Kamis, 23 April 2015

Diposting oleh Rumah Kopi di 06.51

                                                                      WIN  

                                  

               Oleh: Cris Yunia


    “Hitam ya, hitam. Putih ya, putih. Semua begitu jelas. Di dunia kami tidak ada istilah abu-abu. Berani melawan …?DORRR!!!” Ia membentuk jemarinya menyerupai ujung pistol. Mendekatkan kepelipis kirinya. Tak ada senyum di wajah lelaki itu. Sorot matanya tajam layaknya binatang buas yang tengah membidik mangsanya.

 

    Aku bergidik. Beringsut seketika. Keringat dingin merembes dari pori-pori. Kututup rapat pintu yang kubuka sedikit tadi, nyaris tak menimbulkan suara. Segera kuurungkan niatku. Pelan aku melangkah kembali ke kamar.

                                                                 

                                                                       *** 

     Seperti biasa sesudah mandi, sebelum istirahat terlebih dulu kutengok keadaannya sebentar. Tidurnya nampak damai meskipun kecemasan enggan pergi dari benakknya. Aku bisa melihat dari sorot matanya kala ia terjaga. Kegelisahan itu. Ya, aku dapat merasakannya. Bagaimana tidak, di usinya yang sudah senja—orang-orang yang harusnya menjadi pelindungnya justru tidak sabar menunggu Malaikat Maut menjemput sesosok yang sudah tidak berdaya itu. Ada saja usaha yang dilakukan oleh menantunya demi menghilangkan nyawa nenek yang kurawat.

   

    Setelah memastikan tidurnya pulas, aku rebahan di ranjang.Tak ada yang menarik untuk dibahas malam ini. Semuanya masih sama seperti beberapa waktu lalu. 


Sebuah kesepakatan yang diputuskan berdasarkan satu pemahaman, tanpa meminta pendapat orang lain, kesepakatan yang terjadi bukan atas dua buah pikiran itu beda tipis dengan pemaksaan, ‘kan? Dan hei! Beraninya kamu meninggalkanku seorang diri dengan tanggung jawab yang begitu besar.

 

    Ah! Bukankah manusia itu budak-budak alam yang terkadang seperti binatang dungu. Manakala dilecut bagian tubuhnya lantas bergerak menuruti perintah tuannya. Meski sambil melenguh, sesekali merintih. Meski terseok-seok ia terus berjalan. Entah sampai kapan? Baginya, tak ada kata berhenti sebab bukankah itu artinya mati! Lagi pula, demi perut-perut yang butuh diisi setiap hari, yang berada di suatu tempat nan jauh di sana, apapun wujud dari kesulitan ini tak ada kata menyerah. Seharusnya memang begitu.

                                                                      

                                                                    ***

    "Semalam, Mama pulang dalam keadaan mabuk lagi?" Pemuda itu berdiri di tengah pintu kamar yang ditempati olehku dan nenek. Aku yang membelakanginya, hanya mengangguk tanpa menoleh ke arah sumber suara. Fokus menyuapkan bubur ke mulut nenek.


    "Apa laki-laki itu pulang bersamanya!" Aku menoleh. Menganggukkan kepala dua kali. 


    Selang beberapa detik kemudian ....  BRAKKK! Tuan muda menendang pintu kamar nenek. Aku dan nenek terlonjak bersamaan. Reflek aku mencoba menenangkan nenek. Mengusap lembut punggung tangannya yang keriput.


    "BERENGSEK! JANGAN BERISIK!" 


    Dari kamar, seorang wanita paruh baya berteriak gusar sebelum akhirnya, sebuah benda dibantingnya sehingga menimbulkan suara tak kalah gaduh dari sebelumnya. Untunglah ini bukan apartement sehingga tak ada tetangga yang mendengar keributan di rumah. Hunian ini jauh dari keramaian, tepatnya di sekitar kawasan pemandian air panas, Beitou. 

