Sabtu, 07 Maret 2015

Dear, Tante!

Diposting oleh Rumah Kopi di 08.11

Masih sama. Pagi ini ketika membuka mata kulihat segalanya baik-baik saja. Fenomena alam bergerak seperti hari-hari sebelumnya. Kekhawatiran itu sebenarnya hanya buah pikiran atas ketidak percayaan diri sendiri dengan apa yang telah dilakukan. Itu suatu kesalahan karena dengan begitu aku tidak lekas beranjak dari tempatku berdiri. Mematung mengingat kembali, merenungkan hal yang telah terjadi, memikirkan apa yang telah berlalu, memang tidak ada salahnya tetapi tidak boleh memberi porsi (waktu) terlalu besar.

Pagi ini dan beberapa jam berikutnya, aku harus bisa mengendalikan diriku untuk mematuhi apa yang telah kurancang sebelumnya. Iya, berhenti melakukan hal yang tidak penting. Masa depanku terletak pada apa yang aku lakukan hari ini. Kebahagiaanku ada pada diriku sendiri. Mereka semua hanya figuran yang seharusnya tidak bisa mempengaruhi suasana hati.

Terlepas dari itu, aku sempat berpikir kenapa jika semua hal sudah diatur oleh Tuhan, manusia harus bersusah payah memperjuangkan kehidupan? Lalu aku juga berpikir, kenapa ada kelompok manusia yang dari lahir sampai meninggal, mereka hidup dengan serba kecukupan? Dan kenapa pula ada kelompok manusia yang berjuang sejak lama tetapi tidak kunjung memperoleh apa yang diinginkan?

Jika berpikir seperti ini, apakah aku berdosa dan meragukan keadilanMu, Tuhan?

Pada dasarnya semua orang egois. Fakta. Coba saja lihat sekitar. Bukankah jika tidak mendatangkan keuntungan, kesenangan, dan apalah itu maka akan ditinggal. Yang seperti ini bisa jadi seumur hidup mereka belum pernah merasakan bahagia. Maka dia tidak mau bersusah payah mengambil mutiara yang tertanam dalam lumpur. Alam adalah tempat belajar yang tidak akan pernah kehabisan materi menyajikan bagaimana seharusnya menjadi manusia yang memanusiakan manusia lainnya.

Aku tidak bisa menyuruh orang memaklumi keadaanku sebab setiap manusia pasti menanggung beban dalam hidupnya. Besar atau kecil masalah yang dihadapi, tidaklah penting. Maka dari itu seberapa kuat aku menggenggam masalahku, memikirkan solusinya supaya tidak ada yang tahu kalau sebenarnya aku sekarat, misalnya.

Baiklah. Jika begitu, aku harus memaklumi diri sendiri untuk lebih berhati-hati supaya hati dan pikiranku tidak terkontaminasi dengan hal buruk sehingga dengan mudahnya mengeluh, menyerah, dan jatuh.

Laland, yang membuat jarak antara manusia adalah uang. Ketika membicarakan masalah uang, maka bukan tidak mungkin hal sensitif menyulut perselisihan akan muncul.
Percaya atau tidak bahwa yang menciptakan jarak antara manusia adalah uang? Coba sejenak renungkan, apa yang membuat kita terdampar di negeri orang? Apa yang memisahkan anak dari orangtua? Apa yang memisahkan suami dari istri, dan sebagainya? Apa yang menyeretku sampai ke sini! UANG))

Semua juga tahu kalau manusia memang makluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri. Ketika aku harus pura-pura bahagia di depan orang lain, tentu itu bisa mudah kulakukan. Tetapi sayangnya, belum ada manusia yang berhasil memanipulasi hatinya sendiri. Termasuk aku. Suatu waktu saat bersama sahabat, pasangan, saudara, aku bisa tertawa terbahak. Namun, ketika sendiri hati dan pikiran kembali mencumbui luka yang berserak.

Luka itu bukan berarti masalah pribasi, Lalaland. Baiklah akan kuceritakan hal ini. Jauh di sana, kehidupan keluarga om dan tante sedang jatuh dalam hal ekonomi. Itu wajar, memang. Yang aku pikirkan bagaimana keadaan keponakan2 itu? Apalagi anak yang sudah menginjak 15 tahun tersebut. Di mana perkembangan mentalnya sedang tumbuh. Beberapa saat yang lalu, kemana pun pergi selalu diantar jemput pakai mobil mewah. Bahkan diusianya yang belum genap 17 itu, dia sudah mahir menyetir mobil. Sekarang, sekadar membelikannya pulsa saja, barangkali orangtuanya tidak mampu. Katanya, dia menyisihkan uang sakunya untuk biaya perjalanan ke Malang. Dan itu membuatku sedih.

