Jumat, 01 Januari 2016

TOH YANG DINIKMATI KOPINYA, BUKAN CANGKIRNYA

Diposting oleh Rumah Kopi di 03.59

Sudah tahun 2016 ya. Menurut kalian apa yang perlu dirayakan saat pergantian tahun? Tahun berganti tetapi banyak ritual yang tidak terganti. Semisal, jika tidak kerja maka tidak jajan.

Oh iya, omong-omong, aku lupa kapan terakhir kali meminta uang jajan pada orangtua. Bagiku, ini suatu perkara besar. Maksudku begini, bukankah semua perubahan dalam hidup, diawali dengan tindakan. Tak peduli sekecil apa pun itu. Yang jelas, demi pergeseran dari sebuah titik menuju titik lain, itu butuh tindakan. Dulunya, semua harus serba ada. Dan akhirnya, harus bersusah payah agar keinginan bisa terpenuhi semua.

Sampai kapan anak hanya menengadahkan tangan? Sementara, waktu terus bergerak, mau tidak mau mengantarkan orangtua menuju usia yang kian senja. Lalu, apa masih tega menjadi beban hidup mereka yang meskipun keduanya tidak keberatan, tetapi bukankah tenaga dan pikirannya tidak lagi sekuat dua puluh lima tahun silam.

Ketika masih berbentuk telur, anak ayam hanya meringkuk dalam cangkang. Dunianya sebatas itu saja. Akan tetapi, ketika cangkang tersebut pecah, berarti kehidupan baru telah dimulai. Kehidupan luas mengajarkan bagaimana mencari dan bertahan.

Mula-mula anak ayam takut-takut berpisah dari gerombolan saudara serta induknya. Namun, segala hal berproses. Lama-lama ketakuktan itu lenyap seiring bergulirnya masa dimana anak ayam telah tahu bagaimana caranya berjuang dalam kehidupan. Tak peduli kadang-kadang serangan dari induk ayam lain, menghampiri. 

Hidup mati adalah urusan Tuhan. Kita tahu perkara ini. Jadi, jika hanya karena tubuh ringkih dan segala macam, sehingga menye-menye takut menjalani pekerjaan berat, sama halnya meremehkan Tuhan dimana segala hal menjadi mungkin jika kita yakin bahwa atas kuasa-Nya apa pun itu bakal dimudahkan.

Barangkali terlau rumit pemikiran [anak-anak] yang menganggap dirinya berkelas, sehingga mereka terus berpikir keras dan mati-matian supaya tidak terjun, melakukan tindakan yang menurutnya hal itu sama saja menjatuhkan harga diri. Semisal, lebih baik menjadi benalu menengadahkan tangan pada orangtua dari pada memutuskan bekerja yang ditengarai sebagai pahlawan devisa.

Bagi sebagian orang, menjadi pahlawan devisa adalah hal yang bisa dibilang rendah. Mengabdikan diri pada orang lain dan rela diperintah-perintah. Aku pikir ada yang lebih penting dari pada perkara gengsi itu tadi. Semisal betapa lebih rendahnya mereka yang dengan dalih apa pun, hanya mencari alasan-alasan supaya tetap berada pada titik yang menurutnya tidak menjadikan harga dirinya jatuh.

Boleh jadi kamu cantik seperti berbie. Tetapi bedebah sekali jika bulu matamu yang lentik karena sentuhan mascara, bibirmu yang merah merekah oleh gincu yang tidak murah harganya, pipimu merona karena sapuan blush on di atasnya, dan di balik itu semua ada orangtua yang kamu peras supaya penampilanmu tidak kalah dengan teman sebaya. Cihhh! Doraka lu!

Sampai kapan menunggu pekerjaan yang sesuai dan layak? Bukankah kehidupan ini kadang-kadang tengik. Dunia ini bukan pabrik menciptakan keinginan-keinginan. Kita lebih sering dihadapkan pada hal yang tidak ada pilihannya. Maka lakukan saja apa yang ada di depan mata. Sebab, bekerja bukan hanya demi memenuhi kebutuhan diri sendiri. Sebab, harga diri yang dianggap tinggi, sudah jatuh saat kita memilih menjadi pengangguran.

Hei! Ketika meminum kopi, tidak peduli bagaimana bentuk dari cangkirnya, bukan? Yang penting bersih. Yang penting bisa menampung campuran air, gula, bubuk kopi, dan susu. Lantas dari cangkir tersebut, kita bisa menyeruput kopi lezat tanpa peduli urusan di luar itu. Toh yang dinikmati kopinya, bukan cangkirnya.

Mana yang lebih rendah, mempertahankan diri sebagai lulusan sarjana tapi menganggur karena tidak sudi bekerja jika pekerjaan tak sesuai yang diharapkan, atau terjun menjadi pahlawan devisa dengan imbalan mencapai lebih kurang Rp 8.500.000 perbulan, bahkan lebih. 

Menyadari bahwa cita-cita besar tidak serta merta terwujud begitu saja seperti adegan sulap, maka tidak ada salahnya sebelum berwira usaha dan menjadi bos besar, kita mengumpulkan pundi-pundi uang dengan jalan paling dekat, lebih manusiawi dari pada sekadar menjadi benalu menyusahkan orangtua sendiri. 

Rasa takut sebelum melangkah, keraguan-keraguan, atau apalah itu namanya, hanya akan menghambat perubahan. Sama halnya ketika mati lampu, jika saja kita tetap diam di tempat, tidak berusaha mencari dimana pemantik api, senter, atau sumber cahaya lain yang bisa dijadikan penerangan, selama itu pula kita berada dalam kegelapan. 

Barangkali, saat bergerak di dalam gelap, satu, dua, tiga, kali, atau bahkan lebih, besar kemungkinan kita menabrak pada benda yang keberadaanya tidak nampak. Tetapi dari sanalah, dengan meraba, mencari sesuatu yang kita butuhkan. dan dengan keyakinan yang kuat, maka pemantik api atau apa pun yang sedang dicari tadi, pasti berhasil ditemukan. 

Lagi pula, banyak hal yang bisa dilakukan saat memutuskan menjadi pahlawan devisa. Memanfaatkan minimnya kesempatan, menjadi seuatu yang membanggakan. Bisa jadi statusnya hanya 'tenaga kerja istimewa', tetapi jangan salah, banyak lembaga yang menyediakan sarana demi menunjang kemajuan dan meningkatkan skill. Semisal, nyambi kuliah. Atau kursus menulis dan membaca huruf mandarin. Kursus kewirsusahaan. Atau belajar apa saja yang jelas, kelak ketika kembali ke tanah air, yang didapatkan bukan sekadar materi. Melainkan gelar sarjana dengan skill yang mendukung untuk berwira usaha. 

Wanita tidak dituntut mencari nafkah, memang. Wanita bukan pemimpin rumah tangga. Tetapi, kemajuan dan kesejahteraan keluarga, berada pada ibu rumah tangga cerdas, tidak menye-menye, tangguh, dan dapat diandalkan dalam semua hal. MERDEKA.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Rumah Kopi Copyright © 2010 Design by Ipietoon Blogger Template Graphic from Enakei | web hosting