MIE
KUAH AJAIB
Oleh
Keyzia Chan
Menangis sampai bola mataku keluar
sekalipun tidak akan mengubah keadaan. Yang ada dalam pikiranku saat ini, dari
mana aku bisa mendapatkan uang 79 juta dalam kurun waktu sehari semalam? Aku
sudah berusaha menghubungi segenap kerabat yang ada. Hasilnya nihil. Sambil
mengusap air mata, kupandangi selembar kertas yang diberikan suster sore tadi.
*
“Pencuri! Kembalikan obat-obatan itu!”
Teriakan yang semula terdengar samar-samar tersebut kian jelas, kini. Ayah
menghentikan aktivitasnya. Sekonyong berjalan ke luar dari kedai mie, siang
itu. Aku mengekor ayah yang berpawakan kurus tersebut. Dari jarak yang tidak
jauh tempatku berdiri, nampak bocah laki-laki dengan kepala pelontos berjalan
mundur—keluar dari apotik. Di tangan bocah yang usianya terpaut beberapa tahun
di atasku tersebut, terdapat sebotol obat serta beberapa lembar pil yang akan
ia bawa begitu saja tanpa menukarnya dengan sejumlah uang. Wanita pemilik
apotik terus menceracau. Tak ketinggalan tangannya menjorok-jorokkan kepala
bocah sesaat setelah mengambil paksa barang dagangannya yang hampir berpindah
tangan.
“Tunggu dulu!” teriak Ayah mencoba
melerai. Raut muka ibu berambut keriting tersebut nampak berang. Sementara
bocah itu terus menekuk wajahnya. Dari informasi yang disampaikan bocah itu,
ayah mengetahui bahwa ibu si bocah sedang sakit. Tanpa bicara banyak, ayah
merogoh kantong celananya. Mengeluarkan beberapa lembar uang. Tentu saja beliau
berniat membayar sejumlah obat itu.
“Sayang, bawakan sebungkus mie kuah
kemari. Cepat!” perintah ayah.
Mulutku sedikit maju. Jelas aku kesal.
Sudah tahu bocah itu berniat mencuri, ayah memperlakukaannya dengan baik.
Entahlah! Aku tidak tahu apa yang ada dalam pikiran ayah waktu itu. Bagiku
pencuri tetaplah pencuri apapun alasannya kejahatan tidak bisa dibiarkan begitu
saja. Tetapi, apa yang bisa aku lakukan? Tentu saja aku tak berani menentang
beliau.
Ayah memasukkan obat-obatan tersebut ke
dalam kantong plastic yang terdapat sebungkus mie kuah di dalamnya. Detik
berikutnya, bocah itu mengangkat wajahnya. Menatap ayahku lekat-lekat. Setelah
menyambar barang yang diberikan padanya—ia lari tunggang langgang tanpa
mengucapkan terima kasih. Aku semakin kesal melihatnya. Ayah merangkulku. Kami
berdua berjalan beriringan kembali melanjutkan aktivitas siang itu.
*
Matahari
bersinar terik. Lalu lalang kendaraan, serta pejalan kaki yang melintas di
depan kedai mie menimbulkan suara gaduh. Sesekali ayah terlihat mengusap peluh
yang sedari tadi menetes—menggunakan handuk kecil yang menggantung di lehernya.
Kedai mie yang dirilis ayah sejak beberapa puluh tahun lalu memang berada di
tengah pasar. Tak ayal tempat kami senantiasa ramai pembeli.
“Ayah!” Aku memanggil beliau setengah
berteriak sedetik setelah mataku memelototi siapa yang datang ke kedai kami
siang itu. Ya, siang kesekian kalinya setelah kejadian beberapa waktu silam.
Tahun demi tahun terus berlalu. Aku beranjak dewasa. Rambut ayahku kini sudah
dipenuhi uban. Tubuh kurusnya semakin ringkih saja. Segala hal telah berubah.
Tetapi kebiasaan baik ayah tidak pernah berganti.
“Ini makan siangmu. Pergilah!” ujar ayah
pada pengemis yang bertandang ke kedai kami. Di sela-sela kesibukannya melayani
pembeli, ayah yang berkulit coklat tua tersebut masih saja memedulikan
pengunjung yang seperti itu. Tentu saja makanan tersebut, ayah berikan secara
cuma-cuma. Aku sempat berpikir, mungkin hal inilah yang membuat usaha milik
keluarga tidak pernah berkembang. Dalam benakku terbersit jawaban penyebab ibu
meninggalkan kami sejak aku masih kecil. Bagi ayah, yang terpenting kami tidak
kekurangan makan. Sedangkan berbagi dengan orang yang membutuhkan merupakan
bagian hidup yang tidak boleh ditinggalkan. Mungkin saja waktu itu, ibu
menganggap ayah berlebihan. Mengingat kondisi keuangan keluarga hanya
pas-pasan.
Aku melanjutkan aktivitas. Kuhela napas
kasar sambil mencuci piring serta gelas kotor yang ada di hadapanku. Bunyi
gedebum diikuti suara benda-benda yang berjatuhan membuat perhatianku beralih, cepat. Detik itu
juga kupalingkan wajah ke arah sumber suara. Mulutku terbuka lebar. Mataku
terbelalak. Kulempar sembarang benda yang aku pegang tadi. Gegas aku mengampiri
ayah yang tengah terkapar di lantai.