 

    Suasana seperti ini sudah tidak asing lagi. Penghuni rumah tersebut tidak pernah akur satu sama lain, kecuali Huang Hau Yun dan neneknya. Setiap hari adalah senam jantung bagiku yang didaulat merawat nenek yang dua tahun belakangan ini mengalami stroke, berusia 78 tahun. Bagaimana tidak? Ancaman bukan hanya datang dari nyonya rumah, melainkan dari laki-laki genit yang merupakan kekasih dari majikanku itu. Setiap aku lengah, David begitu laki-laki berusia 30 tahun tersebut biasa disapa, mencoba menggerayangi tubuhku. Dan jika nyonya melihat kejadian itu, sekonyong ia menghujaniku hadiah berupa pukulan, cubitan, yang merupakan bagian penyempurna ulah David yang sialan tersebut.

 

    Harusnya, aku tidak boleh mendiamkan hal itu. Waspada dan berhati-hati saja tidak cukup. Segera lapor pada pihak yang terkait supaya kejadian buruk dapat dihindari. Namun, bukankah manusia selalu memiliki pertimbangan lain yang menurutnya itu adalah langkah terbaik? Setidaknya untuk saat ini. 

 

   "Tumben belum tidur?" tanya Huang Hau Yun mengagetkanku. Aku mendongak lalu kembali mengarahkan pandanganku lurus. Kedua tanganku saling mengait memegangi lutut yang berdempetan. 

    

     Malam di musim panas, adalah perkara yang tepat menghabiskan waktu di luar rumah. Sayangnya, saat itu angin seolah enggan berhembus sehingga akhirnya memaksa keringatku ke luar sempurna. Ditambah keberadaanya di sebelahku, tak ayal membuat napas ini memburu disertai degub jantung tak menentu.

   

    Tidak seperti layaknya tuan muda dengan pekerja rumah tangga, aku dan Huang Hau Yun bisa dibilang akrab bagaikan dua sahabat baik yang sudah saling mengenal sejak kecil.

 

    “Kelak jika pendidikanku sudah selesai, bersediakah kamu menikah denganku, Win?”

 

    PLAK! Kupukul pelan lengan kekar pemilik hidup lancip itu.

 

    “Kamu pikir, aku anak kecil apaBerhenti menggodaku,” ujarku memerintah sambil melebarkan kedua mataku yang bulat.

 

    “Apa kamu tak melihat aku ini tidak sedang bercanda?” ucapnya sambil menunjuk hidungnya sendiri. Mimik wajah pemuda berahang tegas itu, tiba-tiba nampak serius. 

 

     Huang Hau Yun seperti manusia berkepribadin ganda. Saat berhadapan dengan ibunya, ia seperti sedang menghadapi musuh bebuyutan. Di luar itu, ia adalah pemuda ramah dan senang sekali bercanda.

 

     “Kenapa mesti memilihku? Bukankah gadis-gadis Taiwan lebih cantik? Hei! Apa kamu takut mereka menolakmu, ha?” ujarku menggoda sambil menyikutnya.

 

     “Orang Taiwan, atau orang Indonesia itu sama saja. Cantik. Yang terpenting ia baik. Itu saja."

 

    “Tunggu dulu. Apa kamu tidak mengikuti berita perkembangan para TKI yang berada di Negara ini? Orang Indonesia memiliki citra buruk, kamu tahu?”

 

    “Kamuharus tahu ini, Win. Menurutku, orang Indonesia, Vietnam, Philipin, pada dasarnya mereka baik. Bukan lantaran satu atau dua orang yang melakukan kesalahan, lantas satu Negara harus menanggungnya. Dicap buruk. Ibu pertiwi pasti menangis mendengar anak-anaknya berbuat onar di negara orang, Win. Tawuran atau apalah itu? Padahal, selama ini selalu diajarkannya bahwa dimana pun berada kita bersaudara. Anak-anak yang tumbuh besar dipangkuan ibu pertiwi adalah saudara. Dengan berperilaku baik, artinya ikut menjaga nama baik bangsa di mata dunia."

