Rabu, 22 Januari 2014

Tugu Rantai

Diposting oleh Rumah Kopi di 20.39
Sepintas bangunan itu terlihat biasa saja. Monumen peletakan batu pertama yang berbentuk tugu itu disebut ’Tugu Rantai’. Di samping tugu yang memiliki tinggi 10 meter itu, terdapat sebuh rantai yang melingkar -- ditopang oleh ke5 besi cor setinggi 50 senti. Warga di sekitar Desa Bendogerit, Kabupaten Blitar meyakini mitos turun temurun dari pendahulunya. Konon jika rantai itu putus, dapat ditebak beberapa hari kemudian akan terjadi malapetaka di sekitar jalan yang menuju simpang tiga1 tersebut. Di mana tugu itu berdiri kokoh.


Jam 02.00 dini hari saat semua orang terlelap, seperti biasa Mang Ncus mengayuh sepeda tuanya membawa sekarung nanas dagangannya menuju lapak buah di Pasar Legi. Hujan rintik-rintik mengiringi perjalanan leleki berbadan kurus itu. Ketika berada tak jauh dari tugu yang memiliki kekuatan magis tersebut, tiba-tiba ban sepedanya bocor. Terpaksa dia menuntunnya. Suara hewan malam yang bersahutan menambah suasana  malam itu kian mencekam. Sesekali terdengar suara lolongan anjing hutan yang membuat bulu kuduk berdiri.


PYAAAKK! Tepat ketika Mang Ncus melintas di sebelah tugu tersebut. Rantai yang melingkari tugu itu jatuh. Duh, Gusti. Alamat akan terjadi hal buruk di kampung ini. Jerit hatinya. Mang Ncus tak kuasa lari lantaran bawaannya yang berat.

***


”Key, ikut aku kerumah teman yuk!” ajak Mbak Zahra sepupuku.
”Nggak mau ah, takut. Udah jam 21.00 tuh! Lagian di luar sedang gerimis, juga!” ucapku menolak. Mataku tak beranjak dari TV yang sedari tadi aku pelototi.
Mbak Zahra tampak gelisah. Dia mondar-mandir di samping tempat dudukku. Sesekali digaruknya kepala yang berjilbab coklat muda itu. Menggigit bibirnya. Kadang memonyongkannya.


”Ayo lah, Key, ini penting banget. Modemku ketinggalan di rumah Vita, tadi.” Air muka sepupuku terlihat memelas. Sebenarnya aku tak tega melihatnya. Tapi, aku tak mau mengambil resiko keluar malam-malam begini. Apa lagi kabarnya, seseorang mendapati rantai yang mengelilingi tugu angker itu putus beberapa hari yang lalu. Ya. Mang Ncus tetanggaku, menyaksikan sendiri kejadian putusnya rantai itu.


Mbak Zahra terus membujukku. Dengan malas, akhirnya aku beranjak pergi ke kamar. Mengambil jaket. Kemudian siap-siap menerobos dinginnya malam itu.
Bukankah ini malam Jumat. Lirihku. Tentu saja kampung sepi. Biasanya Kamis malam, bapak-bapak mengikuti rutinan tahlilan.


Di bawah rintik hujan, Mbak Zahra membawa motor mio kesayangannya dengan kecepatan sedang. Tiba-tiba terlintas dibenakku tentang kecelakaan yang terjadi kemarin lusa. Pandu. Pemuda warga kampung Bendogerit, berusia 19 tahun meninggal karena motor ninja yang dikendarainya bertabrakan dengan truck bermuatan tebu. Pemuda itu meninggal di tempat kejadian yang tak jauh dari tugu rantai.


”Mbak, biasanya orang yang meninggal dengan cara mengenaskan, arwahnya masih penasaran dan gentayangan di sekitar kejadian,” ucapku.
”Ngomong apaan sih!” sergah Mbak Zahra tak suka.
”Beneran deh, semalam ada yang ngomong, melihat seorang berpakain putih mondar-mandir. Gelisah. Tepat di tempat kejadian.” Aku terus membicarakan hal yang aku sendiri tak mau mendengarnya.


