Namanya Dias. Dia anak tunggal dari
Haji Sanusi. Dibesarkan di tengah keluarga serba ada, justru membuat mentalnya
sedikit lemah. Hei! Jangan mikir yang tidak-tidak ya?
Semua hal begitu mudah
didapatkannya, kecuali cinta dari kaum hawa. Bagaimana dia bisa mendapatkan
cinta, untuk berkenalan dengan seorang gadis saja, dia tak pernah punya
keberanian. Apakah, hai! Hallo? Sedang apa? Atau, bolehkah aku duduk ? Hal
sesederhana itu pun tak mampu dia lakukan. Alih-alih menyapa duluan, didekati
cewek saja, keringat dingin langsung merembes dari pori-pori kulitnya yang
kuning. Di usianya yang sudah hampir berkepala tiga, tentu orangtuanya selalu
mendesak Dias untuk segera menikah.
Berkali-kali orangtuanya berusaha
menjodohkan, dan sering kali pula cowok berwajah kalem itu menolak. ”Ini bukan
lagi jaman Siti Nurbaya, Bu. Tapi, jamannya Siti Nurhaliza.” Katanya, sambil
menyuapkan sesendok nasi ke mulutnya. ”Kamu itu, paling bisa membantah.” Ibunya
sewot dengan penolakan putranya tersebut.
Perdebatan seperti itu sudah tak
asing lagi terjadi di tengah keluarga mereka. ”Bilangnya, punya banyak teman
cewek. Mana buktinya? Dari dulu kemana-mana selalu sama Yanu.” Ujar ibunya.
”Jangan-jangan kalian ...” Ibu menghentikan kalimatnya. ”Husst! Sudahlah, Bu.
Jangan mikir yang nggak-nggak!” sergah Bapak. Laki-laki paruh baya itu mencoba
melerai.
"Teman Dias memang banyak, Bu.
Noh, dari yang mukanya mirip Agnes Monica, sampai yang ngenes mau cerai juga
ada. Tapi, jodoh itu di tangan Tuhan, bukan di tangan Ibu. Main jodoh-jodohin
aja. Kayak anaknya nggak laku ini." Ibunya menghela napas kasar, tak ada
senyum yang tersungging di wajah yang terbingkai jilbab itu. Ekspresinya nampak
datar.
****
Seperti yang sudah dijadwalkan
sebelumnya, minggu pagi pukul 08.00 WIB, Yanu dan Dias berangkat dari kota
Blitar, menuju Bendungan Wonorejo. Karena tempat tersebut berada di pesisir
barat kota Tulungagung, butuh waktu satu setengah jam untuk sampai di sana.
Joran, benang, mata kail, umpan, sudah dipersiapkan sebelumnya. Dengan mengendarai
motor honda vario, mereka menyusuri jalan propinsi yang menghubungkan kota
Blitar—Tulungagung. Jalan raya nampak lengang pagi itu.
Setelah melewati perkebunan teh, dan
hutan pinus, akhirnya mereka tiba di tempat tujuan. Empat pasang mata pemuda
itu, disuguhi pemandangan yang begitu menakjubkan ketika sampa di sana.
Hamparan air bendungan yang berwarna biru tenang, adalah hal yang paling
mencolok. Seperti manusia primitif yang baru datang ke kota, Yanu tak
henti-hentinya mengucap decak kagum atas apa yang dilihatnya. ”Bro, keren
banget. Sumpah! Aku baru pertama kali datang ke sini.” Mata sipit Yanu masih
sibuk menelanjangi Waduk yang terbesar di kawasan Asia Tenggara itu. ”Kamu sih,
mentang-mentang tinggal di kota, mainnya ke tempat-tempat dugem. Apa asyiknya
coba?” tanya Dias sembarangan.
”Sesekali nggak apa-apa kali, Bro!
Refreshing, anak muda gitu loh! Ntar nih, kalau anak-cucuku tanya, tentang
diskotik dan segala hal di dalamnya, aku bisa menjawab.” Balas Yanu tak mau
kalah. Seketika itu juga Dias memukul pelan kepala sahabtanya itu.