 

    Aku mengetuk-ngetuk bibir dengan ujung jari. Mencoba mencerna kalimat panjang tersebut. Tuan muda adalah salah satu alasan kenapa aku masih bertahan selain kebaikan yang nenek lakukan padaku. Tunggu! Meskipun ia rupawan dan baik, rasanya tak layak bagiku bermimpi bisa bersanding dengan pangeran. Ah, lupakan. 

 

    Dulu ketika aku baru sampai di Taiwan, kira-kira dua minggu—kabar buruk datang dari keluarga mengabarkan bahwa bapak masuk rumah sakit. Beliau menderita batu ginjal. Tentu butuh biaya yang besar untuk operasi. Dan waktu itu nenek yang masih sehat, berbaik hati meminjamkan sejumlah uang untuk kukirim demi pengobatan bapak. Nenek, sedikit pun tidak menaruh perasaan curiga bahwa bisa saja aku kabur sebelum bisa melunasi hutangku. Tuhan lebih tahu siapa aku. Pertolongan nenek adalah cara Tuhan mengulurkan tangannya padaku. Aku percaya itu.

 

    Hidup adalah perkara menabur dan menuia, bukan? Kebaikan nenek mengingatkanku akan kisah dari Alexander Fleming Si Penemu Penisilin. Kisah nyata yang kubaca dari sebuah buku motifasi. Kurang lebih ceritanya begini: Pada suatu hari seorang pemuda berjalan di tengah hutan. Tiba-tiba ia mendengar jeritan minta tolong. Ternyata ia melihat seorang pemuda sebaya dengan dirinya sedang bergumul dengan lumpur yang mengambang. Semakin bergerak malah semakin terperosok. Tanpa berpikir panjang, Alexander menolong pemuda itu dan memapahnya pulang ke rumah. Ternyata pemuda itu adalah anak orang kaya raya. Orangtua pemuda tersebut hendak memberikan imbalan pada Alexander, namun ia menolaknya seraya berkata, “Selayaknya sesama manusia menolong orang lain dalam kesusahan.” Sejak kejadian itu mereka bersahahabat.

 

    Alexander adalah pemuda miskin, cerdas, yang memiliki cita-cita menjadi seorang dokter. Impiannya terwujud oleh beasiswa yang diterimanya. Ternyata, beasiswa itu berasal dari oranguta pemuda yang ditolongnya beberapa waktu lalu. Kemudian Alexander Fleming menemukan obat bernama penisilin. Sedangkan pemuda bangsawan kaya raya tersebut masuk dinasmiliter. Dan dalam tugas ke medan perang ia terluka parah sehingga menyebabkan demam tinggi  karena infeksi. Para dokter mendengar tentang penisilin penemuan dr. Fleming lalu menyuntikkan pada pemuda bangsawan. Pemuda itu berangsur sembuh.

 

    Tahukah kalian, siapa pemuda bangsawan itu? Ya, ia tidak lain adalah Winston Churcill, perdana mentri Inggris yang termasyur itu. Dalam kisah ini, dapat kita lihat hukum menabur dan menui. Sesederhana itu. Yang jelas, hidup adalah perkara yang terus berkesinambungan.

 

    Kembali pada ceritaku. Nenek yang baik telah menyelamatkan bapak. Aku tidak boleh menyia-nyiakan jasanya. Merawat nenek serta melindunginya dari ulah jahat nyonya saat Huang Hau Yun tidak di rumah, sepenuhnya adalah tanggung jawabku.

 

     Aku heran dengan orng-orang yang hidupnya dipenuhi dendam seperti nyonya. Apa untungngnya coba?  Meskipun dulu, ia sempat tidak diakui sebagai menantu dikeluarga ini, dan akhirnya lantaran dalam rahim nyonya tumbuh janin yaitu Huang Hau Yun, tanpa memikirkan latar belakangnya yang seorang wanita penghibur, nenek begitu saja menerimanya menjadi menantu. Padahal, belum tentu bayi itu hasil hubungannya dengan putra nenek semata wayang yang sudah meninggal beberapa tahun silam. Sebelum kehadiranku. Anehnya, kebencian nyonya tak pernah padam—seumur hidupnya digunakan untuk mendendam.

