Rabu, 22 Januari 2014
Tugu Rantai
Aku Memang Manusia Biasa
Dear My Lalaland ... Apa kabar? Udah beberapa hari ini aku melupakanmu. Maafkan ya! Kesibukanku di dunia nyata menyita waktu sehingga aku lupa mengukir cerita di tubuhmu. Oh, iya, bulan ini banyak event, lo ... Tapi sayangnya aku tak kunjung sembuh dari sakit. Meskipun ringan tetapi flu ini menggangguku. Eng ... Kebanyakan minum obat sampe nge-blank. Otakku terasa ringan sehingga nggak bisa mikir apapun.
Emmm! Kau mau tau cerita hatiku juga ’kan, Lalaland? Mari duduklah mendekat, akan aku ceritakan semuanya. Kau tak perlu berkomentar. Cukup dengarkan dengan baik. Semua cerita ini.
Aku ... Emmmm! Jujur aku bingung. Sebagai sahabat yang notabene seorang manusia biasa, tentu saja aku jauh dari sempurna. Tetapi aku berusaha menutup kekuranganku kemudian menempatkan diri sebagai mana mestinya. Aku siap menjadi tisue untuk menghapus air matamu. Aku juga menjadi tong sampah yang menampung keluh kesah. Dan terkadang aku menjadi mentor bergaya seperti intelek yang tak lelah memberi motivasi agar dirinya sadar dan mampu menghargai diri sendiri.
Sejenak dia tampak terharu dengan ketulusanku. Dan berterima kasih padaku meskipun aku tak mengharapkannya. Tetapi, aneh! Tiba-tiba dia berubah. Sikapnya dingin. Aku jadi serba salah. Ya, tentu saja aku bingung. Kehangatan dan keceriaan itu hilang. Aku mencoba mengklarifikasi agar aku tidak salah paham. Dia hanya membalas seperlunya.
Awalnya aku ngerasa nggak enak. Tapi, ngapain juga aku berpikir seperti itu? Toh! Aku nggak ngerasa menjahati dia. Menyebarkan masalahnya, atau menjadikan masalahnya sebagai bahan ejekanku. Tidak! Sama sekali tak pernh aku lakukan. Maka aku tak ingin membebani pikiranku dengan masalah yang nggak penting.
Kali ini cerita tentang bersosalisasi di dunia maya.
Harus hati-hati. Memilah dan memilih teman. Bagaimanapun kita tak pernah tau latar belakang hidupnya. Sebenarnya sih, nggak penting ya! Tapi, jika sudah menyangkut teman dekat, mau tidak mau kau harus belajar berpikir kritis dan sedikit berburuk sangka untuk berjaga-jaga. Intinya jangan terlalu percaya dan mudah terpedaya.
Oh, iya. Ada yang menggelitik pikiranku. Sesorang berupaya menjadikan dirinya intelek dan berwawasan luas dengan melahap banyak buku. Ternyata kecerdasannya dijadikan modus mengelabuhi cewek. Yang lebih menjijikkan, sampai menciptkan cerita palsu demi menarik simpatik. Jika kau benar-benar memiliki jiwa besar. Penolong, bisa jadi kau mudah masuk dan terjebak dalam permainannya.
Ayolah, teman ... Apa kau lupa akan adanya Tuhan? Jangan terlalu sering mengadukan kepenatan hati dan kegelisahanmu pada orang lain. Mending menghadap dan minta tolong saja pada-Nya.
Aku sempat nggak enak hati kemarin. Tentang isi chatt itu. Seolah aku lebay terlalu lunak dan seperti memberi harapan. Huaaaaaaaaa apa kau tau, saat aku menulis kata demi kata itu, sejujurnya aku muak. Mengerikan sekali jika itu terjadi. Apa iya aku jatuh cinta sama penerjemah satwa itu. Oh, tidak! Tidak! Meskipun aku juga bukan manusia sempurna tetpi orang itu jauh dari apa yang aku harapkan. Moralnya hancur! Lantas, apa lagi yang dibanggakan? Dari awal aku tau siapa dia? Jika aku masih berteman, bukan berarti aku tak menjaga jarak dan bersikap sewajarnya sahabat.
Aku tidak membedakan teman, siapapun dia, tetap berhak menjadi temanku. Manusia samanderajatnya dihadapan Tuhan. Meskipun dia gigolo, aku tidak menjauhinya. Itu ’kan urusan mereka? Yang penting tidak merugikanku, bagiku semua sudah tepat. Tetapi, ketika aku sudah berada pada posisi yang bahaya, maka aku harus bertindak. Menjauh dan jaga jarak.
