
Demi Sekerat Roti, Jeruji Besi Menanti
oleh
Keyzia Chan
Sepasang biji mataku tidak beranjak dari pemandangan miris itu. Tak ada
yang aku lakukan selain melihat sambil mengerutkan dahi. Seorang laki-laki
berbadan tambun, berkepala botak terlihat sibuk. Bukan para tamu-tamu yang
hadir di rumah makannya, yang membuatnya nampak gusar. Tetapi, seorang bocah
bertubuh kurus, berpakaian kusam yang berhasil membuatnya demikian. Laki-laki
bermata sipit tersebut terus meracau, tangannya belum beranjak dari telinga
bocah itu. Pemandangan tersebut mencuri perhatianku, sehingga aku
menunda melahap menu makan siangku kala itu. Bocah itu meringis kesakitan.
Kepalanya miring-miring mengikuti gerakan tangan si gendut. Meskipun dia
terus melenguh, tangan laki-laki itu tidak beranjak dari telinga anak berusia
sekitar 8 tahun tersebut. Apa yang telah diperbuat olehnya, siapa dia? Mengapa tidak seorang
pun iba padanya? Tiba-tiba otakku dipenuhi pertanyaan yang membuatku kian bingung.
Tidak ada yang mencoba menghentikan perbuatan laki-laki yang berkaca mata
minus tersebut. Termasuk aku. Rambut gondrong bocah itu nampak lepek. Di
belakang tadi, si empunya rumah makan mengguyur kepalanya dengan segayung
air. Beberapa saat kemudian, si gendut berkata dengan suara lantang,
"Belum kapok juga rupanya!" Beberapa orang yang tengah menikmati makan siang,
saling berbisik. ”Kabarnya ayah bocah itu mati bunuh diri.” Salah seorang
yang juga sedang makan di warung itu menimpali.
"Iya, semenjak bocah itu umur dua bulan, dengan menjatuhkan diri dari
atas lantai 21, si ayah mengakhiri hidupnya."
"Kasak kusuk yang aku dengar, dia tidak sanggup mencari dana dalam
jumlah besar yang diajukan pihak rumahsakit. Sekiranya, duit itu untuk biaya operasi yang akan
dilakukan demi kesembuhan putranya," ujar laki-laki berambut kriting itu.
"Mungkin
sebaiknya aku membawamu ke kantor polisi, biar kamu jera." Laki-laki
bertubuh pendek itu berteriak sembari mendong bocah tersebut. Dia
tersungkur di pinggir jalan. Bibirnya mengatup. Pada pipinya terdapat
dua garis sejajar. Dia menyembunyikan sesuatu di balik bajunya. Bocah
tersebut bersikeras menahannya meskipun si gendut itu memaksa meminta
barang yang
disembunyikan olehnya.
***
Musim panas belum beranjak dari Taipe. Hari ini, BMG memperkirakan suhu
udara bisa mencapai 37 derajat celcius, hingga sore hari. Tidak ada acara
sepesial di hari liburku. Pagi, pukul 10.00 seusai mandi dan mengenakan kaus
warna putih, serta celana jeans selutut, dengan langkah santai aku berjalan ke
7-11. Tas punggung berisi kamera dan gadjet, tak ketinggalan menemani acara
liburku yang tak bertujuan. Seperti biasa jalan raya nampak lengang setiap hari
libur. Hanya taxi dan bus kota yang berseliweran dengan sedikit penumpang di
dalamnya. Setelah melewati beberapa apartemen
dan pertokoan, akhirnya aku sampai di mini market yang buka 24jam tersebut.
Sandwich, dan segelas es kopi latte sudah berada di tanganku. Seusai
membayarnya di kasir, aku mencari tempat duduk yang masih berada dalam ruangan
yang sama. Kuletakkan dengan hati-hati tas punggung berwarna biru tua itu.
