Rabu, 28 Agustus 2013

Diposting oleh Rumah Kopi di 13.02

ini proyek  pertamaku yang GATOT KACA ( gagal total kacau luar biasa )
 sengaja aku abadikan sebagai bahan pembelajaran ke depan agar lebih baik lagi

Pink yang Menghitam
by keyzia
 
“Bunda kurang setuju kalau kalian menikah saat ini, kalian masih terlalu muda. Lagian kalian baru saling mengenal selama enam bulan bukan?? Dia belum mempunyai pekerjaan yang mapan Pink sayang...
“Bunda tidak rela anak bunda satu-satunya menderita hidupnya kelak.”
Tangisan bunda Pinkan terdengar pilu di sela-sela derasnya hujan yang turun dengan lebat malam itu.
***
Ya, dialah Pinkan gadis cantik, energik, supel yang masih tergolong belia. Dia baru saja menyelesaikan pendidikan SMA. Malam itu Pinkan dan kekasihnya bermaksud meminta restu Ayah serta Bunda. Danu adalah kekasih Pinkan yang di pacarinya sejak 6 bulan lalu. Mereka berkenalan secara tidak sengaja di salah satu toko elektronik, yang menyediakan telepon selluler, beserta perlengkapannya.
Danu Bastian, sesuai dengan namanya dia adalah sosok pemuda gagah nan rupawan. Dia terlahir dengan kulit putih bersih, badannya tinggi, rambutnya lurus. Tak sedikit teman-temanya menjuluki dia Ariel-Noah.
Danu memang sangat mirip dengan pelantun tembang ‘’Ada apa denganmu’’. Sosok pembawaannya yang flamboyan membuat banyak gadis-gadis jatuh hati padanya. Mungkin dialah salah satu magnet yang menarik pengunjung yang datang ke konter handphone milik kakak perempuannya sehingga toko handphone tersebut selalu ramai, karena di sanalah Danu saat ini bekerja.
Sore itu karena ajakan temannya, Pinkan datang ke konter tempat Danu bekerja. Cinta itu ajaib, entah kapan sang cupid membidikkan panahnya yang jelas pada pertemuan ketiga, di situlah mulai ada getaran cinta di antara keduanya.
Suatu siang semenjak Danu mencoba melamar Pinkan satu bulan yang lalu, Danu kembali bertamu ke rumah Pinkan. Kali ini dia berinisiatif mengajak kawin lari kekasihnya, karena kedua orang tua Pinkan belum merestui jika anak gadisnya menikah di usia dini.
“Bagaimana jika kita kawin lari saja.” Suara lembut terlontar dari bibir Danu.
Sontak hal itu mengejutkan Pinkan yang sedang asik memainkan jari-jarinya di atas tust piano. Dia berhenti memainkan permainan pianonya. Lalu berjalan mendekat ke arah Danu yang duduk di atas sofa yang berada di samping meja piano.
“Kamu ngomong apa sih sayang?” ucap Pinkan sambil tersenyum dengan manjanya yang khas dengan lesung pipit yang menambah ayu gadis belia itu.
“Kita kan masih terlalu muda, lagian karirku sebagai pianis baru saja di mulai. Aku masih harus terus konsentrasi dan banyak berlatih agar lebih mahir, supaya nanti Ayah serta Bunda, juga kamu, bangga pdaku.”
“Ah, nggak perlu jadi terkenal aku pun sudah bangga sama kamu sayang,’’ sahut Danu sembari memeluk hangat kekasihnya. “Aku takut orang lain merebutmu dariku. Aku nggak ingin kehilanganmu sayang...”
 ‘’Ciyuuussss... hihi.’’ Pinkan menggoda kekasihnya yang tampak serius mengajaknya menikah di usia muda.
“Sayang, aku serius sekali. Apa kamu nggak ingin menikah denganku? Iya aku memang belum mampu menjanjikanmu apa-apa karena aku belum mempunyai usaha sendiri yang bisa menghasilkan banyak uang. Tapi aku punya cinta, kasih sayang dan perhatian yang sepenuhnya hanya untukmu.”
“Aku tau sayang, tapi aku belum siap menjadi seorang istri. Aku masih harus banyak belajar agar kelak menjadi istri yang baik dan mamah yang hebat buat selusin anak-anak kita nanti,” canda Pinkan di sela-sela percakapan mereka.
Hari itu di rumah sepi. Ayah serta Bunda Pinkan pergi keluar Kota, menghandiri hajatan pernikahan saudara Ayahnya.