”Gila, coba lihat! Ada speed
boat-nya juga di sana.” Telunjuk Yanu menunjuk ke arah speet boat itu. ”Wooee!
Kampungan banget sih, namanya juga tempat wisata. Ya, tentu saja prasarananya
lengkap.” Ucap cowok berambut lurus yang selalu disisir ke kanan itu,
tegas." Kamu pikir cuma Bali saja yang keren! Tuh, lihat di sebelah sana,
ada tempat penginapan. Di sebelah sana itu, ada taman bermain.” Lanjut Dias
menjelaskan.
Beberapa saat kemudian, keduanya
berjalan beriringan sambil menikmati udara sejuk khas pegunungan yang bebas
dari polusi udara. Dari jauh, pohon-pohon terlihat seperti miniatur yang
tertata rapi.
”Bro, aku letakkan di sini!” Kata
pemuda keturunan tiong hoa itu sambil menaruh kotak berisi peralatan pancing
tersebut. ”Wooee! Agak ke samping kanan dikit,” teriak Dias dari kejauhan.
”Lihat, ada genangan air. Nampaknya sisa hujan semalam,” lanjutnya. Sambil
memelototi hp-nya, Yanu menuruti ucapan sahabatnya yang berusia tiga tahun di
atasnya tersebut.
”Nih, punyamu!” ucap Dias sambil
menyodorkan joran lipat dari dalam kotak warna biru. Sejenak keduanya tengah
sibuk mempersiapkan peralatan pancingnya. Bebarapa saat kemudian setelah siap,
kedua sahabat itu berjalan mendekat ke danau yang permukaannya selalu nampak
tenang itu.
“Hati-hati, rumputnya licin.” ujar
Dias mengingatkan, sambil melempar mata kailnya ke air. Kemudian di atas
rermputan yang basah itu, Dias duduk santai-- diikuti Yanu, sahabatnya.
”Ternyata, yang paling sulit bagi
lelaki dewasa yang masih lajang adalah memutuskan tepat tidaknya seseorang yang
hadir memberi cinta yang hadir untuk pendamping hidupnya.” ucap Dias memulai
percakapan, sambil meloloskan satu batang rokok kemudian menyulut api ke ujungnya.
”Itu artinya kamu menginginkan
pendamping yang sempurna. Bukankah tak ada manusia yang sempurna? Kalau kamu
terus-terusan ragu, aku yakin, kamu akan menjadi lelaki lajang selamanya.”
jawab Yanu dengan tenang. ”Kalau kamu menyia-nyiakan kesempatan kecil, bisa
jadi, kamu juga bisa kehilangan kesempatan besar.” Lanjutnya.
”Tapi, bukankah cinta boleh
memilih?” tanya Dias akhirnya.
”Iya sih, tapi bukan berarti kamu
harus menyia-nyiakan seseorang yang dengan tulus mencintaimu.”
”Tapi ...” Dias menghentikan
kalimatnya. Pikirannya melesat pada sesosok cewek yang akhir-akhir ini rajin
mendekatinya. ”Ah, aku tak pernah cocok dengannya, bagai barat dan timur.”
Cowok yang memiliki lesung pipit itu tersenyum kecut. Dia tak ubahnya seperti
prajurit yang menyerah sebelum perang.
”Terus, maunya bagaimana?
Mengabaikan? Ingat, yang kamu singgahi itu hati bukan rumah yang seenaknya saja
datang dan pergi sesuka hati. ”Ketidak cocokan itu berasal dari mana? Latar
belakang, cara pandang tentang kehidupan? Atau gaya hidupnya sehari-hari?”
Bagaikan Polisi yang mengintrogasi terdakwa, pertanyaan demi pertanyaan Yanu
membombardir sahabatnya yang tengah galau itu.
”Salah satunya itu?” jawab Dias
ragu.
”Manusia itu diciptakan dengan
segala macam perbedaan, kawan. Dan kecocokan itu akan hadir seiring berjalannya
waktu. Pelan-pelan jika kalian mencoba menyesuaikan diri, aku rasa tidak ada
lagi kata ketidak cocokan.”
”Hah, entahlah. Aku masih bingung.”
