Senin, 26 Mei 2014

Takaran

Diposting oleh Rumah Kopi di 20.21
Oleh,
Keyzia Chan
Aku tidak ingat, umur berapa waktu itu. Yang jelas pertanyaan konyol tersebut, hingga kini masih bertengger dalam benakku. Pertanyaan yang menyakitkan, barangkali. Sampai-sampai menciptakan sungai kembar mengalir sejajar di pipi tirus ibuku.
”Bu, kenapa ya, ketiga paman dari keluarga Ibu, semuanya kaya. Hidupnya serba berkecukupan. Padahal mereka terlahir jauh sesudah ibu tumbuh menjadi bocah. Berarti, ibu berjuang lebih lama dari pada mereka. Tapi, justru mereka lebih mapan. Lihatlah, Paman Agus sudah menyandang gelar Haji, begitu juga istrinya. Bulek Is yang masih berusia 38 tahun, sudah menjadi Hajah.” Waktu itu, ibu seperti tidak menggubris ocehanku. Beliau tetap fokus dengan baju lusuh, benang dan jarum. Baju yang sudah tidak layak pakai itu sayang untuk dibuang, katanya. Jika mau sedikit bersusah payah menjahitnya, maka daster ini akan menjadi baju tidur ternyaman. Adem.
Saat itu memang sedang musim hujan. Malam ketika gerombolan awan membungkus desa kecil kami, udara panas bisa disisasati dengan mengenakan pakaian yang bahannya tipis, lentur. Dan daster lama yang ada di tangan ibu itu, memang berguna di saat yang tepat.
Aku duduk di dingklik, tanganku memegang pensil. Buku-buku berserakan di atas meja, ruang tamu. Derik jangkrik serta suara serangga kecil lainnya, menjadi begraound suasana selepas magrib waktu itu. Kami hanya bertiga. Adikku tertidur pulas setelah minum asi. Untunglah produksi asi ibu lancar. Jika tidak, celakalah satu keluarga jika ibu harus mengalihkan jatah belanja untuk membeli susu formula.
Bapak yang menjadi seles jamu godokan, serta suplemen untuk manusia dan hewan ternak--terpaksa tinggal di tempat kost, Wlingi-Blitar. Pada awal tahun 1990 di daerah Blitar bagian selatan, wilayah lereng gunung yang penduduknya jarang memiliki kendaraan pribadi, harus menempuh jalan kaki sejauh 10 KM supaya sampai ke kota sekedar mencari jamu, misalnya. Adalah lahan yang tepat dijadikan tempat pemasaran obat tradisional jawa. Untuk itu, bapak tidak bisa pulang ke Desa Iatiwaru setiap hari. Ibu tidak keberatan atas hal itu, karena kami mengandalkan hasil keringat bapak.
Aku masih penasaran dengan pertanyaan yang memenuhi otakku. Karena ibu tidak bereaksi dengan sederet pertanyaan tadi, maka aku mengulanginya.
“Lalu, lihatlah Paman Budi dan Bulek Rini. Mereka nampak bahagia. Bulek yang seorang guru SD dan Paman Budi memelihara sapi perah. Jika bertandang ke rumah nenek, paman mengendarai mobil Panther Sporti sehingga sekeluarga bebas dari terik mentari atau pun hujan. Begitu pula Paman Irul, usahanya berkembang pesat. Kantor Simpan Pinjam Uang yang ia kelola, memberikan hasil yang luar biasa. Rumah berlantai dua nan mewah, serta mobil Kijang Crysta.” Ibu masih saja tak meladeni celotehku. Aku mendengus, sebal. Kembali berulah memutar otak mengajukan pertanyaan.
”Jika ada yang sama dari kita semua, adalah jumlah anak. Ya, ya, ya. Ibu dan ketiga adik sama-sama memiliki dua anak.” Aku terkekeh waktu itu. Entah bagian mana yang terdengar lucu. Atau barangkali, aku menertawakan diriku sendiri. Yang terlahir ditengah keluarga serba kekurangan.
“Bu, kenapa bisa begitu, ya?” tanyaku memelas.
