Minggu, 05 Oktober 2014

Diposting oleh Rumah Kopi di 11.19

                        ANAK SAPI
                                                                      
                              Oleh
                               
                       Keyzia Chan

     Ibukmu d rmhsakit. Kami brda d ruang gwt darurat. Hpnya paman yg bw

     Satu pesan masuk ke HP-ku itu, berasal dari nomer ibu. Aku kelabakan sesaat setelah membaca SMS tersebut. Otakku membeku. Tiba-tiba semua terasa hening. Bukan hanya itu saja, rasanya ada kekuatan super yang mencekik leherku sehingga aku kesulitan bernapas. Segala rasa  bercampur aduk dan tertahan di hati. 
 
     Tidak berlebihan jika aku menganggap ibu pemilik separuh jiwaku. Sayangnya, akhir-akhir ini hubunganku dengan beliau kurang harmonis. Dan itu salahku.

     Terlambat sudah! Desisku sambil menggigit bibir kuat-kuat.
     BRUK! Lututku membentur lantai. Kotak berisi mukena yang terbungkus kertas kado—hadiah untuk ibu, berhambur keluar dari kantong plastic.
                                                                     ***
     “Sarapan dulu, Ibu sudah mengambilkan sepiring nasi untukmu.”
     “Nggak usah!”
     “Tapi, nasinya sudah nggak panas seperti kemarin pagi.”
     “Nggak keburu, Bu. Lihat, tuh! Udah jam berapa?!” teriakku dari kamar.
     Ibu melenguh kesal, tapi perasaan itu ia simpan rapi dalam hati.
     “Ya, sudah kalau begitu. Bekal makan siangmu, Ibu masukkan ke dalam jok.”

     Aku mendengarnya tetapi tidak membalas kalimat terakhir dari ibu. Di kamar, aku justru asyik membalas pesan dari sahabatku.

     Sampai kapan pun, anak tidak pernah menjadi dewasa di hadapan ibunya. Meski usianya berbilang kepala dua. Anak tetaplah anak yang harus diurusi segala keperluannya. Kendati sebenarnya si anak tidak ingin merepotkan ibu. Selama ini, ibu selalu turut andil menentukan apa-apa yang akan kulakukan. Itulah sebabnya aku terlambat dewasa.

    Aku masih ingat saat itu ketika masih duduk di bangku SD, teman-teman sering memanggilku ‘anak sapi’. Saat terik mentari membungkus kota. Aku berjalan seorang diri. STBottom oBesekali jemari kecilku mengelap pipi yang basah. Sepanjang perjalanan pulang pikiranku masih terpusat pada ucapan Yuna, ia teman sebangku di SD Darmawanita. Kerikil dan bebatuan kecil jalanan menjadi pelampiasan kekesalanku. Kutendang benda-benda tersebut kencang. Sambil manyun aku bertanya dalam hati, apa iya aku bukan anak kandung Ibu?

     Sesampainya di rumah aku melempar sembarang tas sekolah itu, kemudian kubanting pintu keras-keras. Ibu yang sedang sibuk di dapur bergegas mencari tahu apa yang terjadi?  Dipungutnya tas sekolah yang berada di lantai, setelah itu ia duduk di tepi ranjang. Mengetahui kedatangan ibu, aku bangun dan duduk di hadapannya. Dengan sorot mata tajam, aku yang berkepang dua—meminta penjelasan pada sesosok berparas lembut tersebut.

     ”Katakan sejujurnya, sebenarnya Sasi anak siapa?” ucapu sambil terisak-isak.

     ”Kenapa tiba-tiba bertanya seperti itu?” ibu kembali bertanya, bingung.

     ”Katakan saja, siapa ibu kandungku? Kata teman-teman, aku ini anak sapi.” Bibirku semakin maju. Sejurus kemudian aku kembali tengkurap di atas ranjang. Kubenamkan wajahku ke dalam bantal. Sambil mengusap kepalaku, pemilik kulit kuning itu berkata, ”Tidak ada tanduk di kepalamu.” Seulas senyum tersungging di bibirnya. ”Berarti Sasi bukan anak sapi. Bukankah sapi itu bertanduk?” tandas Ibu.

     Beberapa detik berikutnya aku kembali bangkit. Tak mau kalah dengan ibu, aku pun menjelaskan asal mula munculnya pertanyaan bodoh tersebut. Kusampaikan pada ibu bahwa teman-teman menyebutku ‘anak sapi’ lantaran dari kecil tidak minum asi melainkan susu kaleng. Dan karena setiap hari aku masih disuapi, temanku bilang: Itu memalukan.

     ”Apanya yang memalukan?” tanya ibu akhirnya.

     ”Disuapi itu memalukan, apa lagi Sasi sudah SD. Mulai sekarang, Ibu jangan lagi menyuapiku,”

     ”Ibu akan terus melakukannya.”

     ”Kenapa?”