Pandangannya tidak beranjak dari arah semula. Sesekali embusan angin
menyibakkan rambutnya yang lurus. Tersirat beban di wajahnya. Namun,
sebenanrnya masalah itu berasal dari keraguannya sendiri yang selalu bingung
menentukan pilihannya.
”Dan yang harus diingat lagi,
menikah adalah ladang berkah bagi suami yang dengan sabar memberi pengarahan
pada istrinya. Mendampingi wanitanya menjadi istri solehah.” Ekspresi Yanu
nampak serius kala itu. Mendengar ucapan sahabatnya, Dias mengerlingkan
matanya, dengan mimik muka Nampak sinis. Dia seolah tidak percaya apa yang baru
disampaikan sahabtnya tersebut.
”Gayamu, sok gurui! Kerjaannya
keluar masuk diskotik juga.” ujar Dias datar.
”Eits! Jangan salah. Ke diskotik,
belum tentu aku menyentuh minuman beralkohol, atau menggoda wanita di sana.”
”Lalu?”
”Udah deh, nggak usah bahas
diskotik. Yang jelas, kediskotik itu nggak selalu berbuat maksiat. Catet!”
tandasnya. ”Ada yang salah dengan persepsi kamu.” Yanu menghentikan kalimatnya,
menghela napas untuk mengatur perasaannya saat itu. ”Mungkin kamu berpikir, bahwa
gadis yang baik itu, pasti berjilbab.”
”Tentu saja! Tuhan menganjurkan
demikian.” Dias memotong ucapan cowok beralis tebal itu.
Yanu geming. Tidak melanjutkan
kalimatnya. Dia tahu watak sahabatnya itu. Percumah berdebat soal ini
dengannya. Toh, Dias bakalan ngotot mempertahankan pendapatnya.
”Menikah itu untuk saling melengkapi
kekurangan masing-masing. Coba deh, kamu tanya sama hati kecilmu? Kira-kira ada
perasaan nyaman tidak saat kalian ngobrol misalnya?” Belum sempat Dias menjawab
pertanyaan, tiba-tiba ada sesuatu yang menarik umpannya. Bersamaan dengan itu,
ada panggilan masuk ke hp-nya. Tertulis nama ibunya di layarnya. Konsentrasi
Dias terpecah. Dia gugup, akhirnya tangkapannya lepas.
”Assalamualaikum. Iya, Bu. Ada apa?”
”Kamu harus pulang sekarang juga!” perintah
ibunya.
”Iya, tapi Ibu bilang dulu. Ada apa?
Jangan bikin Dias bingung dong, Bu ...” dia memelankan suaranya. Ibunya tidak
lekas menyampaikan sesuatu yang dimaksud. Wanita paruh baya itu mewanti-wanti
supaya anak lelakinya segera pulang.
Disampaikannya hal itu pada Yanu
sahabtanya. Meskipun belum mendapatkan hasil, terpaksa keduanya pulang.
Sepanjang perjalanan pikiran Dias
gelisah tak karuan.
***
Sebuah mobil terparkir di pekarangan
rumahnya. Dias bergegas menyelinap masuk dari pintu samping. Ibunya sudah
berdiri di depan pintu. Dias segera mencari tahu apa sekiranya yang terjadi.
”Buruan mandi, dan berpakaianlah yang rapi!” ujar ibunya.
”Lagi dan lagi.” Dias seakan mampu
membaca pikiran ibunya, kalau perintahnya itu terkait dengan para tamu yang
datang. Ya, tentu saja acara perjodohan.
Dias melenggang meninggalkan ibunya.
Diambilnya handuk dari kamar, kemudian pergi mandi. Setelah mematut dirinya di
depan cermin, cowok berpostur tinggi tersebut terduduk di tepi ranjang. Beberapa
detik kemudian dia keluar rumah dari pintu dapur. Kabur. Ya, itulah yang ada di
benaknya saat itu. Tetapi, tiba-tiba ucapan Yanu siang tadi, kembali terngiang
di telinganya. Jangan kecewakan orangtuamu, jika tidak ingin sial seumur hidup.
Oleh karenna itu, Dias mengurungkan niatnya. Langkahnya terhenti. Dilema sedang
berkecamuk di benaknya. Tentang janjinya pada seseorang, serta rasa bersalah
karena mengecawakan orangtuanya.
