Selasa, 01 September 2015

Parade Luka

Diposting oleh Rumah Kopi di 09.50
"Aku kecewa sama kamu!" gertakku mengawali keributan.

"Ah, kamu selalu saja seperti itu. Kecewa padaku."

Setelah itu, perang mulut tidak lagi dapat dihindari. Ucapan yang menyakitkan, terlontar begitu saja seperti peluru yang berdesing-desing lepas dari sarangnya. Menghujam tepat pada bagian yang paling mematikan. 

Aku tidak menginginkan pertengkaran ini.  Aku tidak sedang mencari masalah, karena tanpa kucari pun berbagai masalah muncul satu persatu bagai cendawan. Menyebalkan.

Barangkali, aku lupa bagaimana caranya bertutur yang halus. Tetapi siapa, siapa yang bisa mengingat tatakrama ketika terbakar emosi. Mungkin ini karena aku terlalu membiarkan hati mengendalikan  segalanya. Sehingga aku hilang akal. 

Dari pertengkaran itu, aku menyesali atas ucapan kasar yang satu dua kali, lepas begitu saja. Aku menyakitimu. Kita berdua terluka. 

Aku benci pertengkaran. Menangis membuatku sesak napas. Menangis membuatku lemas dan juga sakit kepala yang tak kunjung hilang. 

Sisa pertengkaran semalam, jelas sekali nampak pada kedua kelopak mataku yang bengkak. Mungkin hal ini biasa. Iya, wanita dan airmatanya memang hal yang biasa. Tapi apakah kamu tahu, ketika jatuh air mataku, saat itu pula hatiku sedang tidak dalam keadaan baik.

"Kamu selalu saja berlebihan!" bentakmu tak terima.

Mungkin aku berlebihan. Tetapi wanita mana yang rela pasangannya, berakrab-akraban dengan 'teman' yang notabene lawan jenis. Barangkali di dunia ini terlalu banyak peraturan sehingga mudah sekali dilupakan. Tentang bagaimana menjaga silaturahmi antar sesama, bukankah itu ada etikanya?

Ketika berkomitmen, pelan-pelan hilangkan kebiasaan kontak fisik dengan lawan jenis. Aku tidak membatasi, tetapi batasilah dirimu sendiri sehingga masing dari kita tidak ada yang kecewa atas sikap dan perilaku beramah tamah itu. 

Hubungan ini, adalah satu-satunya tempat paling aman. Ketika berbagai macam persoalan hidup menghampiri seperti tukang penagih hutang yang berlagak galak dan mengerikan, hubungan ini yang di dalamnya ada kamunya, kujadikan tempat bersembunyi dari kelelahanku menghadapi kerasnya dunia. Hubungan ini segalanya. Aku tidak mau dan tidak mengizinkan siapa saja mengotori rumahku. Tidak juga kamu dan aku. 

Luka-luka yang menganak pinak, seperti parade pawai Agustusan itu, biarkan saja terjadi. Aku butuh waktu untuk menyembuhkannya. Biarkan aku menggigil di sudut ruangan. Sampai menyadari bahwa bodohnya aku menangisi hal yang tak pantas mengusik ketenangan.



0 komentar:

Posting Komentar

 

Rumah Kopi Copyright © 2010 Design by Ipietoon Blogger Template Graphic from Enakei | web hosting