Kata, kalimat yang baik, disampaikan dengan cara yang baik. Tetapi, efeknya sangat kurang baik.
***
”Eng ... Pita, gue boleh kan, minta maaf sama lo?” Adam tertunduk
mengakhiri kalimatnya. Seolah ada keraguan dalam hatinya, sehingga dia
enggan untuk kembali berucap.
Dengan wajah yang berseri-seri,
saat itu juga Pita melontarkan jawabannya, ”Tentu saja boleh. Tanpa lo
minta sekali pun, gue akan selalu maafin
elo, Dam.” Seulas senyum tersungging di bibirnya yang merah itu.
”Bahkan, gue udah nyiapin sekarung maaf buat elo. Jadi, kapan aja lo
mau, tinggal ngambil aja sendiri.” Lanjutnya sambil terkekeh.
”Terima kasih, Ta, elo emang baik banget.” Pita tersenyum malu-malu. Pipinya merona bak pantat bayi.
”Elo, enggak pantes buat gue, Ta.” Adam kembali tertunduk di akhir
ucapannya. Kedua tangannya meraih tangan Pita dan menyelusupkan
jemarinya, di antara jari-jari lentik gadis yang berada di depannya itu.
”Sebaiknya, kita ... Putus aja. Lo, cari cowok yang baik.”
Srrttt! Tubuh Pita kaku. Kini, gadis berparas ayu tersebut bak patung
liberty yang bernyawa. Pikirannya bertanya-tanya. Sejak kapan, satu
tambah satu sama dengan sebelas. Batinnya. Napasnya memburu. Gue
diputusin gegara terlalu baik. Oh, Tuhan. Betapa sialnya diriku?
Gerutunya.
Keduanya terdiam. Hanya suara detak jam dinding yang
terdengar di ruang tamu bercat putih itu. Adam menatap Pita iba,
sekaligus lega telah mutusin Pita. Rupanya, sesosok gadis berambut ikal,
telah menggeser posisi makluk berambut lurus yang masih mematung itu.
Keknya belum pernah dengar, ada cowok yang berkata, ”Kamu itu, gadis
yang jahat. Maka, aku memilihmu dan akan kujadikan pendamping hidup.”
Hah! Ini sungguh nggak masuk di akal. Tau gini, ngapain juga gue susah
payah belajar jadi orang baik. Jerit hati Pita. Gue diputusin lantaran
terlalu baik!
”Lo, nggak marah kan, Ta?” suara cowok bermata sipit itu memecahkan keheningan diantara mereka.
Berani sekali dia bertanya kek gitu! Emangnya, hati gue terbuat dari
kaleng kerupuk apa? Pita pun bergumam, lirih. Air matanya meleleh.
Jeda setengah jam kemudian, Adam pamit pulang. Sebelum pergi, dia
kembali bertanya untuk memastikan sesuatu. ”Elo, nggak apa-apa kan, Ta?
Nggak marah kan? Elo, baik banget. Pasti nggak akan marah.” Ujar Adam
penuh percaya diri.
Pita menggelengkan kepala. ”Tunggu.”
Ucapnya ketika cowok berkulit putih itu beranjak dari tempat duduknya
semula. Gadis itu berlari ke dapur. Dia mengambil sesuatu dari dalam
kulkas.
”Tenang aja, Dam, gue nggak akan marah.” Senyumnya
terlihat sinis dan tidak tulus. ”Nih, ada sesuatu buat kamu.”
Disodorkannya serantang es buah, kesukaan Adam.
”Makasih ya, Ta. Elo itu benar-benar ...”
”Iya, gue benar-benar baik. Lo, nggak usah mengulang kata itu deh, Dam.
Mending lo habiskan cepat, es buah itu begitu nyampe rumah. Okay!”
Tangan kiri Pita nampak menggenggam sesuatu. Dua bungkus bekas arsenik yang telah diaduk jadi satu dengan es buah itu.
#absurd
Rabu, 08 Januari 2014
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar