Jumat, 04 April 2014

Diposting oleh Rumah Kopi di 22.30


Demi Sekerat Roti, Jeruji Besi Menanti

oleh

Keyzia Chan
    
     Sepasang biji mataku tidak beranjak dari pemandangan miris itu. Tak ada yang aku lakukan selain melihat sambil mengerutkan dahi. Seorang laki-laki berbadan tambun, berkepala botak terlihat sibuk. Bukan para tamu-tamu yang hadir di rumah makannya, yang membuatnya nampak gusar. Tetapi, seorang bocah bertubuh kurus, berpakaian kusam yang berhasil membuatnya demikian. Laki-laki bermata sipit tersebut terus meracau, tangannya belum beranjak dari telinga bocah itu. Pemandangan tersebut mencuri perhatianku, sehingga aku menunda melahap menu makan siangku kala itu. Bocah itu meringis kesakitan. Kepalanya miring-miring mengikuti gerakan tangan si gendut. Meskipun dia terus melenguh, tangan laki-laki itu tidak beranjak dari telinga anak berusia sekitar 8 tahun tersebut. Apa yang telah diperbuat olehnya, siapa dia? Mengapa tidak seorang pun iba padanya? Tiba-tiba otakku dipenuhi pertanyaan yang membuatku kian bingung.


     
     Tidak ada yang mencoba menghentikan perbuatan laki-laki yang berkaca mata minus tersebut. Termasuk aku. Rambut gondrong bocah itu nampak lepek. Di belakang tadi, si empunya rumah makan mengguyur kepalanya dengan segayung air.  Beberapa saat kemudian, si gendut berkata dengan suara lantang, "Belum kapok juga rupanya!" Beberapa orang yang  tengah menikmati makan siang, saling berbisik. ”Kabarnya ayah bocah itu mati bunuh diri.” Salah seorang yang juga sedang makan di warung itu menimpali.

"Iya, semenjak bocah itu umur dua bulan, dengan menjatuhkan diri dari atas lantai 21, si ayah mengakhiri hidupnya."

"Kasak kusuk yang aku dengar, dia tidak sanggup mencari dana dalam jumlah besar yang diajukan pihak rumahsakit. Sekiranya, duit itu untuk biaya operasi yang akan dilakukan demi kesembuhan putranya," ujar laki-laki berambut kriting itu.
 


"Mungkin sebaiknya aku membawamu ke kantor polisi, biar kamu jera." Laki-laki bertubuh pendek itu berteriak sembari mendong bocah tersebut. Dia tersungkur di pinggir jalan. Bibirnya mengatup. Pada pipinya terdapat dua garis sejajar. Dia menyembunyikan sesuatu di balik bajunya. Bocah tersebut bersikeras menahannya meskipun si gendut itu memaksa meminta barang yang disembunyikan olehnya.

***

     Musim panas belum beranjak dari Taipe. Hari ini, BMG memperkirakan suhu udara bisa mencapai 37 derajat celcius, hingga sore hari. Tidak ada acara sepesial di hari liburku. Pagi, pukul 10.00 seusai mandi dan mengenakan kaus warna putih, serta celana jeans selutut, dengan langkah santai aku berjalan ke 7-11. Tas punggung berisi kamera dan gadjet, tak ketinggalan menemani acara liburku yang tak bertujuan. Seperti biasa jalan raya nampak lengang setiap hari libur. Hanya taxi dan bus kota yang berseliweran dengan sedikit penumpang di dalamnya. Setelah melewati beberapa apartemen dan pertokoan, akhirnya aku sampai di mini market yang buka 24jam tersebut.


     Sandwich, dan segelas es kopi latte sudah berada di tanganku. Seusai membayarnya di kasir, aku mencari tempat duduk yang masih berada dalam ruangan yang sama. Kuletakkan dengan hati-hati tas punggung berwarna biru tua itu. Kemudian aku mulai menikmati sarapanku. Belum sempat aku menelan makanan itu, lagi-lagi aku melihat pemandangan yang serupa. Bocah laki-laki berambut gondrong, berbaju kusam, yang aku lihat tempo hari, dia kembali melintas di depanku. Kaca tebal di hadapanku ini , membuat pendengaranku tidak mampu menangkap suara dari luar dengan jelas. Seorang laki-laki berambut putih nampak berjalan tergopoh. Bocah itu mencoba mensejajarkan langkahnya dengan berlari kecil. Kepalanya terlihat miring-miring karena kuping kirinya dijewer oleh si bapak.

