Selasa, 21 Januari 2014

Jodoh Di Tangan Tuhan. Cinta Harus Diperjuangkan

Diposting oleh Rumah Kopi di 21.21


Namanya Dias. Dia anak tunggal dari Haji Sanusi. Dibesarkan di tengah keluarga serba ada, justru membuat mentalnya sedikit lemah. Hei! Jangan mikir yang tidak-tidak ya?
Semua hal begitu mudah didapatkannya, kecuali cinta dari kaum hawa. Bagaimana dia bisa mendapatkan cinta, untuk berkenalan dengan seorang gadis saja, dia tak pernah punya keberanian. Apakah, hai! Hallo? Sedang apa? Atau, bolehkah aku duduk ? Hal sesederhana itu pun tak mampu dia lakukan. Alih-alih menyapa duluan, didekati cewek saja, keringat dingin langsung merembes dari pori-pori kulitnya yang kuning. Di usianya yang sudah hampir berkepala tiga, tentu orangtuanya selalu mendesak Dias untuk segera menikah.


Berkali-kali orangtuanya berusaha menjodohkan, dan sering kali pula cowok berwajah kalem itu menolak. ”Ini bukan lagi jaman Siti Nurbaya, Bu. Tapi, jamannya Siti Nurhaliza.” Katanya, sambil menyuapkan sesendok nasi ke mulutnya. ”Kamu itu, paling bisa membantah.” Ibunya sewot dengan penolakan putranya tersebut.
Perdebatan seperti itu sudah tak asing lagi terjadi di tengah keluarga mereka. ”Bilangnya, punya banyak teman cewek. Mana buktinya? Dari dulu kemana-mana selalu sama Yanu.” Ujar ibunya. ”Jangan-jangan kalian ...” Ibu menghentikan kalimatnya. ”Husst! Sudahlah, Bu. Jangan mikir yang nggak-nggak!” sergah Bapak. Laki-laki paruh baya itu mencoba melerai.

"Teman Dias memang banyak, Bu. Noh, dari yang mukanya mirip Agnes Monica, sampai yang ngenes mau cerai juga ada. Tapi, jodoh itu di tangan Tuhan, bukan di tangan Ibu. Main jodoh-jodohin aja. Kayak anaknya nggak laku ini." Ibunya menghela napas kasar, tak ada senyum yang tersungging di wajah yang terbingkai jilbab itu. Ekspresinya nampak datar.


****


Seperti yang sudah dijadwalkan sebelumnya, minggu pagi pukul 08.00 WIB, Yanu dan Dias berangkat dari kota Blitar, menuju Bendungan Wonorejo. Karena tempat tersebut berada di pesisir barat kota Tulungagung, butuh waktu satu setengah jam untuk sampai di sana. Joran, benang, mata kail, umpan, sudah dipersiapkan sebelumnya. Dengan mengendarai motor honda vario, mereka menyusuri jalan propinsi yang menghubungkan kota Blitar—Tulungagung. Jalan raya nampak lengang pagi itu.


Setelah melewati perkebunan teh, dan hutan pinus, akhirnya mereka tiba di tempat tujuan. Empat pasang mata pemuda itu, disuguhi pemandangan yang begitu menakjubkan ketika sampa di sana. Hamparan air bendungan yang berwarna biru tenang, adalah hal yang paling mencolok. Seperti manusia primitif yang baru datang ke kota, Yanu tak henti-hentinya mengucap decak kagum atas apa yang dilihatnya. ”Bro, keren banget. Sumpah! Aku baru pertama kali datang ke sini.” Mata sipit Yanu masih sibuk menelanjangi Waduk yang terbesar di kawasan Asia Tenggara itu. ”Kamu sih, mentang-mentang tinggal di kota, mainnya ke tempat-tempat dugem. Apa asyiknya coba?” tanya Dias sembarangan.


”Sesekali nggak apa-apa kali, Bro! Refreshing, anak muda gitu loh! Ntar nih, kalau anak-cucuku tanya, tentang diskotik dan segala hal di dalamnya, aku bisa menjawab.” Balas Yanu tak mau kalah. Seketika itu juga Dias memukul pelan kepala sahabtanya itu.

