Satu, dua, tiga, ah aku lupa berapa lama tepatnya perlahan aku
menjelma sesosok dungu. Pikiranku tumpul seperti kedua ujung ulekan. Itu
terdengar mengerikan, bukan? Iya, beberapa bulan ini, aku benar-benar seperti
manusia yang kehilangan jiwa. Hidupku diawali dari ranjang dan diakhiri di
tempat yang sama.
Hei, aku rasa
tempat itu tidak layak disebut ranjang. Selembar kasur tipis digelar dalam
gudang penuh barang-barang tidak terpakai, di sana biasanya aku membenamkan
tubuhku. Dalam tumpukan baju-baju, bantal lusuh, selimut yang tak pernah
kulipat saat bangun tidur. Kasur yang digelar di atas karpet, bukankah itu tak
bisa disebut ranjang!
Namun begitu, aku
betah membenamkan diriku di sana. Di kamar yang layak disebut gudang itu.
Sesekali, anak-anak kecoa merayap di atasku. Tepatnya di dinding atau di pintu
lemari tempat sebagian bajuku kusimpan tenpa kulipat rapi. Tak jarang,
anak-anak kecoa tersebut merayap pelan di atas kasur, bantal, bahkan selimut
yang membalut tubuhku. Kami tak akrab. Tentu saja aku jijik melihatnya.
Tetapi aku biarkan saja mereka berkeliaran di sana.
Kamu bisa
membayangkan betapa kamar itu senantiasa berantakan. Belum lagi buku-buku yang
beterbaran di setiap sudut. Buku pelajaran, buku catatan, novel, buku tagihan
hutang. Banyak. Anehnya aku betah di tempat itu. Dan aku curiga bahwa di sanalah,
sebagian kecerdasan dan pikiran kritisku tertinggal. Terserap oleh tumpukan
baju, selimut, bantal, diatas kasur itu.
Beberapa bulan
belakangan, aku benar-benar tidak produktif. Aku merasa menjadi sampah. Hidupku
monoton. Bekerja, makan, tidur. Itu saja. Kuliah, no way! Belajar menulis fiksi, males gilak. Boro-boro bikin craft. Males. Males. Mengerikan. Entah
kemana perginya aku yang aktif dulu. Yang kalau tidak belajar, merasa bersalah
pada semesta karena menyia-nyiakan kesempatan hidup yang limited ini.
Oh, itu semua
tidak serta merta terjadi begitu saja sih. Jenuh itu manusiawi, kan? Ya karena
aku bukan malaikat, jelas manusiawi banget kalau memiliki titik jenuh.
Mula-mula perasaan itu muncul dari tekanan di tempat kerja. Kurasa, usahaku bertahan
dalam masa sulit selama hampir empat tahun, sudah bisa membuktikan bahwa aku
bukan orang yang tidak bisa menerima keadaan.
Dulu aku begitu
iklas diperlakukan seperti apa pun. Aku paling pandai menyemangati diri
sendiri. Bisa mencuri waktu keluar. Ngopi, misalnya. Dan hal itu sudah
membuatku senang. Tetapi sekarang keadaan sudah lain. Jangankan ngopi. Ke 7-11
yang ada di lantai satu itu, sudah diteriaki suruh cepat balik. Menyebalkan.
Tadi aku berkata,
aku seperti kehilangan jiwa. Jiwaku mengembara entah kemana. *bucet udah kek
pujangga aja kata-kata gue* Meskipun
begitu, jiwaku masih waras. Tentu saja.
Beberapa saat lalu, aku membaca buku karya
Irma Rahayu berjudul Soul Healing
Therapy. Akhir-akhir ini, aku suka membaca jenis buku yang beginian. Kebanyakan
membaca buku fiksi yang penuh drama romantis yang tentu saja bertolak belakang
dengan kehidupan nyata, membuatku semakin uring-uringan tak jelas saja. Dan
kalau sudah begitu, aku bisa menuntut Allah dengan pertanyaan bodoh semacam
ini, Oh God, why you making like this in my live? Lalu Allah
menjawab, Lha why not!
Menyalahkan orang lain, menyalahkan keadaan, menyalahkan alam
sekitar, dan apa saja yang dianggap telah mempersulitnya mendapatkan sesuatu
yang diimpikannya, adalah tindakan bodoh—wujud ketidak dewasaan dalam menyikapi
kegagalan. Dan aku tahu itu.
Ketika melukis
warna-warni pada bulu angsa, tidak terlintas olehku bahwa saat bersamaan, bukan
mustahil hujan deras menghapus seluruh warna itu. Tidak menutup kemungkinan,
air kotor bekas pembuangan industri rumah tangga--menempel, bahkan membungkus
seluruh bagian angsa berbulu putihku. Dan itu berarti jika masih ingin melihat
angsa berwarna-warni, kembali aku harus mengulang melukis merah, kuning, hijau,
dan mungkin akan kutambahkan warna emas, perak, atau apa saja sehingga angsaku
tampak memesona.
Aku ingat, bahwa
seorang polisi tidak mungkin mengenakan seragam dokter saat bertugas. Seorang
bikuni, tidak akan membungkus kepalanya menggunakan jilbab milik ustadzhah.
Berarti, setiap hal yang memamg sudah semestinya begitu.