Jiwa-jiwa muda mulai bergejolak ketika bibir Danu menyentuh bibir Pinkan dengan penuh kehangatan. Dua bulan berlalu sejak kejadian itu, Pinkan terlambat mendapatkan tamu bulanannya.
Dia pun panik ketika mendapati hasil tetspack-nya yang menunjukkan dua garis merah yang berarti di positif hamil. Serasa di sambar petir di pagi yang cerah. Kabar itupun segera di sampaikan pada Danu kekasih yang menjadi Ayah biologis dari calon bayi yang ada di rahimnya.
“Apa kamu hamil? Tapi sayang, kamu kan bilang kalau belum siap menikah di usia muda, lagian aku belum siap jadi seorang ayah. Kamu tahu sendiri kan, aku belum mapan secara ekonomi, aku nggak akan bisa menjadi suami yang baik seperti yang di sampaikan orang tuamu tempo hari. Aku pun nggak sudi lagi, jika harus memohon dan bersiap di usir sama Ayah Bundamu.” Sejuta alasan, Danu pergunakan untuk mengelak mempertanggung jawabkan perbuatannya.
Selama dua bulan terakhir ini dia diam-diam menjalin hubungan dengan Amy, gadis manis yang selama ini rajin mendekati Danu, dan berusaha mengambil hatinya. Tempat kerja Amy berada di seberang konter handphone tempat Danu bekerja.
Danu yang seorang flamboyan, akhirnya pun luluh juga pada wanita lain yang agresif mengejar-ngejar cintanya.
***
Pingkan berhambur memeluk Danu, ketika kali kedua dia bertemu Danu semenjak dia hamil. Tangisannya memecah mengawali obrolan dengan kekasihnya sore itu.
“Aku takut Ayah Bunda shock kalau mereka tau aku sedang mengandung.” Tangisan Pinkan semakin menjadi-jadi, membuat Danu tak bisa berfikir secara jernih.
Dia pun akhirnya mengusulkan pada Pinkan untuk mengaborsi janin yang berada dalam kandungannya. Tentu saja Pinkan menolaknya. Dia bersikeras mempertahankan bayinya karena tak mau melakukan kesalahan untuk kedua kalinya.
“Apa salah bayi ini. Kenapa kamu tega membunuh calon bayimu sendiri sayang? Teganya kamu menyakiti dia yang tak berdosa.”
“Aku tegaskan padamu! aku nggak siap jadi ayah. Jadi kalau kamu nggak mau aborsi, terserah, aku nggak mau tau lagi tentang keadaanmu dan bayimu.” Danu berlalu pergi meninggalkan Pink seorang diri.
***
Malam itu hujan kembali turun dengan derasnya. Pink tampak gelisah mondar-mandir. Hatinya pun tak karuan. Dia menunggu malam merayap larut agar kepergiannya dari rumah tidak di ketahui orang tuanya. Dia memutuskan untuk kabur dari rumah, karena sangat tidak mungkin dirinya sanggup melihat ekspresi Ayah-Bunda ketika tau bahwa dia sedang mengandung bayi Danu. Seorang yang di tentang keras menikahi putrinya waktu itu.
Pink meninggalkan sepucuk surat di atas meja riasnya. Berharap esok pagi Bunda melihat dan membacanya. Malam pun kian larut ketika Pink bergegas meninggalkan rumahnya. Hujan pun semakin deras seakan ikut menangisi kepergiannya yang tanpa arah dan tujuan. Lolong anjing malam menambah suasana semakin miris dan mencekam, ketika langkah kecil itu terus berlalu menerobos malam dan derasnya hujan.
Entah berapa lama dia berjalan, berapa jauh kakinya melangkah membawa hati yang luka. Gelap malam pun sepertinya mulai berangsur berganti pagi. Tubuh mungilnya tak sanggup berdiri tegak, langkah yang sedari tadi membawanya pergi mengasingkan diri, kini semakin lunglai.
Pink akhirnya tak sadarkan diri, suhu badannya terus tinggi, bibirnya biru menggigil kedinginan. Wajah ayunya semakin memucat. Beruntung sekali ketika pingsan ada seorang ibu paruh baya menolongnya. Ibu itu berteriak minta tolong pada beberapa orang di sekitarnya untuk mengangkat tubuh mungil itu naik ke atas becak. Ibu itu berniat membawa Pink ke puskesmas yang tak jauh dari pasar legi, di mana ibu paruh baya tersebut mengais rejeki sebagai buruh kuli gendong.