Sesampainya di rumah sakit, dokter yang
menangani kasus ayah menyampaikan bahwa kondisi beliau kritis. Harus segera
dilakukan operasi. Aku menuruti apa yang dokter sampaikan kendati tidak
memiliki sejumlah uang untuk biaya operasi yang tentu saja jumlahnya cukup
besar. Yang ada dalam hati, aku harus melakukan sesuatu yang terbaik untuk
ayah. Sesaat setelah selesai membahas hal tersebut, dokter kembali bertandang
ke ruangan di mana ayah di rawat. Dokter tersebut seperti berusaha mengingat
sesuatu ketika sorot matanya menelusup ke wajah yang tengah tak sadarkan diri
tersebut.
Aku satu-satunya keluarga yang ayah
miliki. Sehingga dapt dipastikan tidak ada seseorang pun yang bisa kuajak
berbicara mengenai perihal yang terjadi pada beliau. Ditengah kemelut yang
sedang menyelimutiku, saat aku dipaksa memikirkan masalah beserta solusinya
dalam jeda waktu 24 jam, waktu menatap tubuh ayah yang terbaring tak sadarkan
diri dengan belalai infuse di sebelahnya, serta alat bantu pernapasan yang
bertengger di sebagian wajah
beliau—tidak ada pilihan lain aku harus menjual rumah kami secepatnya. Rumah
sekaligus kedai mie milik keluarga.
Bangsal rumah sakit nampak sepi ketika
kakiku melangkah meninggalkan ruangan di mana ayah di rawat. Terlihat beberapa
suster yang bertugas jaga malam, tengah sibuk keluar-masuk kamar pasien. Malam
kian tua. Aku memutuskan untuk pulang mempersiapkan sertifikat rumah. Tak ada
kendaraan umum yang beroperasi di malam hari selain tukang ojek dan becak. Lagi
pula tidak tersisa sepeser uang pun, maka aku putuskan untuk berjalan kaki.
Jarak antara rumah sakit dengan tempat tinggalku, lumayan jauh. Dan di
antaranya terdapat bulak yang konon rawan terjadi tindak kriminal di sana. Aku
sudah tidak peduli apapun kecuali melakukan sesuatu demi kelangsungan hidup
ayah.
*
Hampir lima jam segenap tim dokter tengah
berjuang menyelamatkan nyawa ayah, malam itu. Aku terus mondar-mandir menungguinya
di luar. Mulutku komat-kamit merapal doa. Doa supaya nyawa ayah tertolong. Doa
supaya rumah kami segera terjual. Keringat dingin membanjiri tubuhku. Sementara
air mataku seperti tak pernah kehabisan stok. Terus dan terus mengucur deras.
Degub jantungku kian tak beraturan. Kuremas jemariku yang juga berkeingat. Sesekali
menggigitnya untuk mengalihkan rasa gelisah yang hampir tidak dapat kukuasai.
Tak kurang dari tujuh jam, peralatan medis
menjelajah bagian tubuh ayah yang dibedah. Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa,
operasi itu berhasil. Ayah masih tidak sadarkan diri. Namun, masa kritisnya
sudah lewat. Kubenamkan wajahku di samping ayah berbaring. Jiwa serta ragaku
lelah. Doa terus kurapal karena bagaimanapun rumah belum terjual.
Tak tanggung-tanggung pagi itu sinar
mentari begitu semangat memamerkan pesona kehangatannya. Aku yang terlelap di
samping ayah, terjaga oleh getaran HP yang kutaruh di di sebelah. Satu pesan
masuk tertulis di layarnya. Ck.
Kuhela napas berat. Sms itu mengabarkan bahwa orang yang kemarin menawar rumah
kami, mengurungkan niatnya. Tubuhku lemas seketika.
Aku menaruh HP itu. Mengusap wajah dengan ke dua tangan.
Tunggu dulu. Kata hatiku sesaat setelah mendapati keberadaan selembar kertas.
Ya, di sebelah ayah berbaring, terdapat secarik kertas. Aku gegas menyambarnya.
Di atasnya tertulis seluruh biaya operasi serta perawatan ayah, lunas. Adalah
dokter yang bertanggung jawab menangani kasus ayah tersebut, orang yang berbaik
hati menanggung segala urusan kami. Di atas surat itu juga tertulis, segenap
ucapan terima kasih atas kebaikan yang telah ayah lakukan 30 tahun silam. Tentang
sejumlah obat-obtan serta sebungkus mie kuah yang pernah diberikan padanya.
Aku baru menyadari bahwa hidup adalah
serangkaian sebab akibat yang terus berkesinambungan. Mie kuah yang ayah
berikan secara cuma-cuma pada siapa pun yang tidak mampu membeli, memang ajaib.
Di sana terselip doa yang baik bagi pemberinya yang tidak pernah mengharap apa-apa.
Tak terkecuali ucapan terima kasih.
Selesai
0 komentar:
Posting Komentar