Selasa, 03 Desember 2013

Terlambat Sudah

Diposting oleh Rumah Kopi di 05.19



Oleh



Keyzia Chan


Jika menangis, meratap bisa menyelesaikan masalah, mungkin Anisa Maharani dan semua penghuni bumi ini tak perlu susah payah mencari solusi. Ini bukan dongeng namun cerita nyata anak manusia. Tekanan dan penghinaan yang datang dari keluarga Reyhan, membuatnya bepikir nekat. Dia memutuskan pergi  ke suatu tempat yang jauh, meninggalkan keluarga serta kekasihnya tersebut.

***


”Mamah dan Kakak perempuanku ingin berkenalan denganmu, Ran. Sabtu malam aku akan membawamu bertemu mereka.“ ujar Reyhan lembut. ”Malam minggu ini, nggak ada jadwal pentas nari kan?” lanjut Reyhan meyakinkan.


” Iya, nggak ada jadwal tapi aku belum siap bertemu dengan keluargamu, Rey. Aku takut mereka...” Rani menghentikan ucapannya. Dalam benaknya sejuta kekhawatiran membuncah, bayangan penolakan keluarga kekasihnya itu tiba-tiba menghantui. Gadis berlesung pipit itu menghela napas kasar di depan Reyhan yang sedari tadi menggamiti jemarinya. Rey menatap retina gadisnya dengan tatapan penuh harap. Cowok berwajah oriental tersebut tidak memahami apa yag dirasakan Rani. Jarak di antara ke duanya bagaikan langit dan bumi. Itulah momok besar penghalang hubungan dua sejoli tersebut.


”Ayolah, sayang. Ku mohon, jangan takut karena aku akan selalu ada di sisihmu.” ucap Rey, kemudian dengan lembut cowok itu mencium jemari Rani.




Malam yang mendebarkan itu akhirnya tiba juga. Pukul 19.00 WIB Rey menjemput Rani dengan mengendarai Toyoya Yaris warna hitam. Saat itu juga ke duanya berangkat ke kediaman keluarga Reyhan. Sesampainya di rumah berlantai dua nan mewah itu, mobil yang dikendarai Rey berhenti. Setelah memarkir mobilnya, cowok yang memiliki tinggi 180centi tersebut menggandeng tangan kekasihnya yang dingin dan berkeringat. Meskipun mengenakan blosh on namun pipi chuby Rani terlihat pucat.


Seorang wanita paruh baya nampak berjalan menuruni anak tangga. Sorot matanya tajam, tanpa senyum dia memandangi Rani dari kejauhan. Membuat nyali Rani semakin menciut. Rambut keriting sebahu dengan lipstick merah menyala adalah style yang melekat pada Mamah Rey. Setelah berdiri di hadapan Rani, akhirnya wanita itu tersenyum saat menjabat tangan calon menatunya itu, tentu saja senyum sinis tanda tak suka. Rani menggigit bibirnya kuat-kuat, nampaknya ada makluk lain yang tak kalah mengerikan dibanding Mamahnya Rey. Ya, dia adalah Malinda Indah. Kakak perempuan Rey. Tangan Rani semakin dingin, keringatnya membasahi kening sehingga poni kesayangannya itu nampak lepek. Sesudah semua hidangan selesai disajikn oleh pembantunya, mereka berempat bergegas menuju ruang makan. Tak ada canda tawa dan obrolan hangat menghiasi acara makan malam waktu itu.


”Jadi ini, gadis yang kamu pilih, Rey?” sorot mata Mamah Rey, bagaikan anak panah yang menghujam tepat di jatung Rani si anak seorang janda yang menjadi tukang jahit semenjak Rani bayi.


”Perbedaan antara kalian sungguh terlau jauh. Apa kata teman Mamah dan keluarga kita mengenai calon yang kamu pilih.” ujar Mamah Rey ketus, sambil mengerling ke arah Rani. ” Seorang pangeran Memeilih gadis kampung yang tak jelas asal usulnya.” lanjut Mamah Rey menghina terang-terangan di depan Rani.



***

Meski pun dengan berat hati, akhirnya Rey merelakan Rani untuk hijrah ke luar negeri sebagai perawat di panti jompo. Formosa adalah negara yang ia pilih. 

”Percayalah, Rey. Jarak nggak akan merubah kesetiaan dan cintaku padamu. Justru di sinilah semuanya diuji, jika kita mampu menjalani masa sulit ini maka tak ada lagi jarak di antara hatimu dan hatiku.” ujarnya sambil terisak waktu itu.

Saat ini dirinya sudah tinggal di Formosa. Rani adalah gadis manis yang tidak suka hura-hura. Kesempatan libur dua minggu sekali dia manfaatkan untuk mengasah kemampuannya menari. Tari tradisional lah yang ia kuasai. Gadis berhidung lancip itu sering tampil di acara yang diselenggarakan KDEI. Tak jarang dia didaulat menari di depan para Duta besar untuk memerkan salah satu tari tradisional yang dimiliki negara indonesia. Rani yang piawai menari sejak SD, tak ayal memukau para Dubes maupun para pejabat yang hadir pada event yang diselenggarakan.