Ibu itu membantu mengangkat dagangan para pedagang yang berjualan di pasar legi, dengan upah 2.500 untuk sekarung barang, yang harus di bawanya dari tempat parkiran menuju tempat para pedagang menggelar dagangannya.
Ibu Ranung, beliau di kenal sebagai seorang wanita yang sangat ramah dan sabar suaminya meninggal dunia beberapa tahun silam, beliau tak di anugerahi seorang anak. Namun Ibu Ranung tak pernah terlihat sedih wajahnya yaang tampak kalem mencerminkan hatinya yang bersahaja.
“Syukurlah kamu sudah siuman, Nduk,’’ sloroh Ibu Ranung ketika melihat Pink membuka matanya.
Pinkan hanya menganggukkan kepala serta melemparkan seutas senyum yang masih terlihat menawan khas seorang Pinkan yang cantik dan rupawan.
“Maaf ibu ini siapa, dan saya berada di mana?” tanya Pink yang tampak bingung karena merasa asing.
“Kamu berada di puskesmas, Nduk. Semalam ibu menemukanmu pingsan di depan pasar. Ibu hendak menghubungi orang tuamu supaya mereka tau putrinya sedang berada di puskesmas ini, tapi ibu tak menemukan satu identitas pun di dalam tas yang kamu bawa itu. Maaf sebelumnya kalau ibu lancang berani membuka barang bawaanmu.”
Nggak apa-apa kok, Bu. Saya justru berterimakasih banyak ibu sudah menolong saya. Saya justru minta maaf sudah merepotkan ibu.” Air mata pun jatuh berlinang dari wajah cantik Pink, dan berusaha memeluk ibu yang baik hati tersebut.
Setelah keadaan mulai berangsung membaik, Pink menceritakan keadaan dirinya. Ibu Ranung yang baik hati sekali lagi bermaksud menolong Pink dengan mengajaknya tinggal bersama di rumahnya, dan pink pun menyetujuinya karena dia sendiri pun tak tau mau pergi ke mana.
Hari terus berlalu, kandungan Pink semakin membesar. Selama tinggal di rumah Ibu Ranung dia tak mau menjadi beban ibu angkatnya, dan dia pun memutuskan untuk mencari kerja seadanya.
Pink yang jari-jari lentiknya biasa menari di atas tuts piano kini ia harus merelakan jari tangannya kering dan kadang berdarah karena iritasi sabun cuci. Ya, dia memutuskan untuk menjadi buruh cuci baju para tetangga yang tinggal di sekitar rumah Ibu Ranung.
Sebenarnya Ibu Ranung tak mengijinkannya bekerja takut mengganngu kandungannya. Tapi Pink berhasil meyakinkan ibu angkatnya bahwa dia akan baik-baik saja.
Jadwal kelahiran pun sudah semakin dekat. Malam itu hujan turun dengan deras. Pink berusaha membangunkan ibu angkatnya yang tidur di sampingnya. Perutnya tiba-tiba mulai sakit luar biasa. Dia mengalami kontraksi. Darah segar pun mulai keluar, membuat Ibu Ranung tampak panik kebingungan. Dia bergegas lari keluar mencari bantuan. Beruntung masih ada tukang becak yang mangkal mencari penumpangn malam itu.
Untuk kesekian kalinya peristiwa besar yang di alami Pink selalu di barengi dengan hujan deras. Kilatan petir yang bersahutan tidak menggoyahkan semangat Pak Sardi mengayuh becaknya mengantarkan Pink dan ibunya ke rumah bersalin terdekat.
Darah segar semakin deras mengalir keluar ketika becak Pak Sardi sampai di tempat tujuan. Kontraksi perut Pinkan semakin hebat, sehingga membuatnya pingsan tak sadarkan diri. Suasana semakin tegang ketika bidan yang membantu persalinan Pink angkat tangan tidak sanggup melakukan tindakan membantu persalinan. Yang jelas operasi harus segera di lakukan untuk menyelamatkan ibu dan bayinya. Sedangkan peralatan di rumah bersalin tidak cukup memadai jika harus di lakukan operasi cesar di sana.
Ibu Ranung tampak bingung dan sedih. Air matanya tak berhenti mengalir mebasahi pipi tuanya yang kusam. Di sela tangisnya beliau tak berhenti berdoa memohon keselamatan Pink dan bayinya.
“Ibu,” sapa bidan itu membuyarkan lamunannya. “anak ibu harus segera di kirim kerumah sakit, sebab di sini fasilitas kami sangat terbatas. Ibu harus secepatnya mengambil keputusan agar kami bisa segera melakukan tindakan lebih lanjut, menyiapkan ambulance dan menghubungi pihak rumah sakit.”
