Jumat, 06 November 2015

KASIH TAK SANTAI

Diposting oleh Rumah Kopi di 09.41



Para pujangga sering menyebutkan: hujan, senja, angin, daun yang bergesek, dalam sebuah tulisan mereka. Yang mana hal itu digambarkan mewakili keindahan. Cakrawala dengan warna emas kemerahan mengungkung semesta  yang biasa disebut senja itu, bagaikan ratu yang menguasai panggung. Demikian halnya dengan hujan. Lewat ujung-ujungnya yang bergantian mencium bumi, nampak epik memamerkan harmonisasi keindahan. Dan entah bagaimana lagi, mereka menggambarkan keindahan menggunakan senja, hujan, angin dan sebagainya. 

Bagiku, mati lampu, jalanan macet, bau keringat, genteng bocor sekalipun akan nampak menyenangkan. Terasa indah, jika hati dalam keadaan bahagia. Menurutku begitu. Akar dari semuanya adalah hati. Sekali lagi, jika hati sedang bahagia, jalanan bopeng-bopeng yang sukar dilewati itu, tetap menyenangkan. Mendatangkan gelak tawa membahana.

Oh iya, lupakan tentang senja, bau keringat, jalanan bopeng. Aku akan membahas tentang ini saja. Pernikahan. Ya, mengajak menikah kamu saat ini, sama anehnya seperti bertanya sesuatu yang jawabannya sudah kukantongi. 

Pernikahan bukan hal sederhana. Aku paham ini dan kamu tahu itu. Hanya saja, sebagai manusia dewasa yang sudah sejiwa (katanya begitu) mengesahkan hubungan di depan Allah, adalah hal terbesar yang kuimpikan. Tepatnya, impian setiap pasangan.

Sayangnya, kita terbentur pada dinding-dinding nisbi, yang mana hal itu tidak bisa dianggap sepele. Aku punya tanggung jawab besar. Dan kamu juga. Kita akan tetap bersama meskipun ikatan ini hanya atas dasar cinta. Bukankah itu landasan luar biasa? Untuk apa menikah jika tidak saling mencintai. Dan apa yang mesti ditakutkan jika keduanya percaya bahwa cinta akan menemukan jalan paling terang, kelak. 

Aku mencabut tuntutan. Ah, seperti jaksa saja. Aku tidak lagi menganjurkanmu ini itu. Harusnya aku yang paling memahami dirimu. Memang kenyataannya begitu. Kamu grogi jika dihadapkan pada hal-hal serius, semisal menghadap atasan. Apa lagi menghadap bapakku untuk minta restu. 

Sebenarnya, tanpa diminta sekarang pun, sejak awal bapak bakal mengamininya. Hanya saja, sebagai laki-laki bukankah kamu sepantasnya meminta izin terlebih dahulu supaya hubungan ini memiliki ketingkatan selangkah lebih maju. Ah, tapi sekali lagi kusampaikan, aku tidak tega demi melihatmu gelisah tak karuan. 

Kamu tenang saja. Nanti, kita berdua menghadap bapak bersama. Meminta restu. Seperti kesepakatan awal saat itu. Kita masing-masing saling mendalami perasaan saja dulu. Lebih dan lebih. Dalam hal seperti ini, kamu butuh aku yang mendampingi atau bahkan mengelap keringatmu yang mengucur seperti air hujan.

Ucapanku tempo hari, anggap saja itu adalah ulah manusia yang sedang dilanda jenuh dengan hubungan. Bukan bosan ya. Hanya sedikit jenuh. Ini manusiawi. Kurasa begitu. Ketika cinta, perhatian, serta segala tetek bengek sudah didapat, maka 'greget' itu sedikit menurun.

Tapi jangan khawatir. Kita dua manusia yang selalu tahu bagaimana bangkit setalah jatuh. Kurasa, masa jenuh akan berlalu. Dan semangat menggebu tentang perencanaan masa depan pun, akan bermunculan seperti jamur di musim hujan. 

0 komentar:

Posting Komentar

 

Rumah Kopi Copyright © 2010 Design by Ipietoon Blogger Template Graphic from Enakei | web hosting