Chatting itu! Hhmm! Aku hanya ingin memancing keluar apa yang terselinap di hati dan pikirannya? Sesaat aku tau dia ingin memanfaatkanku. Ya, sudah! Aku harus menutup buku tentang dirinya. Aku nggak sebodoh itu mengeluarkan biaya operasi puluhan juta demi pembohong sepertimu. Enyahlah kau ke neraka bersama para hewan itu.
Jangankan cemburu, naksir aja kagak! Ayolah ... Bodoh sekali dirimu? Bahkan aku tak pernah menggubrismu! Kenapa bisa kau berpikiran kayak gitu?
Tutup buku bergambar pandora.
Cerita terakhir tentang diriku.
Aku seorang yang idealis dan perfecsionis. Bukan tentang fisik. Melainkan totalitas mengekplor hati. Selalu ingin memberikan yang terbaik, sehingga akunsering mengabaikan diriku. Aku, mungkin pantas dijuliki lilin. Mampu menerangi sekitar tapi aku sendiri meleleh.
Kau tau? Aku juga manusia biasa. Aku punya air mata, luka, marah, sam seperti yang lainnya. Tetapi, aku tak ingin menunjukkan penderitaanku pada orang lain. Tidak! Aku tak ingin menebarkan aura hitam pada orang yang kusayang. Maka dari itu, aku selalu ceria!
Taukah kau? Aku meringkuk sakit sendirian. Jika sakit kepala dan mual itu sudah datang, aku tak nyaman lagi untuk beraktivitas. Namun begitu, aku masih memaksa diriku menyelesaiakan tugasku.
Aku percaya bahwa tak selamanya aku berada di zona nyaman. Pun aku juga tau kesedihan itu pasti berlalu. Oleh karena itu, aku harus tetap optimis menjalani hidup. Aku tau bagaimana membahagiakan hatiku. Memikirkan hal sederhana pun sudah bisa membuatku bahagia. Bukannya tak butuh orang lain, tapi aku tidak ingin menggantungkan semangat dan kebahagiaanku pada siapapun. Jika ada, mereka adalah pelengkap bukan pemberi kebahagiaan.
***
Taipe 22, Januari, 2014
Selasa, 21 Januari 2014
Jodoh Di Tangan Tuhan. Cinta Harus Diperjuangkan
Sabtu, 18 Januari 2014
Percaya 'kan jika hidup itu bukan suatu kebetulan belaka. Nah, mengenal sosoknya bukan suatu kebetulan juga. Wanita dewasa yang cerdas dan keibuan. Ya, tentu saja banyak yang ingin dekat dan mendapatkan tempat di hatinya. Aku bangga bisa mengenal dan menjadi salah satu sahabat sekaligus adik angkat. Aku sih, sudah menganggapnya seperti kakakku sendiri. Bukan itu aja, beliau lebih dari sekedar kakak, sahabat, guru, sekaligus ibu bagiku. Wih, peran ganda, triple, atau gimana ya, menyebutnya, yang jelas aku nyaman di dekatnya. Aku belajar banyak hal dari beliau. Namanya Zahra A. Harris. Aku dan teman dari Kobimo, memanggilnya 'Bunda' meskipun beliau masih muda. Bunda Zahra banyak mengajariku menjadi wanita mandiri dan tentu saja baik hati. Susah sih, mempelajari hal itu. Tapi, pelan-pelan pasti aku bisa. Beliau disayang karena menguatkan dan merangkul. Dan aku sangat mengaguminya. Beliau adalah seorang PNS, sekaligus penulis yang merangkap jadi editor. Keren. Beliau itu salah satu contoh Kartini modern.
Ini adalah ilmu yang beliau bagikan di kelas Kobimo. Kelas menulis novel online. Gratis.
Kelas Sharing EYD dan Editing Jumat, 17 Januari 2014: Mengedit ala Editor (1)
Mengedit ala Editor (1)
Assalaamu’alaikum .... *masih ada yang melek nggak ya? -_- Bodo ah*
Salah satu hal yang paling membahagiakan bagi seorang penulis sebelum mengirim naskahnya ke penerbit adalah saat mengedit naskah itu. Namun, adakalanya sedikit dari kita mendahuluinya dengan perasaan bad mood karena merasa nggak menguasai EYD. Hai, benarkah EYD menjadi semacam ‘masalah’ yang selalu setia menemani? Bagaimana mengatasinya agar mengedit naskah menjadi rutinitas yang menyenangkan?
