jika melakukan sesuatu supaya belakangan tidak menimbulkan salah paham. 

Aku pernah jatuh cinta. Tetapi hanya denganmu aku menemukan keberanian-keberanian yang sudah mati sejak aku dinyatakan mewarisi penyakit jantung dari kakek. Padahal, jantungku baik-baik saja. Tetapi entah kenapa orangtuaku begitu khawatir jika aku mati muda. Maka dari itu, mereka menjadikanku boneka. Boneka yang selalu takut mengambil keputusan dalam hidup.

Denganmu, aku berani mengambil resiko apa saja demi masa depanku, kamu, dan anak kita. 



Senin, 04 Januari 2016

AKU YANG CEMBURU DENGAN MASA LALU

Diposting oleh Rumah Kopi di 08.49 1 komentar

Foto: by IG @dagelan

Sebenarnya, aneh sekali jika ada orang yang masih saja suka cemburu dengan masa lalu. Apa lagi, kejadian itu terjadi beberapa tahun sebelum hadirnya cinta yang baru. 

Masa lalu tempatnya di belakang. Sementara, setiap langkah bergerak menuju ke depan. Aku paham ini dan kamu tahu itu. Jika tidak ingin melihat sesuatu yang barangkali menyakitkan, ya sudah tidak perlu menoleh. Sederhana saja sih. 

Barangkali, ada beberapa jenis manusia yang gemar mendulang perkara. Alih-alih mendamaikan hati sendiri, malahan kerap kali kurang kerjaan mencari tahu masa lalu pasangan. Padahal yang seperti itu benar-benar tidak ada manfaatnya. Malah sebaliknya. Sialnya, orang itu aku.

Kamu tak tergantikan atau Sudahlah pilihanku sudah bulat, kamu jangan khawatir. 

Aku sering menemukan status seperti ini, di wall facebook-mu. Kira-kira empat tahun silam. Ucapan semacam itu kerap mengganggu. Namun aku berusaha menyadari, bahwa apa yang terlontar di permukaan kala itu, sesuai dengan keadaan dan suasana hati. Tetapi bukankah hati merupakan bagian dari manusia yang paling mudah berubah-ubah. 

Boleh jadi saat itu kamu memang benar-benar menginginkan pasanganmu, tetapi jika cinta kalian hebat, apa pun yang menjadi penghalang, tentu saja bisa ditaklukkan. Buktinya, kamu menyerah. Buktinya kamu malas memperjuangkan perasaanmu sendiri. Bisa jadi, itu karena kamu belum benar-benar menemukan apa itu cinta sejati. 

Sebenarnya aku sendiri juga tidak paham, apa itu cinta sejati. Hanya saja, jika dua orang saling menginginkan satu sama lain, keduanya akan sama-sama berjuang menjalani masa sulit, saling menguatkan, jika yang satu ingin menyerah hendaknya yang satunya mempertahankan, dan akhirnya menikmati kebahagian bersama. 

Jika mencari pasangan yang sesuai dengan kriteria, aku pikir sampai planet Jupiter bisa dijadikan tempat asyik untuk selfie, hal itu pun tak akan pernah terjadi. Sebab, Allah tidak pernah mengajari umat-Nya untuk bermanja-manja. Dalam artian, bukan tidak mungkin Dia menghadirkan seseorang yang sifat maupun sikapnya, bertolak belakang dengan kita. Untuk apa? Tentu saja supaya manusia belajar menerima, menyesuaikan diri, atau bahasa paling gamblangnya, yang demikian itu bertujuan mengamplas hati. Tidaklah orang yang egois dibiarkan terus mengumbar keegoisannya? Tidaklah orang manja, dibiarkan terus menerus mengikuti hawa nafsunya? 

Ketika orang manja dan egois dipertemukan, dan keduanya sudah saling mencintai, dan demi menjaga hubungan yang sudah lama terjalin, lambat laun keduanya mampu menanggalkan keegoisan dan kemanjaannya tersebut. Keduanya melebur. Saling berusaha membahagiakan. Bukan lagi menuntut untuk dibahagiakan. 