       

 

 

   Seperti yang sudah kusampaikan bahwa manusia sering dihadapkan pada persoalan pelik yang sangat dihindarinya. Namun seperti yang kita tahu, bahwa takdir tetap mendominasi lakon apa yang mesti dijalani oleh cucu-cucu Adam. 


     Sepeninggalan tuan muda untuk menyelesaikan pendidikannya, keselamatan nenek sepenuhnya berada dalam pengawasanku. Aku tidak boleh lengah, kamu tahu? 


     Ternyata, nyonya mengalami gangguan jiwa. Bukan hanya dendam kesumat yang membuatnya berniat menghabisi nyawa nenek. Melainkan ketidakstabilan pikirannya itu menimbulkan tindakan berbahaya bagi orang lain, terutama yang tidak disukai olehnya.


    Waktu itu obat nenek habis. Sialnya tuan muda belum juga kembali, sekadar melihat keadaan neneknya atau hanya mengantar obat saja. Padahal obat itu merupakan penyambung nyawa bagi nenek sehingga keberadaannya tidak boleh nihil. Tetapi, jika nekat mengambil obat ke rumah sakit seorang diri, aku khawatir akan keselamatan nenek. 


    Siang memberentang ketika suara gaduh itu melintas di balik pintu kamar, lalu lesap sesaat bunyi pintu dibanting dengan sekuat tenaga. Aku berjingkat dari posisi dudukku. Pelan kubuka pintu. Bak radar, mataku mengawasi sekitar ruang tamu sampai kamar yang terletak paling ujung. Pintu kamar itu terbuka pertanda nyonya dan kekasihnya sedang tak di sanaAku menggelinjang senang. Pucuk dicinta ulampun tiba. Batinku.


    "Istirahatlah, Nek. Tidur yang nyenyak. Aku pergi ke Rong Zong sebentar," ujarku sambil mengelus keningnya. Matanya menutup rapat. Napasnya landai. Aku sedikit tenang saat meninggalkannya yang tengah tertidur pulas.


    Seperti anak panah yang terlepas dari busurnya, secepatnya aku melesat menelusuri jalan menuju Stasiun Xinbeitou. Napasku terengah. Keringat membasahi sekujur tubuhku. Setelah lima belas menit, sampailah aku di tempat itu. Papan monitor pengumuman tertulis kereta menuju Stasiun Shibai 30 detik lagi segera sampai. Aku menyeka keringat lalu mengipasi wajahku yang terasa basah.


    Xinbetou menuju Shibai memakan waktu 20 menit saja, namun bagiku sangatlah lama. Tiba-tiba rasa gelisah menyeruak memenuhi rongga dada. Nenek. Panggilku dalam hati. Setelah turun dari kereta, untuk sampai ke Rumah sakit Rong Zong aku mesti berjalan kaki kurang lebih 10 menit. Saat itu kegelisahanku semakin menggila.


    Ketika obat sudah berada di tanganku, senja menyertai perjalananku pulang. Aku sudah tidak sabar untuk segera sampai di rumah. Rasanya, kereta ini berjalan lambat. Kugigit bibirku menahan rasa gelisah yang semakin membuat degub jantungku bertalu-talu.


    Setibanya di rumah, tepatnya di ruang tamu, kulihat David dengan santainya menghisap rokok sambil menopangkan kedua kakinya ke atas meja. Sementara itu, kudapati nyonya tengah sibuk berbicara di telpon. Aku mengerutkan dahi mendengar nyonya terisak-isak di sela obralannya.