     Sekonyong-konyong aku mengemasi barang-barang, lantas berjalan mengendap-endap mengikuti keduanya. Bapak tua tersebut terus meracau sepanjang jalan. Bocah yang tidak mengenakan alas kaki tersebut, seperti biasa tida mengucapkan sepatah kata pun. Entah mau dibawa kemana dia? Aku terus mengikuti mereka. Menyusuri gang kecil yang terletak diantara bangunan yang menjulang tinggi. Seperti kejadian kemarin, tidak ada yang mencoba menolong bocah malang tersebut. Ah, orang kota dimana pun sama saja. Tidak mau ambil pusing dengan urusan orang lain. Batinku.


      Setelah berjalan selama 15 menit, mereka berhenti di sebuah bangunan kecil. Di depan timbunan sampah daur ulang, bocah itu bermukim. Nampak seorang wanita berpakaian kumal sedang duduk di depan rumah kumuh. Kedatangan bocah kecil dan laki-laki tersebut, tidak digubris olehnya. Pandangannya tidak beranjak dari semula. Sambil mengayun-ayunkan tubuhnya, wanita itu terus memilin-milin rambutnya yang kumal. Laki-laki tua itu mendorong bocah tersebut kuat-kuat hingga membuatnya tersungkur. Bocah itu segera bangkit dan memeluk ibunya. Wanita itu masih saja tidak memedulikan hal yang terjadi di dekatnya. Pandangannya kosong. Laki-laki itu berkata, "Aku tidak akan segan memenjarakanmu jika ketahuan mencuri makanan lagi!" hardiknya. Bocah itu beringsut. Dia membenamkan wajah tirusnya di pangkuan ibu. Seperti kurang puas dengan kalimat yang berhasil membuat bocah itu ketakutan, laki-laki itu menendang bokong bocah kecil tersebut hingga dia terguling. "Ibumu gila setelah bapakmu bunuh diri karena malu memiliki anak cacat sepertimu," ucapnya sembarangan.  Kemudaian dengan langkah besar-besar bapak itu beranjak dari tempat kumuh.

    
Setelah laki-laki itu menghilang dari hadapan mereka, bocah itu nampak mengeluarkan sesuatu dari kantong celananya. Sekerat roti berada di tangannya kini. Secuil demi secuil disuapkannya potongan roti tersebut ke mulut ibunya. Rupanya, demi mengganjal perut keduanya, bocah itu harus mencuri makanan. Bukankah resikonya sangat besar? Bagaimana kalau ucapan bapak itu tidak main-main? Pikirku. 

     Wanita itu masih dengan tubuh yang terayun-ayun, dia mengunyah roti hasil jerih payah putranya. Tepatnya hasil dari mencuri. Bocah itu dengam menggunakan bahasa isyarat, mencoba memberi tau sesuatu pada ibunya. Seulas senyum ceria terpancar dari bibir mungilnya. Rupanya bocah itu tunarungu. Tanpa sadar pipiku pun basah oleh pemandangan itu.
Deg! Aku terperanjat melihat pemandangan berikutnya. Wanita mengangkat kedua tangannya. Ditempelkannya telapak tanga tersebut di pipi bocah kecil itu. Dia menatap nanar putranya. Detik berikutnya kedua tangan perempuan itu mengusapa-usap rambut godrong putranya, ke belakang. Aku mengucek-ucek mata, berharap salah melihat. Bocah itu tidak memiliki telinga rupanya.

Selesai.




0 komentar:

Posting Komentar

 

Rumah Kopi Copyright © 2010 Design by Ipietoon Blogger Template Graphic from Enakei | web hosting