“Iya Bu bidan, saya mengerti tapi dari mana saya bisa mendapatkan uang untuk biaya operasi anak saya. Saya hanya seorang buruh gendong di pasar.”
“Saya mengerti posisi ibu.” Bidan tersebut tampak iba melihat raut wajah sedih yang terpancar dari wajah ibu tua itu
“Nanti akan saya coba bantu mengajukan surat permohonan keringanan biaya pada pihak rumah sakit. Yang jelas sekarang juga ibu harus menandatangani surat kuasa atas nama keluarga bahwa mengijinkan di lakukan operasi.”
Tanpa berfikir panjang dalam keadaan terjepit, Ibu Ranung bergegas pergi ke rumah juragan Basri, dia adalah seorang rentenir. Bu Ranung bermaksud menggadaikan sertifikat rumahnya untuk mendapatkan biaya persalinan anak angkatnya.
Juragan Basri memberi tempo pengembalian selama tiga bulan dengan bunga pinjaman yang sangat tinggi. Bu Ranung pun menyetujuinya, karena tak ada pilihan lain untuknya.
Operasi pun berhasil menyelamatkan Pink dan bayinya. Tiga bulan setelah peristiwa itu berlalu, batas waktu yang di berikan pada bu Harnung untuk melunasi hutangnya pada juragan Basri pun tiba. Sore itu terdengar suara gaduh di luar rumah. Ternyata rentenir tersebut datang bersama beberapa anak buahnya untuk menagih hutang. Ini yang di khawatirkan Bu Ranung. Karena belum mampu melunasinya beliau meminta perpanjangan waktu barang seminggu.
Sungguh waktu yang terlalu singkat untuk mencari duit sebesar sepuluh juta rupiah. Juragan Basri pun menyetujui, kali ini dia mengancam akan mengusir mereka sekeluarga keluar dari rumah jika tidak bisa melunasi hutangnya seminggu lagi.
Keesokan harinya pagi-pagi Pinkan pamit pada ibu angkatnya untuk mencari pekerjaan. Hasil dari buruh mencuci baju tetangga yang selama ini dia geluti hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Pink menitipkan Mutiara, bayi kecilnya pada ibu angkatnya tersebut. Sementara seharian Pink keluar masuk perusahaan dan tak satupun perusahaan yang bersedia menerima karyawati yang hanya mengantongi ijazah SLTA.
Hari-hari berikutnya pun masih sama. Pink masih belum juga mendapatkan pekerjaan. Andai dia diterima kerja pun mana mungkin dia bisa secepat itu mendapatkan duit yang cukup besar jumlahnya. Dia mulai gundah, bagaimana kalau sampai dia ibu dan bayinya di usir dari rumah. Ke mana mereka akan pergi?
Hari eksekusi tiba juga. Pada waktu yang bersamaan kebetulan bayi kecil itu rewel terus, badannya panas tangisnya pun tak berhenti sejak pagi tadi.
Ibu Ranung semakin panik ketika juragan Basri dan anak buahnya kembali datang menagih hutang. Sementara di luar sana sampai detik ini pun Pink belum mendapatkan pekerjaan.
Kakinya membawa ia melangkah menuju sebuah cafe, mencoba menawarkan diri mengisi lowongan kerja sebagai pianis walaupun dia sendiri tidak yakin apakah kemampuan jari-jarinya masih sehebat seperti beberapa tahun yang lalu. Tapi dia mencoba memberanikan diri untuk melamar kerja di sana.
Nihil. Ada seorang tante yang dari tadi mengamatinya dari kejauhan, sepertinya dia tau kalau Pink sangat butuh pekerjaan. Matanya pun jeli mengawasi dan melihat walaupun dari kejauhan Pink memang tampak menawan, bajunya yang sederhana tak mampu melunturkan kecantikannya.
Tante itu menghampiri Pink, dia menawarkan kerja padanya. Pekerjaan yang mudah dengan hasil yang menggiurkan. Tante Heny seorang mucikari kelas atas. Pelanggannya adalah bos-bos besar dan pejabat-pejabat. Anak buahnya, rata-rata sudah kaya raya. Mobil mewah milik pribadi, siap mengantarkan ke sana-ke mari melayani tamu-tamu yang sudah menunggu di hotel berbintang.
***
Ketika sampai rumah pink melihat barang barang berserakan di luar rumah, ibu dan anaknya duduk di dekat tumpukan barang barang tersebut. Pink segera lari memeluk ibunya yang sedang menangis kebingungan karena bayi dalam gendongnnya sedang demam.
