Aku sadar, ini adalah pilihan yang sudah kita sepakati. Tetapi, ketika berpamit padaku untuk pergi, kamu lupa mengajarkanku bagaimana caranya menanggulangi perasaan rindu yang menyiksa ini.
Aku pun tahu, setiap pilihan ada konsekuensinya. Namun, apakah harus sesakit ini menahan ngilu ketika aku merindukan kehadiranmu di sini! Ternyata, suara dan berbagai sapaan mesra bukanlah mantra hebat pengusir rindu. Kamu paham ini kan?
Demi Tuhan, kenapa aku menjadi sebedebah ini? Selemah ini? Bukankah ada hal-hal yang terlebih dulu mesti diselesaikan, sebelum akhirnya kita menghabiskan sisa usia yang masih dimiliki, bersama-sama.
Tolong ingatkan kembali, bahwa kita adalah sepasang kekasih yang harus berpisah, lalu masing-masing kalis pada roda kehidupan. Iya, kita adalah tumbal-tumbal penggerak roda kehidupan. Kita tidak boleh mati sebelum tanggung jawab kita terhadap orangtua, rampung. Senyum mereka di usia yang kian senja, lebih dari sekadar penting daripada kebersamaan kita saat ini.
Aku tidak harus menitipkan salam pada angin, pada rintik hujan, pada gelap yang membungkus malam, supaya kamu tahu bahwa di sini aku merindukanmu setiap waktu. Tidak. Aku tidak perlu melakukan itu karena disana, kamu juga merasai apa yang saat ini aku alami.
Kita tidak boleh menyerah pada lembar-lembar buku kehidupan, yang mana pada bagian itu, tertulis jelas saat ini adalah mustahil bagi kita bersenang-senang sementara, kedua orangtua kita menjerit menahan himpitan beban. Aku sadar itu.
Menghitung hari demi hari, dimana kita akan kembali dipertemukan. Mengkalkulasi sudah berapa banyak hutang rindu yang harus dilunasi, juga tidak lupa menghitung berapa sering kita hanyut dalam pertengkaran dan caci maki?
0 komentar:
Posting Komentar