 

     Aku berlari kecil menuju kamar. Mataku terbelalak, hampir saja kedua bijinya lepas ketika penglihatanku mendapati sebuah bantal bertengger di atas wajah nenek.

                                                                   ***

 

    Sepertinya, langit pun turut berduka atas kepergian wanita baik seperti nenek. Malam itu langit menumpahkan seluruh kandungan air yang ditahannya. Guntur menggelegar dan kilat membelah tampak semakin mengancam. Persis seperti kemurkaan nyonya ketika menyaksikan David laki-laki pujaannya, memeluk tubuhku yang menelungkup mendekap tubuh kaku nenek. 


    Bukannya menyalahkan si bedabah itu, sekonyong nyonya menjambak rambut panjang yang biasa kukuncir ekor kuda tersebut. Suasana paling sengit seumur hidup, baru aku alami saat ini dimana kesedihan luar biasa menghadapi kenyataan bahwa nenek telah meregang nyawa saat aku tidak ada, dan di saat itu pula nyonya memukulku dengan membabi buta lantaran cemburu. 


     Meninggalnya nenek sungguh tidak wajar. Dan kecurigaan itu tentu saja mengarah pada kedua pasangan bangsat yang tidak punya nurani tersebut. Aku meronta berusaha melepaskan cengkeraman itu tanpa menyadari bahwa tangan kanan nyonya menyambar sesuatu entah apa? Yang jelas ketika benda tersebut dihantamkan berkali-kali ke tubuhku, rasanya luar biasa ngilu. 


    Nyonya benar-benar kalap saat itu. Aku tersungkur di lantai. Kulihat wanita itu berlari ke arah dapur. Jeda beberapa detik kemudian ia kembali dengan pisau pemotong daging berada dalam genggamannya. Tanpa berpikir panjang aku bangkit kemudian menghambur ke luar rumah tak peduli hujan deras sekalipun. 


    Pepohonan di pinggir jalan bergoyang. Dedaunan saling menggesek, berisik. Seperti orang kesetanan, aku terus berlari tanpa alas kaki. Pontang-panting sesekali menoleh memastikan bahwa wanita itu tidak mengekor di belakangku. Pada sebuah bangunan yang nampak tidak berpenghuni, aku berteduh di sanaMengatur napas sambil menahan gigil yang luar biasa. 


    "Hei!" Aku terlonjak saat seseorang menyapaku. Samar-samar kulihat laki-laki paruh baya berbadan tambun berdiri sejajar denganku. Entah dari mana datangnya?


    "Apa yang kaulakukan di sini?" Pertanyaan macam apa ini? Batinku. Apa tidak melihat bahwa aku sedang berteduh.


   "Di sini dingin. Mari ikut aku masuk." 


    Aku tetap pada posisi semula. Tak sepatah kata pun keluar dari bibirku. Kupegangi kedua lenganku yang terasa ngilu.


   "Jangan takut. Istriku ada di dalam." 


    Akhirnya kuikuti langkahnya. Bangunan yang kukira tak berpenghuni itu, ternyata sepasangan suami istri tinggal di sana


    Mula-mula aku sedikit lega, paling tidak ada tempat berteduh malam ini. Paman dan bibi penghuni rumah itu memperlakulanku dengan baik. Tanpa bertanya bagaimana bisa aku berada di depan rumahnya di malam hujan deras seperti ini. 


    "Ganti pakaianmu. Dan kau boleh tidur di kamar itu," ujar bibi sambil menyodorkan baju ke arahku. Aku mengangguk sambil mengucapkan terimakasih berkali-kali. 


    Ke esokan paginya, ketika cahaya matahari masuk melalui celah-celah jendela kamar, aku terbangun dengan perasaan tidak karuan. Sekujur tubuhku terasa sakit. Nenek. Tuan muda. Bagaimana aku menjelaskan semua ini?


