ANAK SAPI
Oleh
Keyzia Chan
Ibukmu d rmhsakit. Kami brda d ruang gwt
darurat. Hpnya paman yg bw
Satu
pesan masuk ke HP-ku itu, berasal dari nomer ibu. Aku kelabakan sesaat setelah
membaca SMS tersebut. Otakku membeku. Tiba-tiba semua terasa hening. Bukan
hanya itu saja, rasanya ada kekuatan super yang mencekik leherku sehingga aku
kesulitan bernapas. Segala rasa bercampur aduk dan tertahan di hati.
Tidak berlebihan
jika aku menganggap ibu pemilik separuh jiwaku. Sayangnya, akhir-akhir ini
hubunganku dengan beliau kurang harmonis. Dan itu salahku.
Terlambat
sudah! Desisku sambil menggigit bibir kuat-kuat.
BRUK!
Lututku membentur lantai. Kotak berisi mukena yang terbungkus kertas
kado—hadiah untuk ibu, berhambur keluar dari kantong plastic.
***
“Sarapan
dulu, Ibu sudah mengambilkan sepiring nasi untukmu.”
“Nggak
usah!”
“Tapi,
nasinya sudah nggak panas seperti kemarin pagi.”
“Nggak
keburu, Bu. Lihat, tuh! Udah jam berapa?!” teriakku dari kamar.
Ibu
melenguh kesal, tapi perasaan itu ia simpan rapi dalam hati.
“Ya, sudah
kalau begitu. Bekal makan siangmu, Ibu masukkan ke dalam jok.”
Aku
mendengarnya tetapi tidak membalas kalimat terakhir dari ibu. Di kamar, aku
justru asyik membalas pesan dari sahabatku.
Sampai
kapan pun, anak tidak pernah menjadi dewasa di hadapan ibunya. Meski usianya berbilang
kepala dua. Anak tetaplah anak yang harus diurusi segala keperluannya. Kendati
sebenarnya si anak tidak ingin merepotkan ibu. Selama ini, ibu selalu turut
andil menentukan apa-apa yang akan kulakukan. Itulah sebabnya aku terlambat
dewasa.
Aku masih
ingat saat itu ketika masih duduk di bangku SD, teman-teman sering memanggilku
‘anak sapi’. Saat terik mentari membungkus kota. Aku berjalan seorang diri. Sesekali jemari kecilku mengelap pipi
yang basah. Sepanjang perjalanan pulang pikiranku masih terpusat pada ucapan
Yuna, ia teman sebangku di SD Darmawanita. Kerikil dan bebatuan kecil jalanan menjadi
pelampiasan kekesalanku. Kutendang benda-benda tersebut kencang. Sambil manyun
aku bertanya dalam hati, apa iya aku bukan anak kandung Ibu?
Sesampainya di rumah aku melempar sembarang tas sekolah itu, kemudian kubanting pintu keras-keras. Ibu yang sedang sibuk di dapur bergegas mencari tahu apa yang terjadi? Dipungutnya tas sekolah yang berada di lantai, setelah itu ia duduk di tepi ranjang. Mengetahui kedatangan ibu, aku bangun dan duduk di hadapannya. Dengan sorot mata tajam, aku yang berkepang dua—meminta penjelasan pada sesosok berparas lembut tersebut.
”Katakan sejujurnya, sebenarnya Sasi anak siapa?” ucapu sambil terisak-isak.
”Kenapa tiba-tiba bertanya seperti itu?” ibu kembali bertanya, bingung.
”Katakan saja, siapa ibu kandungku? Kata teman-teman, aku ini anak sapi.” Bibirku semakin maju. Sejurus kemudian aku kembali tengkurap di atas ranjang. Kubenamkan wajahku ke dalam bantal. Sambil mengusap kepalaku, pemilik kulit kuning itu berkata, ”Tidak ada tanduk di kepalamu.” Seulas senyum tersungging di bibirnya. ”Berarti Sasi bukan anak sapi. Bukankah sapi itu bertanduk?” tandas Ibu.
