Kamis, 04 Juni 2015

WANITA MUDA YANG KESEPIAN DAN LELAKI PEMABUK

Diposting oleh Rumah Kopi di 23.06



Apa itu kebenaran, dan bagaimanalah pula hal itu bisa disebut kesalahan? Barangkali, manusia terlalu pandai memperhitungkan setiap jengkal kemalangan yang dialaminya. Begitu teliti. Dan seolah tidak ada hal yang menarik dibandingkan mengkalkulasi borok tersebut. Kemudian, diam-diam membuat semacam surat gugatan pada Tuhan atas apa yang dialaminya. Menandak-nandak. Mendektekan perkara apa yang terbaik untuknya, pada Tuhan. 


Hujan, sisa air, serta langit yang masih murung dan semua cerita yang pernah terkisah. Manusia seringkali terlambat menyadari bahwa ia makluk dengan segala keterbatasannya, namun memiliki keinginan yang bahkan luasnya menandingi langit. Melupakan banyak hal. Lupa betapa dirinya bisa merasai apa yang saat ini terjadi, merupakan salah satu pemberian cuma-cuma dari-Nya.


"Apa kau masih menyangkalnya? Tentang ucapanku kemarin. Alam benar-benar mempermainkanku," bibirnya menyeringai sinis.


"Kau mabuk!" Laki-laki itu berujar sambil meraih gelas, kemudian menuang Wine yang tinggal sedikit. "Aku yang minum, kau yang mabuk. Haha ...." 


"Diam kau!" Wanita itu berteriak tak suka. Wajah bulatnya memerah.


"Kau terlalu memupuk harapan itu tinggi-tinggi. Sehingga jika semua tidak sesuai dengan keinginan, maka kausendiri yang kelimpungan." Laki-laki tersebut menenggak minuman itu dalam sekali tegukan.


"Tahu apa kau tentang hal ini! Kerjaanmu saja mabuk-mabukan. Kautak lebih pengecut daripada domba yang gemetaran ketika takbir di Hari Raya Qurban, berkumandang memecah langit. Ketakutan mencari tempat persembunyian. Dan kau bersembunyi dibalik botol-botol minuman yang membuatmu nampak semakin menyebalkan."


"Dan kau! Kau wanita yang paling patut dikasihani. Kau akan lelah jika selalu seperti ...." Laki-laki itu tidak melanjutkan kalimatnya. Menarik napas dalam-dalam. Mencoba menguasai dirinya.


Hujan, sisa air, serta langit yang masih murung. Ada banyak cerita yang jika dipendam terlalu dalam, suatu saat akan meledak oleh karena kegagalan hati yang mencoba berdamai dengan keadaan. Wanita itu menyumpah-nyumpah. Ia menyesal telah menjadikan laki-laki itu, tempat segala mencurahkan perasaannya yang selama ini hal itu tidak berani disampaikan pada suaminya. Suami yang menikahinya dibawah tangan. Yang berkunjung ke tempatnya, hanya ketika ada urusan meeting dengan klien bisnis yang kebetulan mengharuskannya bertandang di kotanya. Di luar itu semua, bahkan laki-laki berpenampilan perlente diusianya yang hampir menjejaki kepala lima, namun masih terlihat muda itu, tidak pernah ingat ada segompal hati yang merinduinya setiap saat.


Bagaimanalah pula urusan ini bisa sampai pada pemilik ratusan anak buah, membawahi beberapa perusahaan. Memiliki banyak istri simpanan. Dan ia, wanita yang usianya masih berbilang cukup muda itu, rela menggadaikan masa depannya. Demi bisa menikmati hidup enak? Entahlah. Mungkin bukan itu saja alasannya.


*


Warung makan yang tendanya lebih layak untuk dijadikan kain lap itu, nampak sepi. Seorang wanita paruh baya, bermata cekung, dengan rambut yang dibungkus semacam kerudung namun masih menyisakan bagian leher serta tengkuknya itu, terduduk di dalamnya. Tangan kirinya menopang dagu. Menatap layu gorengan yang tersaji di meja kayu. Satu-dua kali, tangan kanannya bergerak-gerak mengusir lalat yang berputar-putar hendak menjejakkan kakinya di atas makanan itu.


Matahari hampir menggelincir di kaki langit. Namun, makanan yang diolahnya sejak subuh tadi bisa dibilang masih utuh. Berbilang tiga orang laki-laki mampir ke warung tenda itu. Memesan kopi hitam, mencomot dua, tiga gorengan, mengambil sebungkus rokok yang ia kantongi di saku kemeja, meloloskannya sebatang kemudin membakar ujungnya, menikmati nikotin yang terkandung dalam tembakau keretek itu sambil sesekali menjejalkan makanan ke mulutnya. Setelah perkara tersebut selesai, laki-laki itu mengangkat bokongnya dari lincak, seraya berkata, "Catatlah dulu di buku bon. Lusa aku kemari lagi. Semuanya kulinasi." Pergi cepat.


Sayangnya, urusan perut serta kebutuhan lainnya yang ditanggung wanita paruh baya sebagai orangtua tunggal dari ketiga buah hatinya, tidak sesederhana itu. Bagaiamanalah pula, perut-perut yang kosong tersebut bisa disuruh menunggu sampai dua atau tiga hari? Sementara, makanan yang tersaji di meja kayu itu, bukanlah miliknya secera mutlak. Modal yang digunakannya, merupakan milik Koh Liem, yang doyan menggoda Mei putri sulung wanita paruh baya.


(bersambung ...) 

0 komentar:

Posting Komentar

 

Rumah Kopi Copyright © 2010 Design by Ipietoon Blogger Template Graphic from Enakei | web hosting