Hampir dua tahun berjalan, tapi kelurga Rey masih tidak menyukai bahkan masih saja menolak mentah-mentah menerima Rani menjadi bagian dari anggota keluarga. Suatu hari tanpa sengaja Malinda membaca salah satu tabloit Ibu kota, menulis tentang perjuangan  BMI indonesia.  Bekerja di Taiwan, sekaligus berusaha memperkenalkan seni tari tradisional pada dunia. Dan sering menjuarai event yang diadakan di sana. Orang itu tak lain adalah Anisa Maharani. Dari situlah kesombongan keluarga Reyhan mulai terkikis. Mamah dan Kakak Reyhan sering menanyakan kabar gadis miskin itu pada putranya. Ini merupakan angin segar bagi ke dua sejoli tersebut. Nampaknya usaha Rani tidak sia-sia. Ribuan mil yang ditempuh kini mulai menghasilkan harapan kebahgiaan. Selaian mendapatkan modal finansial, beberapa penghargaan atas prestasinya. Akhirnya Rani memegang tiket untuk masuk ke dalam keluarga tersebut.




Jam menunjukkan pukul 10.45 WIB, namun Rey tak kunjung keluar kamar. Mamahnya nampak khawatir karena Rey belum pernah seperti ini sebelumnya. Wanita paruh baya tersebut bergegas menuju kamar putranya. Nampak sesosok bertubuh kurus meringkuk di dalam kamar mandi, terdapat bercak darah di lantai dan telapak tangan. Reyhan tidak sadarkan diri. Wanita berbadan gemuk itu berteriak memanggil Malinda yang tidak kalah terkejut melihat keadaan menyedihkan itu. Beberapa saat kemudian dengan mobil Ambulance, Rey dibawa menuju rumah sakit harapan kita. 



”Sebelumnya saya atas nama pribadi minta maaf, Bu Rusmi. Mungkin yang saya sampaikan adalah berita kurang baik” ujar dokter itu sesaat setelah memeriksa Rey yang tergeletak di ruang ICCU. ” tabahkan hati anda, Bu. Putra anda terkena liver akut dan prosentasi hidupnya sangat tipis.” ujar dokter itu lirih.


Kabar itu sampai di telinga Rani. Gadis itu! beringsut saat mendengar berita ini dari mamahnya Rey. Tubuh langsing gadis itu gemetaran. Sementara air matanya meleleh membasahi pipi mulusnya. Kembali lagi Rani diuji dan kali ini ujiannya luar biasa dahsyat. Kepalanya terasa berat bagaikan dihantam godem raksasa dan Rani pun terkulai tak sadarkan diri.


***

Kembali lagi hal sulit datang menghampiri Rani, susah payah dia mengajukan pemohonan cuti. Namun setelah mendapat izin, Gadis itu tidak diperkenankan meninggalkan Formosa karena TBC yang ia derita. Setelah menunggu 6bulan masa penyembuhan maka dia boleh meninggalkan Formosa.

Ya, Tuhan. Kuatkan hatiku dan beri kesempatan untuk bertemu dengan dia. Jeritnya dalam hati.

Siang itu Rani kembali mendapat kabar buruk bahwa kondisi Rey memburuk. Seperti menelan timah mendidih, dadanya terasa panas. Kali ini dia bersikeras untuk pulang ke indonesia dan usahanya berhasil karena 6bulan terakhir TBC itu mulai sembuh.


Tunggu aku, Rey. Ku akan pulang, maafkan keegoisanku telah meninggalkanmu pergi sejauh ini, sayang. Ujarnya lirih. Taxi yang ditumpanginya menuju rumah sakit, berjalan bak siput. ”Maklum, bukan Jakarta namanya jika tidak macet, Neng.” kata sopir taxi itu.


Gadis bermbut panjang itu berlari menyusuri koridor rumah sakit, dari kejauhan nampak Mamah dan Kakak Rey saling berpelukan. Rani memelankan langkahnya, dalam hatinya berkecamuk ketakutan yang luar biasa. Ah, tidak mungkin! Reyhan akan menungguku dia pasti baik-baik saja. Ia mencoba meyakinkan dirinya.

" Tante, Kak Linda. Bagaimana keadaan Rey?" tanyanya gelisah. Mamah Reyhan menghambur memeluk Rani dan menumpahkan tangisnya. Rani semakin bingung dibuatnya.

Sesaat kemudian suster keluar mendorong ranjang tempat Rey berbaring. Selimut bertuliskan Rumah Sakit Harapan Kita nampak menutupi seluruh bagian tubuh dari ujung kaki sampai menutup bagian muka lelaki muda yang Rani kasihi.



Gerimis tipis mengiringi pemakaman siang itu. Semua yang hadir kepemakaman Reyhan, sudah pergi meninggalkan tempat itu. Tinggal Rani seorang diri duduk bersimpuh dan memegangi batu nisan. 


"Sudahlah, tak ada yang bisa kamu lakukan di sini." suara itu sontak mengejutkan gadis berkerudung hitam tersebut. 


" Aaaaa... Reyhan...!" teriaknya, kembali terkejut melihat sesosok yang dia cintai berdiri di depannya. Rani berjalan mundur ketakutan. Sambil tersenyum cowok tampan itu mengulurkan tangan seraya berkata " Jangan takut, aku bukan hantu. Perkenalkan namaku Revan, saudara kembar Reyhan yang diasuh Om dan Tante sejak bayi." 

Kehadiran Revan sangat berarti untuk memulihkan semangat Rani. Di awal tahun mereka memutuskan menikah setelah 2tahun menjalin kasih.



Selesai



0 komentar:

Posting Komentar

 

Rumah Kopi Copyright © 2010 Design by Ipietoon Blogger Template Graphic from Enakei | web hosting