    Seseorang mengetuk pintu kamar. Aku bergegas membukanya lalu ke luar. Selain paman dan bibi pemilik rumah, ada dua laki-laki berpenampilan perlente. Aku hanya mematung di depan kamarDua laki-laki itu mengamatiku dari ujung kaki sampai kepala. Aku kikuk dibuatnya.


    "Barang bagus," kata salah satu laki-laki itu.


    "Kapan kami bisa membawanya?" ucap yang satunya bertanya.


   "Sekarang juga bisa. Asal ...." Paman itu tidak melanjutkan kalimatnya. Ia hanya mengangkat tangannya, menggesekkan ibu jari dan jari telunjuk, berkali-kali. Aku semakin tidak mengerti.

 

    Setelah melemparkan amplop coklat di atas meja, salah satu laki-laki itu menggelandang tanganku. Aku menepisnya.


    "Turuti saja. Kau aman bersamanya," 


    "Kenapa aku harus menurutinya? Aku mau pulang saat ini juga!" pekikku lantang. 


    "Tanpa menunggu lebih lama, salah satu laki-laki itu kembali menggelandangku. Dan sampailah aku di tempat ini, Fit."


      Aku menyeka sudut mataku sebelum bulir bening teraebut berhamburan. Di sini, di ruangan yang dua tahun belakangan menjadi tempatku serta pekerja yang lainnya mematut diri sebelum menghambur memenuhi menghibur para tamu.


    "Yang sabar ya, Win. Mungkin hanya itu yang bisa kusampaikan. Saat ini posisi kita sama-sama sebagai kaburan dan terjebak di dunia prostitusi yang sialan tengik ini."


    Aku memeluk Fitri. Ia satu-satunya sahabat yang kumiliki beberapa bulan belakangan ini. Baru saja kuceritakan padanya seluruh perjalanan hidupku di Formosa. Tentang cinta yang tak pernah terungkap. Tentang ajakan tuan muda untuk menikah waktu itu. Tentang kasus pembunuhan nenek, semuanya. 


     Pada sahabatku itu, tak lupa kuceritakan bagaimana rasanya dipaksa melayani para lelaki hidung belang. Aku bukan penulis, tak mahir menceritakan apa yang kualami. Yang jelas, aku seperti berjalan seorang diri di hutan. Dan tanpa kusadari, langkahku sampai pada kubangan lumpur hidup. Semakin aku berontak, lumpur itu kian ganas menyedotku. Menenggelamkan tubuhku. Maka dari itu, aku putuskan untuk diam. Diam sambil menunggu waktu sampai saat pembebesan itu tiba. 


    Berkali-kali kucoba untuk melarikan diri, seperti beberapa waktu lalu. Namun urung kulakukan. Pemilik tempat hiburan malam ini adalah orang keji yang tidak memiliki hati nurani. Dari percakapan yang tak sengaja kudengar tempo hari, membuat nyaliku menciut. Rupanya Tuhan belum memberiku jalan. 


   “Hitam ya, hitam. Putih ya, putih. Semua begitu jelas. Di dunia kami tidak ada istilah abu-abu. Berani melawan …?DORRR!!!” 


   

   “Win, ada tamu untukmu."


    “Aku kerja dulu, Fit. Terima kasih sudah bersedia mendengarkan seluruh kisahku.”


    Fitri mengangguk, dalam.


    Aku segera bangkit. Setelah mematut diri sejenak, aku melangkah lesu menuju ruang di mana biasa terjadi transaksi antara penghibur dan pelanggannya. Cahaya temaram memenuhi bangunan berukuran 2x3 meter. Seorang laki-laki terduduk di sofa. Menunduk memelototi layar HP. Ia seolah tidak peduli dengan kehadiranku.


      Setelah aku menyapanya, laki-laki itu mengangkat wajahnya. Mataku mengerjab berkali-kali. Seolah tak percaya dengan apa yang kulihat. 


     “Huang Hau Yun,” lirihku sambil membekap mulut sendiri. Sama sepertiku, laki-laki itu nampak terkejut. Aku yang merasa kikuk, tak sadar menarik-narik rok pendek yang kukenakan karena selama ini belum pernah berpenampilan seksi di depannya. 