”Apanya, Nak?”
“Kehidupan kita, kenapa berbeda dengan ketiga paman?”
Sambil terus menusuk lalu menarik benang itu dari daster yang dipegang, ibu mulai bereaksi atas berondongan pertanyaan yang tidak seharusnya menjejali kepala bocah yang baru kelas IV SD. Ibu mendesah pelan. Lampu neon yang tidak cukup terang barangkali membuat mata ibu perih. Ketika melirik ke arahnya, ibu mengucek mata beberapa kali.
“Dengarkan ibu. Setiap orang terlahir dengan takdir yang berbeda, Anakku. Berapa lama ia hidup di dunia? Berjodoh dengan siapa? Berapa banyak keturunan yang dimiliki, semua sudah diatur oleh Tuhan. Begitu pula dengan Ibu, serta ketiga Pamanmu.” Selesai mengucapkan kalimat itu, ibu melempar sembarang benda yang sedari tadi ia pegang. Beliau bergegas ke kamar. Mungkin ada seekor nyamuk yang tengah berjuang mempertahankan hidupnya dengan menyedot darah di tubuh adikku. Atau, barangkali ia mimpi buruk waktu itu. Emm entahlah. Bisa jadi, Unai sedang haus. Tangisnya membahana, tiba-tiba.
Ketika hari libur tiba, saat ibu sedang sibuk menyiapkan makanan di dapur untuk kami, aku mendapat tugas menjaga adik yang masih belum genap berusia dua tahun. Di depan rumah, tegalan milik tetangga yang disulap menjadi halaman--setiap hari dua kali disapu bersih sehingga daun bambu kering yang berguguran tak nampak bertebaran di pekarangan. Aku dan adikku bermain di sana. Gundukan tanah yang sebelumnya aku persiapkan--menggunakan sapu lidi yang disapukan secara rebah, kemudian dengan sendok dan peralatan dapur yang tak terpakai, aku  memperagakan seseorang yang tengah berjualan di toko klontong.
Ibu melangkah mendekat ke arah kami setelah satu jam lebih berjibaku didapur. Tangannya memegang piring yang memuat nasi serta sayuran--siap kami lahap. Kami? Ya, aku dan adikku makan dari piring yang sama dan dari tangan yang sama. Tepatnya, ibu menyuapiku dan adik. Suapan pertama diberikan padaku. Sambil mengunyah, aku meneruskan acara bermain itu.
Adikku memegang sendok teh, serta cepuk bekas sabun colek, seperempat kilo. Sementara aku sendiri, memegang irus serta cepuk bekas sabun colek ukuran setengah kilogram.
Wadah yang aku pegang lebih besar dibanding milik adikku. Wadahku cepat terisi penuh oleh tanah. Sementara milik adikku belum terisi separo.
“Kasihan kamu, Dik, tertinggal jauh oleh Kakak,” aku jumawa, menertawakan adik.
”Persis seperti itulah, jawaban atas pertanyaanmu tempo hari, Nak,” ibu menyahut tiba-tiba.
”Maksudnya bagaimana, Ibu?” Aku melipat dahi. Menatap ibu penasaran.
”Kamu memegang alat yang berbeda untuk mengambil kemudian masukkan tanah demi memenuhi wadah yang beda pula ukurannya. Kamu lebih tua dibanding adikmu. Punya kemampuan lebih darinya. Di luar itu, kamu memegang irus yang beberapa kali lebih besar dibandingkan sendok teh. Sudah barang tentu, wadahmu lebih cepat penuh, bukan?”
***
Waktu itu, aku tak mampu memahami ucapan ibu. Tetapi kini, semua sudah benar-benar kupahami. Bahwa masing-masing orang memiliki takaran, tingkat kemapun, serta keahlian berbeda untuk mendapatkan dan mendatangkan hal yang sama, rezeki.
Selesai
Taipe, 26 Mei 2014

0 komentar:

Posting Komentar

 

Rumah Kopi Copyright © 2010 Design by Ipietoon Blogger Template Graphic from Enakei | web hosting