”Gila, coba lihat! Ada speed boat-nya juga di sana.” Telunjuk Yanu menunjuk ke arah speet boat itu. ”Wooee! Kampungan banget sih, namanya juga tempat wisata. Ya, tentu saja prasarananya lengkap.” Ucap cowok berambut lurus yang selalu disisir ke kanan itu, tegas." Kamu pikir cuma Bali saja yang keren! Tuh, lihat di sebelah sana, ada tempat penginapan. Di sebelah sana itu, ada taman bermain.” Lanjut Dias menjelaskan.


Beberapa saat kemudian, keduanya berjalan beriringan sambil menikmati udara sejuk khas pegunungan yang bebas dari polusi udara. Dari jauh, pohon-pohon terlihat seperti miniatur yang tertata rapi.


”Bro, aku letakkan di sini!” Kata pemuda keturunan tiong hoa itu sambil menaruh kotak berisi peralatan pancing tersebut. ”Wooee! Agak ke samping kanan dikit,” teriak Dias dari kejauhan. ”Lihat, ada genangan air. Nampaknya sisa hujan semalam,” lanjutnya. Sambil memelototi hp-nya, Yanu menuruti ucapan sahabatnya yang berusia tiga tahun di atasnya tersebut.


”Nih, punyamu!” ucap Dias sambil menyodorkan joran lipat dari dalam kotak warna biru. Sejenak keduanya tengah sibuk mempersiapkan peralatan pancingnya. Bebarapa saat kemudian setelah siap, kedua sahabat itu berjalan mendekat ke danau yang permukaannya selalu nampak tenang itu.

“Hati-hati, rumputnya licin.” ujar Dias mengingatkan, sambil melempar mata kailnya ke air. Kemudian di atas rermputan yang basah itu, Dias duduk santai-- diikuti Yanu, sahabatnya.


”Ternyata, yang paling sulit bagi lelaki dewasa yang masih lajang adalah memutuskan tepat tidaknya seseorang yang hadir memberi cinta yang hadir untuk pendamping hidupnya.” ucap Dias memulai percakapan, sambil meloloskan satu batang rokok kemudian menyulut api ke ujungnya.



”Itu artinya kamu menginginkan pendamping yang sempurna. Bukankah tak ada manusia yang sempurna? Kalau kamu terus-terusan ragu, aku yakin, kamu akan menjadi lelaki lajang selamanya.” jawab Yanu dengan tenang. ”Kalau kamu menyia-nyiakan kesempatan kecil, bisa jadi, kamu juga bisa kehilangan kesempatan besar.” Lanjutnya.



”Tapi, bukankah cinta boleh memilih?” tanya Dias akhirnya.




”Iya sih, tapi bukan berarti kamu harus menyia-nyiakan seseorang yang dengan tulus mencintaimu.”


”Tapi ...” Dias menghentikan kalimatnya. Pikirannya melesat pada sesosok cewek yang akhir-akhir ini rajin mendekatinya. ”Ah, aku tak pernah cocok dengannya, bagai barat dan timur.” Cowok yang memiliki lesung pipit itu tersenyum kecut. Dia tak ubahnya seperti prajurit yang menyerah sebelum perang.

”Terus, maunya bagaimana? Mengabaikan? Ingat, yang kamu singgahi itu hati bukan rumah yang seenaknya saja datang dan pergi sesuka hati. ”Ketidak cocokan itu berasal dari mana? Latar belakang, cara pandang tentang kehidupan? Atau gaya hidupnya sehari-hari?” Bagaikan Polisi yang mengintrogasi terdakwa, pertanyaan demi pertanyaan Yanu membombardir sahabatnya yang tengah galau itu.

”Salah satunya itu?” jawab Dias ragu.


”Manusia itu diciptakan dengan segala macam perbedaan, kawan. Dan kecocokan itu akan hadir seiring berjalannya waktu. Pelan-pelan jika kalian mencoba menyesuaikan diri, aku rasa tidak ada lagi kata ketidak cocokan.”