Boleh diingat—sebenarnya cukup sering juga saya mengingatkan—bahwa hanya dengan memerhatikan EYD agar tampak sempurna untuk naskah lomba, tidak serta-merta menjadikannya sebagai juara. Sebaliknya, seluar biasa apapun naskah, jika penulisnya benar-benar tak mengindahkan pedoman EYD, tak pernah sempurnalah naskah itu disebut juara.
Beberapa dari kita mungkin menganggap bahwa EYD itu nggak penting. Ngapain harus ngikutin pedoman EYD, toh di buku-buku terbitan penerbit mayor ternama pun nulisnya gitu kok! Kenapa harus pakai kata-kata baku sih, kan ada istilah bahasa selingkungan?
Kalau selalu berkiblat pada penerbit ternama yang tidak selamanya seratus persen benar, kalau apa-apa selalu mengatasnamakan bahasa selingkungan (bahasa yang disepakati/dianggap setara baku untuk dipakai di lingkungan sendiri), lalu apa gunanya KBBI dan Pedoman EYD disusun oleh lembaga negara? Sayang dong. Hihihi. Buat apa repot-repot belajar EYD, toh ada editor yang menjadikannya makin cantik? Serius? Tunggu sampai naskahmu bertemu editor yang luar biasa teliti! Dia bukan sekadar merapikan format, menambahi huruf, atau mengurangi spacebar dalam naskahmu. Beliau akan memberi coretan besar pada pemilihan kata yang kacau atau langsung mengubah kalimat-kalimat yang tidak efektif. Nah, seandainya hal itu bisa kaulakukan sendiri, bukankah itu jauh lebih baik? Karena itu, jadilah editor untuk naskahmu sendiri. Mengeditlah, ala editor!
1. Huruf kapital
Gunakan pada huruf awal kalimat, huruf awal nama orang, huruf awal nama kota, huruf awal nama jalan, huruf awal nama stasiun, huruf awal pada kalimat setelah dialog yang bukan merupakan penanda dialog, huruf awal hubungan kekerabatan yang mengacu kepada nama/jabatan, huruf awal hubungan kekerabatan ketika membuat kata sapaan (menyapa).
Ini kakak saya. = ‘kakak’ tidak kapital, karena tidak mengacu pada/tidak menunjukkan namanya.
Ini kakak saya, namanya Kak Seto. = ‘kak’ pada Kak Seto ditulis dengan huruf awal kapital, karena mengacu kepada nama.
“Selamat pagi, Bu Guru,” = ‘Bu Guru’ mengacu kepada nama/jabatan, juga sebagai kata sapaan, sehingga ditulis kapital
Jangan berisik, ayahku lagi tidur! = ‘ayahku’ tidak kapital, karena hanya menunjukkan hubungan kekerabatan (ayah) tapi tidak ditunjukkan nama si ayah siapa.
2. “di-” sebagai awalan, “di” sebagai kata depan
Apabila bertemu dengan kata kerja, ‘di’ ditulis dirangkai. Inilah yang disebut ‘di’ sebagai awalan. Contoh : dilakukan, dibenahi, diulang, digarap, diistimewakan, dirapikan, diwaspadai, diteliti, diperbaiki, , dan lain-lain.
Apabila menunjukkan TEMPAT, ‘di’ tidak dirangkai dengan kata yang mengikutinya. Inilah yang disebut ‘di’ sebagai kata depan. Contoh : di rumah, di sekolah, di hatimu, di sini, di sana, di situ, di lubuk hati, di relung kalbu, dan lain-lain.
3. Perhatikan Spacebar!
BENAR:
Namaku Dean. Umurku 29 tahun! Apa kau mengenalku? Di mana?
“Namaku Dean. Umurku 29 tahun! Apa kau mengenalku? Di mana?” tanyaku.
“Namaku ... Dean. Umurku, 29 tahun. Apa kau mengenalku? Di mana?” Aku bertanya.
“Namaku Dean. Umurku 29 tahun. Apa kau mengenalku? Di mana?” Dia bicara sambil menoleh.
“Namaku--kali ini aku jujur--sebenarnya adalah Dean. Umurku--aduh, berapa ya?--kukira 29 tahun! Apa kau sungguh-sungguh sudah mengingatku?”