     ”Karena Ibu sayang dengan Sasi.”

     ”Sampai kapan Ibu melakukannya?”

     ”Sampai kapan pun, selagi tangan Ibu masih bisa menyuapimu.”

     ”Apaka Ibu meminta bayaran?” 

     Ibu tidak menjawab pertanyaanku. Beliau merengkuhku ke dalam dekapannya.

                                                                       ***
     Perlahan, aku mulai membiasakan diri untuk tidak tergantung dengan ibu. Menjadi tua adalah kepastian. Tetapi menjadi dewasa adalah suatu pilihan. Kutipan kalimat tersebut terus mendorongku untuk mengubah kebiasaan-kebiasaan yang tidak sepatutnya dilakukan oleh gadis berusia 20 tahun. Aku tidak lagi melibatkan ibu dalam masalah-masalah yang kuhadapi. Aku jarang menghabiskan waktu bergelayut manja pada ibu. Kami, khususnya aku seperti orang asing di rumah sendiri. Menyapa sekadarnya. Bicara seperlunya. Tentu saja ibu mempertanyakan atas perubahan sikapku. Aku selalu beralasan sedang lelah karena padatnya pekerjaan. Itu saja.

     Sore itu hujan deras mengguyur kota. Sesekali kilat membelah langit diikuti gemuruh guntur, menggelegar. Aku dalam perjalanan pulang. Beruntung rumahku tidak jauh dari tempat kerja sehingga aku nekat menerobos jalanan basah, waktu itu.

    “Ya, ampun … kenapa nekat pulang?! Harusnya berteduh dulu sampai hujan reda.”

     Kedatanganku disambut berondongan pertanyaan ibu. Aku tidak menjawabnya. Setelah memarkir motor, kulepas helm kemudian menaruhnya sembarang.

  “Ibu bilang, jangan lupa bawa jas hujan. Sudah tau lagi musimnya, kok ya nggak mau nurut sama ibu ….”
     Aku masih malas bicara. Kurasa ibu meracau tidak pada tempatnya. Apa tidak bisa ditunda barang sejenak? Paling tidak, menunggu aku selesai mandi. Gerutuku. Tidak berhenti sampai di situ, ibu masih saja bicara panjang lebar.

     “Lihat! Gara-gara ini, jas hujannya nggak muat ditaruh dalam jok,” ucapku mengkal. Kusodorkan kotak tempat makan itu. Dan aku baru sadar hari ini isinya belum aku sentuh sama sekali.

     “Loh, kok masih berat? Kamu nggak memakannya? Kenapa? Lagi kurang enak badan, atau banyak pekerjaan sehingga nggak sempat makan, Nak?”

     “Cukup, Bu! Bisa nggak, ngomelnya nanti aja. Aku nggak lagi sakit. Biasanya, makanan itu kuberikan sama temanku,” ujarku lirih. Tetapi ternyata, ibu mendengarnya. Ibu tertunduk memegangi tempat makan itu. Entahlah, mungkin beliu menangis. Aku terlanjur kesal sampai-sampai aku mengabaikannya.

                                                                       ***

     Hari-hari berikutnya, ibu tidak lagi ribut soal bekal makan. Ibu masih menyiapkan sarapan untukku. Bedanya, ibu tidak lagi berteriak menyuruhku segera sarapan. Teman, pernahkah kalian merasakan hal ini? Sesuatu yang sempat kita benci, suatu saat akan menghandirkan aroma rindu yang membuncah. Aku sering mengalaminya. Seperti sekarang ini. Aku merindukan kotak makanku—isinya dan ….

     Bukan hanya kehilangan bekal makan, tetapi lebih dari itu. Sepertinya, ibu juga sering terlihat murung. Tidak lagi banyak bicara tentang ini itu. Ini tidak bisa dibiarkan. Aku berkata dalam hati. Segala cara telah aku lakukan untuk mengembalikan keadaan seperti dulu. Namun belum menunjukkan adanya perubahan.

     Aku mendengar deru mesin mobil berhenti di halaman rumah. Tangisku meledak. Kuambil kado itu lalu memasukkanya ke dalam plastic. Aku berusaha bangkit, tapi kakiku seperti terpatri dengan lantai. Ini kiamat kecil. Ya, aku merutuki diriku yang telah menyia-nyiakan kasih sayang ibu.Tangisku semakin menjadi-jadi.

     “Sasiii …! Apa yang terjadi, Nak …?”
     Serta merta mataku terbelalak. Kupertajam pendengaranku. Apa aku berhalusinasi? Ibu tergopoh menghampiriku, diikuti paman, bibi, serta nenek. Mereka baru saja menjenguk saudara yang tengah di rawat di rumah sakit.

Selesai


Taipe, 3 Oktober 2014

0 komentar:

Posting Komentar

 

Rumah Kopi Copyright © 2010 Design by Ipietoon Blogger Template Graphic from Enakei | web hosting