Demi Sekerat Roti, Jeruji Besi Menanti
oleh
Keyzia Chan
Sepasang biji mataku tidak beranjak dari pemandangan miris itu. Tak ada yang aku lakukan selain melihat sambil mengerutkan dahi. Seorang laki-laki berbadan tambun, berkepala botak terlihat sibuk. Bukan para tamu-tamu yang hadir di rumah makannya, yang membuatnya nampak gusar. Tetapi, seorang bocah bertubuh kurus, berpakaian kusam yang berhasil membuatnya demikian. Laki-laki bermata sipit tersebut terus meracau, tangannya belum beranjak dari telinga bocah itu. Pemandangan tersebut mencuri perhatianku, sehingga aku menunda melahap menu makan siangku kala itu. Bocah itu meringis kesakitan. Kepalanya miring-miring mengikuti gerakan tangan si gendut. Meskipun dia terus melenguh, tangan laki-laki itu tidak beranjak dari telinga anak berusia sekitar 8 tahun tersebut. Apa yang telah diperbuat olehnya, siapa dia? Mengapa tidak seorang pun iba padanya? Tiba-tiba otakku dipenuhi pertanyaan yang membuatku kian bingung.
"Iya, semenjak bocah itu umur dua bulan, dengan menjatuhkan diri dari atas lantai 21, si ayah mengakhiri hidupnya."
Sekonyong-konyong aku mengemasi barang-barang, lantas berjalan mengendap-endap mengikuti keduanya. Bapak tua tersebut terus meracau sepanjang jalan. Bocah yang tidak mengenakan alas kaki tersebut, seperti biasa tida mengucapkan sepatah kata pun. Entah mau dibawa kemana dia? Aku terus mengikuti mereka. Menyusuri gang kecil yang terletak diantara bangunan yang menjulang tinggi. Seperti kejadian kemarin, tidak ada yang mencoba menolong bocah malang tersebut. Ah, orang kota dimana pun sama saja. Tidak mau ambil pusing dengan urusan orang lain. Batinku.
Setelah berjalan selama 15 menit, mereka
berhenti di sebuah bangunan kecil. Di depan timbunan sampah daur ulang,
bocah itu
bermukim. Nampak seorang wanita berpakaian kumal sedang duduk di depan
rumah kumuh. Kedatangan bocah kecil dan laki-laki tersebut, tidak
digubris olehnya. Pandangannya tidak beranjak dari semula. Sambil
mengayun-ayunkan tubuhnya, wanita itu terus memilin-milin rambutnya yang
kumal. Laki-laki tua itu mendorong bocah tersebut kuat-kuat hingga
membuatnya tersungkur. Bocah itu segera bangkit dan memeluk ibunya.
Wanita itu
masih saja tidak memedulikan hal yang terjadi di dekatnya. Pandangannya
kosong. Laki-laki itu berkata, "Aku tidak
akan segan memenjarakanmu jika ketahuan mencuri makanan lagi!"
hardiknya. Bocah
itu beringsut. Dia membenamkan wajah tirusnya di pangkuan ibu. Seperti
kurang puas
dengan kalimat yang berhasil membuat bocah itu ketakutan, laki-laki itu
menendang bokong bocah kecil tersebut hingga dia terguling. "Ibumu gila
setelah
bapakmu bunuh diri karena malu memiliki anak cacat sepertimu," ucapnya
sembarangan. Kemudaian dengan langkah besar-besar bapak itu beranjak dari
tempat kumuh.
Setelah laki-laki itu menghilang dari hadapan mereka, bocah itu nampak mengeluarkan sesuatu dari kantong celananya. Sekerat roti berada di tangannya kini. Secuil demi secuil disuapkannya potongan roti tersebut ke mulut ibunya. Rupanya, demi mengganjal perut keduanya, bocah itu harus mencuri makanan. Bukankah resikonya sangat besar? Bagaimana kalau ucapan bapak itu tidak main-main? Pikirku.
Deg! Aku terperanjat melihat pemandangan berikutnya. Wanita mengangkat kedua tangannya. Ditempelkannya telapak tanga tersebut di pipi bocah kecil itu. Dia menatap nanar putranya. Detik berikutnya kedua tangan perempuan itu mengusapa-usap rambut godrong putranya, ke belakang. Aku mengucek-ucek mata, berharap salah melihat. Bocah itu tidak memiliki telinga rupanya.
Selesai.
0 komentar:
Posting Komentar