Rabu, 17 Juni 2015

Semacam Celoteh Yang Tidak Penting

Diposting oleh Rumah Kopi di 19.22





Karakter manusia terbentuk dari berbagai hal yang telah dilalui. Kita bisa saja mengecam seseorang; keras hati, bengal, berlebihan, dan segala macam keburukan lainnya. Namun, apa yang kita lihat bisa jadi itu adalah remah-remah jiwanya yang selama bertahun-tahun mengalami penderitaan yang hebat. Apa yang kita lihat merupakan caranya bertahan hidup. Sisa-sisa masa lalu yang menyedihkan. Dikemas apik dalam wajah tanpa beban. 

Bukan tanpa alasan. Ia mungkin paham itu, bahwa dunia ini dihuni oleh dua jenis manusia. Pertama, manusia yang pura-pura turut simpatik saat ia terpuruk. Tetapi sebenarnya hanya ingin mencongkel kembali luka-luka itu. Bertanya, bagaimana terjadinya? Detail. Seolah dengan begitu 'jenis manusia tersebut' bisa membantu membebat rekahan lukanya, mencarikan penawarnya, dan sebagainya. Padahal, yang terjadi sebaliknya. Bahwa, 'manusia jenis tersebut' hanya sekadar ingin tahu. Memastikan apa yang terjadi. Senyumnya palsu. Alih-alih bersimpatik, justru menertawai diam-diam. Bersorak atas penderitaan orang lain.

Kedua, 'manusia yang benar-benar tulus'. Menempatkan dirinya pada posisi orang lain yang kurang beruntung. Menawarkan segala yang bisa diupayakan. Demi terwujudnya kemanusian yang adil dan beradab. Apa pun itu, ia tetap dengan pendiriannya. Bersikeras memamerkan gelak tawa riang di wajahnya.

Lagi pula, untuk apa mengeluh pada dunia? Seolah tidak pernah mendapatkan jatah kebahagiaan saja! Atau jika memang seumur hidupnya hanya dilewati dengan jungkir balik pada tempat yang sama, bukankah Tuhan telah berjanji di tangan-Nya manusia akan mendapatkan perlakuan yang serupa. Jika hidup ini diibaratkan suatu perjalanan menuju suatu tempat, bukankah waktu terus bergulir merangkak menghantarkan kita sampai pada tujuan. 

Tekanan demi tekanan dilewati dengan menyisakan setitik hitam di sana. Di Hati. Titik-titik itu, kian lama kian menyebar. Barangkali, itulah yang tersisa. Kebencian. Muak. Apalagi? 

Seharusnya kita belajar dari ketabahan Ibu Kota yang meskipun tak sanggup menanggulangi kebebalan anak manusia penghuni setiap sudutnya, tetap mengizinkan siapa saja tinggal di sana. Meskipun tidak pernah menjanjikan masa depan yang lebih baik, Jakarta dengan segala hiruk pikuk mobilitas penghuninya yang beraneka ragam, tidak pernah membatasi atau bahkan menutup segala akses agar sesiapa sampai di sana. Harusnya kita, terutama aku belajar banyak dari sana. 

Manusia berkali-kali dipaksa menghadapi kenyataan bahwa ada beberapa hal yang paling tidak diinginkannya seumur hidup justru mengendap-ngendap menghampiri. Layaknya manusia yang tak tahu diri.

Suatu hari, perjalanan ini akan sampai pada masa, dimana kita akan menertawakan apa yang dulu ditangisi. Bahkan, merasa jijik pada diri sendiri. Begitu bodohnya, melepas air mata hanya untuk hal yang belakangan terungkap betepa berengseknya hal itu. Kemudian, langkah kaki juga akan sampai pada masa, dimana kita menangisi apa yang dulu telah disia-siakan.

Kamu mungkin mencibir sederetan realita ini yang tak ubahnya seperti omong kosong, dengung nyamuk penghuni gudang, derit pintu ketika dibuka, pekikan kanak-kanak yang diseret menjauh dari penjual balon. Tetapi, inilah kenyataan. Yang memang pantas dicibir karena menghadirkan perasaan yang menyebalkan. Dan menjadikanku manusia bebal.

Sulitnya berdamai dengan kehidupan yang menyebalkan ini. Sesulit membuka botol dengan alat pembersih sisik ikan. Lagi pula siapa yang menyuruh mempersulit diri sendiri? Kita sendiri yang salah mempergunakan alat. Kita tidak bisa mengelak akan nasib kurang beruntung ini, namun bukankah banyak kesempatan yang bisa diciptakan untuk mengupayakan hidup lebih baik. Bermimpi tentang masa depan adalah perkara yang tepat untuk mengalihkan pikiran dari hal-hal sialan. 

Tak akan lari gunung dikejar. Tetapi, kalau gunungnya meletus kita bisa apa? Maka dari itu, manusia dituntut untuk selalu kritis menyikapi segala sesuatu. Mencari segala peluang. Selo sih selo. Tetapi, akan lebih bahagia jika hidupnya mempunyai sebuah tujuan yang jelas. 

Tuhan adalah desaigner, sutradara, dokter, terhebat. Kau tahu itu. Aku paham ini. Seharusnya tidak ada lagi beban yang maha berat jika hati berserah pada-Nya. Seperti kenyataan bahwa sebentar lagi kita mesti berpisah, itu sudah ada dalam skenario-Nya. Jadi, untuk apa diratapi terlalu dalam? 

Ahmad Tohari dalam bukunya 'Ronggeng Dukuh Paruk' menuliskan sebuah kalimat apik yang sepertinya akan abadi di benakku. "Orang bahagia itu ia yang nrimo ing pandum."

Bahagia hanya milik orang yang bisa menerima apa pun yang terjadi di hidupnya. Tuhan tahu di sini, aku tidak punya banyak teman. Aku pun lebih suka menghabiskan waktu luangku untuk membaca buku. Apa saja! Yang jelas bukan buku nikah karena aku belum punya. 

Selain membaca, aku suka mengabadikan banyak hal dengan menceritakannya kembali lewat tulisan. Dari sini, aku tidak pernah merasa sepi. Tidak pula merasa bosan meski sendiri.

Punya saudara, jika kedekatannya hanya diwarnai dengan hasutan serta ucapan yang menimbulkan resah, mending menjaga jarak supaya hati tidak terus gelisah. 

Dalam hidup, ada beberapa fase yang mesti kulalui. Dari sanalah, aku belajar mengerti apa itu pengorbanan. Apa itu kewajiban. Bagaimana manusia harus bertahan hidup meskipun sepertinya semua jalan, buntu. Lalu, akhirnya pasrah pada ketetapannya. Bahwa hidup hanyalah serentetan perkara yang terus berkesinambungan. Apa yang terjadi esok, merupakan investasi dari perbuatan hari ini. Dan apa yang terjadi hari ini, adalah perkara yang telah aku perbuat sebelumnya.

2 komentar:

Lina Astuti on 19 Juni 2015 pukul 08.11 mengatakan...

sukaaaa tulisannya, mendalam bgt mba Key :))

zahratul wahdati on 22 Juni 2015 pukul 23.05 mengatakan...

oow

Posting Komentar

 

Rumah Kopi Copyright © 2010 Design by Ipietoon Blogger Template Graphic from Enakei | web hosting