Jumat, 13 Desember 2013

Ketika Harun Pulang Kampung

Diposting oleh Rumah Kopi di 14.23

Oleh

Keyzia Chan

Langkahnya terhenti ketika sampai di ujung jalan, dia berdiri tidak jauh dari rumah sederhana itu. Ah, sebenarnya bangunan itu lebih layak disebut gubuk tua. Bagaimana tidak? Dindingnya hanya terbuat dari anyaman bambu, beratapkan daduk , dan berlantaikan tanah dengan penerangan  dari sentir. Sepeda tua itu juga masih ada di sana, alat transportasi yang mengantarkan bapak dan emaknya bepergian. Nampaknya tidak ada yang berubah semenjak kepergian Harun sepuluh tahun yang lalu. Ya, saat dia meninggalkan rumah tanpa pamit waktu itu.

Puas memandangi gubuk tua itu, dengan langkah gontai laki-laki berusia 30tahun tersebut berjalan menuju rumahnya. Benaknya menyimpan kerinduan dan juga penyesalan atas apa yang dilakukannya dulu. Tetapi bukan karena rindu orangtuanya, yang membawa Harun kembali pulang. Ayah dari empat anak yang masih kecil tersebut memiliki niat busuk terhadap orangtuanya.

Kebahagiaan nampak terpancar dari ke dua orang tua Si Harun. Tidak henti-hentinya bibir Mak Ijah mengucap syukur pada Gusti Allah, air mata pun tak terbendung--berjatuhan di pipi wanita berambut putih itu. Setelah puas melepaskan rindu pada anak semata wayangnya, Pak Joyo lantas memberondongi pertanyaan pada laki-laki berbadan kurus itu. Di sela-sela obrolan mereka, tiba-tiba saja Pak Joyo berteriak lantang. Kemudian suasana di gubuk tua itu menjadi tegang.

”Apa katamu? Tidak! Pokoknya tidak mau!”  ujar Pak Joyo, menolak. Laki-laki tua yang mengenakan sarung itu, reflek naik pitam lantaran ucapan anaknya.

”Dengarkan dulu, Pak. Kalau Bapak dan Emak ikut tinggal di kota, Harun merasa lebih tenang. Karena Istriku akan merawat kalian yang sudah semakin sepuh.” ucap Harun basa-basi, demi meyakinkan Bapaknya.

”Pokoknya Bapakmu ini ndak sudi kalau harus meninggalkan rumah ini, apa lagi sampai menjualnya.” teriak Pak Joyo, kemudian tangannya meraih cangkir yang berada di atas meja. ”Di kota itu panas, barangkali banyak setannya.” lanjutnya asal, setelah itu dia menyeruput kopi yang masih panas tersebut.

”Kata siapa, Pak? Bapak ini suka mengada-ada saja.” sanggah Harun. Dia bersikeras meyakinkan ke dua orang tuanya supaya mau menjual gubuk tua tersebut. Dengan uang itu dia bisa melunasi hutang--pada rentenir. Pikirnya.

”Itu buktinya, Si Mimin anaknya Mak Inah. Pulang dari kota rambutnya disemir merah, setiap hari pake rok mini. ”sahut Mak Ijah. ”kata Si Mimin di kota itu panas.”

Harun semakin jengkel dengan ucapan ke dua orangtuanya. Sikap kolot mereka masih belum hilang meski usia mereka semakin tua. Air muka Harun nampak merah padam, jauh-jauh dia datang dan hasilnya hanya penolakan.

Andai kalian mau menurutiku menjual gubuk tua ini, aku pun tidak sudi bersusah payah merawat kalian yang tidak berguna ini. Ujar harun dalam hati. Sumpah serapah pun ke luar dari mulutnya. Membuat ke dua orang tuanya sedih.

”Jangan, Run. Ini harta Emak satu-satunya!” teriak Mak Ijah tiba-tiba. Harun mencopot paksa cincin yang dikenakan Mak Ijah. Hal itu dia lakukan karena tidak memiliki uang sepeser pun untuk ongkos kembali ke kota. Tidak cukup itu, Harun mendorong laki-laki tua yang hendak menghalanginya mencopot paksa cincin Emaknya. Tak ayal darah segar ke luar dari pelipis Pak Joyo akibat terbentur meja ketika jatuh.

Hoalaah! Apa yang kamu lakukan, Nak. Teganya kamu berbuat ini pada kami. Ingat, Run. Becek ketitek, olo ketoro.” ujar Mak Ijah sambil terisak-isak.

Rupanya tekanan ekonomi dan kemiskinan membuatnya nekat, sehingga tega berbuat apa saja. Harun tidak berpikir bahwa perbuatan keliru yang dia lakukan, akan semakin mempersulit keadaan. Beberapa saat kemudian karena panik melihat keadaan Bapaknya, Harun lari tunggang langgang dan apesnya sebuah mobil menabrak Harun saat menyeberang jalan. Tubuhnya terpental sejauh 5meter.

Selesai.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Rumah Kopi Copyright © 2010 Design by Ipietoon Blogger Template Graphic from Enakei | web hosting