Kemudian aku mulai menikmati sarapanku. Belum sempat aku menelan makanan itu,
lagi-lagi aku melihat pemandangan yang serupa. Bocah laki-laki berambut
gondrong, berbaju kusam, yang aku lihat tempo hari, dia kembali melintas di
depanku. Kaca tebal di hadapanku ini , membuat pendengaranku tidak mampu
menangkap suara dari luar dengan jelas. Seorang laki-laki berambut putih nampak
berjalan tergopoh. Bocah itu mencoba mensejajarkan langkahnya dengan berlari
kecil. Kepalanya terlihat miring-miring karena kuping kirinya dijewer oleh si
bapak.
Sekonyong-konyong aku mengemasi
barang-barang, lantas berjalan mengendap-endap mengikuti keduanya. Bapak
tua tersebut terus meracau sepanjang jalan. Bocah yang tidak
mengenakan alas kaki tersebut, seperti biasa tida mengucapkan
sepatah kata pun. Entah mau dibawa kemana dia? Aku terus mengikuti
mereka. Menyusuri gang kecil yang terletak diantara bangunan yang
menjulang
tinggi. Seperti kejadian kemarin, tidak ada yang mencoba menolong bocah
malang
tersebut. Ah, orang kota dimana pun sama saja. Tidak mau ambil pusing
dengan
urusan orang lain. Batinku.
Setelah berjalan selama 15 menit, mereka
berhenti di sebuah bangunan kecil. Di depan timbunan sampah daur ulang,
bocah itu
bermukim. Nampak seorang wanita berpakaian kumal sedang duduk di depan
rumah kumuh. Kedatangan bocah kecil dan laki-laki tersebut, tidak
digubris olehnya. Pandangannya tidak beranjak dari semula. Sambil
mengayun-ayunkan tubuhnya, wanita itu terus memilin-milin rambutnya yang
kumal. Laki-laki tua itu mendorong bocah tersebut kuat-kuat hingga
membuatnya tersungkur. Bocah itu segera bangkit dan memeluk ibunya.
Wanita itu
masih saja tidak memedulikan hal yang terjadi di dekatnya. Pandangannya
kosong. Laki-laki itu berkata, "Aku tidak
akan segan memenjarakanmu jika ketahuan mencuri makanan lagi!"
hardiknya. Bocah
itu beringsut. Dia membenamkan wajah tirusnya di pangkuan ibu. Seperti
kurang puas
dengan kalimat yang berhasil membuat bocah itu ketakutan, laki-laki itu
menendang bokong bocah kecil tersebut hingga dia terguling. "Ibumu gila
setelah
bapakmu bunuh diri karena malu memiliki anak cacat sepertimu," ucapnya
sembarangan. Kemudaian dengan langkah besar-besar bapak itu beranjak dari
tempat kumuh.
Setelah laki-laki itu menghilang dari hadapan
mereka, bocah itu nampak mengeluarkan sesuatu dari kantong celananya. Sekerat
roti berada di tangannya kini. Secuil demi secuil disuapkannya potongan roti
tersebut ke mulut ibunya. Rupanya, demi mengganjal perut keduanya, bocah itu
harus mencuri makanan. Bukankah resikonya sangat besar? Bagaimana kalau ucapan
bapak itu tidak main-main? Pikirku.
Wanita itu masih dengan tubuh yang terayun-ayun, dia mengunyah roti hasil
jerih payah putranya. Tepatnya hasil dari mencuri. Bocah itu dengam menggunakan
bahasa isyarat, mencoba memberi tau sesuatu pada ibunya. Seulas senyum ceria
terpancar dari bibir mungilnya. Rupanya bocah itu tunarungu. Tanpa sadar
pipiku pun basah oleh pemandangan itu.
Deg! Aku terperanjat
melihat pemandangan berikutnya. Wanita mengangkat kedua tangannya.
Ditempelkannya telapak tanga tersebut di pipi bocah kecil itu. Dia
menatap nanar
putranya. Detik berikutnya kedua tangan perempuan itu mengusapa-usap
rambut godrong putranya, ke
belakang. Aku mengucek-ucek mata, berharap salah melihat. Bocah itu
tidak
memiliki telinga rupanya.
Selesai.