Cemburu sih manusiawi. Asalkan masih logis. Dan tidak sampai menyebabkan pertengkaran. Masa lalu tidak bisa dihapus. Itu merupakan bagian dari perjalanan hidup. Masa lalu hanya akan sesekali dijamah ketika memang perlu melakukannya. Selebihnya, tinggalkan masa lalu dalam kotak kenangan. Dan bersiap menyambut masa indah yang akan datang. 



Jumat, 01 Januari 2016

TOH YANG DINIKMATI KOPINYA, BUKAN CANGKIRNYA

Diposting oleh Rumah Kopi di 03.59 0 komentar

Sudah tahun 2016 ya. Menurut kalian apa yang perlu dirayakan saat pergantian tahun? Tahun berganti tetapi banyak ritual yang tidak terganti. Semisal, jika tidak kerja maka tidak jajan.

Oh iya, omong-omong, aku lupa kapan terakhir kali meminta uang jajan pada orangtua. Bagiku, ini suatu perkara besar. Maksudku begini, bukankah semua perubahan dalam hidup, diawali dengan tindakan. Tak peduli sekecil apa pun itu. Yang jelas, demi pergeseran dari sebuah titik menuju titik lain, itu butuh tindakan. Dulunya, semua harus serba ada. Dan akhirnya, harus bersusah payah agar keinginan bisa terpenuhi semua.

Sampai kapan anak hanya menengadahkan tangan? Sementara, waktu terus bergerak, mau tidak mau mengantarkan orangtua menuju usia yang kian senja. Lalu, apa masih tega menjadi beban hidup mereka yang meskipun keduanya tidak keberatan, tetapi bukankah tenaga dan pikirannya tidak lagi sekuat dua puluh lima tahun silam.

Ketika masih berbentuk telur, anak ayam hanya meringkuk dalam cangkang. Dunianya sebatas itu saja. Akan tetapi, ketika cangkang tersebut pecah, berarti kehidupan baru telah dimulai. Kehidupan luas mengajarkan bagaimana mencari dan bertahan.

Mula-mula anak ayam takut-takut berpisah dari gerombolan saudara serta induknya. Namun, segala hal berproses. Lama-lama ketakuktan itu lenyap seiring bergulirnya masa dimana anak ayam telah tahu bagaimana caranya berjuang dalam kehidupan. Tak peduli kadang-kadang serangan dari induk ayam lain, menghampiri. 

Hidup mati adalah urusan Tuhan. Kita tahu perkara ini. Jadi, jika hanya karena tubuh ringkih dan segala macam, sehingga menye-menye takut menjalani pekerjaan berat, sama halnya meremehkan Tuhan dimana segala hal menjadi mungkin jika kita yakin bahwa atas kuasa-Nya apa pun itu bakal dimudahkan.

Barangkali terlau rumit pemikiran [anak-anak] yang menganggap dirinya berkelas, sehingga mereka terus berpikir keras dan mati-matian supaya tidak terjun, melakukan tindakan yang menurutnya hal itu sama saja menjatuhkan harga diri. Semisal, lebih baik menjadi benalu menengadahkan tangan pada orangtua dari pada memutuskan bekerja yang ditengarai sebagai pahlawan devisa.

Bagi sebagian orang, menjadi pahlawan devisa adalah hal yang bisa dibilang rendah. Mengabdikan diri pada orang lain dan rela diperintah-perintah. Aku pikir ada yang lebih penting dari pada perkara gengsi itu tadi. Semisal betapa lebih rendahnya mereka yang dengan dalih apa pun, hanya mencari alasan-alasan supaya tetap berada pada titik yang menurutnya tidak menjadikan harga dirinya jatuh.