Beberapa detik berikutnya aku kembali bangkit. Tak mau kalah dengan ibu, aku pun menjelaskan asal mula munculnya pertanyaan bodoh tersebut. Kusampaikan pada ibu bahwa teman-teman menyebutku ‘anak sapi’ lantaran dari kecil tidak minum asi melainkan susu kaleng. Dan karena setiap hari aku masih disuapi, temanku bilang: Itu memalukan.
”Apanya yang memalukan?” tanya ibu akhirnya.
”Disuapi itu memalukan, apa lagi Sasi sudah SD. Mulai sekarang, Ibu jangan lagi menyuapiku,”
”Ibu akan terus melakukannya.”
”Kenapa?”
”Karena Ibu sayang dengan Sasi.”
Sesampainya di rumah aku melempar sembarang tas sekolah itu, kemudian kubanting pintu keras-keras. Ibu yang sedang sibuk di dapur bergegas mencari tahu apa yang terjadi? Dipungutnya tas sekolah yang berada di lantai, setelah itu ia duduk di tepi ranjang. Mengetahui kedatangan ibu, aku bangun dan duduk di hadapannya. Dengan sorot mata tajam, aku yang berkepang dua—meminta penjelasan pada sesosok berparas lembut tersebut.
”Katakan sejujurnya, sebenarnya Sasi anak siapa?” ucapu sambil terisak-isak.
”Kenapa tiba-tiba bertanya seperti itu?” ibu kembali bertanya, bingung.
”Katakan saja, siapa ibu kandungku? Kata teman-teman, aku ini anak sapi.” Bibirku semakin maju. Sejurus kemudian aku kembali tengkurap di atas ranjang. Kubenamkan wajahku ke dalam bantal. Sambil mengusap kepalaku, pemilik kulit kuning itu berkata, ”Tidak ada tanduk di kepalamu.” Seulas senyum tersungging di bibirnya. ”Berarti Sasi bukan anak sapi. Bukankah sapi itu bertanduk?” tandas Ibu.
Beberapa detik berikutnya aku kembali bangkit. Tak mau kalah dengan ibu, aku pun menjelaskan asal mula munculnya pertanyaan bodoh tersebut. Kusampaikan pada ibu bahwa teman-teman menyebutku ‘anak sapi’ lantaran dari kecil tidak minum asi melainkan susu kaleng. Dan karena setiap hari aku masih disuapi, temanku bilang: Itu memalukan.
”Apanya yang memalukan?” tanya ibu akhirnya.
”Disuapi itu memalukan, apa lagi Sasi sudah SD. Mulai sekarang, Ibu jangan lagi menyuapiku,”
”Ibu akan terus melakukannya.”
”Kenapa?”
”Karena Ibu sayang dengan Sasi.”
”Sampai kapan Ibu melakukannya?”
”Sampai kapan pun, selagi tangan Ibu masih bisa menyuapimu.”
”Sampai kapan pun, selagi tangan Ibu masih bisa menyuapimu.”
”Apaka Ibu meminta bayaran?”
Ibu tidak menjawab pertanyaanku. Beliau merengkuhku ke dalam dekapannya.
***
Perlahan, aku mulai membiasakan diri untuk
tidak tergantung dengan ibu. Menjadi tua adalah kepastian. Tetapi menjadi
dewasa adalah suatu pilihan. Kutipan kalimat tersebut terus mendorongku untuk
mengubah kebiasaan-kebiasaan yang tidak sepatutnya dilakukan oleh gadis berusia
20 tahun. Aku tidak lagi melibatkan ibu dalam masalah-masalah yang kuhadapi.
