Selasa, 02 Juni 2015

KAKEK DAN GEROBAK USANG

Diposting oleh Rumah Kopi di 22.11
Pasti kalian berpikir, bahwa dalam cerita ini aku akan menuturkan kisah sedih. Berdarah-darah. Bukan tanpa alasan, sebab di atas tertulis dengan jelas. Dan apa yang lebih menyedihkan dari pada seorang kakek yang usianya hampir genap satu abad, tetapi masih setia dengan kehidupannya yang sibuk. Ah, kehidupan ini memang kadang terasa tengik, bagi sebagian orang. Dan si kakek adalah wujud dari remah-remah super tengik tersebut. 

Namun aku tidak akan berkisah tentang kakek dan semangatnya yang tak pernah surut. Mencoba berdamai dengan keadaan. Terlepas dari itu, barangkali jika dijadikan sebuah motifasi, atau artikel yang menghiasi media, kisah kakek jauh lebih mendidik dari pada para jurnalis itu mewartakan tentang beras plastik apalagi  kasus artis siapa itu yang inisialnya AA? 

Baiklah, aku akan segera memulai kisah ini. Tetapi sebelumnya, aku pertegas pada kalian. Bagi yang memiliki kepekaan tinggi, sensitif, cengeng, atau apalah? Kuharap kalian tidak perlu melanjutkan menenggelamkan diri dalam cerita ini. 

*

Beruntunglah aku, meskipun kepergian ayah meninggalkan banyak hutang, namun setidaknya beliau mewariskan padaku, genetika struktur wajah yang lumayan menarik, menyenangkan. Menurut teman-teman sekolahku begitu. Anggia. Namaku hanya terdiri dari satu suku kata. November kelak, usiaku genap 17 tahun. Aku dua bersaudara. Kakak perempuanku, sudah lulus SLTA dua tahun lalu. Sadar dengan keadaan ekonomi keluarga, kakak memutuskan untuk tidak melanjutkan kuliah. 

Ibuku seorang tukang jahit. Jika menjelang lebaran, serta musim tahun ajaran baru, orderannya membludak. Di luar itu, penghasilan dari keahliannya tersebut, tidak pasti. 

"Barangkali, kalau menang lotre, dapat togel, kita bertiga tidak akan menderita berkepanjangan seperti ini, ya?" ujarnya di suatu sore ketika para kelelawar bersiap-siap menjelajah dunia malam, sesaat setelah matahari tergelincir di kaki langit. Aku mendengus sebal. Ucapan ibu tadi, entah sudah berapa kali disampaikan. 

Namun begitu, aku tidak berani menghardiknya. Tentu saja aku takut kualat. Lebih dari itu, bukankah setiap orang berhak menghayal. Barangkali, itulah salah satu cara mereka untuk mengurangi sedikit beban yang menggelayut di hati. Berat. Ibarat orang utan yang tidak mau lepas dari akar-akar beringin yang menjuntai. Jika akar-akar itu bisa bersuara, pasti akan mengeluh. Berat.

"Ah iya, tentu saja menyenangkan kalau dapat togel. Bayangkan, hutang-hutang itu lunas. Dan kita bebas." Ibu terkikik. Mengangkat kepalanya. Memiringkannya ke kanan. Diam. Entah apa yang sedang dipikirkan. Beberapa detik kemudian, lincah ia menggerakkan kakinya. Menggoyang papan yang terbuat dari besi bagian bawah mesin jahit. Jarum mesin jahit usang itu, naik-turun dengan cepatnya. 

Sebagai anak yang baru gede, tak ada yang bisa aku lakukan untuk meringankan beban ibu selain mempertajam kecerdasanku. Nilai-nilai selalu di atas rata-rata. Tak heran, sampai kelas dua ini beasiswa tak pernah  menjauh dariku. 

Dulu, kehidupan kami begitu bahagia. Ayahku seorang supir bus. Setiap pulang kerja, beliau tak lupa membawakan oleh-oleh. Apa saja. Tidak mewah. Tidak juga mahal. Namun amat menyenangkan menanti kepulangannya dengan kantong plastik yang menggantung di tangannya.

(bersambung ...) ^_^






0 komentar:

Posting Komentar

 

Rumah Kopi Copyright © 2010 Design by Ipietoon Blogger Template Graphic from Enakei | web hosting