Kamis, 09 Oktober 2014

ARTI SAHABAT

Diposting oleh Rumah Kopi di 13.17
ARTI SAHABAT

Oleh Keyzia Chan

Aku pernah dijukuki bunglon, tapi aku tidak merasa sedih atau semacamnya. Bukannya sok polos! Entahlah, yang jelas aku enjoy saja dengan julukan itu. Mereka pikir itu lelucon yang jika digunjingkan berjamaah, bisa mendatangkan gelak tawa nan meriah. Bagiku julukan tersebut justru mempertegas seberapa besar ketulusan yang aku miliki. Demi menciptakan pelangi di hari-harimu.


Waktu itu, kupecahkan celengan jago yang belum lama aku beli dari pasar loak. Bisa kaubayangkan bahwa berat benda tersebut belum bertambah dengan seberapa? Aku tidak peduli itu. Setelah celengan kubanting, tentu saja pecahannya beserta kepingan uang logam berserakan di lantai. Ibu yang mendengar suara gaduh dari kamarku, lekas menghambur menghampiri. 
Kepalanya menyembul di balik pintu seraya bertanya penasaran, ”Apa yang akan kaulakukan dengan uang itu, Nak?”

“Aku akan menggunakannya untuk hal penting, Ibu.”

”Tentu saja Ibu tahu itu. Tetapi, adakah hal luar biasa hendak kaubeli dengan tabungan yang masih sedikit itu? Kenapa kau tak menyampaikan pada ibu, perihal keinginanmu itu!”

Aku berhenti memunguti uang logam tersebut. Setelah menghela napas lemah, kusampaikan niatku pada ibu, “Uang ini bukan untuk membeli sesuatu yang aku inginkan. Lebih dari itu. Aku sangat membutuhkannya. Demi seseorang yang jika tanpa kehadiranku, setiap detik di hidupnya akan terasa hampa.“ Saat aku menatap wajah ayunya, kedua alis ibu saling bertaut. Pastilah ibu menduga, bahwa putrinya sedang jatuh cinta.


“Ibu, tahukah engkau di mana aku bisa membeli sekotak senyum?” Mata ibu membola. Satu detik, dua detik, dan hingga detik kesekian ia terdiam.
”Ayolah, aku sangat membutuhkannya. Sekali lagi, demi seseorang yang sangat penting,” ujarku merajuk. Melihat ekspresi ibu yang datar, segera kukibaskan tangan kananku lalu berkata, ”Aih ... Janganlah Ibu bersedih karena tak ada yang mampu menggeser ke dudukanmu di hatiku. I love you, Ibu.” Aku pun terkekeh di akhir kalimat itu.


Ibu melangkah pelan kemudian duduk di tepi ranjang. Rasa penasaran tersirat di raut wajahnya.
“Kemarilah, Nak,” perintahnya sambil menepuk-nepuk tepi ranjang di sebelahnya.

”Kautidak bisa membeli senyum. Bukan karena jumlah uangmu yang sedikit itu. 

Tetapi, di dunia ini tak seorang pun mampu membelinya. Senyum itu memperkaya mereka yang menerimanya. Dia terjadi begitu cepat namun kenangan tentangnya kadang-kadang bisa bertahan selamanya. Tidak seorang pun meski kaya, bisa bertahan tanpa dia. Dia memberi istirahat untuk rasa lelah, sinar terang untuk rasa putus asa. Sinar mentari bagi kesedihan dan penangkal alam bagi kesulitan.”

”Lantas, di mana aku bisa membelinya, Ibu. Lekas katakan ....”

”Yang harus kautahu, Nak ..., senyum itu tidak bisa dibeli, dimohon, dipinjam, atau dicuri karena dia adalah sesuatu yang tidak berguna sebelum diberikan pada orang lain.”

Mendengar penjelasan itu, aku tertunduk lesu. Bagaimana ini? Semangatku tiba-tiba lenyap. Oh, ibu! Adakah yang bisa kulakukan demi seulas senyum ceria untuknya. Demi yang selalu menyebutku bunglon itu. Bisikku lirih.
Terkadang, di depan sahabat manusia tidak memiliki warna spesifik. Bukan! Bukan karena plin-plan. Bukan pula karena tidak memiliki karakter kuat sehingga tidak mampu mempengaruhi. Aku tidak memiliki satu warna saja. Tetapi lebih dari itu, tentu saja padaku ada sejuta warna. 

Sahabat, demi dirimu aku bisa menjadi apa saja. Aku menangis saat kauterluka. Aku bahagia ketika kaubahagia. Aku tidak pandai berjanji, layaknya mentari yang selalu muncul di ufuk timur setiap paginya. Hanya saja, selama kaumasih membutuhkan diriku, aku akan hadir seperti mentari itu--menghangatkanmu. Semampuku.


“Kaujangan murung begitu, Nak. Meskipun tidak bisa dibeli, bukankah senyum itu bisa diciptakan? Kaubisa bercerita tentang suatu hal yang lucu pada seseorang yang kauanggap penting itu. Kau juga bisa mengajaknya untuk refreshing sebentar supaya suasana hatinya jernih kembali. Atau, lakukan apa saja sekiranya bisa menciptakan garis lengkung sempurna demi dia,” ujar ibu mencoba menyemangatiku. 

”Oh, Ibu. Aku sayang padamu!” Senyumku mengembang. Mataku berbinar-binar. Semangat yang sempat lenyap bebarapa saat, kini telah hadir kembali.


Selesai

0 komentar:

Posting Komentar

 

Rumah Kopi Copyright © 2010 Design by Ipietoon Blogger Template Graphic from Enakei | web hosting