Aku jarang menghabiskan waktu bergelayut manja pada ibu. Kami, khususnya aku seperti
orang asing di rumah sendiri. Menyapa sekadarnya. Bicara seperlunya. Tentu saja
ibu mempertanyakan atas perubahan sikapku. Aku selalu beralasan sedang lelah
karena padatnya pekerjaan. Itu saja.
Sore itu hujan deras mengguyur kota. Sesekali
kilat membelah langit diikuti gemuruh guntur, menggelegar. Aku dalam perjalanan
pulang. Beruntung rumahku tidak jauh dari tempat kerja sehingga aku nekat
menerobos jalanan basah, waktu itu.
“Ya, ampun … kenapa nekat pulang?! Harusnya
berteduh dulu sampai hujan reda.”
Kedatanganku disambut berondongan
pertanyaan ibu. Aku tidak menjawabnya. Setelah memarkir motor, kulepas helm
kemudian menaruhnya sembarang.
“Ibu bilang, jangan lupa bawa jas hujan. Sudah tau lagi musimnya, kok ya
nggak mau nurut sama ibu ….”
Aku masih malas bicara. Kurasa ibu meracau
tidak pada tempatnya. Apa tidak bisa ditunda barang sejenak? Paling tidak,
menunggu aku selesai mandi. Gerutuku. Tidak berhenti sampai di situ, ibu masih
saja bicara panjang lebar.
“Lihat! Gara-gara ini, jas hujannya nggak
muat ditaruh dalam jok,” ucapku mengkal. Kusodorkan kotak tempat makan itu. Dan
aku baru sadar hari ini isinya belum aku sentuh sama sekali.
“Loh, kok masih berat? Kamu nggak
memakannya? Kenapa? Lagi kurang enak badan, atau banyak pekerjaan sehingga
nggak sempat makan, Nak?”
“Cukup, Bu! Bisa nggak, ngomelnya nanti
aja. Aku nggak lagi sakit. Biasanya, makanan itu kuberikan sama temanku,”
ujarku lirih. Tetapi ternyata, ibu mendengarnya. Ibu tertunduk memegangi tempat
makan itu. Entahlah, mungkin beliu menangis. Aku terlanjur kesal sampai-sampai
aku mengabaikannya.
***
Hari-hari berikutnya, ibu tidak lagi ribut
soal bekal makan. Ibu masih menyiapkan sarapan untukku. Bedanya, ibu tidak lagi
berteriak menyuruhku segera sarapan. Teman, pernahkah kalian merasakan hal
ini? Sesuatu yang sempat kita benci, suatu saat akan menghandirkan aroma rindu
yang membuncah. Aku sering mengalaminya. Seperti sekarang ini. Aku merindukan
kotak makanku—isinya dan ….
Bukan hanya kehilangan bekal makan, tetapi
lebih dari itu. Sepertinya, ibu juga sering terlihat murung. Tidak lagi banyak
bicara tentang ini itu. Ini tidak bisa dibiarkan. Aku berkata dalam hati.
Segala cara telah aku lakukan untuk mengembalikan keadaan seperti dulu. Namun belum
menunjukkan adanya perubahan.
Aku
mendengar deru mesin mobil berhenti di halaman rumah. Tangisku meledak. Kuambil
kado itu lalu memasukkanya ke dalam plastic. Aku berusaha bangkit, tapi kakiku
seperti terpatri dengan lantai. Ini kiamat kecil. Ya, aku merutuki diriku yang
telah menyia-nyiakan kasih sayang ibu.Tangisku semakin menjadi-jadi.
“Sasiii …! Apa yang terjadi, Nak …?”
Serta merta mataku terbelalak. Kupertajam
pendengaranku. Apa aku berhalusinasi? Ibu tergopoh menghampiriku, diikuti
paman, bibi, serta nenek. Mereka baru saja menjenguk saudara yang tengah di rawat
di rumah sakit.
Selesai
Taipe, 3 Oktober 2014
0 komentar:
Posting Komentar