Boleh jadi kamu cantik seperti berbie. Tetapi bedebah sekali jika bulu matamu yang lentik karena sentuhan mascara, bibirmu yang merah merekah oleh gincu yang tidak murah harganya, pipimu merona karena sapuan blush on di atasnya, dan di balik itu semua ada orangtua yang kamu peras supaya penampilanmu tidak kalah dengan teman sebaya. Cihhh! Doraka lu!

Sampai kapan menunggu pekerjaan yang sesuai dan layak? Bukankah kehidupan ini kadang-kadang tengik. Dunia ini bukan pabrik menciptakan keinginan-keinginan. Kita lebih sering dihadapkan pada hal yang tidak ada pilihannya. Maka lakukan saja apa yang ada di depan mata. Sebab, bekerja bukan hanya demi memenuhi kebutuhan diri sendiri. Sebab, harga diri yang dianggap tinggi, sudah jatuh saat kita memilih menjadi pengangguran.

Hei! Ketika meminum kopi, tidak peduli bagaimana bentuk dari cangkirnya, bukan? Yang penting bersih. Yang penting bisa menampung campuran air, gula, bubuk kopi, dan susu. Lantas dari cangkir tersebut, kita bisa menyeruput kopi lezat tanpa peduli urusan di luar itu. Toh yang dinikmati kopinya, bukan cangkirnya.

Mana yang lebih rendah, mempertahankan diri sebagai lulusan sarjana tapi menganggur karena tidak sudi bekerja jika pekerjaan tak sesuai yang diharapkan, atau terjun menjadi pahlawan devisa dengan imbalan mencapai lebih kurang Rp 8.500.000 perbulan, bahkan lebih. 

Menyadari bahwa cita-cita besar tidak serta merta terwujud begitu saja seperti adegan sulap, maka tidak ada salahnya sebelum berwira usaha dan menjadi bos besar, kita mengumpulkan pundi-pundi uang dengan jalan paling dekat, lebih manusiawi dari pada sekadar menjadi benalu menyusahkan orangtua sendiri. 

Rasa takut sebelum melangkah, keraguan-keraguan, atau apalah itu namanya, hanya akan menghambat perubahan. Sama halnya ketika mati lampu, jika saja kita tetap diam di tempat, tidak berusaha mencari dimana pemantik api, senter, atau sumber cahaya lain yang bisa dijadikan penerangan, selama itu pula kita berada dalam kegelapan. 

Barangkali, saat bergerak di dalam gelap, satu, dua, tiga, kali, atau bahkan lebih, besar kemungkinan kita menabrak pada benda yang keberadaanya tidak nampak. Tetapi dari sanalah, dengan meraba, mencari sesuatu yang kita butuhkan. dan dengan keyakinan yang kuat, maka pemantik api atau apa pun yang sedang dicari tadi, pasti berhasil ditemukan. 

Lagi pula, banyak hal yang bisa dilakukan saat memutuskan menjadi pahlawan devisa. Memanfaatkan minimnya kesempatan, menjadi seuatu yang membanggakan. Bisa jadi statusnya hanya 'tenaga kerja istimewa', tetapi jangan salah, banyak lembaga yang menyediakan sarana demi menunjang kemajuan dan meningkatkan skill. Semisal, nyambi kuliah. Atau kursus menulis dan membaca huruf mandarin. Kursus kewirsusahaan. Atau belajar apa saja yang jelas, kelak ketika kembali ke tanah air, yang didapatkan bukan sekadar materi. Melainkan gelar sarjana dengan skill yang mendukung untuk berwira usaha. 

Wanita tidak dituntut mencari nafkah, memang. Wanita bukan pemimpin rumah tangga. Tetapi, kemajuan dan kesejahteraan keluarga, berada pada ibu rumah tangga cerdas, tidak menye-menye, tangguh, dan dapat diandalkan dalam semua hal. MERDEKA.

 

Rumah Kopi Copyright © 2010 Design by Ipietoon Blogger Template Graphic from Enakei | web hosting