Rabu, 17 Juni 2015

KLIK DI SINI

Diposting oleh Rumah Kopi di 06.19

Satu hal yang aku tahu, seperti manusia pada umumnya, ia anti dibohongi. Dan aku menyembunyikan rahasia besar darinya selama ini. Tetapi, tentu saja aku memiliki alasan tersendiri atas apa yang hendak aku lakukan dengan hidupku. Bahkan, untuk menghadapi kemungkinan terburuk sekali pun, jauh hari sudah kupersiapkan. 

"Sebaiknya, kamu terbuka sejak awal. Dan jika selama ini masih enggan melakukannya, seenggaknya dalam waktu dekat ini kamu mesti melakukannya."

Anjuran seperti itu, sudah ratusan juta kali masuk ke telingaku. Sedikit pun aku tak tertarik untuk menuruti apa yang mereka sampaikan tersebut. 

"Ah, sebaiknya nggak usah. Nikmati saja dulu. Kamu berhak bersenang-senang." Salah seorang menasihatiku begitu. Dan aku mengamininya. 

Namun ternyata, menyembunyikan sesuatu lebih dari setengah tahun itu, seperti kau menggenggam telur rebus yang baru saja dicomot dari bejana dengan air mendidih di dalamnya. Panas. Dan bahkan kau ingin melemparkan telur itu kapan saja saking tak kuat merasakan permukaan kulit melepuh. Tetapi, tentang kesiapan menganghadapi kemungkinan terburuk itu hanyalah omong kosong belaka. 

Aku takut kehilangan kebahagiaanku. Kebahagiaan yang seperti fatamorgana itu. Maka sepanas apa pun, aku tetap menahan telur rebus dengan ke dua tanganku. Menjaganya supaya tak jatuh. Pecah. Kotor. 

Siapa yang bisa memprediksi hati? Bahwa akhirnya rasa yang kumiliki lama kelamaan menjadi lebih besar dari kepalaku sendiri, itu di luar kuasaku. Entah kapan tepatnya, ia menyebut aku dan kamu menjadi kita. Kian sering ucapan itu mampir di telingaku. Rencana-rencana masa depan pun selalu menjadi topik yang menarik untuk dibahas setiap waktu. 

Tentang rencana bulan madu. Tentang mensiasati macet saat mudik lebaran. Atau tentang bagaimana menghadapi ledakan emosiku ketika ia lebih banyak menghabiskan waktu berkumpul dengan teman-teman STM-nya dulu.

Ia, seseorang yang bahkan terlalu santai menghadapi segala hal itu, yang nampak tidak ingin mengakhiri masa lajangnya sampai seumur hidup tersebut, ternyata diam-diam merajut impian besar membangun keluarga kecilnya. Dan akulah yang ia pilih sebagai pendamping.

Aku? Aku yang selalu nampak konyol ini. Aku yang bahkan bisa mengamuk membabi buta saat cemburu. Aku yang bisa terbahak-bahak untuk hal yang tidak lucu amat. Aku yang mudah melepas air mata. Aku yang menghentakkan kaki saat keinginanku tidak lekas terpenuhi, ternyata memiliki tempat yang paling indah di hatinya. 

Ah! Sebaiknya, aku menyewa detektif guna menyelidiki apakah benar yang ia inginkan itu aku. Aku pikir ini tidak terlalu masuk akal. Mengingat, apa yang ada padaku bukanlah kriteria wanita yang diinginkan laki-laki dewasa sepertinya. Kecurigaan itu adalah dosa besar. Apa lagi curiga terhadap seseorang yang perhatiannya tak pernah terputus seperti aliran sungai Kapuas. Tetapi, aku berhak berjaga-jaga dari pada terlanjur mengungkap rahasia besar yang kusembunyikan selama ini dan ternyata ia tak lebih dari bocah yang baru khitan, ingin menjajal senjatanya. Bedebah. 

Aku bukan anak orang kaya raya. Lantas bagaimana bisa menyewa detektif swasta yang bayarannya kelewat gila!

Jika dahulu, Roro Jonggrang meminta seribu candi dalam waktu semalam, tentu aku tidak seekstrim itu demi mengetes seberapa seriusnya laki-laki itu padaku. Padahal, cinta ya cinta saja. Kenapa harus dites seperti ujian masuk menjadi anggota kepolisian atau semacamnya. 

Mungkin ini norak atau kolokan. Tetapi, aku tidak akan sembarangan membagi luka. Aku harus melihat dulu, bagaimana ia menghadapi persoalan pelik yang hadir setiap hari. 

