Tidak
satu malam pun ia lewati dengan perasaan tenang. Hari-harinya disuguhi pemandangan yang telah merampas senyum pada wajahnya yang oval. Gadis berambut
ikal berusia 23 tahun itu tak lagi punya waktu untuk mematut dirinya di depan
cermin. Namun tidak terlintas dibenaknya
untuk meninggalkan tempat yang pantas di sebut neraka tersebut. Tumpukan potongan anggota tubuh teronggok
begitu saja pada sudut di salah satu bangunan rumah sakit. Bau busuk, anyir
darah, sudah menjadi bagian dari hidupnya setelah ia memutuskan menjadi suka
relawan. Bahkan, beberapa teman yang
datang bersama dengannya beberapa minggu lalu, tewas akibat peluru nyasar yang
mendarat di tubuh mereka.
“Mungkin, aku tak akan pernah
kembali ketengah kalian. Tapi, jangan pernah bersedih dan menangis untukku. Anggap
saja aku sedang liburan. Melakukan
perjalanan yang menyanangkan. Bertemu dengan banyak teman di tempat yang
menakjubkan.” Pesan terakhir yang dikirim Ella Tucker melalui surat. Ia berada di Jerman Belgia
kini. Minimnya fasilitas komunikasi, membuat sebagian besar keluarga yang
ditinggal sanak saudara pergi kemedan perang tidak mengetahui keberadaan pasti,
anggota keluarganya yang tak pernah pulang.
***
Ujung-ujung air menghujam kepala yang dilindungi mantel berwarna
abu-abu. Pagi itu ketika penunjuk waktu belum bergesar dari angka tujuh, Ella
bergegas ke luar dari rumah sakit.
Akhirnya, pemilik sepasang kaki jenjang itu memelankan langkahnya menyusuri tempat di mana baku tembak antara tentara
Jerman melawan tentara Inggris berlangsung tadi malam, dengan kekalahan berada dipihak Inggris. Mayat-mayat berserakan dengan
berbagai luka yang tak akan pernah dapat ia lupakan seumur hidup. Genangan air
hujan menjelma menjadi anak sungai dengan aliran yang berwarna merah. Bak
radar, sepasang retinanya mengamati satu persatu tubuh yang tidak lagi
bernyawa. Tucker kembali melangkah hati-hati. Ia berhenti sejenak mengamati
salah satu korban yang tewas. Tersemat lambang bendera kebangsaannya pada seragam
salah satu mayat yang keningnya berlubang akibat muntahan timah panas itu. Ia
menelan ludah. Menghela napas dan kembali mencari tentara perang yang masih
bernyawa. Hening dan mencekam. Seolah tak ada tanda kehidupan. Belgia bagaikan kota mati saat itu.
Bangunan di sekitar ia berdiri,
banyak yang rata dengan tanah akibat ledakan boom. Jikalau pun ada yang masih
terlihat kokoh, bentuknya tidak lagi sempurna. Ella Tucker bersama dengan Edith Cavell dan beberapa
perempuan lainnya bertugas mengurus tentara yang terluka akibat perang. Baik pasukan dari
Jerman, maupun tentara sekutu yang kebetulan bersal dari Inggris, di mana
Tucker lahir dan dibesarkan.
***
Malam itu seperti yang sudah-sudah,
Tucker membantu tentara Inggris yang menjadi tahanan
perang Jerman, untuk kabur dan kembali ke negaranya. Perempuan itu mengerti bahwa hal ini
bahaya. Nyawa adalah taruhannya. Tapi, kembali lagi atas dasar
kemanusian, pemilik mata biru muda itu masih nekat melakukan aksinya.
"Kamu sudah siap?" tanya Ella pada lelaki berambut cepak yang berdiri di sampingnya. Lelaki yang masih mengenakan seragam sama ketika ia melawan sekutu tersebut, mengangguk yakin.
Keduanya mengendap-endap berjalan meninggalkan rumah sakit. Sesekali tiarap menghindar dari sorotan lampu mercusuar. Derap langkah beberapa tentara yang sedang patroli, tak ayal membuat adrenalin keduanya terpacu. Keringat pun terus bercucuran. Akhirnya perjalanan berbahaya itu berhenti di depan parit yang tertutup oleh lempengan besi. "Buka penutup parit ini dan ikuti aku menuruni anak tangga yang ada di dalamnya." Ella memerintahkan hal itu pada Zean lelaki sebangsanya tersebut. Ia kembali mengangguk. Kedua tangannya yang kekar menggeser lempengan besi itu, pelan.
Ella terlebih dulu masuk, diikuti Zean yang tak lupa kembali menggeser penutup parit tersebut. "Kamu selamat kini. Di bawah sana, lewat saluran air bawah tanah aku akan mengantarmu meuju pintu yang meiliki akses dengan dunia luar, yang jauh dari wilayah pertempuran," ujarnyapenuh opstimis.
Ella Tucker menghentikan langkahnya mendadak padahal ia belum menyelesaikan menuruni anak tangga itu. Jantungnya seakan berhenti berdetak. Darah yang mengalir di seluruh tubuh lansingmya, berdesir panas. Kedua biji matanya nyaris lompat dari tengkorak yang membingkai. Zean tak kalah terkejutnya dengan perawat berparas lembut tersebut. Mulutnya terbuka lebar ketika menyadari beberapa tentara Jerman berdiri tegap di depan mereka lengkap denga revoler Ak-47 yang disilangkan di dada keenam tentara itu. Rupanya gerak-gerik Ella Tucker telah tercium oleh serddu Jerman.
***
Pada kamar yang gelap Ella disekap. Luka lebam menghiasi tubuhnya. Penyiksaan demi penyiksaan telah ia terima selama beberapa minggu setelah kejadian malam itu. Zean ditembak di tempat.
0 komentar:
Posting Komentar