”Kamu bisa diam nggak, sih, Key? Atau, aku turunin di sini.” Suara Mbak Zahra mulai meninggi. Marah. Mungkin.



Brrttt ... Brrtt ... Brrttt! Tiba-tiba motor yang kami tumpangi melambat. Dari suaranya, motor ini kehabisan bahan bakar. Tapi bukan itu penyebabnya. Seingatku sore tadi Mbak Zahra ke SPBU memenuhi tengki bensin motornya. Kalau begitu ... Ah! Sial! Jangan-jangan ini ada hubungannya dengan arwah penasaran itu. Batinku.


Gadis berlesung pipit itu meminggirkan motornya. Aku pun turun tanpa diminta. Bak radar, mataku mengawasi sekeliling tempat kami berdiri. Sepi. Tak terlihat rumah penduduk satu pun. Tak jauh dari kami berada, nampak tugu yang menjulang tinggi. Tepat sekali. Itu adalah tugu rantai.


Di bawah sinar rembulan yang temaram, kami mendorong motor itu dan berharap seseorang melintas dan memberi pertolongan. Sayup-sayup terdengar deru mesin motor. Senyumku mengembang. Sebentar lagi bisa melanjutkan perjalanan jika orang yang melintas ini, mau memberi bantuan. Batinku.


”Mbak, tuh ada orang lewat. Minta bantuan sama dia, ya?”
”Husstt! Jangan sembarangan minta tolong orang di jalan!” tolak Mbak Zahra. ”Kalau dia orang jahat gimana? Bukankah kita bisa apes dua kali?” lanjutnya.
”Usaha apa salahnya sih!” mulutku tampak maju mengakhiri kalimatku.
Suara motor itu semakin dekat. Kulambaikan tanganku agar pengendara motor itu tau maksudku. Persis seperti yang aku harapkan, dia mengurangi kecepatannya dan berhenti di tempat kami berdiri.


Hening. Orang itu mematung di atas motor ninja warna hijau tersebut. Wajahnya tak terlihat karena tertutup helm yang dikenakannya. Aku merapat ke arah Mbak Zahra. Kami saling beradu pandang. Kuraih tangan saudara sepupuki itu. Embusan angin yang  bertiup, membuat bulu kuduku berdiri. Bersamaan dengan itu, aroma kembang serta bau kemenyan tiba-tiba menyeruak tajam. Orang itu masih tetap geming. Aku kembali melihat ke arah Mbak Zahra. Kugigit bibirku kuat-kuat. Takut.


Sesaat kemudian, pengendara motor itu menggerakan tangannya ke atas. Melepas helm. Detakan jantungku semakin tak beraturan. Napasku kian memburu. Dan ketika helm itu dilepas kami berdua tercengang. Saat itu juga rasanya jantungku berhenti berdetak. Darahku berdesir melihat makluk tanpa kepala sedang bertengger di atas motor ninja.


Tanpa ba bi bu, Mbak Zahra menyeretku lari meninggalkan tempat itu. Baru beberapa meter berlari, aku jatuh tersungkur. Sendal jepit yang aku kenakan putus. Susah payah aku berdiri, ada kekuatan super yang mencengkeram kaki kiriku. Aku kembali terjatuh sebelum berdiri sempurna. Mbak Zahra menarik tanganku. Makluk tanpa kepala itu menarik kakiku. Aku tak kuasa meronta. Kedua tangan makluk itu mencengkeram kakiku dan menyeretku sekuatnya. Jeritanku kian melemah. Sosok Mbak Zahra pun tak terlihat lagi.


***


Key, bangun. Pindah ke kamar sana. Lamat-lamat aku mendengar suara sepupuku membangunkanku. Sekonyong-konyong aku pun bergegas masuk ke kamar dengan menyeret selimut bermotif winie the pooh.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Rumah Kopi Copyright © 2010 Design by Ipietoon Blogger Template Graphic from Enakei | web hosting