"Berhenti. Aku nggak kuat jalan," ucapku di suatu hari ketika kita pergi libur. Jongkok. Memegangi tumit yang terbungkus sepatu. Membuka tali. Melepas benda yang berhasil membuat kulit kakiku lecet. Berdarah.

"Ya, ampun. Nanti beli kaos kaki."

"Kubilang, aku sudah nggak kuat jalan, 'kan?"

"Lalu?"

Aku menjatuhkan pandanganku tepat di ujung kakinya. Lalu mengalihkan tatapan memelas ke matanya. Ia membeku. 

"Jalan pelan-pelan sambil nyari toko yang ngejual kaos kaki."

Aku tak menjawab. Tidak pula bergerak hingga beberapa saat.

Ia menekuk lututnya. Jongkok. 

"Nih!" seraya menyodorkan benda putih yang baru saja ia lepas dari kakinya. Sekonyong aku menyambar kaos kaki yang terlihat masih baru itu. Tersenyum. 

"Terima kasih," ucapku tulus. Kurasa ucapan semacam itu bukan hanya kiasan atas perbuatan baik orang lain. Lebih dari itu tentu saja ada ungkapan senang yang selebihnya hanya disimpan dalam hati.

*

Hidup itu seperti gelombang amplitudo. Kau tentu tahu, gerakanya naik turun begitu. Sama halnya, hari-hari yang kerap diwarnai serentetan hal-hal yang tak pernah sama setiap saat. Ah! Jika ada yang serupa, hanyalah pertengkaran kecil akibat keegoisan masing-masing. Itu saja.

Aku mulai merasa ia bukanlah bocah laki-laki yang baru saja diwisuda. Tentu saja wisuda dalam hal ini, sama sekali beda dengan wisuda di instansi pendidikan. Ia lebih matang dalam memperhitungkan segala hal. Di luar dugaanku, hubungan yang sering diwarnai pertengkaran konyol ini ternyata memiiki tujuan. Menikah. Dan itu mengerikan. 

Untuk orang-orang yang pernah dan bahkan sering dikecewakan sepertiku, sulit mempercayai segala sesuatu. Apa pun itu. Termasuk ucapan darinya. Terhitung baru dua kali kesalahan fatal yang ia lakukan. Dan hal itu tak seharusnya membuatku berhenti menganggap bahwa ialah adalah lelaki yang baik.

Aku seperti orang kalap. Lebih tepatnya, orang yang berjalan tanpa arah dan tujuan. Namun aku terus melangkah. Entah sampai di mana kaki menjejak? Sementara itu, tanganku masih setia menggenggam telur rebus yang sumpah panasnya semakin memaksaku berkeringat di musim dingin. Aku takut dengan bayanganku sendiri. 

Semakin hari, aku semakin nyaman dengannya. Ia banyak berubah. Awalnya, aku pikir ia tidak peduli dengan apa pun yang kulakan. Ia terkesan, sangat asyik dengan dunianya sendiri. Sulit menyentuh hatinya. Selain egois, bagiku ia adalah seorang yang sangat angkuh. Menakutkan. Bahkan, untuk sekadar menelpon tanpa terlebih dahulu meminta izin padanya pun, aku takut. Itu dulu.

Jika kerasnya batu bisa terkikis oleh tetesan air. Dan besi baja pun dapat dibengkokkan oleh percikan api, begitu pula hatinya yang tak kalah keras dari ke dua benda itu, luluh.

Belajar dari pengalamanku selama ini. Banyak orang menyalahkanku karena terlalu menutut untuk diperlakukan dengan baik. Tanpa menanam kebaikan yang serupa. Aku pikir, aku masih muda. Dan aku sadar Tuhan mengaruniaiku tampang yang lumayan. Dan aku tidak bodoh-bodoh amat. Tidak sulit bagiku mendapatkan cinta jika aku mau. Tetapi, siapalah aku ini? Terlalu sombong jika berpikir seperti itu. 


Untuk menebus kesalahan masa lalu, aku bertahan menerima apa adanya laki-laki yang beberapa bulan ini hadir mengisi hari-hariku. Bagiku, dengan menerima orang lain dengan tulus--sama halnya membuka kesempatan pada diri sendiri supaya kelak orang lain juga bisa menerimaku apa adanya. 

Aku terus belajar segala sesuatu, bagaimana menjadi wanita yang baik. Sulit. Sampai saat ini pun belum juga berhasil. Tetapi justru ia yang banyak berubah.