SALAH:
Namaku Dean.Umurku 29 tahun !Apa kau mengenalku ?Di mana ?
“ Namaku Dean.Umurku 29 tahun !Apa kau mengenalku ?Di mana ”?. Tanyaku.
“ Namaku.......Dean. Umurku, 29 tahun. Semoga masih ingat aku ”. aku bertanya.
“ Namaku Dean. Umurku 29 tahun. Apa kau mengenalku? Di mana?” dia bicara sambil menoleh.
“Namaku -- kali ini aku jujur -- sebenarnya adalah Dean. Umurku -- aduh, berapa ya?--kukira 29 tahun. Apa kau sungguh - sungguh sudah mengingatku? ”
4. Seragamkan Kalimatmu! Efektifkan!
Ada yang salah dengan kalimat ini?
Nenek datang padaku hari ini karena merindukan cucunya. Beliau tak lupa padaku, dibuktikannya dengan membawakan oleh-oleh untukku berupa boneka yang bisa bersuara.
Sepintas kalimat di atas baik-baik saja. Namun, editor mungkin akan mencoretnya dengan manis dan mengubahnya seperti ini:
Nenek mendatangiku karena merindukan sang cucu. Beliau tak melupakanku dan membuktikannya dengan membawakan oleh-oleh berupa boneka yang bisa mengeluarkan suara.
Perhatikan, bahwa dalam satu kalimat sebaiknya memiliki keseragaman awalan dan tidak melakukan pengulangan subjek/objek
- ‘Datang hari ini’ tidak selaras dengan ‘merindukan’, karena itu gantilah dengan ‘mendatangiku’
- ‘Tak lupa padaku’ tidak selaras dengan awalan-awalan ‘me-‘ pada kalimat sebelumnya (atas), ganti dengan ‘tak melupakanku’
‘dibuktikannya dengan’ tidak selaras dengan awalan-awalan ‘me-‘ pada kalimat sebelumnya (atas), ganti dengan ‘dan membuktikannya dengan’
‘oleh-oleh untukku’ menunjukkan pengulangan objek. Pada kalimat sebelumnya, objek ‘aku’ sudah sangat jelas sehingga tak perlu diulang-ulang
‘boneka yang bisa bersuara’ tidak selaras dengan awalan-awalan ‘me-‘ pada kalimat sebelumnya (atas), ganti dengan ‘yang bisa mengeluarkan suara’.
Rabu, 15 Januari 2014
Tanpa Judul
Oleh
Keyzia Chan
Cuaca terik sedang memayungi Kota Jakarta waktu itu. Aku pun tak kuasa menahan haus dan lapar yang sedaritadi mengusik perutku. Kemudian, tanpa ba bi bu aku bergegas menuju salah satu rumah makan yang tidak jauh dari halte tempatku berdiri. Aku melangkah pelan. Kepalu celingak-celinguk mencari meja kosong ketika aku sudah berada di rumah makan. Kulihat dengan seksama setiap sudut rumah makan yang sedang ramai pengunjung tersebut. Langkahkku terhenti setelah retinaku menangkap meja kosong yang berada di dekat jendela. Kulangkahkan kakiku ke sana. Aku menaruh tas ransel berwarna hitam itu di atas meja. Aku terduduk, lalu kulambaikan tangan ke arah pelayan yang mengenakan seragam batik itu. Setelah mencatat pesananku, pelayan berambut ikal itu meninggalkan mejaku. Sambil menunggu pesanannku datang, kukeluarkan kipas dari dalam tas ranselku. Tangan kiriku menopang dagu, sementara tangan kananku menggerakkan kipas naik turun. Dari arah pintu, nampak sesosok wanita muda dengan bayi digendongannya melangkah gontai masuk ke rumah makan. Baju lengan panjang berwarna putih yang tak nampak putih, dengan setelan rok hampir menutupi seluruh kakinya, adalah pakaian yang dia kenakan saat itu. Kulitnya gelap, wajahnya berminyak, rambutnya nampak lepek. Sesekali dia menepuk-nepuk pelan, pantat bayi dalam gendongannya itu. Dihampirinya salah satu pelayan yang tengah sibuk menjalankan tugasnya. Wajah ibu muda itu memelas ketika si pelayan tak mengindahkan keberadaannya. Sendal jepit yang dia kenakan, mengeluarkan suara decitan ketika dia kembai melangkah menghampiri pelayan yang lainnya. Bayi itu menangis. Mungkin dia sudah lapar akut. Batinku. Ibu itu mengelap peluh yang menetes di pipinya mengenakan selendang yang dia pakai menggendong bayinya. Tangis bayi itu kian kencang. Raut wajah ibu itu nampak panik. Ditariknya tangan salah satu pelayan yang melintas di depannya. Dikeluarkannya lembaran uang kertas sepuluh ribu sambil berkata, ”Berilah sebungkus nasi dengan lauk seadanya untukku, Nona.” Uang kertas itu berpindah tangan digenggaman pelayan yang nyaris tanpa senyum itu. ”Tunggulah di luar!” perintahnya.
