Jumat, 30 Mei 2014

SEPOHON KAYU

Diposting oleh Rumah Kopi di 12.05
Oleh,

Keyzia Chan

Yang harus kau lakukan adalah, bersiap kehilangan. Hal itu tidak bisa dipungkiri karena dalam suatu pengharapan pasti akan ada kekecewaan. Jangan menyalahkan aku jika suatu hari ketika aku tak lagi mencarimu dengan linang air mata di pipi, atau ketika kepalaku sedang dikelilingi oleh ribuan lebah yang mendengung membuatku bingung, aku takkan lagi berlari ke arahmu. Tidak.
Aku bukan saja ingin berjalan di bawah rinai hujan deras dengan kepala tertunduk serta air mata berderaian yang kubiarkan jatuh bersama rerintik itu. Aku ingin merangkak saja. Menunduk dalam-dalam menyembunyikan getir ini dibalik rambut panjangku yang menjuntai. Bersamaan dengan itu, ujung-ujung air kiriman dari langit kubiarkan membasuh luka-luka yang telah lama aku bawa dari dataran ber-mil jauhnya sampai ke negri ini.
Tempat baru belum tentu menyuguhkan cerita yang berbeda. Sungguh.

Aku merindukan rindu. Saat kuketuk setiap pintu yang kukira bisa menampungku untuk tinggal di sana, lagi-lagi aku harus menelan rasa pahit atas kenyataan itu. Deretan rumah yang berjejer di tepi sebuah kanal, pada bangunan kokoh yang terlihat memesona itu, aku tak mendapati apa yang aku cari selama ini. Salah satu pintu rumah terbuka lebar. Aku dipersilahkan masuk, tetapi tidak untuk menetap kemudian menua di sana. Pemilik rumah itu mungkin saja ia iba terhadapku. Atau ia hanya berniat bersenang-senang, barangkali. 


Oleh karena itu aku berpikir bahwa, jika hidup sering memaksaku untuk berdamai dengan apa pun, kali ini aku menginginkan sebaliknya. Aku mencoba menentang alam. Kukira aku bisa meskipun sayatan demi sayatan telah kudapatkan, sedikit pun tak ada keinginan untuk mundur, kala itu. Aku berdiri lalu memutuskan untuk melangkah--antara berani atau tidak. Antara yakin atau tidak. Akhirnya aku pun menyerah setelah memutuskan untuk maju. 


Bukan kalah. Tidak juga berputus asa. Tetapi lebih dari itu semua aku berniat membebaskan hati dari kutukan penderitaan atas keinginanku sendiri yang tak segera kudapatkan. Hatiku layak mendapatkan tempat yang terbaik.


Semenjak itu aku kembali pada rute yang sudah kupersiapkan sebelumnya. Sewaktu melenggang di atas jalan setapak menuju tempat yang sebenarnya aku sendiri tidak tahu berada di mana itu, ketika satu persatu luka sejenak dapat kulupakan, waktu aku kembali berniat menata hidup mencari jati diri bukan hanya pencitraan semata, di situ aku menemukanmu. Kau kusebut rumah. Karena kemana pun aku pergi padamu aku kembali. Bangunan minimalis, modern. Itu lah yang nampak pertama kali. Mungkin belum lama didirikan. Rumah itu.


Dari luar terlihat cukup teduh. Menarik untuk sebuah hunian. Memaksaku berhenti kemudian melihat-lihat setiap ruangan yang terdapat di sana. Tanpa sadar aku terlelap. Nyaman sekali. Itulah awalnya. Karena kauterus meyakinkan aku untuk tinggal, lambat laun aku pun luluh juga. Sejenak lupa dengan tujuanku sebelumnya. Mencari jati diri. Membangun mimpi. 


Tetapi ada kalanya rumah itu seperti asing bagiku meskipun aku sudah lama tinggal di sana. Bangunan minimalis modern yang dulu menggemaskan itu, membuatku tidak betah, kini. Suatu ketika aku mendapati rumah dalam keadaan terang benderang. Dengan pencahayaan seperti itu mengisyaratkan bahwa penghuninya belum beranjak keperaduan. Aku berada di luar kala itu. Tubuhku basah kuyup. Aku ... Aku ..., tentu saja menggigil kedinginan saat hujan kembali menampar-nampar wajahku. Menghujam tubuhku. Aku butuh perlindungan di rumah itu, tetapi justru kau (rumah) tak segera membukakan pintu untukku. Kau membiarkan aku sendirian di luar. 


Aku mengutukimu. Merutuki kesialanku. Menyalahkan semua-muanya. Aku berteriak tapi suaraku tertahan. Aku meronta namun sejatinya anggota tubuhku tak dapat bergerak. Aku limbung. Hilang dan tenggelam dalam dendam purba. Kesedihan dan penderitaan  menganak pinak yang justru dari situ lahirlah jiwa baru. 


Aku menjelma menjadi sebatang pohon. Aku lah pohon itu. Dahan, ranting, dedaunan rindang--siap memberi perlindungan pada siapa saja yang membutuhkanku. Aku lah pohon itu. Dimana meskipun angin, hujan, terik mentari silih berganti menerpa, aku tetap berdiri kokoh di sana. Aku lah pohon itu yang jika kau memotong dahan atau ranting untuk kau jadikan api unggun demi menghangatkan seluruh penghuni rumahmu, aku rela melakukannya. Aku meminta upah? Tentu saja. Tetapi jangan khawatir, aku tak akan memepersulitmu. Cukup kirimi aku secarik doa yang kau rapal setiap saat ketika mengingatku. Upahi aku dengan seulas senyum. Senyum tulus luapan kegembiraan dan akulah yang mendatangkan kegembiraan itu.


Aku tidak butuh siapa-siapa untuk menggantungkan nasibku, kini. Aku hanya perlu berdiri pada pijakan yang kuat supaya akar-akarku bebas menjalar. Di mana ada pengharapan, aku akan hidup dan bertahan. Sebaiknya kusimpan perasaanku ini. Tentang pahit yang kusulap menjadi manis, di situ mungkin mereka melihatku sedang berpura-pura. Mencari pencitraan baik. Ya sudah jika sepicik itu pikiran kalian aku hanya turut prihatin saja. Tetap berbuat seperti biasa karena kebahagiaanku ada di dalamnya. Berbuat yang begitu untuk berinvestasi karena kelak aku membutuhkannya. Aku berjudi. Memasang taruhan dengan harapan mendapat hadiah besar yang datangnya dari Tuhan.

Aku sepohon kayu. Dan kau rumah. Rumah tetap membutuhkan kayu. Tapi pohon tidak butuh rumah. Dia tentu saja hidup liar di alam terbuka. Kau dan alam yang memaksaku menjadi seperti ini. Aku sepohon kayu, kini.


Taipe, 31 Mei 2014

1 komentar:

Aneki on 21 Juni 2014 pukul 18.16 mengatakan...

Si kodok menjelma menjadi pohon,, pohon toge :P ckckck :D

Posting Komentar

 

Rumah Kopi Copyright © 2010 Design by Ipietoon Blogger Template Graphic from Enakei | web hosting