Minggu, 01 November 2015

JILU

Diposting oleh Rumah Kopi di 17.50

"Melupakan mantan itu hanya ada satu cara. Nggak usah diingat-ingat melulu. Ntar juga lupa. Beres kan!"


Mendengar hal itu, aku tidak bereaksi. Pandanganku tetap tertuju pada jalanan di balik kaca cafe ini. Dalam hati, ingin aku melemparkan gelas yang isinya baru saja tandas. Mengajaknya nongkrong di sini bukan untuk menceracau seperti itu. Aku hanya butuh teman. Entah dalam rangka apa? Yang jelas, aku tidak sedang ingin membahas hal seputar patah hati dan saudara-saudaranya. 


"Ngapain kamu mengasingkan diri? Cobalah mencari kekasih baru! Kayak udah nggak laku ini!" 


Yakin, kali ini aku mulai geram. Aku mengangkat gelas. Mendekatkan ke bibir meski tahu isinya sudah habis. Ini hati. Bukan kulkas. Kalau isinya kosong tinggal beli di pasar. 



Patah hati memang perkara biasa. Anak-anak SD zaman sekarang pun tahu. Yang luar biasa itu jika hubungan selama 4 tahun, 2 bulan, 3 minggu harus berkhir hanya karena faktor jilu



Pagi-pagi aku sudah berada di atas kereta yang akan membawaku meninggalkan Surabaya. Bapak memintaku pulang. Semenjak tiga bulan lalu, pasca terlibat perselisihan perihal jodoh, komunikasi di antara kami tidak baik.



Aku berselisih paham dengan bapak. Menurutku, syarat menikah itu hanya dua. Laki-laki, perempuan dan keduanya sama-sama siap membina rumah tangga. Sayangnya, menurut bapak, dalam istiadat jawa syaratnya tidak sesederhana itu. Merepotkan.



"Kami bersedia menerima lamaran, Pak. Tapi, Mas Giri harus terlebih dulu naik pelaminan." Kedua adik kembarku sepakat. 



Bagaimana aku menikah, sementara calon saja belum ada. Tapi jika aku tidak segera menikah, kasihan kedua adikku. Mereka bakal dicap sebagai perawan tua oleh tetangga. Heran. Mengapa semua tetek bengek dalam pernikahan, ditentukan oleh adat dan masyrakat. Lalu di mana letak kebebasan kami menjalani hidup di tanah yang katanya sudah merdeka ini?



"Kalau kamu tidak bisa mencari istri, biar Bapak yang mencarikan." 


Aku menghela napas frustasi. Tak sepatah kata pun keluar dari mulutku. Oh ya, ampun. Bukannya tidak bisa mencari calon pendamping. Melainkan, perhitungan ilmu titen itulah yang memaksaku mengakhiri hubungan dengan Hanna. 


Waktu memang sengaja menyembunyikan hubunganku dengan Hanna. Kami berdua sepakat, jika sudah siap, kami menghadap orangtua. Meminta restu. Di luar dugaan, setelah menelusuri silsilah keluarga, hubungan kami tidak boleh dilanjutkan. 


Aku anak pertama. Sementara Hanna anak ke tiga. Dalam ilmu titen jawa, hal itu dimaknai dengan jilu. Jilu singkatan dari siji telu (satu tiga). Menurut bapak, jika kami melangsungkan pernikahan, rumah tanggaku akan sial. Perekonomian buruk. Dan entah hal tidak masuk akal apa lagi yang dijejalkan ke telingaku. 


*


Sore itu, aku nongkrong di warung kopi dekat rumah. Beberapa laki-laki seumuran bapak, nampak asyik ngobrol di bawah pendar bohlam. Seseorang menepuk bahuku. Aku mengangguk sopan.


"Belum pernah melihat cah bagus ini sebelumnya." 


Bapak itu memasang wajah bertanya-tanya pada pemilik warung.


"Oh dia anaknya Nur Huda. Tinggalnya di kota. Bukan begitu, Giri."


"Lhoh, Nur Huda yang rumahnya di sebelah kelurahan?" 


Lagi-lagi aku hanya mengangguk.


"Bukankah dulu dia mau menikah dengan Rusmini yang anaknya Pak Haji? Seingatku, mereka pacaran lama sekali. Jebule nggak jadi nikah?"


"Nggak jadi. Lamarannya nggak diterima. Malahan dia dinikahkan sama orang lain. Suami Rusmini seorang kepala desa."


Bukankah bapaknya Hanna juga kepala desa. Dan ibunya bernama Rusmini. 



0 komentar:

Posting Komentar

 

Rumah Kopi Copyright © 2010 Design by Ipietoon Blogger Template Graphic from Enakei | web hosting