Sabtu, 12 Desember 2015

DUA RATUS ENAM PULUH DAN SENYUM YANG HILANG

Diposting oleh Rumah Kopi di 10.34



Pagi di musim dingin, sisa hujan semalam, kopi yang menunggu diseduh, selimut tebal yang ogah-ogahan ditinggal. Begitulah kira-kira aku menyambut hari, Sabtu ini. 

Ada sedikit perasaan sebal, sisa perselisihan remeh temeh tempo hari, yang barangkali merujuk pada sesuatu yaitu, jaga jarak saja dulu. Bagaimana pun juga, segala sesuatu jika terlalu mepet, tanpa jarak kemungkinan besar bisa nabrak. Begitu pula sebuah hubungan. 

Aku dan kamu tidak akan melihat sebuah kebaikan dalam keributan. Tetapi dengan menahan diri untuk tidak terus melepaskan ucapan yang tak enak didengar, perlahan emosi kan memudar. 

Tuhan pasti mempunyai rencana. Dan seperti yang kuketahui, rencana-Nya adalah maha baik. Tidak ada upaya yang sia-sia, hanya saja mungkin waktunya belum tepat. Mengapa aku dipertemukan denganmu? Kenapa kamu yang harus menjadi teman hidupku? Sementara, tabiat kita sama-sama keras. Barangkali, jika ada kesamaan, merujuk pada tanggung jawab kita terhadap kesejahteraan keluarga, begitu besar. 


Pagi di musim dingin, sisa hujan semalam, kopi yang menunggu diseduh, selimut tebal yang ogah-ogahan ditinggal. Hari ini akan menjadi hari sibuk. Pikirku begitu. Pasalnya, selain kedatangan anggota keluarga yang tinggal di Taichung, jadwal pergi ke dokter sudah menjadi wacana jauh hari sebelumnya. 

Untuk masalah jadwal ke dokter, aku hanya menjadi tim pengikut. Maksudku, aku sendiri tidak pernah tahu persis kapan musti periksa ke Dr. Whu, atau Dokter He, atau Dr. Liu Chang Pang, atau ke dokter yang satunya lagi. Entah lupa siapa namanya. Jika semua nama dokter kumasukkan dalam ingatan, takut kalau memoriku kelebihan muatan. Dan akhirnya ingatanku perlu diroot. 

Aku hanya mengingat sambil lalu. Karena, biasanya juga, pasienku ini mendadak periksa ke salah satu dokter langganannya, semisal ketika sedikit saja kurang enak badan, atau tidak bisa berak selama satu setengah hari, atau tumbuh jerawat di hidung, serta merta ia panik lalu tergopoh pergi ke dokter. 

Jalan basah, serta sisa air yang menempel pada dedaunan dan benda apa saja di luar sana, menengarahi bahwa hujan benar-benar turun dengan lebat. Aku menemaninya periksa ke Dr. Whu. Dokter langganan yang menangani masalah insomnia-nya. 

Oh iya, bicara tentang insomnia, ada banyak penyebabnya. Tentu saja. Salah satunya ialah, terlalu banyak tidur siang. Hal itu menjadi salah satu dalang dibalik mata yang terus mengajak bergadang. Dia selalu mengeluh tidak bisa tidur malam. Bingung kesana kemari mencari dokter. Tanpa menyadari bahwa penyebabnya ialah kebiasaan tidurnya di siang hari itu, kebanyakan. 

Kembali kuceritakan, bahwa hari ini pukul 08:50, taxi yang sudah dipesan, menunggu dibawah. Sepagian aku sibuk. Sarapan dan kopiku, belum sempat kutandaskan. Sementara dia sudah mengomando untuk segera berangkat. Dan aku tidak bisa membantah. Tentu saja. HP dan buku menjadi barang penting harus kubawa. 

Taxi bergerak meninggalkan apartemen menunu jalan Zhong Shau West.rd. Sengaja aku tidak mengutak-atik HP. Asyik menikmati jalanan basah serta pohon-pohon di pinggir jalan yang seolah lari menjauh dari taxi yang kami tumpangi. Dua pulun menit berlalu. Akhirnya sampai pada tempat praktik dokter itu. 

"Dua ratus enam puluh," begitu sopir taxi itu berujar. Ada semacam gerundelan laiknya koloni lebah yang mendengung mengintari bunga-bunga. Dengungan itu berasal dari nenek dan sopir taxi. Bahkan, sopir taxi itu sempat mengumpat, "Hen loso!" Yang artinya cerewet. Beruntung nenek tidak mendengar. Atau barangkali perang dunia ke 17 meledak pagi ini jika umpatan sopir itu sampai di telinga nenek.

Sesampainya kami menapaki gedung, seorang satpam yang berusai udzur, menginformasikan bahwa praktik dokter sedang libur. 

What! Begitu kira-kira ekspresi nenek.

Bibir tua yang masih nampak segar, langsung mengerucut seperti pantat ayam. Beberapa ungkapan kesal, lepas begitu saja dari sana. 

Entah siapa yang salah? Dokter atau nenek yang lupa bahwa jadwal periksanya adalah tanggal 19, minggu depan. 

Padahal, di kertas pembungkus obat tertera jelas tanggal dan bulan, jadwal periksa yang benar. Namun nenek tidak mau disalahkan. Ia bilang, "Aku mendengar dengan jelas kalau tanggal 12 dokter menyuruhku datang. Seenaknya menggati jadwal tanpa memberitahu lebih dulu. Chi Se (mati saja)"!

Seperti yang kusampaikan tadi, aku tidak pernah tahu kapan dia periksa ke dokter. Misalnya saja, waktu itu seingatku dia harus periksa Selasa pagi, minggu depan. Eh, tiba-tiba-tiba Jumat sore, tanpa memberitahuku lebih dulu, langsung mengajakku berangkat. Padahal aku masih mengerjakan pekerjaan lainnya. Jadi, untuk jadwal periksa, aku lepas tangan saja. Suka-suka dia.

Keluar dari gedung, nenek masih saja gerundel laiknya lebah. Lalu, kami menuju halte. Pulangnya naik bus karena $260 ongkos taxi, terlalu mahal. Dan sia-sia. Dan akhirnya memilih angkutan umum yang ongkosnya tidak lebih dari $15/orang. 

Wajahnya ditekuk. Bibirnya cemberut. Entah apa yang dipikirkannya. Bagi orang kaya, kehilangan uang seperti itu, sangat menyebalkan kali ya? Bisa jadi, kekayaan yang dimiliki saat ini, hasil dari perhitungan luar biasa alias pelit yang menjadi prinsip ekonomi rumah tangga. :D

Barangkali, jika ada yang mau mencontoh seperti dia, hidupnya bakal memilmpah harta, kelak. Sampai-sampai mengabaikan keselamatannya sendiri. Aku pikir begitu. Ongkos naik bus memang murah. Tetapi untuk lansia 85 tahun, berdesakan dengan banyak orang, berbahaya. Jika jatuh, biaya perawatannya bakalan lebih mahal dari ongkos taxi sebesar dua ratus enam puluh. 


0 komentar:

Posting Komentar

 

Rumah Kopi Copyright © 2010 Design by Ipietoon Blogger Template Graphic from Enakei | web hosting