Senin, 05 September 2016

MENULIS BURUK LEBIH BAIK DARI PADA TIDAK MENULIS SAMA SEKALI

Diposting oleh Rumah Kopi di 14.10 0 komentar
Satu, dua, tiga, ah aku lupa berapa lama tepatnya perlahan aku menjelma sesosok dungu. Pikiranku tumpul seperti kedua ujung ulekan. Itu terdengar mengerikan, bukan? Iya, beberapa bulan ini, aku benar-benar seperti manusia yang kehilangan jiwa. Hidupku diawali dari ranjang dan diakhiri di tempat yang sama.
Hei, aku rasa tempat itu tidak layak disebut ranjang. Selembar kasur tipis digelar dalam gudang penuh barang-barang tidak terpakai, di sana biasanya aku membenamkan tubuhku. Dalam tumpukan baju-baju, bantal lusuh, selimut yang tak pernah kulipat saat bangun tidur. Kasur yang digelar di atas karpet, bukankah itu tak bisa disebut ranjang!


Namun begitu, aku betah membenamkan diriku di sana. Di kamar yang layak disebut gudang itu. Sesekali, anak-anak kecoa merayap di atasku. Tepatnya di dinding atau di pintu lemari tempat sebagian bajuku kusimpan tenpa kulipat rapi. Tak jarang, anak-anak kecoa tersebut merayap pelan di atas kasur, bantal, bahkan selimut yang membalut tubuhku. Kami tak akrab. Tentu saja aku jijik melihatnya.  Tetapi aku biarkan saja mereka berkeliaran di sana.


Kamu bisa membayangkan betapa kamar itu senantiasa berantakan. Belum lagi buku-buku yang beterbaran di setiap sudut. Buku pelajaran, buku catatan, novel, buku tagihan hutang. Banyak. Anehnya aku betah di tempat itu. Dan aku curiga bahwa di sanalah, sebagian kecerdasan dan pikiran kritisku tertinggal. Terserap oleh tumpukan baju, selimut, bantal, diatas kasur itu. 


Beberapa bulan belakangan, aku benar-benar tidak produktif. Aku merasa menjadi sampah. Hidupku monoton. Bekerja, makan, tidur. Itu saja. Kuliah, no way! Belajar menulis fiksi, males gilak. Boro-boro bikin craft. Males. Males. Mengerikan. Entah kemana perginya aku yang aktif dulu. Yang kalau tidak belajar, merasa bersalah pada semesta karena menyia-nyiakan kesempatan hidup yang limited ini.


Oh, itu semua tidak serta merta terjadi begitu saja sih. Jenuh itu manusiawi, kan? Ya karena aku bukan malaikat, jelas manusiawi banget kalau memiliki titik jenuh. Mula-mula perasaan itu muncul dari tekanan di tempat kerja. Kurasa, usahaku bertahan dalam masa sulit selama hampir empat tahun, sudah bisa membuktikan bahwa aku bukan orang yang tidak bisa menerima keadaan.


Dulu aku begitu iklas diperlakukan seperti apa pun. Aku paling pandai menyemangati diri sendiri. Bisa mencuri waktu keluar. Ngopi, misalnya. Dan hal itu sudah membuatku senang. Tetapi sekarang keadaan sudah lain. Jangankan ngopi. Ke 7-11 yang ada di lantai satu itu, sudah diteriaki suruh cepat balik. Menyebalkan. 
Tadi aku berkata, aku seperti kehilangan jiwa. Jiwaku mengembara entah kemana. *bucet udah kek pujangga aja kata-kata gue* Meskipun begitu, jiwaku masih waras. Tentu saja.


Beberapa saat lalu, aku membaca buku karya Irma Rahayu berjudul Soul Healing Therapy. Akhir-akhir ini, aku suka membaca jenis buku yang beginian. Kebanyakan membaca buku fiksi yang penuh drama romantis yang tentu saja bertolak belakang dengan kehidupan nyata, membuatku semakin uring-uringan tak jelas saja. Dan kalau sudah begitu, aku bisa menuntut Allah dengan pertanyaan bodoh semacam ini, Oh God, why you making like this in my live? Lalu Allah menjawab, Lha why not! 

Menyalahkan orang lain, menyalahkan keadaan, menyalahkan alam sekitar, dan apa saja yang dianggap telah mempersulitnya mendapatkan sesuatu yang diimpikannya, adalah tindakan bodoh—wujud ketidak dewasaan dalam menyikapi kegagalan. Dan aku tahu itu.


Ketika melukis warna-warni pada bulu angsa, tidak terlintas olehku bahwa saat bersamaan, bukan mustahil hujan deras menghapus seluruh warna itu. Tidak menutup kemungkinan, air kotor bekas pembuangan industri rumah tangga--menempel, bahkan membungkus seluruh bagian angsa berbulu putihku. Dan itu berarti jika masih ingin melihat angsa berwarna-warni, kembali aku harus mengulang melukis merah, kuning, hijau, dan mungkin akan kutambahkan warna emas, perak, atau apa saja sehingga angsaku tampak memesona.


Aku ingat, bahwa seorang polisi tidak mungkin mengenakan seragam dokter saat bertugas. Seorang bikuni, tidak akan membungkus kepalanya menggunakan jilbab milik ustadzhah. Berarti, setiap hal yang memamg sudah semestinya begitu.


 

Rumah Kopi Copyright © 2010 Design by Ipietoon Blogger Template Graphic from Enakei | web hosting