Minggu, 14 Februari 2016

CARAMEL MACHIATTO YANG HAMBAR

Diposting oleh Rumah Kopi di 20.44

Tadi, setelah enam bulan yang lalu, aku datang lagi ke sana. Kedai kopi favorit kita. Benar tidak ya, itu tempat memang favorit, atau kita berdua kurang familiar dengan kedai kopi di Ximenting. :)

Terakhir ke sana, beberapa hari menjelang kepergianmu dari negara ini. Lalu, aku memutuskan tidak akan mendatangi Starbucks lagi. Bukan apa-apa sih, hanya saja, kenangan saat kita asyik menikmati setiap detik yang terus merangkak pergi, membuat rasa kangen kian menjadi. Dan betul saja.

Sepulang les, tadi aku mampir ke Starbucks dengan teman. Ketika mengantri di meja barista, kok rasanya lain. Biasanya, kamu yang berdiri di sebelahku, dan ketika bukan dirimu yang kudapati di sana, aku sedih.

Starbucks masih seperti yang dulu. Dan sialnya, tadi aku mendapat tempat di lantai 3, pojokan. Kamu ingat kan? :(
Caramel Machiatto, kopi favorit kita itu, yang biasanya enak dan selalu membuatku kurang sehingga merebut bagianmu, demi Tuhan, terasa hambar.

Air mataku jatuh satu-satu, masa. Tidak tahu kenapa? Jatuh begitu saja. Padahal aku tidak serapuh itu, kamu tahu. Aku hanya sedikit merasa sedih. Sedih telah berusaha membohongi diri sendiri bahwa aku membencimu dan berniat meninggalkanmu. Sedih telah mengucapkan kata-kata yang sebenarnya, aku sendiri tidak ingin mendengarkannya.

Aku tidak pernah mempermasalahkan masa depanmu, tidak pula merendahkanmu atas keadaan hidupmu. Aku menerimamu seperti kamu menerima keadaanku. Bahkan aku salut denganmu. Jika jadi kamu, belum tentu aku mampu menjalani hidup dengan penuh tekanan yang entah kapan berakhirnya.

Aku tidak pernah menjanjikan apa pun. Hanya saja, berniat memberikan dukungan dan menyediakan pundak untukmu bersandar dari beban hidup. Aku rumahmu. 

Tapi .... Kamu membenciku? Ah itu hanya ucapan saat emosi. Aku tahu kamu menyayangiku.

Aku ingin menua dengan melepas kegelisahan. Mendamaikan hati dengan tidak banyak memikirkan hal yang membuatku kian tertekan. Memasrahkan segala sesuatu pada Tuhan. Tentu saja setelah aku berupa terlebih dahulu. Dan kurasa, upayaku sudah lebih dari cukup. Maaf jika belum maksimal. Karena toh aku hanya manusia yang tak luput dari salah. Nabi saja, pernah salah, apa lagi aku? Kembalilah ketika rindumu sudah amat menggila. Sebelum itu, mari berbicara tentang setia ala penulis keren ini: Fadh Pahdepi.

Setia adalah melindungi.

Lazimnya seseorang yang bisa melindungi orang lain, dirinya harus terlebih dahulu selamat dari marabahaya. Melindungi tak sama dengan ‘menyelamatkan’. Mungkin kita bisa tidak selamat ketika kita berusaha menyelamatkan orang lain. Tapi kita tak bisa melindungi orang lain jika kita sendiri tak terlindung, bukan? Setia adalah situasi semacam itu… Saat kita tahu bahwa rasa cinta dan sayang kita telah terlindung, sehingga kita bisa melindungi perasaan orang yang kita cintai atau sayangi. Dalam relasi semacam ini terdapat hukum sebab akibat. Semua akibat yang kita terima ditentukan oleh sebab-sebab yang kita ciptakan. Jika kita tidak ingin disakiti, maka kita tak boleh menyakiti. 

Setia itu takut.

Ketakutan adalah situasi di mana kita tak bisa mengukur kekuatan kita sendiri karena kita tak memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang situasi yang sedang dihadapi. Kita tak pernah tahu apa yang akan terjadi besok, seberapa besar ujian yang akan datang, seberapa berat cobaan yang akan menimpa, dan seterusnya… Di sini, rasa takut diperlukan agar kita mawas diri. Kekhawatiran dibutuhkan agar kita selalu rendah hati dan tidak jumawa merasa bisa menghadapi semuanya sendirian. Kita selalu butuh teman sejati, seseorang yang akan mendampingi kita dalam kondisi apapun dan bukan seseorang yang hanya akan membersamai kita saat bahagia saja… Setia adalah rasa takut kehilangan teman semacam itu.

Setia itu tidak mendua.

Tidak menduakan cinta. Tidak menduakan rasa. Tidak menduakan hati. Tidak memberi kesempatan untuk menciptakan kemungkinan-kemungkinan yang bisa membuat satu hati tersakiti.

Setia itu bersyukur.  

Sabar itu ada batasnya, tetapi syukur tak pernah memiliki batas. Syukur itu meluaskan. Cara berpikir kita akan sempit ketika kita gagal bersyukur. Mungkin seseorang yang selama ini kita cintai memiliki banyak kekurangan. Jika kita tidak bersyukur, tentu kita akan mulai mencari yang tak dimiliki pasangan kita pada diri orang lain. Tetapi jika kita bersyukur, betapa kita akan tahu bahwa seberapa banyak pun kekurangan yang dimiliki pasangan kita, sebenarnya tak bisa kita bandingkan dengan begitu banyak kelebihan-kelebihan yang telah ia berikan dalam hidup kita selama ini. Syukur semacam itu mungkin tak akan mengubah masa lalu, tetapi pasti melapangkan masa depan.

Tapi, di atas semua itu, setia itu sulit…

Maka hanya mereka yang bersungguh-sungguh mencintai saja yang bisa setia. Ya, setia itu sulit. Sebab jika ia mudah, tak akan ada orang yang memiliki cinta yang luar biasa.

3 komentar:

Unknown on 17 Februari 2016 pukul 19.59 mengatakan...

Oke, sukses baper waktu nyasar dimari :'D

Keep Strong!! Thanks uda mau berbagi :)

Rumah Kopi on 17 Februari 2016 pukul 20.37 mengatakan...

Thank's ya udah berkunjung di mari, Yoga. Berkat dukunganmu, I'M strong hehe

Unknown on 18 Februari 2016 pukul 19.20 mengatakan...

Btw, Yoggy ya, bukan Yoga -_-

Posting Komentar

 

Rumah Kopi Copyright © 2010 Design by Ipietoon Blogger Template Graphic from Enakei | web hosting