Sementara itu, di ruang tamu seorang
gadis berparas rupawan duduk di antara dua keluarga besar tersebut. Hijab
berwarna biru muda dengan busana warna senada, semakin menambah sempurna
penampilannya. Haira namanya. Dia putri Haji Ahsan, sahabat lama Haji Sanusi.
***
Siang itu, kota Blitar diguyur hujan
yang turun tanpa jeda sejak pagi. Nampak seorang laki-laki dan perempuan
berjalan beriringan di bawah payung menuju rumah keluarga Haji Sanusi. Mereka
tak lain adalah Dias dan Mutia. Ibu dan bapaknya terduduk di kursi ruang tamu
menunggu keduanya. Setelah mengucapkan salam dan mencium tangan kedua
orangtuanya, Dias sesuai janjinya memperkenalkan gadis pilihannya. Ekspresi Ibu
nampak aneh. Dia kecewa. Sungguh. Bagaimana tidak? Perjodohan tempo hari
kembali gagal. Kali ini putra semata wayangnya membawa gadis cacat--diperkenalkan
sebagai calon istrinya.
" Kamu ini sudah gila,
apa?" ucap ibunya gusar. Ditariknya tangan Dias ke ruang tengah, di mana
percakapan mereka tidak sampai terdengar sampai di ruang tamu." Ada apa,
Bu?"
" Kenapa kamu memilih gadis pincang
itu sebagai istrimu, Dias?" sambil bersungut-sungut, ibunya
beringsut--bersandar di dinding ber-cat pitih itu."Bu, maaf." Dias
terdiam dan menunduk. Air matanya menetes, dan setelah berlutut dihadapan
ibunya, kemudia dipeluknya erat kedua kaki wanita paruh baya tersebut.
"Dengarkan penjalasanku dulu,
Bu. Dias sudah lama mengenalnya tanpa menjalin hubungan apa-apa. Hanya saja
setelah kejadian itu, Dias berjanji suatu hari jika memang Tuhan memperkenannkan,
aku akan meminangnya tentu dengan restu Bapak serta Ibu." Katanya, sambil
sesenggukan.
"Kajadian apa, Nak?"
"Bu, lima tahun yang lalu, di
bawah derasnya hujan, aku mengendarai motor dengan kecepatan tinggi.
Pandanganku kabur waktu itu. Dan ..." Dias menghentikan kalimatnya.
"Lanjutkan." Perintah Ibu.
"Dias menabrak seorang kemudian
kabur begitu saja." Tubuh Dias gemetaran dan masih dalam posisi memeluk
sepasang kaki ibunya, tangisnya pecah tak terbendung menyesali kasalahannya.
Wanita berhijab itu geming.
“Kemudian dari tetangganya, aku mendapat informasi bahwa gadis yang aku
tabrak mengalami patah kaki, Bu. Dia itu Mutia, yang sekarang ada di ruang
tamu." lanjut Dias.
"Bangkaitlah, Nak." Ibunya
menyerukan ucapan itu dengan suara parau. "Apa kamu sudah berterus terang
dan minta maaf pada kelurga gadis itu?" tanya ibunya akhirnya, kedua
tangannya mencengkeram lengan putranya tersebut. Dias yang masih tertunduk,
hanya mengangguk. Kemudian berkata, "Mereka memaafkan Dias dan tidak
menuntut apa pun, Bu? Sungguh, mereka keluarga yang sangat baik dan berjiwa besar.
Semua ujian berasal dari Tuhan. Itulah yang diucapkan bapaknya Mutia tempo
hari."
“Meskipun cacat, Mutia tak berkecil
hati untuk melanjutkan hidupnya, Bu. Dia lulus sarjana dengan nilai terbaik.
Dan … Mutia gadis yang soleha, maka Ijinkan Dias menikahinya ya.”
“ Menikahlah dengan gadis pilihanmu,
Nak. Ibu merestui kalian. Iya kan, Pak?” ujar Ibu ketika mereka berada dalam
satu ruangan yang sama.
Selesai.
0 komentar:
Posting Komentar