Dari arah pintu yang sama, nampak pasangan muda berjalan beriringan melangkah ke rumah makan. Kedua tangannya saling menggenggam erat. Pakaian yang mereka kenakan tampak mewah. Asesoris yang dikenakan si wanita, nampak berkilauan. Mempertegas bahwa mereka orang kaya. Setelah menempati meja kosong tak jauh dari tempatku berada, keduanya terlihat saling melempar pandang. Si wanita kaya pun sesekali tersipu malu. Entah apa yang mereka obrolkan. Barangkali mereka pengantin baru, atau sepasang kekasih yang tengah dimabuk cinta. Pikirku. Beberapa detik setelah keduanya duduk, seorang pelayan sekonyong-konyong menghampiri mereka. Seulas senyum tersungging di bibir pelayan sambil menyodorkan daftar menu makan. Air muka si pelayan nampak semringah saat menunggu tamunya memilih menu makan. Kontras sekali dengan keadaan yang baru terjadi di tempat yang sama, dan nyaris tanpa jeda. Huhh! Rupanya, uang masih memegang segalanya. Rasa hormat dan menghargai, hanya milik orang-orang kaya. Apa bedanya coba? Bukankah, ibu tadi juga tidak mengemis makanan. Tetapi, kenapa perlakuannya beda. Gumamku lirih.
Kulahap makanan yang sudah tersaji di depanku. Sesekali mataku mencuri pandang ke arah kedua pasangan muda itu. Si wanita tak berselera makan. Dia hanya mengaduk-aduk makanan yang ada di atas mejanya. Bibirnya nampak sedikit maju. Keceriaan yang tadi terpancar, kini tak terlihat lagi. Berbagai menu yang dipesan keduannya, masih tersisa ketika mereka beranjak dari tempat duduk. Langkah mereka terhenti ketika sampai di meja kasir. Perlakuan ramah pun kembali mereka dapatkan. Dunia ini tak adil. Rutukku. Mereka yang tak memiliki sejumlah uang untuk sekedar membeli sebungkus nasi, diperlakukan dengan kasar. Namun sebalikknya. Para pelayan di rumah makan ini, memperlakukan dengan baik, orang-orang yang berduit.
Rabu, 08 Januari 2014
Untittle
Dear my Lalaland ...
Apa kamu tau, tiba-tiba saja perasaanku tak karuan. Entahlah, aku tak tau, apa yang membebani pikiranku. Ketakuatan! Perasaan itu, dari mana datangnya?
Saat menjalin suatu hubungan, rasanya kembali nano nano. Takut salah bersikap. Nggak bisa menjadi yang terbaik. Pokoknya aneh.
Life likes rollercoaster! Kadang naik, turun, menikung tajam. Dan yang jelas tidak bisa berbalik arah. Kesalahan yang dulu pernah kulakukan, semoga nggak akan terulang untuk kesejuta kalinya. Aku susah jatuh cinta. Kali ini, biarkan cinta ini bertahan. Lama di sini. Aku ingin yang utuh karena aku juga memberikan sepenuhnya.
Lalaland ... Kita tak akan pernah tau apa yang akan terjadi, bukan? Jika ingin tau hal apa yang menungguku di depan sana, ya, harus berani menjalani dan siap mengambil resiko apapun.
Kenapa sih, selalu ada yang nggak suka dengan apa yang aku lakukan?
Cinta karbitan? Maksudnya apa coba?
Perasaan, aku nggak pernah mau tau urusan orang lain? Kenapa juga, ada yang mengusik kehidupanku. Memangnya ada, cinta karbitan? Cinta itu, tidak perlu dipelajari. Dan tak seorang pun bisa menafsirkan kapan, dan berapa cepat kamu jatuh cinta? Iya, kan?
Lantas, jika kamu ada di posisiku, apa kamu juga aka bilang, cintamu karbitan?
