Kamis, 21 Januari 2016

LAKI-LAKI TUA DAN SETUMPUK SELEBARAN

Diposting oleh Rumah Kopi di 13.02


Hari ini kotaku muram. Amat muram selaiknya seseorang yang baru patah hati, atau baru kehilangan sesuatu yang berharga di hidupnya. Musim dingin ditambah hujan deras. Emperan pertokoan menjelma bak kandang bebek. Becek oleh tempias, bekas kaki yang berlalu lalang, tetesan air dari ujung payung yang dibawa oleh orang-orang yang berjalan tergesa. Entah demi apa? 

Aku berlari kecil menuju 7-11. Pandanganku tertumbuk pada laki-laki tua yang berteduh di emperan pertokoan sambil membagikan selebaran. Sebelum sampai di depan laki-laki tua tersebut, mataku terus mengamati. Tak terhitung berapa banyak orang yang melintas di depannya, menolak menerima selebaran yang dibagikan. 


Lalu aku bertanya dalam hati, bagaimana dulu orangtua mendidik anak-anaknya sehingga kebanyakan dari anak-anak tersebut tumbuh menjadi manusia bebal. Manusia yang tidak memanusiakan orang lain. Manusia yang enggan mengangsurkan tangan demi menerima selebaran yang dibagikan di pinggir jalan. Merasa bahwa selebaran itu amat tidak penting baginya, barangkali. 




Mungkin selebaran tersebut memang tidak penting. Tetapi demi rasa kemanusian, kiranya sudilah menerimanya. Menerima selebaran itu lalu meremas dan kemudian membuangnya, tidak apalah. Yang penting selembar selebaran itu berkurang. Selebaran yang isinya tentang iklan sebuah warung makan yang baru dibuka tanggal 20 kemarin. Yang menawarkan makanan murah selama dua hari, demi menarik pelanggan. Dan laki-laki tua bekerja membagikan selebaran, demi sejumlah uang, tentu saja. Dan tidak banyak jumlahnya. 



Mekanisme pekerjaan laki-laki tua itu, sederhana. Tetapi membutuhkan kerjasama orang-orang yang berlalu lalang di depannya. Bayarannya tergantung dari setumpuk selebaran tersebut. Jika habis dalam sekejap, maka ia bisa secepatnya menerima upah. Jika selebaran itu tidak habis sampai malam tiba, maka ia tetap berdiri di sana, mencoba membagikannya, dan terus begitu sampai selebaran itu tak terisa, baru ia akan mendapatkan hasil jerih payah. 

Pekerjaan yang semacam itu, sering diremehkan. Laki-laki tua tubuhnya dibalut jaket motif kotak-kotak, topi yang terlihat usang, dengan wajah lelah yang dipaksakan tersenyum ramah, bagaikan benda tidak penting yang keberadaannya tak perlu diakui. 

Pekerja jujur yang menjual tenaga itu, justeru sering kali dipandang remeh. Tetapi si bedebah yang berpakaian rapi, pembawaannya intelek, bermulut manis, yang setiap ucapannya menguarkan kebohongan, yang otaknya penuh tipu muslihat, justeru diakui, dipercaya, dihormati.

Entah bagaimana memaknai hidup ini! Keadilan itu seperti apa? Kenapa orang-orang bedebah dibiarkan memperoleh uang serta tetek bengek bersifat keduniawian dengan mudah. Sementara itu, yang bekerja seperti robot autentik, mesin-mesin penggerak roda kehidupan, tumbal-tumbal keluarga, lekat sekali dengan kesulitan, hanya demi memperjuangkan hidup yang lebih baik?

Oh maafkan aku jika pertanyaan ini membuat-Mu tersinggung, Tuhan. Aku tidak bermaksud lancang. Bertanya sesuatu yang jelas-jelas semua itu, tak ada yang luput dari pengamatan-Mu. Segala sesuatu yang terjadinya telah Kau ketahui. Tetapi boleh kan sekiranya, aku sedikit tahu tentang mengapa orang jahat  diberikan kemudahan dalam hidupnya. Sementara orang baik, malah sebaliknya? 

Nasib ditentukan oleh manusia itu sendiri atas usahanya, katanya. Aku tidak percaya sepenuhnya. Sebab, ketika berusaha untuk memperjuangkan sesuatu, tak selamanya berjalan linier. Kadang-kadang nasib seolah mempermainkan. Nasib terbahak sambil memegang perut yang menegang melihat manusia yang gagal dan menemui jalan buntu ketika berupaya. Kemudian pulang telanjang memanggul kekalahan.

Manusia sebagai pelaku kehidupan yang terlanjur tengik, dipaksa menerima takdir apa saja. Dan tidak berhak menentukan hidupnya kecuali semua telah diatur oleh-Nya. 

Jika boleh dan bisa memilih, orang tua itu pasti ingin bertukar posisi, menjadi bagian yang melintas di depan orang yang sedang membagikan selebaran. Tetapi apa boleh buat, sekali lagi takdir telah bertindak semena-mena atas dirinya. 

Lalu aku mulai meraba diri sendiri. Bukankah aku dan pekerjaanku lebih baik darinya. Dari laki-laki tua itu yang bahkan harus membawa air putih dalam botol bekas di jejalkan dalam tas usangnya. Dan ketika kakinya pegal, tidak ada tempat untuknya duduk. 

Seringkali manusia iri dengan manusia lainnya. Iri dengan mereka yang mendapat kehidupan lebih baik. Padahal belum tentu kenyataannya begitu. Ketika orang lain bisa begini dan kenapa dirinya tidak, lalu pikirannya mulai berontak.  Manusia yang suka iri tersebut hanya memandang dari satu sisi. Ambil contoh, ketika kita melihat sesosok tubuh dari ketinggian tertentu, yang tampak hanya titik hitam, yang merupakan kepalanya. Sementara, ketika melihat tubuh dari kejauhan, bukankah yang terlihat hanya segaris lurus. Jadi buat apa iri dengan kehidupan orang lain. Kenapa tidak melihat bahwa masih banyak orang-orang yang tidak lebih beruntung dariku, darimu, dari kita. 



0 komentar:

Posting Komentar

 

Rumah Kopi Copyright © 2010 Design by Ipietoon Blogger Template Graphic from Enakei | web hosting