”Hah, entahlah. Aku masih bingung.” Pandangannya tidak beranjak dari arah semula. Sesekali embusan angin menyibakkan rambutnya yang lurus. Tersirat beban di wajahnya. Namun, sebenanrnya masalah itu berasal dari keraguannya sendiri yang selalu bingung menentukan pilihannya.

”Dan yang harus diingat lagi, menikah adalah ladang berkah bagi suami yang dengan sabar memberi pengarahan pada istrinya. Mendampingi wanitanya menjadi istri solehah.” Ekspresi Yanu nampak serius kala itu. Mendengar ucapan sahabatnya, Dias mengerlingkan matanya, dengan mimik muka Nampak sinis. Dia seolah tidak percaya apa yang baru disampaikan sahabtnya tersebut.

”Gayamu, sok gurui! Kerjaannya keluar masuk diskotik juga.” ujar Dias datar.


”Eits! Jangan salah. Ke diskotik, belum tentu aku menyentuh minuman beralkohol, atau menggoda wanita di sana.”

”Lalu?”

”Udah deh, nggak usah bahas diskotik. Yang jelas, kediskotik itu nggak selalu berbuat maksiat. Catet!” tandasnya. ”Ada yang salah dengan persepsi kamu.” Yanu menghentikan kalimatnya, menghela napas untuk mengatur perasaannya saat itu. ”Mungkin kamu berpikir, bahwa gadis yang baik itu, pasti berjilbab.”

”Tentu saja! Tuhan menganjurkan demikian.” Dias memotong ucapan cowok beralis tebal itu.

Yanu geming. Tidak melanjutkan kalimatnya. Dia tahu watak sahabatnya itu. Percumah berdebat soal ini dengannya. Toh, Dias bakalan ngotot mempertahankan pendapatnya.

”Menikah itu untuk saling melengkapi kekurangan masing-masing. Coba deh, kamu tanya sama hati kecilmu? Kira-kira ada perasaan nyaman tidak saat kalian ngobrol misalnya?” Belum sempat Dias menjawab pertanyaan, tiba-tiba ada sesuatu yang menarik umpannya. Bersamaan dengan itu, ada panggilan masuk ke hp-nya. Tertulis nama ibunya di layarnya. Konsentrasi Dias terpecah. Dia gugup, akhirnya tangkapannya lepas.

”Assalamualaikum. Iya, Bu. Ada apa?”

”Kamu harus pulang sekarang juga!” perintah ibunya.

”Iya, tapi Ibu bilang dulu. Ada apa? Jangan bikin Dias bingung dong, Bu ...” dia memelankan suaranya. Ibunya tidak lekas menyampaikan sesuatu yang dimaksud. Wanita paruh baya itu mewanti-wanti supaya anak lelakinya segera pulang.

Disampaikannya hal itu pada Yanu sahabtanya. Meskipun belum mendapatkan hasil, terpaksa keduanya pulang. Sepanjang perjalanan  pikiran Dias gelisah tak karuan.

***
Sebuah mobil terparkir di pekarangan rumahnya. Dias bergegas menyelinap masuk dari pintu samping. Ibunya sudah berdiri di depan pintu. Dias segera mencari tahu apa sekiranya yang terjadi. ”Buruan mandi, dan berpakaianlah yang rapi!” ujar ibunya.

”Lagi dan lagi.” Dias seakan mampu membaca pikiran ibunya, kalau perintahnya itu terkait dengan para tamu yang datang. Ya, tentu saja acara perjodohan.

Dias melenggang meninggalkan ibunya. Diambilnya handuk dari kamar, kemudian pergi mandi. Setelah mematut dirinya di depan cermin, cowok berpostur tinggi tersebut terduduk di tepi ranjang. Beberapa detik kemudian dia keluar rumah dari pintu dapur. Kabur. Ya, itulah yang ada di benaknya saat itu. Tetapi, tiba-tiba ucapan Yanu siang tadi, kembali terngiang di telinganya. Jangan kecewakan orangtuamu, jika tidak ingin sial seumur hidup. Oleh karenna itu, Dias mengurungkan niatnya. Langkahnya terhenti. Dilema sedang berkecamuk di benaknya. Tentang janjinya pada seseorang, serta rasa bersalah karena mengecawakan orangtuanya.