Tak ada yang tau, akan kah cinta untuk selamanya atau hanya sesaat? Hanya waktu yang akan menjawab.
Pokoknya, jalani, jalani. Happy or sadly, diterima dengan lapang hati keyzia!
Yang harus diingat, seseorang itu melakukan sesuatu pasti ada alasannya. Baik atau buruk bagi orang lain, yang jelas tidak ada hal yang terjadi begitu saja tanpa ada maksud tertentu. Pahamilah.
Dan satu hal lagi, cinta itu hanya aku dan kamu yang tau! Tak perlu dipublikasikan ke penjuru negri. Kecuali, jika ada ikatan resmi. Biasanya, semakin banyak yang tau, semakin banyak pengacau.
()()
(-_-)
(_()()
suka--suka
***
”Eng ... Pita, gue boleh kan, minta maaf sama lo?” Adam tertunduk mengakhiri kalimatnya. Seolah ada keraguan dalam hatinya, sehingga dia enggan untuk kembali berucap.
Dengan wajah yang berseri-seri, saat itu juga Pita melontarkan jawabannya, ”Tentu saja boleh. Tanpa lo minta sekali pun, gue akan selalu maafin elo, Dam.” Seulas senyum tersungging di bibirnya yang merah itu. ”Bahkan, gue udah nyiapin sekarung maaf buat elo. Jadi, kapan aja lo mau, tinggal ngambil aja sendiri.” Lanjutnya sambil terkekeh.
”Terima kasih, Ta, elo emang baik banget.” Pita tersenyum malu-malu. Pipinya merona bak pantat bayi.
”Elo, enggak pantes buat gue, Ta.” Adam kembali tertunduk di akhir ucapannya. Kedua tangannya meraih tangan Pita dan menyelusupkan jemarinya, di antara jari-jari lentik gadis yang berada di depannya itu. ”Sebaiknya, kita ... Putus aja. Lo, cari cowok yang baik.”
Srrttt! Tubuh Pita kaku. Kini, gadis berparas ayu tersebut bak patung liberty yang bernyawa. Pikirannya bertanya-tanya. Sejak kapan, satu tambah satu sama dengan sebelas. Batinnya. Napasnya memburu. Gue diputusin gegara terlalu baik. Oh, Tuhan. Betapa sialnya diriku? Gerutunya.
Keduanya terdiam. Hanya suara detak jam dinding yang terdengar di ruang tamu bercat putih itu. Adam menatap Pita iba, sekaligus lega telah mutusin Pita. Rupanya, sesosok gadis berambut ikal, telah menggeser posisi makluk berambut lurus yang masih mematung itu.
Keknya belum pernah dengar, ada cowok yang berkata, ”Kamu itu, gadis yang jahat. Maka, aku memilihmu dan akan kujadikan pendamping hidup.” Hah! Ini sungguh nggak masuk di akal. Tau gini, ngapain juga gue susah payah belajar jadi orang baik. Jerit hati Pita. Gue diputusin lantaran terlalu baik!
”Lo, nggak marah kan, Ta?” suara cowok bermata sipit itu memecahkan keheningan diantara mereka.
Berani sekali dia bertanya kek gitu! Emangnya, hati gue terbuat dari kaleng kerupuk apa? Pita pun bergumam, lirih. Air matanya meleleh.
Jeda setengah jam kemudian, Adam pamit pulang. Sebelum pergi, dia kembali bertanya untuk memastikan sesuatu. ”Elo, nggak apa-apa kan, Ta? Nggak marah kan? Elo, baik banget. Pasti nggak akan marah.” Ujar Adam penuh percaya diri.
Pita menggelengkan kepala. ”Tunggu.” Ucapnya ketika cowok berkulit putih itu beranjak dari tempat duduknya semula. Gadis itu berlari ke dapur. Dia mengambil sesuatu dari dalam kulkas.
”Tenang aja, Dam, gue nggak akan marah.” Senyumnya terlihat sinis dan tidak tulus. ”Nih, ada sesuatu buat kamu.” Disodorkannya serantang es buah, kesukaan Adam.
”Makasih ya, Ta. Elo itu benar-benar ...”
”Iya, gue benar-benar baik. Lo, nggak usah mengulang kata itu deh, Dam. Mending lo habiskan cepat, es buah itu begitu nyampe rumah. Okay!”
Tangan kiri Pita nampak menggenggam sesuatu. Dua bungkus bekas arsenik yang telah diaduk jadi satu dengan es buah itu.
#absurd