Dia anak laki-laki penurut. Beda dengan kebayakan anak seusianya. Seharusnya tak ada yang kukhawatirkan. Aku cukup membantu saat dia membutuhkan. Yang membuatku sedih, bagaimana perasaanya menghadapi tatapan sinis teman-temannya yang mengetahui bahwa usaha ayahnya, jatuh? Bahkan mungkin, dia adalah saksi saat para nasabah yang mempercayakan tabungannya di tempat orangtuanya itu, hendak menarik saldo dan ketika tidak ada dana mereka mengamuk, mengancam, merusak apa saja yang ada di rumahnya.

Ah, Tuhan kan profesor, pembuat skenario, sekaligus sutradara yang tercanggih. Ketika Dia merancang sesuatu, pasti sudah ada solusinya. Ketika Tuhan menaruh sebuah kotak kebahagiaan di suatu tempat nan jauh, pastilah saat itu juga Tuhan menyediakan jalan supaya mausia bisa melangkah ke sana. Dan tentu saja jalan itu tidak selamanya lurus. Bahkan tidak semua orang berhasil menemukan jalan itu.

Semoga Rizky kuat. Semoga anak itu sanggup melewati masa sulit seperti belasan tahun lalu, saat harus berulang kali masuk rumahsakit.

Saat seperti ini, kenapa pula tante malah berniat pergi meninggalkan suaminya? Dulu, ketika kehidupan begitu memanjakan mereka, bukankah tante juga menikmatinya. Dan aku pikir, atas apa yang terjadi dengan jatuhnya usaha si om, tante ikut andil di dalamnya. Aku ingin marah saja, ingin mengumpat, tapi itu pilihan tante. Ingin rasanya aku tidak peduli dan pura-pura tidak tahu saja, namun begitu mereka bagian dari keluargaku.

Bukannya aku tidak mau mendekatimu, menjadi tempat curhat, mendengarkan keluh kesah, Tante. Tapi aku malas, bahkan benci pada orang yang selalu menganggap kematian adalah jalan terbaik menyelesaikan masalah. Tiap kali bercerita, pasti bilangnya ingin mati. Duh! Aku muak sumpah! Tante lupa bahwa dia bukan satu-satunya wanita yang memiliki masalah. Dia bukan satu-satunya ibu dan istri yang hidup tertekan kini.

Ayolah, kenapa tidak melihat keadaanku dulu. Yang hampir mati dipukuli orang. Yang tubuhnya penuh luka memar. Yang selama 300 hari menikmati ngilunya luka-luka baru. Bahkan polisi saja tidak bisa membebaskanku dari penderitaanku itu. Apa tante lupa bahwa keponakanmu ini juga pernah hancur. Apa tante tidak ingat, saat gadis lain bahagia dengan kehidupannya, sementara aku harus menanggung beban seumur hidup karena laki-laki itu? Apa tante tidak ingat bukan hanya hatiku yang remuk, tapi aku juga masih harus mengembalikan uang puluhan juta yang dia pinjam di kantormu, kan? Motorku ikut dibawa kabur juga, kan?

Tapi, aku masih kuat. Dan tidak pernah berniat menghancurkan hidupku meski aku sempat depresi, Tan! Aku tidak punya cita-cita bunuh diri. Aku masih dan terus merangkak sampai sperti yang kamu lihat saat ini. Ini adalah sisa masa lalu yang berhasil aku lalui.

Ayolah, tak ada hal yang tak berujung. Jangan melakukan sesuatu yang akan kamu sesali dikemudian hari, Tan. Hidup itu akan terus berjalan berkesinambungan. Setidaknya, lihat anak-anakmu. Yang kuat. Yang kuat. Yang kuat. Jangan menyerah!!!

Aku cukup senang melihat mereka hidup mewah, dulu. Meski aku tidak ikut menikmati hal itu. Dan sekarang, aku ikut-ikutan menaggung beban mental maupun finansial karena mau tak mau merelakan tabunganku di tempatnya, diganti dengan rumah dan tanah yang sialnya aku  masih butuh puluhan juta untuk melunasi.

-_-

9 Maret

0 komentar:

Posting Komentar

 

Rumah Kopi Copyright © 2010 Design by Ipietoon Blogger Template Graphic from Enakei | web hosting