Jumat, 03 April 2015

Ruang Yang Kusebut Hati

Diposting oleh Rumah Kopi di 08.25

Pada ruang atau apalah itu yang kusebut hati, mungkin aku kembali gagal mengikat kuat-kuat makluk bernama dendam yang kupenjarakan di sana. Kegelisahan itu seperti siluman paling sadis berputar-putar di sekitarku. Tentu ia tidak datang begitu saja tanpa membaui aroma borok yang bersemayam di sana.



Barangkali kita, ah bukan kita, aku saja. Aku bisa saja pura-pura lupa tentang peristiwa lampau. Tetapi sejarah akan bercerita pada masa yang akan segera tiba. Tentang rahasia-rahasia itu, kesakitan itu, luka-luka yang ingin kuhapus saja dan nyatanya malah membatu sehingga memberatkan setiap langkah ini.


Aku tidak tahu apa itu kebaikan? Aku juga kurang paham mengenai cinta serta antek-anteknya! Setahuku , aku tidak bisa berpura-pura baik, serta berpura-pura cinta. Nyatanya apa yang berada pada ruang yang kusebut hati itu, tak bisa kukendalikan mana kala ia berontak keluar begitu saja. Maka dari itu ketika aku berkata: "Aku sayang, atau aku sebal, atau aku kangen, serta aku takut," sesungguhnya itulah kenyataannya.

Sudah terlalu lama aku bersembunyi pada topeng berwujud keceriaan. Riak menertawakan kegembiraan. Sebenarnya itu adalah tangis yang tak disertai air mata sebab kau tahu? Air mataku telah jatuh dalam ruang yang kusebut hati tadi.

Ah, terkutuklah aku menjadikanmu pelampiasan atas rasa takut ini. Takut tersakiti. Takut dikecewakan. Takut. Dan takut.

Pernah aku mangadu pada alam semesta. Aku memintanya menjadi saksi bahwa kelak aku tidak akan lagi membagikan separo atau bahkan seluruh ruang bernama hati tadi, pada makluk yang kusebut kesayangan. Nyatanya alam tidak menyetujuinya dan justru menghadirkan kembali tangan-tangan yang telah menggedor pintu ruang yang bangunannya tak lagi kokoh itu. 

Pernah juga aku berbisik pada bumi ini untuk bersabar sejenak. Sabar membiarkanku berjalan, sesekali berlari, jatuh lalu bangkit merangkak kemudian kembali berjalan di atasnya sampai waktu itu benar-benar tiba. Waktu di mana akhir dari segala kesakitan, awal dari keabadian tak berujung itu, aku melenggang dengan langkah seringan bulu-bulu angsa; tanpa dendam serta kesakitan-kesakitan.


Aku. Terkutuah  aku telah menjadikanmu pelampiasan atas segala ketakutanku itu. Takut sakit. Takut terluka kembali. Takut. Takut sakit luar biasa yang tentu saja dulu pernah kualami sebelumnya. Beberapa kali.

Salahku adalah menjadikanmu satu-satunya penguni ruang yang kusebut hati tadi, sehingga ketika berbagai macam rasa itu muncul kaulah yang pertama kali merasaka imbasnya. Maafkan aku.

Aku tentu saja tak pandai berjanji selayaknya matahari yang selalu hadir di ufuk timur manakala embun menungguinya duduk manis pada ujung dedaunan. Aku manusia biasa yang berharap bisa selalu hadir di sisimu dalam ke adaan apapun itu.

Tangan-tangan kita berkaitan erat mana kala perbedaan prinsip, pemahaman, pelampiasan rasa yang terkadang menyaru serupa begal hendak merampas kedamaian, kenyamanan yang susah payah kita bangun di atas puing-puing ego dan kerasnya hati masing-masing. 

Perbedaan adalah warna. 

0 komentar:

Posting Komentar

 

Rumah Kopi Copyright © 2010 Design by Ipietoon Blogger Template Graphic from Enakei | web hosting