Namun begitu, aku masih saja meragukannya. Ia yang saat itu mengambil beberapa lembar uang dari ATM lalu diberikannya padaku, sesaat setelanh kubilang 23 hari ke depan aku harus bertahan tanpa uang sepeser pun. 

Aku ragu pada orang yang untuk ke dua kalinya menjatuhkan lutut di depan banyak orang, memasangkan hansaplast di tumitku yang kembali lecet. Aku ragu pada ia yang selalu berusaha menyenangkanku tak peduli dengan keadaanya sendiri dan aku tidak menyadari hal itu. Aku ragu pada orang yang bahkan tidak marah meskipun aku berperilaku tidak sesuai dengan usiaku, manja. Aku ragu pada orang yang tidak sungkan mengikatkan tali sepatuku di hadapan khalayak ramai, begitu mendapati tali itu lepas. 


Sebenarnya itu bukan wujud dari keraguan. Melainkan, ketidaksiapan menerima kenyataan atas penolakannya ketika tahu siapa aku sebenarnya. Ah! Bukankah aku bukan wanita jadi-jadian? Bukan pula wanita penjaja kesenangan malam. 

*

"Apa kau yakin ingin menikah denganku?"

"Harus berapa kali pertanyaan itu kau ulangi?"

"Apa yang membuatmu menjatuhkan pilihan itu padaku?"

"Entahlah! Yang jelas, ada bunyi KLIK DI SINI setiap aku meyakinkan diri bahwa kamulah orang yang tepat menjadi pendampingku.

Aku tersenyum. Memeluk tubuhnya yang ringkih. Aku bahagia. Di sisi lain aku takut kehilangannya. Ia bukan laki-laki tanpa cela. Tetapi ....

"Sebaiknya segeralah jujur padanya. Semakin kaututupi, pasti tidak ada kebaikan karenanya."

Aku berpikir keras mendapat anjuran dari bapak waktu itu. Mengapa kalian tidak pernah memahami perasaanku? Aku bilang, aku belum siap berbagi luka. Dan siapa tahu lukaku segera bertambah jika setelah aku mengungkap segalanya, lalu ia lenyap dari hidupku. 

"Buru-buru menunggu apa? Ditunda juga untuk apa?" 

Aku kembali terdiam. Lemas. Tekanan demi tekanan menghampiriku. Seolah aku ini manusia paling salah sedunia. Kenapa mereka tidak membiarkanku bahagia sebentar saja sebelum aku harus kehilangan segalanya. 


Entah keberanian dari mana? Akhirnya, aku bertekad untuk berterus terang padanya. Tidak banyak yang aku sampaikan lewat pesan di HP-nya. Di antara pesan yang sedikit itu, aku menyelipkan beberapa gambar. Dari sana, ia tahu siapa aku yang sebenarnya. Ia tidak membalas meskipun telah membaca pesan itu. Gemetar tubuhku seperti over dosis obat. Detik, menit, jam terus berlalu. Dan inilah akhirnya? Seperti yang aku takutkan selama ini! Ia marah besar karena merasa kubohongi. 

Semoga kalian puas telah mencerabut kebahagian yang susah payah aku peroleh. Tidakkah kalian berpikir, aku juga berhak bahagia? Hatiku menjerit. Siap-tidak siap, aku melepaskannya untuk memilih jalan hidup yang bisa membuatnya bahagia. Sementara aku .... 


*

Beberapa pesan masuk ke HP-ku saat mata masih terpejam waktu itu. Mataku mengerjap-ngerjap saat benda itu tepat berada di wajahku. 

"Sudah makan belum? Jangan telat makan nanti sakit." 

Aku terlonjak. Ia mengirimkan pesan padaku dengan kalimat-kalimat yang biasa ia tulis. Takut-takut aku membalasnya. Berharap ini bukan mimpi.  Ah, apa istimewanya pesan seperti itu? Bukankah teman-temanku juga sering mengirimkan pesan serupa.

"Jangan berpikir macam-macam. Di antara kita nggak ada yang berubah. Aku masih menyayangimu. Sama seperti sebelum kamuengungkap kejujuran itu." 

Selesai 



3 komentar:

Ali Muakhir on 17 Juni 2015 pukul 14.12 mengatakan...

Coba komen

Rumah Kopi on 17 Juni 2015 pukul 14.20 mengatakan...

Masuk masuk, Mas Ali. Asyik. ^_^

Lina Astuti on 17 Juni 2015 pukul 15.53 mengatakan...

aku juga masih sayang kamu #eh :p

Posting Komentar

 

Rumah Kopi Copyright © 2010 Design by Ipietoon Blogger Template Graphic from Enakei | web hosting