Selasa, 18 Agustus 2015

MENYALAHKAN TUHAN

Diposting oleh Rumah Kopi di 09.04
Bolehkah aku tidur sebentar? Aku butuh istirahat. Entah berapa hari, aku tidak pernah benar-benar bisa terbuai di alam mimpi. Aku butuh tidur. Kurasa ragaku sudah lelah. Tetapi entah kenapa, jika itu kulakukan--aku merasa bersalah. Ketika membayangkan sosok Bapak tengah berbaring melawan mautnya, bagaimana mungkin aku bisa tenang merebahkan diri, memejamkan mata. 

Aku tahu, tidak ada gunanya menyiksa diri seperti ini, tapi apa yang bisa aku lakukan untuk mengusir kegelisahan barang sejenak? Bayangan Bapak dengan segala pengorbanannya di masa lampau, tiba-tiba muncul begitu saja di pelupuk mata layaknya proyektor film yang tengah diputar.


Aku ingin pulang. Tentu saja aku ingin berada di sisinya. Mengelap keringat, mengambilkan air minum, memapah ke kamar mandi, menyuapinya pelan-pelan, membantunya ganti pakaian, memantau perkembangannya, tetapi yang Bapak butuhkan bukan hanya itu. Kalain pasti paham ini. 

Bapak dengan penyumbatan pembuluh darah yang menuju ke jantung, butuh materi besar dan juga doa yang tak kalah besar dari perkara materi tersebut. Sementara, jika aku hanya duduk-duduk di sampingnya, bukankah hanya seperti pecundang tidak berguna, tidak bisa meringankan sedikit beban orangtua. Memutuskan pulang tidak sesederhana rumus mate-matika satu ditambah satu sama dengan dua. 

Oh ya, ampun! Yang jatuh dari sudut mataku bukan air, melainkan kesedihan. Yang terasa panas ini tentu bukan api, melainkan ketakutan. Kalian pasti paham ini! Aku bisa menyimpan getir, ketika harus kalis dengan carut marut urusan pekerjaan. Mereka, orang-orang yang telah mengupahku tersebut, memahami apa yang sedang terjadi denganku. Akan tetapi, tentu saja aku tidak bisa berlaku seenaknya. Tiduran, menangis, malas makan, ogah mandi, berkedip lemah, rambut acak-acakan, muka pucat, seperti barang bekas yang dilempar di sudut kamar. 

Aku butuh tidur untuk mengembalikan tenagaku. Kurasa aku memang harus tidur. Tetapi bagaimana memindahkan pikiran yang semrawut seperti benang kusut yang tercelup air got ini! Tolong ajari aku. 

Aku tidak sedang melebih-lebihkan perkara, ketika berkata setiap menitku berjalan lambat. Sangat lambat seperti jalannya seekor bekicot yang kakinya tertancap paku payung. 

Kalian tahu, ketika ada telpon masuk, atau sms, atau pemberitahuan-pemberitahuan tidak berguna satu-persatu muncul di layar HP, aku seperti dilempar di tengah kuburan angker--tengah malam dan sendirian. Menggigil. Darahku berdesir memanas. 

Ah, ya! Badai pasti berlalu. Ya. Ya. Biasanya begitu. Tetapi badai tidak pernah benar-benar berbaik hati, bukan? Aku juga tidak yakin kalau badai memiliki hati. Kepergiannya selalu meninggalkan kerusakan. Entah sedikit atau berlebihan. Menyebalkan. 

Meskipun takut-takut aku harus membesarkan hati berdamai dengan keadaan. Tak henti kurapalkan doa. Memamah kesedihan. Menyalahkan Tuhan. APA? MENYALAHKAN TUHAN? Tidak. Tidak. Bukankah itu perbuatan yang aduh membahayakan! 

Kadang aku berpikir, oh begitu hebatnya diriku sehingga berkali-kali diaduk dalam bejana cobaan kehidupan yang besar. Tetapi, di luar sana pasti banyak yang lebih menderita dari pada membayangkan Bapak tersengal-sengal napasnya, berbaring di ruang ICU.

Bapak pasti baik-baik saja. Bapak orang baik dan akan baik-baik saja. Kembali ke tengah keluarga. 







0 komentar:

Posting Komentar

 

Rumah Kopi Copyright © 2010 Design by Ipietoon Blogger Template Graphic from Enakei | web hosting