    Aku tidak percaya, orang yang selama ini paling kurindukan hadir di depanku. Aku menghela napas berat. 


     Kamu harus tahu bahwa hidup ini merupakan serentetan kejadian yang serba tak terduga, Teman.  


    Kuberanikan diri mendekat ke arahnya. Menganggukkan kepala. Mataku tak berani menatap pemilik rahang tegas itu. Beberapa saat kemudian, setelah berbasi-basi sejenak, iamenghujaniku dengan pertanyaan-pertanyaan. Dan aku, tak satupun ada hal yang kututupi. Perkara ia percaya atau tidak, itu urusannya


     "Bagaimana pendidikanmu? Apakah kamu masih berniat mempersuntingku?" ujarku menggoda mencoba mencairkan suasana. 


    Tuan muda terdiam. Wajahnya pias. Sejenak ia menunduk dalam-dalam. Tiba-tiba ia menarikku dalam dekapannya. Tentu saja aku tidak berontak.


    "Selama ini, aku terus mencari keberadaanmu, Win. Aku merasa, hal buruk telah menimpamu. Dan itu salahku.  Maukah kamu memaafkanku? Apa kamu tidak ingin pulang?"


    "Pulang ...." Aku mengulangi pertanyaannya. Bukan tidak ingin, melainkan belum punya kesempatan saja keluar dari tempat jahanam ini. Aku tidak boleh egois mementingkan diriku sendiri. Di tempat nan jauh di sana, ada beberapa perut yang harus kuberi makan. Tahu apalah orang lain tentang halal atau haram uang yang kudapatkan? Yang jelas, aku tidak mau keluargaku sengsara. Apalagi, pasca dioperasi bapak praktis tidak lagi bekerja. Sementara ibu, dengan keahlian ala wanita kampung yang tidak mengenyam bangku pendidikan, hanya bisa menjadi buruh mencuci baju milik tetangga. Sungguh. Biarlah aku yang menggantikan orangtuaku menjadi tulang punggung keluarga. Aku tidak mau pulang. Paling tidak, sampai keempat adikku lulus SLTA.


     "Ini semua bukan salahmu. Ini takdirku. Inilah jalan hidup kita. Awalnya, aku tidak berhenti merutuki nasib ini. Namun semakin kutentang, hanya rasa sakit yang kudapati. Jika hidup ini adalah sebuah perjalanan, aku percaya suatu saat langkahku akan sampai pada tempat dan waktu yang menghadirkan kebahagiaan." Air mataku berjatuhan. Pelukan itu dilepasnya pelan.


    

                                                                             ***

    Tak ada kesepakatan atau apapun antara aku dengan Huang Hau Yun waktu itu. Namun, padanya aku berharap banyak. Seminggu telah berlalu tapi tak juga kuterima kabar darinya.


    “Wiiin!” Fitri menjerit tak biasa. “POLISI. POLISI DIMANA-MANA.”


   Apa maksudmu?”


    Fitri belum sempat menjawab pertanyaanku, suara ledakan pistol serta gaduh yang terdengar di luar sana, membuatku mengerti bahwa tempat ini digerebek polisi. Aku dan Fitri berpelukan. Semua yang berada di tempat ini, diperintah untuk berkumpul di hall. Terbersit pikiran, ingin melarikan diri melalui jendela yang terdapat di ruang rias. Setelah melangkah beberap kali, pintu raungan ini didobrak. Aku menoleh cepat. Seseorang aparat polisi berdiri gagah di tengah pintu sambil mengacungkan pistolnya ke arahku.


     Mataku menangkap bayangan laki-laki itu. 


    “Hau Yun,”


    

SELESAI

 

 

 

 

0 komentar:

Posting Komentar

 

Rumah Kopi Copyright © 2010 Design by Ipietoon Blogger Template Graphic from Enakei | web hosting