Akhirnya mereka pergi ke rumah sakit untuk memeriksakan keadaan Mutiara. Barang-barang pun di tinggalkan begitu saja. Karena mereka juga tak tau ke mana akan pergi dan tinggal walaupun hanya untuk sementara.
Dokter tampak serius memeriksa bayi kecil tersebut,dan memanggil Pink untuk berbicara lebih lanjut. Dengan terpaksa dokter menyampaikan berita duka. Bayi kecil yang malang mengalami hepatitis A, saat ini karena usia bayi masih terlalu kecil, kondisi tubuhnya belum kuat jika harus menjalani tranplatasi hati.
Ketika dia menginjak usia sepuluh tahun nanti bayi ini membutuhkan seorang pendonor yang bersedia mentranplatasikan hatinya agar dia bisa hidup pebih lama, dan yang menyedihkan lagi kedua matanya terancam buta.
Seperti tersambar petir mendengarnya. Pink tak sadarkan diri ujian demi ujian datang silih berganti. Bayi kecilnya pun juga ikut mengalami ujian seberat ini. Pink tak tau lagi harus kemana mencari biaya pengobatan anaknya, dan rumah kontrakan untuk mereka tinggal.
Akhirnya dia mencoba menghubungi tante Heny yang meninggalkn kartu nama padanya tempo hari. Di sinilah karir pink sebagai wanita penghibur kelas atas di mulai.
Pink yang menghitam. Cobaan demi cobaan menyeretnya ke dunia hitam. Usianya yang masih tergolong sangat muda menjadikannya primadona di antara rekan kerjanya.
Minggu bulan tahun pun berganti. Akhirnya rumah yang layak huni pun dia miliki. Tabungan untuk pendidikan anaknya pun sudah di persiapkan jauh-jauh hari. Setiap malam di sepertiga akhir, sering terdengar tangisan perempuan. Ya, pink menangis bersujud memohon ampun pada Tuhan telah menjalani pekerjaan yang di laknat-Nya.Tapi tak ada pilihan lain untuknya. Dia terpaksa melakukan pekerjaan ini.
Usia Mutiara, kini menginjak tahun kesembilan. Sebentar lagi tubuhnya sudah kuat jika harus di adakan operasi tranplatasi hati dan cangkok kornea mata.Tapi selama ini belum ada seorangpun yang bersedia mendonorkan kedua organ vital itu secara cuma-cuma. Pink semakin tersiksa ketika melihat buah hatinya harus berada di sekolah luar biasa bersama anak-anak penyandang cacat lainnya.
Diam-diam, dia berdiskusi dengan dokter yang selama ini menangani anaknya. Dia bermaksud mendonorkan hati dan kedua kornea matanya untuk Mutiara Hati malaikat kecil dan harta paling berharga di dunia ini.
Dokter menyuruhnya pulang dan memikirkan Kembali hal ini, karena nyawanyapun terancam jika setelah operasi di masih mampu bertahan hidup. Itupun sebuah keajaiban dari Tuhan.
Tekad Pinkan sudah bulat, andai dia menghadap Tuhan nanti anak dan ibu angkatnya tak perlu bersusah payah mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Hasil kerjanya hampir sepuluh tahun ini mendapatkan jumlah uang yang luar biasanya banyaknya. Walaupun uang itu hasil dari pekerjaan yang haram. Sungguh dia berserah dan pasrah semua dia kembalikan pada Tuhan, bahwa semua ini sudah menjadi suratan.
Operasi transplatasi hati, dan pencakokan kornea mati sukses di lakukan. Namun nyawa Pinkan tak terselamatkan.
Sementara itu di hari yang sama Danu Bastian laki-laki bajingan itu menerima hukuman eksekusi mati, karena di nyatakan bersalah telah menghabisi nyawa pasangan kumpul kebonya yang tidak lain adalah Amy Safitry. Mayatnya di multilasi menjadi sepuluh bagian,walaupun di buang di tempat yang terpisah akhirnya polisi dapat menemukan.
Malam sebelum menjalani operasi Pinkan menulis sebuah surat, dia berpesan pada putrinya untuk mencari kakek dan nenek kandungnya di alamat yang dia tulis lengkap beserta foto Ayah Bundanya yang sudah usang. Pinkan beramanah untuk memohonkan maaf untuknya pada kedua orang tuanya melalui putri kecilnya Mutiara Hati.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Rumah Kopi Copyright © 2010 Design by Ipietoon Blogger Template Graphic from Enakei | web hosting