Sementara itu, di ruang tamu seorang gadis berparas rupawan duduk di antara dua keluarga besar tersebut. Hijab berwarna biru muda dengan busana warna senada, semakin menambah sempurna penampilannya. Haira namanya. Dia putri Haji Ahsan, sahabat lama Haji Sanusi.


***

Siang itu, kota Blitar diguyur hujan yang turun tanpa jeda sejak pagi. Nampak seorang laki-laki dan perempuan berjalan beriringan di bawah payung menuju rumah keluarga Haji Sanusi. Mereka tak lain adalah Dias dan Mutia. Ibu dan bapaknya terduduk di kursi ruang tamu menunggu keduanya. Setelah mengucapkan salam dan mencium tangan kedua orangtuanya, Dias sesuai janjinya memperkenalkan gadis pilihannya. Ekspresi Ibu nampak aneh. Dia kecewa. Sungguh. Bagaimana tidak? Perjodohan tempo hari kembali gagal. Kali ini putra semata wayangnya membawa gadis cacat--diperkenalkan sebagai calon istrinya.

" Kamu ini sudah gila, apa?" ucap ibunya gusar. Ditariknya tangan Dias ke ruang tengah, di mana percakapan mereka tidak sampai terdengar sampai di ruang tamu." Ada apa, Bu?"

" Kenapa kamu memilih gadis pincang itu sebagai istrimu, Dias?" sambil bersungut-sungut, ibunya beringsut--bersandar di dinding ber-cat pitih itu."Bu, maaf." Dias terdiam dan menunduk. Air matanya menetes, dan setelah berlutut dihadapan ibunya, kemudia dipeluknya erat kedua kaki wanita paruh baya tersebut.

"Dengarkan penjalasanku dulu, Bu. Dias sudah lama mengenalnya tanpa menjalin hubungan apa-apa. Hanya saja setelah kejadian itu, Dias berjanji suatu hari jika memang Tuhan memperkenannkan, aku akan meminangnya tentu dengan restu Bapak serta Ibu." Katanya, sambil sesenggukan.

"Kajadian apa, Nak?"

"Bu, lima tahun yang lalu, di bawah derasnya hujan, aku mengendarai motor dengan kecepatan tinggi. Pandanganku kabur waktu itu. Dan ..." Dias menghentikan kalimatnya.

"Lanjutkan." Perintah Ibu.

"Dias menabrak seorang kemudian kabur begitu saja." Tubuh Dias gemetaran dan masih dalam posisi memeluk sepasang kaki ibunya, tangisnya pecah tak terbendung menyesali kasalahannya. Wanita berhijab itu geming.
“Kemudian dari tetangganya, aku  mendapat informasi bahwa gadis yang aku tabrak mengalami patah kaki, Bu. Dia itu Mutia, yang sekarang ada di ruang tamu." lanjut Dias.

"Bangkaitlah, Nak." Ibunya menyerukan ucapan itu dengan suara parau. "Apa kamu sudah berterus terang dan minta maaf pada kelurga gadis itu?" tanya ibunya akhirnya, kedua tangannya mencengkeram lengan putranya tersebut. Dias yang masih tertunduk, hanya mengangguk. Kemudian berkata, "Mereka memaafkan Dias dan tidak menuntut apa pun, Bu? Sungguh, mereka keluarga yang sangat baik dan berjiwa besar. Semua ujian berasal dari Tuhan. Itulah yang diucapkan bapaknya Mutia tempo hari."

“Meskipun cacat, Mutia tak berkecil hati untuk melanjutkan hidupnya, Bu. Dia lulus sarjana dengan nilai terbaik. Dan … Mutia gadis yang soleha, maka Ijinkan Dias menikahinya ya.”
“ Menikahlah dengan gadis pilihanmu, Nak. Ibu merestui kalian. Iya kan, Pak?” ujar Ibu ketika mereka berada dalam satu ruangan yang sama.


Selesai.

Top of Form
Bottom of Form

0 komentar:

Posting Komentar

 

Rumah Kopi Copyright © 2010 Design by Ipietoon Blogger Template Graphic from Enakei | web hosting